Sudah terdapat 4 bus yang berbaris di depan Kantor yang siap mengantar kami ke tempat tujuan. Saat aku sedang bingung mau naik bus yang mana, sejenak perhatianku teralihkan akan mobil sport hitam yang berhenti di belakang bus terakhir. Keluar Rhino dan Bara dari dalamnya dengan pakaian casual yang membuat keduanya nampak keren.
Tak kusangka Bara menghampiriku. "Kenapa belum masuk bus?" "Bingung mau duduk di bus yang mana." Dapat kulihat Bara menoleh ke arah Rhino yang tengah terduduk di bagian depan mobil. "Kenapa bingung? Kekasih kamu sudah di sini. Rhino mungkin akan membiarkan kamu berada di mobil-nya." Tidak kusangka jika rumor yang penuh kebohongan itu telah sampai pada Bara. Rasanya diri ini semakin buruk karena yang harus memercayai kebohongan itu lebih dari satu atau dua orang. "Pak Rhino datang ke sini bersama Pak Bara, jadi untuk pergi ke tempat acara pun kalian bisa bareng." Kulangkahkan kaki dengan masuk ke dalam salah bus secara acak. Aku berada di dalam bus yang lebih dekat dengan waktu aku berdiri yaitu bus dua. Memilih duduk di dekat jendela dengan bangku untuk dua orang. Walau beberapa kali pernah naik mobil sport Rhino, rasanya untuk saat ini bukan pilihan yang baik. Berada di mobil yang sama dengan Rhino di waktu-waktu ini hanya akan memperkuat bahwa kami benar tengah menjalin hubungan. Kalau boleh jujur sesungguhnya aku menyukai saat bersama Rhino tetapi aku tidak ingin kebohongan ini terus berlanjut. Orang lain mungkin akan berpikir betapa diuntungkannya aku akan kebohongan yang dilakukan Rhino, tapi sayangnya aku lebih memilih menjadi rekan kerjanya dari pada "kekasih palsu". Kisah cinta dalam diam ini tak perlu berakhir indah. Perjalanan yang semula damai tiba-tiba orang-orang yang berada dalam bus, histeris. Bahkan detak jantung ku pun sudah berada dalam batas normal. Aku yang duduk di samping jendela pun dapat melihat dengan jelas jurang di bawah sana. Nafas ku pun sudah mulai beraturan tetapi tidak dengan jantungku. Hampir saja bus yang aku tumpangi jatuh ke jurang. "Elea." Mendengar ada yang memanggil sontak aku menoleh ke sumber suara di mana Rhino sudah berdiri di samping teman sebangku yang tidak kukenal. "Iya?" "Kamu gakpapa? Gak ada yang luka kan?" Wajah itu... Rhino sungguh mengkhawatirkanku? Tentu saja, El. Kamu itu Sekretaris yang tidak ingin Rhino melepasnya. Rhino khawatir tak lebih dari atasan yang coba memperhatikan bawahannya. Agar aku tidak jadi mengundurkan diri, bukan? "Saya baik-baik saja." Tanpa diduga Rhino menarik salah satu tanganku dengan lembut. Membawaku entah ke mana, menjadikanku pusat perhatian orang-orang. Sampainya di depan mobil Rhino, lelaki itu melepas tanganku. "Ada baiknya kamu pergi ke tempat acara bersama Rhino," ucap Bara yang wajahnya juga terlihat khawatir. Apa yang aku katakan? Aku hanya mengiyakan saran yang mengganggu itu. Tentu saja mengganggu karena berduaan dengan Rhino terlebih dalam keadaan bukan sedang sibuk mengerjakan pekerjaan, mengganggu kondisi jantung. Jika sedang bekerja kan fokus ku tertuju pada tugas yang ada, bukannya memperhatikan Rhino. Jadi, jantungku akan baik-baik saja, namun kondisi seperti ini jantungku kondisinya kurang baik. Sudah tidak beres dari saat Rhino memasang wajah khawatir, jantung dan hati ini. Tenang, El. Jangan terlalu terbawa suasana. Jangan juga terlalu bahagia karena perjalanan ini berada berdua dengan Rhino. . . . Setelah perjalanan yang sudah lumayan lama itu mobil Rhino berhenti sendirian tidak dengan bus bus di depan sana yang terus melaju. "Ada apa, Pak?" Sembari menatap Rhino. "Ada yang perlu saya beli." Lalu, keluar dari dalam mobil. Kuperhatikan Rhino masuk ke dalam Minimarket yang berada di tepi jalan. Entah apa yang mau dibelinya. Selama menunggu Rhino yang kulakukan adalah memperhatikan kendaraan roda empat dan dua orang yang berlalu lalang. Tidak membutuhkan waktu lama Rhino kembali dengan kantong kresek putih yang diberikan padaku. Aku lihat isinya terdapat satu kaleng kopi yang berembun tanda dingin, satu botol teh rasa blackcurrant yang juga dingin serta dua bungkus roti beda rasa. Keju dan srikaya. "Perjalanannya masih sedikit jauh jadi kamu bisa makan roti itu dulu. Siapa tahu mendadak kamu lapar." Sembari menatapku. Aku pun hanya diam dan Rhino menjalankan mobil. Kuambil bungkus roti rasa srikaya karena keju adalah kesukaan Rhino. Tidak kusangka Rhino masih ingat rasa roti kemasan kesukaanku. Bahkan teh kesukaanku. Aku kira Rhino yang jarang sekali membelikan roti kemasan dan teh botolan itu lupa akan rasa favorite-ku. Lama kelamaan rasanya tidak enak makan sendirian, aku pun membuka bungkus roti keju itu. Menyodorkan roti tepat di depan wajah Rhino. Rhino menerima niat baikku, digigitnya roti itu dalam ukuran lumayan besar. Perjalanan yang cukup lama itu akhirnya membawa kami pada tempat tujuan di mana dapat kulihat sebuah Vila bercat putih yang sangat luas di depan sana. Sungguh penginapan yang bagus. Aku dan Rhino berjalan ke arah Vila yang di depannya ada beberapa orang. Orang-orang yang tak lain pegawai Rhino. Saat kami sudah dekat dengan mereka, orang-orang itu menyapa Rhino dan aku. Namun, dari tatapan mata orang-orang itu terlihat ada yang beda. Mungkin saja mereka menatapku bukan lagi sebagai Sekretaris Rhino melainkan "kekasih" Rhino. Sampainya di dalam aku takjub dengan suasana Vila yang nampak mewah itu. Aku rasa ini bukan Vila biasa. Mungkinkah Vila keluarga? Tapi, keluarga siapa? "Sampai juga kalian," kata Bara sembari menghampiri kami. Tidak sampai di situ Bara berbicara, Bara mengatakan bahwa Vila tetap sama seperti terakhir ia menginap. Bara pernah menginap? Apa mungkin Vila milik Bara? Secara Bara kan dari kalangan atas. "Vila ini milik Pak Bara?" Akhirnya aku pun bertanya dari pada memilih penasaran. Bara menggelengkan kepala dengan wajah datar lalu menunjuk ke arah Rhino. Maksudnya? Vila itu milik Rhino? Sepertinya. Kekayaaan keluarga Rhino kan tidak main-main. "Gimana menurut kamu Vila ini?" tanya Bara. "Luar bisa sekali." Lalu, tersenyum. "Kelak Vila ini akan menjadi Vila kamu loh." Aku yang mendengar itu terkekeh kecil. Tawa yang kupaksakan agar tidak terlalu serius. Bagaimana mungkin Vila itu akan menjadi milikku sedang aku bukan siapa-siapa. Tenang, El. Bara kan tahunya kamu bagian dari dunia Rhino. Dari pada mendengar tentang aku sebagai "kekasih" Rhino lebih dalam lagi, aku memutuskan untuk segera melarikan diri. Menarik koper, mencari Kamar yang aku tidak tahu di mana letak Kamar yang akan aku gunakan. Sampai datang salah satu karyawati yang katanya akan mengantarkanku pada Kamar yang akan kutinggali selama di sini. Saat masuk ke dalam Kamar, dapat kulihat Kamar yang luas dengan ranjang king size. "Siapa teman sekamar saya?" "Pak Rhino bilang Bu Elea akan menggunakannya sendiri." Hah?! Sendiri? Saat yang lain berbagi Kamar? Kenapa?Menyenangkan sih menguasai satu Kamar sendiri tanpa merasa tak nyaman atau mengganggu orang lain. Tetapi, sedikit tak enak dengan yang lain. Rasanya seperti aku menggunakan kekuasaan sebagai "kekasih" Rhino. Kalau seperti ini caranya orang lain akan semakin percaya.Hufftthh. Kurebahkan diri ini di kasur yang sangat empuk dengan kaki yang menyentuh lantai. Menatap langit-langit Kamar sembari menghayal. Jika aku menjadi kekasih sungguhan Rhino, apa hidupku akan berubah? Jadi lebih berwarna? Treat like a queen?Dengan mirisnya bahwa realita tak seindah ekspektasi, aku tersenyum. Sudahlah, El. Sedikit pun jangan membayangkan menjadi seseorang yang spesial untuk Rhino. Sampai kapan pun di hati Rhino cuma ada Luna....Tak kusangka aku ketiduran dengan posisi kaki menyentuh lantai. Memang dalam perjalanan aku sedikit lelah dan mengantuk. Ketika aku baru mendudukkan diri, terdengar ketukan pintu."Pak Rhino menyuruh saya membawakan makan siang karena saat makan siang Bu Elea gak turun." L
Menurutku kalau bukan Bara atau kedua perempuan itu yang mentraktir seharusnya bayar masing-masing, tapi kenapa Rhino yang membayarnya?"Kita gak minta pajak jadian kok, Pak." Si rambut keriting gantung yang bicara dengan tersenyum ramah."Nikmati saja," balas Rhino dengan wajah datar.Aku merasa Rhino mentraktir seolah untuk berbagi kebahagiaan. Tapi, lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Rhino akan baik-baik saja jika Luna kembali ke dalam dekapannya."Seharusnya Bapak gak melakukan ini." Rasanya aku tidak ingin semua ini semakin jauh.Dari pada mencintai dalam diam lebih menyakitikan berpura-pura menjadi seseorang yang spesial dalam hidup orang yang kita cinta.Tanpa diduga Rhino yang duduk di sampingku, menyentuh salah satu tanganku yang berada di meja. Perlakuan Rhino sungguh ingin membuatku cepat mengakhiri masa jabatan sebagai Sekretaris ini. Lupakan bahwa setiap perlakukan manis Rhino sesungguhnya mampu meluluh lantakan ruang hati."Ingin dicintai secara ugal-ugalan seperti
Waktu memang cepat berlalu seperti perasaan Rhino. Tatapan yang semula merasa bersalah dan sedih kini telah tergantikan dengan wajah antusias dan bahagia. Bagaimana tidak bahagia jika seseorang yang ia harapkan datang, datang secepat itu."Gimana bisa kamu sampai di sini secepat itu? Aku belum lama kecelakaannya.""Kebetulan aku ada urusan di sini sejak dua hari lalu."Bukankah seharusnya aku menyingkir dari sana? Karena yang berhak tetap tinggal hanya si nyata. Tetap berada di sana hanya membuat hatiku semakin sakit. Tanpa kata aku pergi dari sana tanpa ada yang peduli.Dalam keheningan tenang malam di Rumah Sakit, aku berjalan menelusuri koridor tanpa ada satu manusia pun. Berjalan dengan langkah lamban, seolah aku tengah menikmati momen itu."Elea." Sontak suara itu membuatku menoleh ke arah belakang dan dapat kulihat sesosok lelaki bertubuh tinggi, atletis, dan berwajah sedikit arab. Jangan lupakan jubah Dokter itu.Melihat lelaki itu seperti akan menghampiriku, aku membalikan tub
Merasa bahwa aku akan mengeluarkan kata kata yang menyakitkan, aku memilih pergi dari sana, meninggalkan Ibu yang terlihat marah akan perlakuan yang kuberikan pada Laura. Melihat Ibu semarah itu rasanya seperti hanya Laura putri satu-satunya.Tidak sadarkah Ibu bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang melukaiku? Bagaimana bisa aku bersikap layaknya seorang Kakak jika Laura terasa asing untukku.Ketika hendak menaiki tangga, aku menoleh ke arah Laura yang tengah duduk di sofa panjang, menatap ke arahku. Ditemani Ayah yang duduk di sofa single membelakangi ku. Mungkin jika aku dan Ibu tak sejauh itu aku akan lebih mudah menerima Laura.Untuk melepas kefrustasian yang ada akhirnya di hari libur ini kuputuskan bertemu sahabat-ku satu-satunya. Janjian bertemu di salah satu Mall. Setelah memarkirkan mobil, aku melangkah masuk, mencari keberadaan sahabat-ku."Inna," panggilku saat melihat seseorang mirip Inna tengah berdiri menyamping, menatap ke arah bawah, di depan sana.Setelah bertemu
Tentu saja, sekali pun Rhino tak tahan dengan air mata ini, dia tak akan dalam sekejap menjadi lelaki termanis dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa Rhino bersikap manis padaku apa adanya jika perasaannya selalu terletak pada Luna.Kuterima sapu tangan yang diberikan Rhino. Menghapus air mata yang berusaha aku tahan untuk tidak keluar lagi, walau rasanya terus ingin menangis. Terlebih kesedihan ini bertambah setelah Rhino memberikan sapu tangannya. Kenapa lelaki seperhatian Rhino tidak jadi milikku saja.."Saya kira kamu gak tahu caranya menangis." Dengan kedua tangan yang melipat di depan dada serta bersandar pada sandaran kursi. Ekspresi datarnya itu seakan sedang mengejekku."Bapak kira saya apa? Sekuat-kuatnya manusia pasti pernah menangis. Bapak juga pasti pernah." Lalu, aku meneguk sedikit cairan berwarna merah dingin dalam gelas itu.Rhino pasti tidak tahu bahwa aku sedang membicarakannya waktu di Klub. Di mana mata Rhino sudah berkaca-kaca siap menangis. Sayangnya Rhino seperti
Memakan waktu tak sebentar, aku dan Bara terus menunggu sampai pintu Ruang Operasi terbuka. Kami menghampiri Dokter yang terlihat sudah tidak muda lagi. Bara bertanya bagaimana keadaan Rhino dan Dokter berkata jika operasinya berjalan lancar dan kami baru bisa menemui Rhino saat Rhino sudah dipindahkan ke Kamar rawat inap. Aku pun akhirnya bisa bernafas lega, sedikit...."Oh ya, Pak. Kakek sudah tahu tentang kondisi Pak Rhino?" Sembari menatap Bara yang berada di sampingku. Kami sedang memantau kondisi Rhino yang sudah dipindahkan."Saya belum memberitahunya karena takut tiba-tiba kondisi Kakek drop."Aku tahu sekali kekhawatiran Bara mengenai Kakek karena Kakek memiliki riwayat penyakit jantung jadi sebaiknya tidak memberikan kabar kurang baik. Apa lagi berita soal Cucu-nya yang sekarang terbaring lemah dengan beberapa goresan kecil pada wajah dan tangan kanan yang sementara waktu harus memakai gips.Kenapa kamu harus seperti ini lagi, Rhi? Jika kamu terus terluka seperti ini baga
Setelah meeting, Rhino memintaku menemaninya berjalan-jalan di Rumah Sakit menggunakan kursi roda. Tanpa merasa terbebani sedikit pun, aku mendorong kursi roda itu. Tanpa diduga, kebetulan sekali aku melihat sesosok yang aku kenal di depan sana. Seorang lelaki yang sedang berjalan berlawanan arah denganku."Kamu di sini," ucap Lino sembari menghentikan langkah kaki begitu juga aku."Kamu sendiri lagi apa di sini?""Salah satu karyawan saya baru saja masuk Rumah Sakit. Kalau kamu? Siapa yang sakit?" Dapat aku lihat Lino menoleh ke arah Rhino."Ini CEO tempat saya bekerja." Lalu, aku memperkenalkan Lino juga pada Rhino. Tentu hanya bilang jika Lino adalah teman."Saya mau balik ke Kamar!""Kalau gitu, saya duluan." Lalu, aku tersenyum."Iya." Seraya tersenyum.Sesampainya di Kamar di mana Rhino naik ke atas ranjang sendiri tanpa bantuanku, Rhino terus diam. Entah apa yang sedang terjadi. Mungkin memang sedang tidak ada yang ingin Rhino bicarakan. Aku memilih duduk di sofa panjang, menge
Lebih tepatnya sesuatu yang aku butuhkan. Dengan menyuruhku duduk di kursi tepat di samping brankar, Rhino sembari duduk sedikit menundukkan kepala ke arahku yang sejujurnya sedang panas-dingin berkat perhatian yang sedang Rhino berikan. Bukannya kekeh mengobati luka sendiri, aku membiarkan Rhino melakukannya untukku.Dengan lembut Rhino mengoleskan sebuah salep pada ujung bibirku yang terasa lebih perih terkena obat. Rasanya tidak bisa bernafas dengan benar. Manusia seperfect Rhino apa mungkin bisa menjadi milikku? Biasanya si perfect akan berakhir dengan si perfect juga."Lain kali jangan biarkan diri kamu terluka," ucap Rhino selesai mengobati lukaku.Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas. Aku masih tidak paham kenapa Luna bisa meninggalkan Rhino. Lelaki sebaik dan seperhatian Rhino seharusnya tidak disia-siakan. Tak ada yang tahu pasti alasan retaknya hubungan mereka. Hanya beberapa rumor seperti 'Luna sudah tidak cinta Rhino, Rhino yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Luna
Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung