Waktu memang cepat berlalu seperti perasaan Rhino. Tatapan yang semula merasa bersalah dan sedih kini telah tergantikan dengan wajah antusias dan bahagia. Bagaimana tidak bahagia jika seseorang yang ia harapkan datang, datang secepat itu.
"Gimana bisa kamu sampai di sini secepat itu? Aku belum lama kecelakaannya." "Kebetulan aku ada urusan di sini sejak dua hari lalu." Bukankah seharusnya aku menyingkir dari sana? Karena yang berhak tetap tinggal hanya si nyata. Tetap berada di sana hanya membuat hatiku semakin sakit. Tanpa kata aku pergi dari sana tanpa ada yang peduli. Dalam keheningan tenang malam di Rumah Sakit, aku berjalan menelusuri koridor tanpa ada satu manusia pun. Berjalan dengan langkah lamban, seolah aku tengah menikmati momen itu. "Elea." Sontak suara itu membuatku menoleh ke arah belakang dan dapat kulihat sesosok lelaki bertubuh tinggi, atletis, dan berwajah sedikit arab. Jangan lupakan jubah Dokter itu. Melihat lelaki itu seperti akan menghampiriku, aku membalikan tubuh menghadapnya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya menemani Rhino." "Sudah ada yang menemaninya, Pak Zando." "Oh ya? Siapa?" Lelaki bernama Adzando yang tak lain adalah Sepupu Rhino nampak penasaran. "Bukankah sudah jelas?" "Gak mungkin! Untuk apa Luna di sini? Perempuan itu yang meninggalkan Rhino. Khawatir? Kalau gitu, seharusnya dia gak meninggalkan Rhino!" Benar. Berakhirnya hubungan Rhino dan Luna ada banyak yang kecewa. Yang marah pun bukan hanya Rhino. Melihat Rhino yang suka menghabiskan waktu di Klub hanya untuk membuat dirinya mabuk agar sejenak melupakan masalah yang ada, siapa yang tidak sedih. "Seseorang yang sudah lama berpisah pun masih memiliki rasa khawatir. Jadi, khawatir itu gak selalu harus bersama. Hanya perasaan sesaat karena pernah bersama." "Sepertinya perkataan itu dari dalam hati." Lalu, melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah menggoda. Tentu aku tahu apa yang berada dalam otak Zando sekarang. "Terserah Pak Zando mau berpikiran apa. Saya permisi, sudah harus pulang." . . . Setelah mandi dan sudah berpakaian siap ke Kantor aku baru menyadari ada yang hilang dari tempat tidur. Boneka kelinci pink, tidak ada! Ke mana perginya?! Sontak aku langsung mencari ke setiap sudut Kamar dan tidak juga kutemukan. Mendudukkan diri di tepi ranjang dengan wajah lesu dan mulai sedih memikirkan hari-hari tanpa kelinci pink ku. Tok tok tok Dengan wajah kusut aku membuka pintu, dan nampak Ayah yang masih berpakaian santai. "Ayah pikir ada yang salah kamu belum juga turun." "Boneka pink aku gak ada, yah." Spontan memajukan bibir. Sebelum Ayah berbicara muncul sesosok anak kecil perempuan dengan rambut hitam diikat dua (kanan-kiri). Atensiku pun langsung tertuju pada boneka kelinci pink dalam dekapan anak kecil itu. Bagaimana bisa anak itu memiliki boneka ku?! Tidak mungkin jika kami memiliki boneka yang sama, terlebih di saat boneka ku tidak ada. "Ngomong-ngomong, ini anak siapa? Kenapa pagi-pagi seperti ini ada di Rumah kita?" Perhatianku pun teralihkan sedikit pada anak itu yang baru pertama kali kulihat. "Kamu benar gak kenal?" Tentu saja aku langsung menggelengkan kepala. "Namanya Laura. Masih gak kenal?" Kedua kalinya aku menggelengkan kepala. Melihat Ayah yang bertanya lebih dari sekali rasanya seperti aku mungkin mengenalnya. Tapi, dalam ingatan ini tak ada wajah anak itu. "Adik kamu, El. Ibu kamu dan suaminya ada urusan di luar kota jadi menitipkan Laura di sini." Mendengar hal itu tentu aku mematung dengan mulut yang tertutup rapat. Aku baru ingat jika beberapa tahun lalu aku mendapat kabar jika Ibu melahirkan seorang putri dari suami ke-tiganya. Hanya sekedar foto baru lahir yang pernah kulihat, tidak pernah bertemu secara langsung sampai anak itu sudah tumbuh menjadi anak kecil yang nampak cantik. Aku juga lupa akan namanya karena aku segitu tidak pedulinya dengan Adik-ku itu. Adik yang tidak pernah aku anggap ada. Tidak ada yang ingin aku bicarakan mengenai Laura, aku kembali fokus pada kelinci pink-ku. Berjongkok di hadapan Laura yang menatap datar. "Boleh Kakak minta bonekanya?" Laura menggelengkan kepala sembari mempererat pelukan pada kelinci pink. "Tapi, Laura. Itu boneka Kakak." Kusodorkan salah satu tanganku namun yang dilakukan Laura malah bersembunyi di belakang Ayah. "Biarkan Laura memilikinya, El. Nanti Ayah belikan yang baru." Perkataan Ayah sontak membuatku marah. Tanpa tahu betapa berartinya kelinci pink itu untukku, Ayah dengan mudahnya berkata seperti itu. Berdiri dari jongkok aku tatap Ayah. "Elea gak butuh yang baru, yah!" "Kenapa?" "Kelinci pink itu sangat berarti buat Elea. Bisa dibilang boneka kelinci itu penyembuh setiap luka yang pernah ada." Ayah mungkin tidak mengerti. Walau sama tapi nilainya berbeda. Kelinci pink itu telah menemani diri ini melewati masa-masa sulit, lalu sekarang aku dipaksa unuk merelakannya? Setelah pernah terpaksa merelakan Ibu memiliki kehidupan baru tanpa adanya aku dan Ayah di hidupnya, kini aku harus belajar melepas lagi? Tidak cukupkah aku pernah sehancur itu... Layaknya masih anak kecil aku mengambil paksa kelinci pink dari Laura yang menangis. Menutup pintu, berusaha tidak peduli tangisan yang mengganggu itu. Sudah terduduk di tepi ranjang, kutatap kelinci pink itu. "Aku gak bisa kehilangan kamu, jea." Ya. Boneka kelinci pink itu aku beri nama jea. Jea hadir saat aku baru masuk Sekolah Menengah Atas. Saat semester kedua dimulai aku mengalami masa-masa sulit. Pernah sehancur itu karena perpisahan Ayah dan Ibu. Bahkan Ibu pergi begitu saja tanpa berniat mempertahanku di sampingnya. Menyerahkan aku pada Ayah sepenuhnya. Hari itu saat pikiran tidak fokus pada setiap pelajaran karena dikuasai rasa sedih yang menyiksa, sepulang Sekolah aku mampir ke loker. Ketika membuka loker aku menemukan jea dengan selembar note. "Apa pun yang terjadi, kamu bisa melaluinya. Kalau ada orang yang gak peduli sama kamu pasti ada yang memperhatikan kamu. Kalau ada yang gak sayang sama kamu pasti ada yang mencintai kamu sepenuh hati" Semenjak itu aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan setiap masalah yang ada. Seperti apa yang sedang aku alami saat ini. Dari pada menjadi "kekasih pura-pura" aku lebih memilih hanya rekan kerja bagi Rhino. *** Ketika aku berjalan menuruni satu persatu anak tangga dengan pakaian santai siang itu dapat aku lihat Ibu datang untuk menjemput Laura. Manik mata kami sempat bertemu tetapi aku mengabaikan. Seolah tidak pernah ada wanita itu di Rumah ini saat ini. "Ada yang mau Ibu bicarakan." Setelah menuang air dingin ke dalam gelas, kukembalikan botol ke dalam kulkas. Meminum sedikit air, menaruh dekat wastafel, berjalan melewati Ibu. "Eleanor!" Dengan nada sedikit tidak santai. Langkahku terhenti karena mendadak ingin mengatakan sesuatu. "Gimana rasanya diabaikan?" "Laura itu Adik kamu! Sudah sepatutnya sebagai Kakak, kamu mengalah." Setelah tidak ada obrolan bertahun-tahun, kini datang dengan menuntut aku bersikap layaknya seorang Kakak?! Bagaimana bisa seseorang sejahat dan seegois itu...Merasa bahwa aku akan mengeluarkan kata kata yang menyakitkan, aku memilih pergi dari sana, meninggalkan Ibu yang terlihat marah akan perlakuan yang kuberikan pada Laura. Melihat Ibu semarah itu rasanya seperti hanya Laura putri satu-satunya.Tidak sadarkah Ibu bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang melukaiku? Bagaimana bisa aku bersikap layaknya seorang Kakak jika Laura terasa asing untukku.Ketika hendak menaiki tangga, aku menoleh ke arah Laura yang tengah duduk di sofa panjang, menatap ke arahku. Ditemani Ayah yang duduk di sofa single membelakangi ku. Mungkin jika aku dan Ibu tak sejauh itu aku akan lebih mudah menerima Laura.Untuk melepas kefrustasian yang ada akhirnya di hari libur ini kuputuskan bertemu sahabat-ku satu-satunya. Janjian bertemu di salah satu Mall. Setelah memarkirkan mobil, aku melangkah masuk, mencari keberadaan sahabat-ku."Inna," panggilku saat melihat seseorang mirip Inna tengah berdiri menyamping, menatap ke arah bawah, di depan sana.Setelah bertemu
Tentu saja, sekali pun Rhino tak tahan dengan air mata ini, dia tak akan dalam sekejap menjadi lelaki termanis dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa Rhino bersikap manis padaku apa adanya jika perasaannya selalu terletak pada Luna.Kuterima sapu tangan yang diberikan Rhino. Menghapus air mata yang berusaha aku tahan untuk tidak keluar lagi, walau rasanya terus ingin menangis. Terlebih kesedihan ini bertambah setelah Rhino memberikan sapu tangannya. Kenapa lelaki seperhatian Rhino tidak jadi milikku saja.."Saya kira kamu gak tahu caranya menangis." Dengan kedua tangan yang melipat di depan dada serta bersandar pada sandaran kursi. Ekspresi datarnya itu seakan sedang mengejekku."Bapak kira saya apa? Sekuat-kuatnya manusia pasti pernah menangis. Bapak juga pasti pernah." Lalu, aku meneguk sedikit cairan berwarna merah dingin dalam gelas itu.Rhino pasti tidak tahu bahwa aku sedang membicarakannya waktu di Klub. Di mana mata Rhino sudah berkaca-kaca siap menangis. Sayangnya Rhino seperti
Memakan waktu tak sebentar, aku dan Bara terus menunggu sampai pintu Ruang Operasi terbuka. Kami menghampiri Dokter yang terlihat sudah tidak muda lagi. Bara bertanya bagaimana keadaan Rhino dan Dokter berkata jika operasinya berjalan lancar dan kami baru bisa menemui Rhino saat Rhino sudah dipindahkan ke Kamar rawat inap. Aku pun akhirnya bisa bernafas lega, sedikit...."Oh ya, Pak. Kakek sudah tahu tentang kondisi Pak Rhino?" Sembari menatap Bara yang berada di sampingku. Kami sedang memantau kondisi Rhino yang sudah dipindahkan."Saya belum memberitahunya karena takut tiba-tiba kondisi Kakek drop."Aku tahu sekali kekhawatiran Bara mengenai Kakek karena Kakek memiliki riwayat penyakit jantung jadi sebaiknya tidak memberikan kabar kurang baik. Apa lagi berita soal Cucu-nya yang sekarang terbaring lemah dengan beberapa goresan kecil pada wajah dan tangan kanan yang sementara waktu harus memakai gips.Kenapa kamu harus seperti ini lagi, Rhi? Jika kamu terus terluka seperti ini baga
Setelah meeting, Rhino memintaku menemaninya berjalan-jalan di Rumah Sakit menggunakan kursi roda. Tanpa merasa terbebani sedikit pun, aku mendorong kursi roda itu. Tanpa diduga, kebetulan sekali aku melihat sesosok yang aku kenal di depan sana. Seorang lelaki yang sedang berjalan berlawanan arah denganku."Kamu di sini," ucap Lino sembari menghentikan langkah kaki begitu juga aku."Kamu sendiri lagi apa di sini?""Salah satu karyawan saya baru saja masuk Rumah Sakit. Kalau kamu? Siapa yang sakit?" Dapat aku lihat Lino menoleh ke arah Rhino."Ini CEO tempat saya bekerja." Lalu, aku memperkenalkan Lino juga pada Rhino. Tentu hanya bilang jika Lino adalah teman."Saya mau balik ke Kamar!""Kalau gitu, saya duluan." Lalu, aku tersenyum."Iya." Seraya tersenyum.Sesampainya di Kamar di mana Rhino naik ke atas ranjang sendiri tanpa bantuanku, Rhino terus diam. Entah apa yang sedang terjadi. Mungkin memang sedang tidak ada yang ingin Rhino bicarakan. Aku memilih duduk di sofa panjang, menge
Lebih tepatnya sesuatu yang aku butuhkan. Dengan menyuruhku duduk di kursi tepat di samping brankar, Rhino sembari duduk sedikit menundukkan kepala ke arahku yang sejujurnya sedang panas-dingin berkat perhatian yang sedang Rhino berikan. Bukannya kekeh mengobati luka sendiri, aku membiarkan Rhino melakukannya untukku.Dengan lembut Rhino mengoleskan sebuah salep pada ujung bibirku yang terasa lebih perih terkena obat. Rasanya tidak bisa bernafas dengan benar. Manusia seperfect Rhino apa mungkin bisa menjadi milikku? Biasanya si perfect akan berakhir dengan si perfect juga."Lain kali jangan biarkan diri kamu terluka," ucap Rhino selesai mengobati lukaku.Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas. Aku masih tidak paham kenapa Luna bisa meninggalkan Rhino. Lelaki sebaik dan seperhatian Rhino seharusnya tidak disia-siakan. Tak ada yang tahu pasti alasan retaknya hubungan mereka. Hanya beberapa rumor seperti 'Luna sudah tidak cinta Rhino, Rhino yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Luna
Akhirnya aku membiarkan Rhino ikut. Saat dalam perjalanan aku bingung sendiri mau mencari ke mana karena Jakarta luas. Tanpa meminta bantuan Rhino, telinga ini mendengar bahwa Rhino meminta seseorang memeriksa semua cctv yang ada mulai dari depan Rumah Ibu, melalui telepon. Pantas saja Rhino sempat bertanya alamat Rumah Ibu."Kamu tenang saja kita pasti akan menemukannya." Entah kenapa kalimat itu sedikit menenangkan.Tidak tahu mau ke mana aku pun mengitari jalanan dekat Rumah. Siapa tahu bertemu Laura yang mungkin berjalan kaki. Sudah sekitar setengah jam mengendarai mobil tidak juga aku melihat Laura sampai Rhino memintaku berhenti depan Minimarket.Aku hanya diam di mobil sementara Rhino masuk ke dalam. Jika aku datang mungkin Laura tidak akan menghilang, bukan? Rasanya ini semua salahku.Rhino masuk dengan membawa kantong kresek kecil yang dia berikan padaku. Dapat aku lihat isinya hanya satu kaleng kopi dan satu botol teh kesukaanku. "Saya gak bisa membukanya, kamu bisa bukain."
Sedang ingin masak jadi makan malam hari ini makan masakanku. Rhino membantuku menata meja, setelahnya kami duduk di kursi, berhadapan. Dapat aku lihat Rhino yang memperhatikan setiap hidangan di meja. Akankah Rhino menyukainya? Karena ini kali pertama aku memasak untuk Rhino. Jika masakanku tidak sesuai lidahnya, tidak sampai dipecat kan?Kuambil piring yang berada di hadapan Rhino. Menyendok nasi dengan porsi sedang. "Bapak mau yang mana? Biar saya ambilkan.""Semuanya, tapi sedikit-sedikit saja."Aku pun mengambilkan perkedel kentang, telur gulung dengan saus pedas, dan semangkuk sup ayam. Kuperhatikan Rhino yang makan dengan perlahan karena kurang nyaman menggunakan tangan kiri. "Gimana?""Enak."Mendengar pujian itu sontak aku tersenyum dan mulai menyendok makananku sendiri.Lebih banyak diam saat makan, aku dan Rhino pun cepat menyelesaikan acara makan kami. Bukannya istirahat, Rhino justru berdiri di sampingku yang sibuk mencuci piring bekas makan kami. "Kalau tangan saya gak
Bukan merasa senang, aku justru kebingungan. Harus menerima perintah Rhino atau tidak. Jika aku menuruti masalah aku yang hanya 'kekasih palsu' tidak akan berakhir. Bukankah sudah waktunya aku tidak mengikuti semua mau Rhino? Terlebih yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Arghhh, tidak tahulah...Aku pun memilih tidur di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh dengan jea yang berada dalam pelukan.***Seperti biasa, selesai makan dan sudah berpakaian rapi aku membantu Rhino memakai dasi. Berada dalam posisi seperti itu sungguh membuat hati ini tak menentu. Adegan memakaikan dasi biasanya aku hanya melihat di drama dan saat ini semenjak tangan Rhino terluka, aku melakukannya. Di kehidupan nyata seperti suami-istri, bukan? Mikir apa sih kamu, El."Sehabis kerja, kita akan ke suatu tempat jadi saya harap kamu gak memiliki janji dengan siapa pun."Aku hanya diam di mana Rhino pasti tahu bahwa itu tanda aku menuruti perkataannya. Selesai memakaikan dasi, aku langsung melangkah per
Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung