Jaden bersikeras mengantarkan Lilian pulang dengan mobilnya. Ia tak ingin Lilian menyetir dalam keadaan seperti itu. Lilian tampak pucat dan kelelahan.
Ia tahu benar apa efek dari mimpi buruk yang ia alami. Tapi melihat keadaan wanita itu, tampaknya ia mengalami mimpi buruk yang jauh, jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan mimpi buruknya sendiri, karena Lilian tampak berbeda. Ia terlihat kelelahan dan ketakutan yang tak seperti ketakutan biasa. Maka dari itu, ia langsung berinisiatif membawa tas Lilian begitu mereka sampai.
"Terima kasih," jawab Lilian setelah Jaden mengantarkannya hingga ke ruang tamunya.
"Berterima kasih saja tak cukup. Lekas mandi dan aku akan menunggumu di sini."
"Di sini? Haruskah? Oh, please, bisakah kau tunggu di tempat lain?" protes Lilian.
"Oke, aku akan pergi. Kau tahu di mana aku akan menunggumu, bukan? 10 menit saja, jika kau belum naik ke atas ranjangku, aku yang akan datang kemari untuk membawamu sendiri
Jaden tak bosan-bosannya menatap Lilian yang masih terpejam dalam tidurnya karena wanita itu terlihat begitu tenang dan damai. Jaden yg telah terbangun dan menyiapkan sarapan sebelumnya, kini telah berbaring kembali di samping Lilian. Ia memeluk Lilian lagi dengan senyum yang mengembang dan nyaman. Sama seperti Lilian, Jaden semalaman terlelap tanpa terbangun sambil memeluk wanita itu. Tak lama setelah Jaden kembali memeluknya, Lilian mulai bergerak-gerak. Ia akhirnya menguap dan membuka matanya. "Selamat pagi, tidurmu nyenyak?" Jaden menyibak sejumput rambut ke belakang tengkuk wanita itu dan kemudian mengecup leher polos Lilian dengan lembut. Lilian sedikit bergetar dengan kecupan selamat pagi Jaden. Ia tak menyangka dengan 'sambutan' selamat pagi yang begitu mesra dan tiba-tiba itu. "I ... iya, tidurku nyenyak," ucapnya. "Jangan turun. Tunggulah ...," perintah Jaden saat Lilian hendak turun dari ranjangnya. Ia meraih meja lipat yang
Lilian menggigit bibirnya dan menggerutu dengan kesal saat ia masuk ke dalam lift. Ia mengeluarkan bedak dengan kaca di dalamnya untuk memeriksa lipstiknya lagi. Benar saja, lipstik tipis pink-nya sedikit berantakan karena ciuman 'paksa' Jaden tadi. Lilian buru-buru menghapus bagian yang berantakan agar tidak tampak mencolok. Jika sebelumnya Jaden selalu membuatnya berdebar karena ketakutan, akhir-akhir ini ia juga sering melakukannya. Sama-sama membuatnya berdebar, tetapi dengan cara yang berbeda. Bukan dengan cara yang menakutkan, tetapi dengan cara manis yang sering membuatnya merona. Lilian sendiri tak sepenuhnya mengerti dengan apa yang ia rasakan. Mungkin sejak Jaden memperlihatkan gelang pasangan yang bersinar itu padanya, ia jadi sering memikirkannya. Ia bahkan telah mengungkap sedikit demi sedikit kelemahannya dan masa kelamnya pada pria itu. Melihat bagaimana Jaden bereaksi dan memperlakukannya, dalam hati kecilnya mungkin Lilian jadi
Jaden menerobos begitu saja pintu kantor Lilian yang tak terkunci karena ia tahu tak ada orang lain lagi selain Lilian di dalam. Ia mendapati wanita itu terkejut karena kehadirannya yang begitu tiba-tiba. "Hanya itu makan malammu?" tanyanya sambil mengernyit menatap Lilian yang sedang mengunyah sepotong biskuit. Pertanyaan spontan yang selalu refleks ia lontarkan ketika wanita itu mengunyah sesuatu yang kurang sesuai dengan bayangannya. "Muntahkan sekarang juga apa pun yang ada di dalam mulutmu dan ikuti aku!" dengan gaya memerintah yang Lilian tahu betul tak dapat dibantah, Jaden kali ini membuatnya mengikutinya ke kursi tamu miliknya. Jaden meletakkan kotak yang sebelumnya ia tenteng di salah satu tangannya. Dan jelas, Lilian dapat dengan mudah menebak apa isinya. "Apa kau tak memiliki pekerjaan hingga malam-malam berkeliaran di kantorku?" tanya Lilian heran. "Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku yang menggunung, Nona. Sekarang duduklah,
Lagi-lagi Lilian terbangun dari tidurnya di sebelah Jaden saat pagi menjelang. Sudah beberapa hari ini ia selalu lembur dan tak pernah beranjak ke atas ranjang atas kemauannya sendiri. Lilian sering terlelap karena kelelahan mengerjakan pekerjaannya. Dan entah kapan, Jaden selalu saja berhasil memindahkannya ke atas ranjang. Ia selalu terbangun di atas ranjangnya mau pun ranjang Jaden sendiri pada keesokan harinya. Dan bahkan ia sendiri tak menyadari itu sampai dirinya membuka mata. "Hari ini adalah pembukaan pengundian bagi karyawan yang beruntung mendapat kehormatan untuk membuat syuting iklan dengan timku. Sebaiknya kau memakai baju kerja yang sedikit formal, karena akan ada jumpa pers yang dilanjutkan dengan syuting hari ini juga," ucap Jaden saat memperhatikan Lilian sedang menyisir rambutnya. "Aku tahu. Bukannya apa-apa, tapi bisakah kau tak membuat heboh semua orang dengan pembukaan undian hari ini? Bukankah seharusnya itu telah dibuka beberapa hari se
"Bagaimana?" tanya Jaden sambil menatap Lilian lekat-lekat. "Katanya ... lakukan saja. Dan ia juga berpesan agar aku menyelesaikan proyekmu ini sebelum mengerjakan pekerjaan yang lainnya," ucap Lilian kemudian menggigit bibir bawahnya dengan sedikit ragu. Jaden akhirnya tergelak puas. Ia menggeleng-geleng seolah tak percaya. "Sungguh luar biasa pak tua itu," gumamnya. "Namanya Tuan Greg!" protes Lilian. "Ya! Karena sekarang kau sudah sepenuhnya mendapat perintah dari atasanmu, maka lakukan sebaik-baiknya pemotretan dan syuting untukku kali ini, oke?" "Ugh! Aku pastikan akan membalasmu jika pada akhirnya ini semua membuatku malu," ancam Lilian. "Tentu, lakukan semaumu setelah semua ini berakhir," Jaden hanya tersenyum jahil dan penuh kemenangan. "Baiklah, ayo kita cepat selesaikan ini!" ucap Lilian. Lilian kemudian bergerak keluar untuk menuju lantai 7 dimana semua keperluan pemotretan dan syuting dilakukan. Ia tahu ia s
Selalu ada cadangan kostum dalam setiap pemotretan maupun syuting. Dan itu yang Jaden manfaatkan. Beruntung, walau ia sendiri terbilang memiliki tubuh padat yang berotot, tetapi ukuran beberapa kostum yang ada masih dapat muat untuk tubuhnya. Dengan mengenakan kemeja hitam satin yang terbuka di bagian dada, serta riasan gothic tipis, Jaden melangkah dengan tegap ke dalam lokasi set foto tempat dimana Lilian berada. Rambutnya pun telah berganti gaya sesuai dengan tema yang akan diambil. Lilian yang masih sibuk berpose dengan pengarahan beberapa asisten Scot tampak tak menyadari kedatangan Jaden, karena ia terlalu fokus dengan pengarah gayanya. Dengan memanfaatkan itu, Jaden sengaja berjalan perlahan mendekatinya agar tidak membuat Lilian terkejut. Lilian begitu tersentak saat kemudian dirasanya seseorang secara tiba-tiba merengkuh pinggangnya dan memeluknya dengan satu lengan dengan gaya posesifnya. Sontak, Lilian yang terkejut menoleh tajam ke hadapan p
Lilian yang mendapat tatapan tajam dari Sarah, tak benar-benar mempedulikannya. Ia malah dengan santai menatap balik Sarah dengan tenang."Apa kau masih akan terus mengancam pria itu?" tanya Lilian. "Segera hancurkan rekaman yang kau ambil tentang Jaden. Aku tahu kau hanya memiliki satu rekaman saja tentangnya.""Apa maksudmu?!" ucap Sarah terkejut.Lilian tersenyum dengan sinis dan dingin. "Kau tahu benar maksud ucapanku, Sarah.""Siapa kau! Mengapa kau tahu namaku? Mengapa kau ikut campur?! Apa kau teman tidurnya? Pelindungnya atau semacamnya?!""YA! Aku memang teman tidurnya, aku juga pelindungnya. Aku tak peduli kau akan melakukan apa padaku. Tapi biar kutegaskan, bahwa aku tak akan tinggal diam jika kau masih berani mengusik PRIAKU.""Hah! Konyol! Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Kau tak lihat reputasi Jaden yang akan dipertaruhkan di sini? Dan kau, apa kau ingin merasakan juga bagaimana aku menghancurkan Jaden dan juga dirimu?"
Kegiatan pemotretan dan syuting yang melelahkan akhirnya dapat dilalui dengan lancar hari ini. Walau banyak kejadian dramatis dan cukup mengguncang, tetapi baik Jaden maupun Lilian telah sama-sama mengerti keadaan masing-masing. Tanpa perlu berkata-kata lagi, mereka berbaring berdampingan setelah makan malam dan membersihkan diri. "Soo ...." Jaden mulai membuka percakapan. "Aku lelah, aku mau tidur," balas Lilian seolah menghindar. "Kau bahkan belum mendengar apa yang ingin aku ucapkan!" protes Jaden. "Aku tak perlu mendengarnya. Aku sudah dapat menebak apa yang ingin kau katakan. Jika kau ingin berterima kasih, sudahlah ... lupakan saja. Aku juga tak mungkin akan tinggal diam saat tahu kau sedang berada dalam suatu masalah." "Hm ... ya kau benar juga. Aku belum berterima kasih padamu ya?" ucapnya sambil tersenyum jahil. "Apa yang harus aku lakukan untuk membalasnya?" Lilian melirik Jaden sekilas. "Tak perlu. Cukup jangan berhu