Padahal bukan jam kerja di mana artinya aku tak memiliki kewajiban dalam masalah pribadi Rhino, tetapi seakan tidak ingin menghilangkan predikat Sekreatris terbaik selama 3 tahun berturut-turun nyatanya aku telah berada di sini. Klub tempat Rhino berada di jam seharusnya aku sedang terlelap dalam tidur.
Dengan pakaian santai dengan sweater merah yang kukenakan, tentu beberapa orang akan memperhatikanku. Pakaianku bukan pakaian yang seharusnya dipakai saat ke Klub. Kuedarkan penglihatan ini ke setiap penjuru arah hingga kulihat seorang lelaki melambaikan tangan ke arahku. Kuhentikan langkah kaki di dekat kedua lelaki itu yang terlihat dalam kondisi berbeda. Bara terlihat baik-baik saja sementara Rhino sudah tak sadarkan diri dalam posisi kepala yang bersandar ke sandara sofa. Setelah kehadiranku Bara segera melarikan diri. Lebih tepatnya katanya sih dia ada urusan mendadak jadi tidak bisa mengantar Rhino. Tanpa mendengar cerita Rhino sampai mabuk berat seperti itu, aku langsung yakin jika alasan Rhino hingga tak sadarkan diri karena Luna. Karena Rhino segalau itu perihal Luna yang tidak juga kembali padanya. Kududukkan diri di samping Rhino. Mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk lengan Rhino. Tak juga kunjung bangun aku pun menepuknya lebih keras dan Rhino pun membuka matanya. "Luna?" Aku pun hanya bisa menghela nafas melihat sebesar itu cinta Rhino untuk Luna sampai salah mengira. Aku yakin bahwa sekarang yang dilihat Rhino adalah Luna, bukan aku. Ketika aku siap membuka mulut tiba-tiba Rhino memelukku. Tiba-tiba juga degup jantungku tak menentu dan itu membuatku mulai frustasi. "Aku bisa berubah untuk kamu, tapi kamu tetap memilih lelaki itu ... sulit, Lun. Sungguh sulit melupakan kamu. Terlalu banyak kenangan indah kita hingga aku gak bisa melihat perempuan lain. Aku harus bagaimana?" Nada suara yang terdengar sesedih itu sungguh menyedihkan. Aku juga tidak tahu harus seperti apa terhadap Rhino yang hati dan pikirannya selalu tertuju pada Luna. Akhirnya Rhino melepaskan pelukannya. Menatapku lekat. "Aku janji akan berubah dalam segala hal asalkan kamu memberi aku kesempatan untuk kita bersama lagi." Tak ada yang tahu sisi lain Rhino bisa semenyedihkan ini karena cinta selain aku. Betapa beruntungnya aku bisa melihatnya, tapi mengetahui Rhino galau berat karena Luna, hatiku buruk. "Saya gak bisa." "Kenapa?" "Karena saya bukan Luna!" Rhino menggelengkan kepala. "Kamu Luna." "Saya gak bisa jadi Luna." Setelah hati tak karuan hanya karena pelukan kini degup jantungku semakin menggila berkat bibir kami yang saling menempel. Untuk kedua kalinya Rhino mencuri ciumanku. Saat aku hendak mendorong Rhino menjauh tiba-tiba Rhino memegang tengukku dengan cukup kuat dan setelahnya Rhino melumat bibir ini yang kucoba untuk tertutup rapat tapi tidak bisa karena tak kusangka Rhino menggigit kecil ujung bibirku. Merasa mulai perih dan rasa darah yang masuk ke dalam mulut, dengan sekuat tenaga akhirnya aku berhasil mendorong Rhino. "Elea." "Benar, Elea. Saya bukan Bu Luna!" Akhirnya Rhino tersadar setelah beberapa menit membuat diri tak karuan. Aku berdiri dari duduk. "Melihat Bapak sudah sadar, saya yakin Bapak bisa pulang sendiri." Lalu, kulangkahkan kaki meninggalkan Rhino yang hanya diam. Di tengah langkah kaki menuju pintu keluar Klub salah satu tangan terulur menyentuh dada yang masih tidak baik-baik saja. Sampai kapan aku akan melihat Rhino terus galau? Sampai kapan aku menjadi pelampiasan? Jika ini semua terus berlanjut, aku rasa aku tidak akan sanggup. Rasanya lebih suka mendapati sikap dingin Rhino dari pada melihatnya semenyedihkan itu. . . . Kuketuk pintu Ruang Kerja Rhino, lalu melangkah masuk. Menaruh amplop putih di meja kerja Rhino yang terlihat menatapnya bingung. Rhino ambil amlop itu, membukanya. Ditaruhnya kertas di atas meja, lalu memperlihatkan tatapan tajam dan tidak suka padaku. "Saya gak bisa menyetujuinya!" "Saya akan menyelesaikan semua pekerjaan saya dan mencari pengganti saya sebelum meninggalkannya." "Elanor!" Untuk pertama kalinya setelah hari-hari baru bekerja menjadi Sekretaris, Rhino membentakku. "Walau selama 2 tahun Bapak sempat gak bisa menemukan Sekretaris yang cocok dengan Bapak, saya akan mencarikan yang terbaik agar cocok dengan Bapak." Ya. Pada akhirnya setelah 3 tahun aku memutuskan mengundurkan diri. Perjalanan 3 tahun ku bukanlah hal yang mudah. Selain berusaha menjadi Sekretaris terbaik selama itu juga kupendam perasaan cinta ini. Walau aura dingin yang dipancarkannya begitu terasa, aku tetap jatuh cinta padanya. Sesosok Rhino yang bekerja keras, tegas, tidak pernah goyah, terlebih wajahnya yang tampan membuatku mengidolakannya. Terlebih saat tahu Rhino secinta itu pada Luna, aku semakin jatuh cinta. Bukankah aku dalam keadaan gawat karena sudah membuat Rhino marah? Rhino merobek kertas surat pengunduran diri ku. "Sampai kapan pun saya gak akan mengganti Sekreatris saya!" "Saya akan secepatnya menemukan pengganti saya." Lalu, sedikit membungkukkan badan. Berlalu dari hadapan Rhino yang entah pada akhirnya akan menerima keputusanku atau tidak. Mendudukkan diri di kursi kerja, menatap jendela Ruang Kerja Rhino. Walau berat meninggalkan Rhino namun aku sungguh berharap Rhino menyetujuinya. Aku tidak ingin terlibat lebih dalam lagi akan masalah percintaan Rhino yang membuatku sakit sendirian. Ceklek Rhino keluar ruangan dan berhenti di hadapanku. "Saya akan mencoba mobil baru, dan kamu wajib ikut!" Tentu saja aku akan mengikuti Rhino terlepas masalah yang terjadi sebelumnya. Aku kira Rhino akan mencoba mobil sport yang siap meluncur itu jika menurut Rhino keadaannya bagus dalam semua aspek di jalanan biasa, nyatanya Rhino membawaku ke Sirkuit miliknya. Saat kami sudah berada di dalam mobil, Rhino mulai mengendarainya. Sontak aku langsung berpegangan erat sabuk pengaman ketika mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Seolah Rhino sedang balapan. Ada apa dengan Rhino?! Kami sedang mencoba mesin mobil bukannya latihan untuk acara balapan. Jalan yang sesekali berbelok itu membuat perutku semakin mual. Ya Tuhan, aku tidak ingin mati muda. Tolong keluarkan aku secepatnya. Rhino benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya dia mengajakku melakukan hal yang menakutkan seperti ini. Setelah hanya sekali putaran akhirnya mobil berhenti dan tentu aku langsung keluar. Berjalan cepat ke arah pinggir dan keluarlah apa yang tadi pagi aku makan. Menyebalkan, Rhino! "Bisa-bisanya lo buat Elea sampai kayak gitu," kata Bara yang baru datang. Kutegakkan badan setelah merasa lega. Terlihat sebuah tangan yang menyodorkan air mineral dalam kemasan botol padaku. Kuterima air dari Rhino itu. Meminumnya sedikit hanya untuk membasahi tenggorokan. Tunggu. Mendadak aku teringat sesuatu. Apa mungkin yang dilakukan Rhino barusan itu peringatan bahwa aku tidak boleh mengundurkan diri?! Kutatap Rhino, kesal. Jika benar seperti apa yang kupikirkan sungguh Rhino bos yang jahat. "Saya perlu mengetesnya sekali lagi." "Mendadak saya harus ke Toilet sekarang. Permisi." Seperti itulah caraku melarikan diri. *** Tiba-tiba sekali Rhino mengadakan acara jalan-jalan perusahaan.Sudah terdapat 4 bus yang berbaris di depan Kantor yang siap mengantar kami ke tempat tujuan. Saat aku sedang bingung mau naik bus yang mana, sejenak perhatianku teralihkan akan mobil sport hitam yang berhenti di belakang bus terakhir. Keluar Rhino dan Bara dari dalamnya dengan pakaian casual yang membuat keduanya nampak keren.Tak kusangka Bara menghampiriku. "Kenapa belum masuk bus?""Bingung mau duduk di bus yang mana."Dapat kulihat Bara menoleh ke arah Rhino yang tengah terduduk di bagian depan mobil. "Kenapa bingung? Kekasih kamu sudah di sini. Rhino mungkin akan membiarkan kamu berada di mobil-nya."Tidak kusangka jika rumor yang penuh kebohongan itu telah sampai pada Bara. Rasanya diri ini semakin buruk karena yang harus memercayai kebohongan itu lebih dari satu atau dua orang."Pak Rhino datang ke sini bersama Pak Bara, jadi untuk pergi ke tempat acara pun kalian bisa bareng."Kulangkahkan kaki dengan masuk ke dalam salah bus secara acak. Aku berada di dalam bus yang lebih de
Menyenangkan sih menguasai satu Kamar sendiri tanpa merasa tak nyaman atau mengganggu orang lain. Tetapi, sedikit tak enak dengan yang lain. Rasanya seperti aku menggunakan kekuasaan sebagai "kekasih" Rhino. Kalau seperti ini caranya orang lain akan semakin percaya.Hufftthh. Kurebahkan diri ini di kasur yang sangat empuk dengan kaki yang menyentuh lantai. Menatap langit-langit Kamar sembari menghayal. Jika aku menjadi kekasih sungguhan Rhino, apa hidupku akan berubah? Jadi lebih berwarna? Treat like a queen?Dengan mirisnya bahwa realita tak seindah ekspektasi, aku tersenyum. Sudahlah, El. Sedikit pun jangan membayangkan menjadi seseorang yang spesial untuk Rhino. Sampai kapan pun di hati Rhino cuma ada Luna....Tak kusangka aku ketiduran dengan posisi kaki menyentuh lantai. Memang dalam perjalanan aku sedikit lelah dan mengantuk. Ketika aku baru mendudukkan diri, terdengar ketukan pintu."Pak Rhino menyuruh saya membawakan makan siang karena saat makan siang Bu Elea gak turun." L
Menurutku kalau bukan Bara atau kedua perempuan itu yang mentraktir seharusnya bayar masing-masing, tapi kenapa Rhino yang membayarnya?"Kita gak minta pajak jadian kok, Pak." Si rambut keriting gantung yang bicara dengan tersenyum ramah."Nikmati saja," balas Rhino dengan wajah datar.Aku merasa Rhino mentraktir seolah untuk berbagi kebahagiaan. Tapi, lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Rhino akan baik-baik saja jika Luna kembali ke dalam dekapannya."Seharusnya Bapak gak melakukan ini." Rasanya aku tidak ingin semua ini semakin jauh.Dari pada mencintai dalam diam lebih menyakitikan berpura-pura menjadi seseorang yang spesial dalam hidup orang yang kita cinta.Tanpa diduga Rhino yang duduk di sampingku, menyentuh salah satu tanganku yang berada di meja. Perlakuan Rhino sungguh ingin membuatku cepat mengakhiri masa jabatan sebagai Sekretaris ini. Lupakan bahwa setiap perlakukan manis Rhino sesungguhnya mampu meluluh lantakan ruang hati."Ingin dicintai secara ugal-ugalan seperti
Waktu memang cepat berlalu seperti perasaan Rhino. Tatapan yang semula merasa bersalah dan sedih kini telah tergantikan dengan wajah antusias dan bahagia. Bagaimana tidak bahagia jika seseorang yang ia harapkan datang, datang secepat itu."Gimana bisa kamu sampai di sini secepat itu? Aku belum lama kecelakaannya.""Kebetulan aku ada urusan di sini sejak dua hari lalu."Bukankah seharusnya aku menyingkir dari sana? Karena yang berhak tetap tinggal hanya si nyata. Tetap berada di sana hanya membuat hatiku semakin sakit. Tanpa kata aku pergi dari sana tanpa ada yang peduli.Dalam keheningan tenang malam di Rumah Sakit, aku berjalan menelusuri koridor tanpa ada satu manusia pun. Berjalan dengan langkah lamban, seolah aku tengah menikmati momen itu."Elea." Sontak suara itu membuatku menoleh ke arah belakang dan dapat kulihat sesosok lelaki bertubuh tinggi, atletis, dan berwajah sedikit arab. Jangan lupakan jubah Dokter itu.Melihat lelaki itu seperti akan menghampiriku, aku membalikan tub
Merasa bahwa aku akan mengeluarkan kata kata yang menyakitkan, aku memilih pergi dari sana, meninggalkan Ibu yang terlihat marah akan perlakuan yang kuberikan pada Laura. Melihat Ibu semarah itu rasanya seperti hanya Laura putri satu-satunya.Tidak sadarkah Ibu bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang melukaiku? Bagaimana bisa aku bersikap layaknya seorang Kakak jika Laura terasa asing untukku.Ketika hendak menaiki tangga, aku menoleh ke arah Laura yang tengah duduk di sofa panjang, menatap ke arahku. Ditemani Ayah yang duduk di sofa single membelakangi ku. Mungkin jika aku dan Ibu tak sejauh itu aku akan lebih mudah menerima Laura.Untuk melepas kefrustasian yang ada akhirnya di hari libur ini kuputuskan bertemu sahabat-ku satu-satunya. Janjian bertemu di salah satu Mall. Setelah memarkirkan mobil, aku melangkah masuk, mencari keberadaan sahabat-ku."Inna," panggilku saat melihat seseorang mirip Inna tengah berdiri menyamping, menatap ke arah bawah, di depan sana.Setelah bertemu
Tentu saja, sekali pun Rhino tak tahan dengan air mata ini, dia tak akan dalam sekejap menjadi lelaki termanis dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa Rhino bersikap manis padaku apa adanya jika perasaannya selalu terletak pada Luna.Kuterima sapu tangan yang diberikan Rhino. Menghapus air mata yang berusaha aku tahan untuk tidak keluar lagi, walau rasanya terus ingin menangis. Terlebih kesedihan ini bertambah setelah Rhino memberikan sapu tangannya. Kenapa lelaki seperhatian Rhino tidak jadi milikku saja.."Saya kira kamu gak tahu caranya menangis." Dengan kedua tangan yang melipat di depan dada serta bersandar pada sandaran kursi. Ekspresi datarnya itu seakan sedang mengejekku."Bapak kira saya apa? Sekuat-kuatnya manusia pasti pernah menangis. Bapak juga pasti pernah." Lalu, aku meneguk sedikit cairan berwarna merah dingin dalam gelas itu.Rhino pasti tidak tahu bahwa aku sedang membicarakannya waktu di Klub. Di mana mata Rhino sudah berkaca-kaca siap menangis. Sayangnya Rhino seperti
Memakan waktu tak sebentar, aku dan Bara terus menunggu sampai pintu Ruang Operasi terbuka. Kami menghampiri Dokter yang terlihat sudah tidak muda lagi. Bara bertanya bagaimana keadaan Rhino dan Dokter berkata jika operasinya berjalan lancar dan kami baru bisa menemui Rhino saat Rhino sudah dipindahkan ke Kamar rawat inap. Aku pun akhirnya bisa bernafas lega, sedikit...."Oh ya, Pak. Kakek sudah tahu tentang kondisi Pak Rhino?" Sembari menatap Bara yang berada di sampingku. Kami sedang memantau kondisi Rhino yang sudah dipindahkan."Saya belum memberitahunya karena takut tiba-tiba kondisi Kakek drop."Aku tahu sekali kekhawatiran Bara mengenai Kakek karena Kakek memiliki riwayat penyakit jantung jadi sebaiknya tidak memberikan kabar kurang baik. Apa lagi berita soal Cucu-nya yang sekarang terbaring lemah dengan beberapa goresan kecil pada wajah dan tangan kanan yang sementara waktu harus memakai gips.Kenapa kamu harus seperti ini lagi, Rhi? Jika kamu terus terluka seperti ini baga
Setelah meeting, Rhino memintaku menemaninya berjalan-jalan di Rumah Sakit menggunakan kursi roda. Tanpa merasa terbebani sedikit pun, aku mendorong kursi roda itu. Tanpa diduga, kebetulan sekali aku melihat sesosok yang aku kenal di depan sana. Seorang lelaki yang sedang berjalan berlawanan arah denganku."Kamu di sini," ucap Lino sembari menghentikan langkah kaki begitu juga aku."Kamu sendiri lagi apa di sini?""Salah satu karyawan saya baru saja masuk Rumah Sakit. Kalau kamu? Siapa yang sakit?" Dapat aku lihat Lino menoleh ke arah Rhino."Ini CEO tempat saya bekerja." Lalu, aku memperkenalkan Lino juga pada Rhino. Tentu hanya bilang jika Lino adalah teman."Saya mau balik ke Kamar!""Kalau gitu, saya duluan." Lalu, aku tersenyum."Iya." Seraya tersenyum.Sesampainya di Kamar di mana Rhino naik ke atas ranjang sendiri tanpa bantuanku, Rhino terus diam. Entah apa yang sedang terjadi. Mungkin memang sedang tidak ada yang ingin Rhino bicarakan. Aku memilih duduk di sofa panjang, menge
Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung