Menyenangkan sih menguasai satu Kamar sendiri tanpa merasa tak nyaman atau mengganggu orang lain. Tetapi, sedikit tak enak dengan yang lain. Rasanya seperti aku menggunakan kekuasaan sebagai "kekasih" Rhino. Kalau seperti ini caranya orang lain akan semakin percaya.
Hufftthh. Kurebahkan diri ini di kasur yang sangat empuk dengan kaki yang menyentuh lantai. Menatap langit-langit Kamar sembari menghayal. Jika aku menjadi kekasih sungguhan Rhino, apa hidupku akan berubah? Jadi lebih berwarna? Treat like a queen? Dengan mirisnya bahwa realita tak seindah ekspektasi, aku tersenyum. Sudahlah, El. Sedikit pun jangan membayangkan menjadi seseorang yang spesial untuk Rhino. Sampai kapan pun di hati Rhino cuma ada Luna. . . . Tak kusangka aku ketiduran dengan posisi kaki menyentuh lantai. Memang dalam perjalanan aku sedikit lelah dan mengantuk. Ketika aku baru mendudukkan diri, terdengar ketukan pintu. "Pak Rhino menyuruh saya membawakan makan siang karena saat makan siang Bu Elea gak turun." Lalu, menyodorkan nampan di mana terdapat segelas air putih serta piring yang sudah lengkap dengan nasi dan lauknya. "Iya, saya ketiduran." Kuterima nampan itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Setelah menutup pintu, kutaruh nampan di atas nakas. Mengambil piring makanan lalu mendudukkan diri. Saat baru makan satu suap, terderang dering handphone. Sontak aku segera mengalihkan perhatian pada handphone yang kuambil dari dalam tas. Terdapat panggilan masuk dari Rhino. Tentu saja aku langsung menerima panggilan itu. "Iya, Pak? Ada yang bisa bantu?" "Ke Kamar saya sekarang!" Tanpa bertanya untuk apa aku ke Kamar-nya, aku menurut saja. Meninggalkan makanan yang baru dimakan sedikit. Padahal lapar tapi aku lebih memilih menahannya untuk segera menemui Rhino. Setelah bertanya ke beberapa orang di mana letak Kamar Rhino, aku pun sampai di depan pintu Kamar yang segera kuketuk. Tidak membutuhkan waktu pintu terbuka. Melangkah masuk ke Kamar yang luasnya sama dengan Kamar-ku. Bahkan ukuran kasurnya pun mirip. Rhino yang sudah duduk di sofa panjang, menyuruhku duduk. Kududukkan diri ini di sofa panjang juga tentu dengan jarak yang cukup terlihat. "Karena semua orang tahunya kita sedang menjalin hubungan, berarti kita harus layaknya sepasang kekasih." Dengan tangan melipat di depan dada serta menatap lurus ke depan. "Layaknya sepasang kekasih, gimana? Saya gak mengerti." Aku sungguh tidak mengerti maksud Rhino. Rhino menatapku. "Bukankah kebanyakan kekasih suka melakukan skinship? Berarti kita perlu melakukannya." Skinship? Seperti berpegangan tangan? Bersandar di dada atau pundak? Berpelukan juga? Membayangkannya membuatku merinding. Bukan karena tidak suka melakukan hal tersebut dengan Rhino melainkan bisa-bisanya aku menjadi berharap bisa menjadi "kekasih" sungguhan. Sesuatu yang nyata bukan palsu. Pada akhirnya aku hanya mengatakan bahwa itu semua terserah Rhino, aku mengikut saja. Sebelum melangkah pergi dari sana sialnya perutku bunyi di saat tak tepat. Memalukan! "Kamu belum makan juga?" "Lagi makan, terus Bapak manggil jadi saya tinggal makannya." "Seharusnya kamu bilang, kalau gitu kita bisa bicarakan nanti. Sebaiknya kamu segera menyelesaikan makannya." Mendengar hal tersebut aku senang. Kenapa? Karena perut ini harus diisi sekarang. Setelah kembali aku langsung menyelesaikan makan lalu ke Dapur untuk mencuci piring. Ketika kaki ini siap melangkah ke area Dapur, aku langsung membalikan tubuh, bersembunyi di balik dinding. Sungguh bukan waktu yang tepat untuk mencuci piring. Kalau memaksakan pasti akan ada kecanggungan yang tercipta. "Kamu lagi apa berdiri di sini?" Tanpa ada rasa takut dengan beraninya salah satu tanganku yang semula ikut memegang nampan, mendadak berada di depan bibir Rhino. Kututup mulut Rhino agar tidak berbicara lagi. Dapat kulihat dari tatapan Rhino yang sepertinya penasaran dengan apa yang sedang aku lakukan itu. Mendengar langkah kaki sontak aku langsung ke Dapur. Saat berpapasan dengan perempuan dan laki-laki yang sebelumnya sedang berciuman itu, aku mencoba tenang seolah tidak pernah melihat adegan manis yang mereka lakukan. Ketika mendengar mereka menyapa seseorang di belakangku, tidak kusangka jika Rhino mengekori. Masa bodoh, aku tidak peduli. Segera kucuci piring agar bisa cepat-cepat istirahat di Kamar. "Kamu hutang penjelasan sama saya," kata Rhino yang berdiri di sampingku. "Penjelasan apa?" Tanpa mengalihkan perhatian dari cucian piring. "Kenapa kamu membekap mulut saya seolah saya gak boleh mengeluarkan suara?" Hadehh. Masa iya aku berkata jujur jika aku melihat kedua orang tadi sedang berciuman dan aku gak mau mengganggu karena akan diselimuti kecanggunggan. Setelah membilas bersih peralatan makan, menaruh di rak, aku menoleh ke arah Rhino. "Saya juga gak tahu kenapa melakukan itu." Saat hendak melewati Rhino, lelaki itu menggapai salah satu tanganku. "Apa yang dilakukan kedua orang tadi sampai saya gak boleh bicara dan kamu berdiri di sana?" Kukira Rhino tidak akan berpikir sampai sana nyatanya Rhino memiliki pemikiran yang tajam. Pembaca situasi yang akurat. Tunggu. Terus, aku harus bilang apa? Masa iya aku berkata sejujurnya yang ada kecanggungan itu mungkin akan menyelimuti aku dan Rhino. "Kalau Bapak penasaran cari tahu saja sendiri." Aku mencoba melepaskan genggaman tangan itu. Melangkah meninggalkan Rhino yang entah apa yang dipikirkannya selanjutnya. Naik ke atas ranjang dengan handphone yang kupegang. Menyandarkan kepala ke kepala ranjang. Memainkan handphone, melihat story orang-orang. Baru saja akan menikmati ketenangan itu tiba-tiba ketukan pintu terdengar. Dengan sedikit malas, aku berjalan ke arah pintu. Saat pintu telah terbuka dapat kulihat dua orang perempuan yang tidak kukenal. Aku memang tidak hafal semua karyawan yang ada. "Boleh kita masuk, Bu?" tanya perempuan berambut hitam panjang sedada yang bagian bawahnya dibuat keriting gantung. "Silakan." Tanpa tahu tujuan mereka bertamu. Kututup pintu dan melihat kedua perempuan itu yang sudah duduk di sofa panjang. Aku pun duduk di sofa single. "Tujuan kalian menemui saya, ada apa ya?" "Saya lihat Bu Elea beberapa kali berbicara dengan Pak Bara yang berarti kalian mengenal satu sama lain," kata perempuan berambut keriting gantung. "Iya. Kenapa dengan hal itu?" "Kami ini menyukai Pak Bara. Apa Bu Elea bisa menanyakan Pak Bara bisa gak makan di luar bersama kami?" Perempuan berambut hitam lurus sedada yang diikat setengah yang kali ini bersuara. "Saya gak bisa menjamin kalau Pak Bara akan menyetujuinya." "Gakpapa, Bu. Yang terpenting kita sudah mencoba." Tidak Rhino tidak Bara sama saja merepotkan orang lain perihal urusan pribadi. Kuambil handphone yang ada di nakas dan menelepon Bara. *** Karena berhasil menyeret Bara keluar untuk bertemu kedua karyawati itu, mereka mengajakku ikut. Sampai di Restaurant tidak kusangka bahwa ada Rhino di sana. Siapa sangka bahwa Bara akan mengajak Rhino. Aku pikir seharusnya Rhino tidak berada di sana. Saat memesan, Rhino mengatakan akan mentraktir.Menurutku kalau bukan Bara atau kedua perempuan itu yang mentraktir seharusnya bayar masing-masing, tapi kenapa Rhino yang membayarnya?"Kita gak minta pajak jadian kok, Pak." Si rambut keriting gantung yang bicara dengan tersenyum ramah."Nikmati saja," balas Rhino dengan wajah datar.Aku merasa Rhino mentraktir seolah untuk berbagi kebahagiaan. Tapi, lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Rhino akan baik-baik saja jika Luna kembali ke dalam dekapannya."Seharusnya Bapak gak melakukan ini." Rasanya aku tidak ingin semua ini semakin jauh.Dari pada mencintai dalam diam lebih menyakitikan berpura-pura menjadi seseorang yang spesial dalam hidup orang yang kita cinta.Tanpa diduga Rhino yang duduk di sampingku, menyentuh salah satu tanganku yang berada di meja. Perlakuan Rhino sungguh ingin membuatku cepat mengakhiri masa jabatan sebagai Sekretaris ini. Lupakan bahwa setiap perlakukan manis Rhino sesungguhnya mampu meluluh lantakan ruang hati."Ingin dicintai secara ugal-ugalan seperti
Waktu memang cepat berlalu seperti perasaan Rhino. Tatapan yang semula merasa bersalah dan sedih kini telah tergantikan dengan wajah antusias dan bahagia. Bagaimana tidak bahagia jika seseorang yang ia harapkan datang, datang secepat itu."Gimana bisa kamu sampai di sini secepat itu? Aku belum lama kecelakaannya.""Kebetulan aku ada urusan di sini sejak dua hari lalu."Bukankah seharusnya aku menyingkir dari sana? Karena yang berhak tetap tinggal hanya si nyata. Tetap berada di sana hanya membuat hatiku semakin sakit. Tanpa kata aku pergi dari sana tanpa ada yang peduli.Dalam keheningan tenang malam di Rumah Sakit, aku berjalan menelusuri koridor tanpa ada satu manusia pun. Berjalan dengan langkah lamban, seolah aku tengah menikmati momen itu."Elea." Sontak suara itu membuatku menoleh ke arah belakang dan dapat kulihat sesosok lelaki bertubuh tinggi, atletis, dan berwajah sedikit arab. Jangan lupakan jubah Dokter itu.Melihat lelaki itu seperti akan menghampiriku, aku membalikan tub
Merasa bahwa aku akan mengeluarkan kata kata yang menyakitkan, aku memilih pergi dari sana, meninggalkan Ibu yang terlihat marah akan perlakuan yang kuberikan pada Laura. Melihat Ibu semarah itu rasanya seperti hanya Laura putri satu-satunya.Tidak sadarkah Ibu bahwa apa yang sedang dia lakukan sekarang melukaiku? Bagaimana bisa aku bersikap layaknya seorang Kakak jika Laura terasa asing untukku.Ketika hendak menaiki tangga, aku menoleh ke arah Laura yang tengah duduk di sofa panjang, menatap ke arahku. Ditemani Ayah yang duduk di sofa single membelakangi ku. Mungkin jika aku dan Ibu tak sejauh itu aku akan lebih mudah menerima Laura.Untuk melepas kefrustasian yang ada akhirnya di hari libur ini kuputuskan bertemu sahabat-ku satu-satunya. Janjian bertemu di salah satu Mall. Setelah memarkirkan mobil, aku melangkah masuk, mencari keberadaan sahabat-ku."Inna," panggilku saat melihat seseorang mirip Inna tengah berdiri menyamping, menatap ke arah bawah, di depan sana.Setelah bertemu
Tentu saja, sekali pun Rhino tak tahan dengan air mata ini, dia tak akan dalam sekejap menjadi lelaki termanis dengan sepenuh hati. Bagaimana bisa Rhino bersikap manis padaku apa adanya jika perasaannya selalu terletak pada Luna.Kuterima sapu tangan yang diberikan Rhino. Menghapus air mata yang berusaha aku tahan untuk tidak keluar lagi, walau rasanya terus ingin menangis. Terlebih kesedihan ini bertambah setelah Rhino memberikan sapu tangannya. Kenapa lelaki seperhatian Rhino tidak jadi milikku saja.."Saya kira kamu gak tahu caranya menangis." Dengan kedua tangan yang melipat di depan dada serta bersandar pada sandaran kursi. Ekspresi datarnya itu seakan sedang mengejekku."Bapak kira saya apa? Sekuat-kuatnya manusia pasti pernah menangis. Bapak juga pasti pernah." Lalu, aku meneguk sedikit cairan berwarna merah dingin dalam gelas itu.Rhino pasti tidak tahu bahwa aku sedang membicarakannya waktu di Klub. Di mana mata Rhino sudah berkaca-kaca siap menangis. Sayangnya Rhino seperti
Memakan waktu tak sebentar, aku dan Bara terus menunggu sampai pintu Ruang Operasi terbuka. Kami menghampiri Dokter yang terlihat sudah tidak muda lagi. Bara bertanya bagaimana keadaan Rhino dan Dokter berkata jika operasinya berjalan lancar dan kami baru bisa menemui Rhino saat Rhino sudah dipindahkan ke Kamar rawat inap. Aku pun akhirnya bisa bernafas lega, sedikit...."Oh ya, Pak. Kakek sudah tahu tentang kondisi Pak Rhino?" Sembari menatap Bara yang berada di sampingku. Kami sedang memantau kondisi Rhino yang sudah dipindahkan."Saya belum memberitahunya karena takut tiba-tiba kondisi Kakek drop."Aku tahu sekali kekhawatiran Bara mengenai Kakek karena Kakek memiliki riwayat penyakit jantung jadi sebaiknya tidak memberikan kabar kurang baik. Apa lagi berita soal Cucu-nya yang sekarang terbaring lemah dengan beberapa goresan kecil pada wajah dan tangan kanan yang sementara waktu harus memakai gips.Kenapa kamu harus seperti ini lagi, Rhi? Jika kamu terus terluka seperti ini baga
Setelah meeting, Rhino memintaku menemaninya berjalan-jalan di Rumah Sakit menggunakan kursi roda. Tanpa merasa terbebani sedikit pun, aku mendorong kursi roda itu. Tanpa diduga, kebetulan sekali aku melihat sesosok yang aku kenal di depan sana. Seorang lelaki yang sedang berjalan berlawanan arah denganku."Kamu di sini," ucap Lino sembari menghentikan langkah kaki begitu juga aku."Kamu sendiri lagi apa di sini?""Salah satu karyawan saya baru saja masuk Rumah Sakit. Kalau kamu? Siapa yang sakit?" Dapat aku lihat Lino menoleh ke arah Rhino."Ini CEO tempat saya bekerja." Lalu, aku memperkenalkan Lino juga pada Rhino. Tentu hanya bilang jika Lino adalah teman."Saya mau balik ke Kamar!""Kalau gitu, saya duluan." Lalu, aku tersenyum."Iya." Seraya tersenyum.Sesampainya di Kamar di mana Rhino naik ke atas ranjang sendiri tanpa bantuanku, Rhino terus diam. Entah apa yang sedang terjadi. Mungkin memang sedang tidak ada yang ingin Rhino bicarakan. Aku memilih duduk di sofa panjang, menge
Lebih tepatnya sesuatu yang aku butuhkan. Dengan menyuruhku duduk di kursi tepat di samping brankar, Rhino sembari duduk sedikit menundukkan kepala ke arahku yang sejujurnya sedang panas-dingin berkat perhatian yang sedang Rhino berikan. Bukannya kekeh mengobati luka sendiri, aku membiarkan Rhino melakukannya untukku.Dengan lembut Rhino mengoleskan sebuah salep pada ujung bibirku yang terasa lebih perih terkena obat. Rasanya tidak bisa bernafas dengan benar. Manusia seperfect Rhino apa mungkin bisa menjadi milikku? Biasanya si perfect akan berakhir dengan si perfect juga."Lain kali jangan biarkan diri kamu terluka," ucap Rhino selesai mengobati lukaku.Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas. Aku masih tidak paham kenapa Luna bisa meninggalkan Rhino. Lelaki sebaik dan seperhatian Rhino seharusnya tidak disia-siakan. Tak ada yang tahu pasti alasan retaknya hubungan mereka. Hanya beberapa rumor seperti 'Luna sudah tidak cinta Rhino, Rhino yang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Luna
Akhirnya aku membiarkan Rhino ikut. Saat dalam perjalanan aku bingung sendiri mau mencari ke mana karena Jakarta luas. Tanpa meminta bantuan Rhino, telinga ini mendengar bahwa Rhino meminta seseorang memeriksa semua cctv yang ada mulai dari depan Rumah Ibu, melalui telepon. Pantas saja Rhino sempat bertanya alamat Rumah Ibu."Kamu tenang saja kita pasti akan menemukannya." Entah kenapa kalimat itu sedikit menenangkan.Tidak tahu mau ke mana aku pun mengitari jalanan dekat Rumah. Siapa tahu bertemu Laura yang mungkin berjalan kaki. Sudah sekitar setengah jam mengendarai mobil tidak juga aku melihat Laura sampai Rhino memintaku berhenti depan Minimarket.Aku hanya diam di mobil sementara Rhino masuk ke dalam. Jika aku datang mungkin Laura tidak akan menghilang, bukan? Rasanya ini semua salahku.Rhino masuk dengan membawa kantong kresek kecil yang dia berikan padaku. Dapat aku lihat isinya hanya satu kaleng kopi dan satu botol teh kesukaanku. "Saya gak bisa membukanya, kamu bisa bukain."
Destinasi pertama kami adalah Coex Aquarium. Aku terpesona melihat berbagai jenis ikan berenang di antara terumbu buatan yang memukau. Tapi momen paling mengesankan adalah ketika kami memasuki terowongan kaca di mana ikan-ikan besar berenang di atas kepala kami."Kamu suka?" tanya Rhino, matanya tertuju ke arahku yang menatap kagum ke atas."Suka banget! Ini seperti dunia lain."Dia mengangguk. "Bagus. Aku ingin kamu punya kenangan indah di sini."Setelah puas menikmati keindahan bawah laut, kami menuju ke destinasi berikutnya, yaitu Lotte World Tower. Dari atas sana, kami bisa melihat pemandangan Seoul yang begitu luas.Rhino tiba-tiba berkata, "Elea, lihat ke sana. Kamu lihat gedung-gedung kecil itu?"Aku mengikuti arah pandangannya. "Iya, kenapa?""Dulu saya pernah berpikir, sebesar apa pun pencapaian saya, saya tetap akan terlihat kecil dari sudut pandang yang lebih tinggi.”Aku menatapnya, tak menyangka dia bisa berkata seperti itu. "Dan sekarang?"Dia menoleh padaku, tersenyum t
Pagi di Seoul terasa berbeda. Udara dingin yang menusuk kulit rasanya beda dengan saat musim hujan di Jakarta. Dari jendela Hotel, aku bisa melihat deretan bangunan tinggi dengan atap yang tertutup salju tipis. Suasana ini sangat asing bagiku, tapi juga memberikan perasaan yang hangat.Aku berdiri di dekat jendela sambil menikmati secangkir teh hangat, membiarkan pandanganku melayang ke hiruk-pikuk kota. Tiba-tiba, suara Rhino memecah keheningan."Sudah siap?" tanyanya sambil berjalan keluar dari Kamar Mandi dengan rambut basah.Aku menoleh dan mengangguk. "Iya. Kita mau ke mana dulu?"Dia mengambil pengering rambut. "Ada beberapa tempat yang sudah saya siapkan. Tapi karena ini liburan, kita santai aja, oke?"Aku tersenyum kecil. Gaya santainya selalu membuatku merasa nyaman....Destinasi pertama kami adalah Bukchon Hanok Village. Tempat itu dipenuhi Rumah-Rumah tradisional Korea yang terlihat sangat cantik dengan salju yang menutupi atapnya. Kami menyusuri jalanan sempit yang diap
"Pak Rhino?" aku memanggil, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.Dia menoleh, menatapku sambil tersenyum canggung. "Pagi. Saya mencoba bikin sandwich untuk kita sarapan."Aku memandangi meja Dapur yang penuh bahan-bahan berserakan. Telur orak-arik, selada, tomat, dan keju tergeletak dengan tidak beraturan. Sandwich yang dia buat terlihat... unik, dengan isi yang hampir berhamburan keluar."Bapak belajar masak?" tanyaku, mencoba menahan tawa.Dia menggaruk tengkuknya dengan ekspresi malu. "Enggak juga, sih. Saya cuma pengin coba. Tadi sempat lihat tutorial, tapi ya, beginilah hasilnya."Aku mengambil salah satu sandwich yang sudah dia susun. "Saya coba ya?"Rhino langsung menatapku penuh cemas. Bagaimana jika sandwich pertama yang dia buat tidak enak?"Silakan. Tapi, kalau gak enak maaf yaa."Aku menggigit sandwich itu perlahan. Rasanya... tidak buruk. Penyajiannya memang berantakan, tapi rasanya cukup lumayan untuk pemula. "Lumayan kok. Tapi mungkin lain kali seladanya jangan t
Setelah pesta resepsi selesai dan para tamu mulai pulang, aku mengikuti Rhino ke Kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamar itu luas dan elegan, dengan dekorasi bernuansa putih dan emas yang menciptakan suasana romantis. Aku merasa gugup, lebih dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan suami istri, meskipun aku tahu pernikahan ini bukan seperti pernikahan pada umumnya."Kamu bisa mandi duluan kalau mau," katanya sambil menatapku dengan ekspresi tenang.Aku hanya mengangguk dan segera masuk ke Kamar Mandi, mencoba menenangkan diri. Di dalam, aku menatap bayanganku di cermin. "Kamu bisa melewati ini, Elea," bisikku pada diriku sendiri. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dengan mengenakan piyama satin sederhana. Rhino sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung. Dia tampak begitu santai, sementara aku merasa canggung."Sudah selesai?" tanyanya, lalu berdiri untuk mengambil giliran mandi. Aku m
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, dan aku merasa seperti terjebak dalam kebingunganku sendiri. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menatap dan menunggu keputusanku. Tidak hanya aku, tetapi juga Rhino, yang tampak sangat tenang dan siap, meskipun aku tahu dia pasti merasakan kegelisahan yang sama-meskipun tidak dia tunjukkan.Pagi itu, aku sudah berada di Ruang Ganti, mengenakan gaun pengantin yang begitu mewah dan indah. Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau cemas. Ini bukan pernikahan yang aku bayangkan, tetapi lebih sebagai sebuah kewajiban. Meskipun begitu, di dalam hatiku, ada satu pertanyaan besar: apakah ini adalah keputusan yang benar? Apakah aku sudah siap untuk menjalani hidup ini bersama Rhino? Masih saja keraguan itu menghantui diri ini.Aku merasakan ketegangan di setiap inci tubuhku, dan saat aku menatap cermin, aku melihat diriku yang tampaknya bukan diriku sendiri. Wajahku terlihat pucat, dan mataku masih menyimpan keraguan yan
Setelah Rhino pergi untuk menemui Bara, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidur. Meski masih pagi, aku merasa tidak bisa kembali tidur. Pikiran-pikiran tentang ancaman yang baru saja terjadi masih memenuhi kepalaku. Tapi entah kenapa, keberadaan Rhino membuatku merasa lebih tenang.Aku membuka pintu menuju Balkon untuk membiarkan udara segar masuk. Cahaya matahari mulai menyusup masuk ke ruangan, memberikan suasana hangat yang sedikit mengusir rasa cemas. Dalam diam, aku memikirkan semua yang telah Rhino lakukan untukku.Beberapa menit kemudian, Rhino kembali ke Kamar. Ekspresinya serius seperti biasanya, tapi ada kelembutan di matanya saat menatapku."Kamu sudah sarapan?" tanyanya.Aku menggeleng pelan. "Belum. Saya gak begitu lapar."Dia mendekat, mengangkat sebelah alis. "Kamu harus makan. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi hari ini. Jangan sampai kamu lemas."Rhino benar. Tapi tetap saja, sulit bagiku untuk memikirkan makanan saat kepalaku dipenuhi begitu banyak hal."Baikl
Ketika mobil sudah berada di tempat tujuan, setelah mematikan, aku langsung keluar Mobil. Tanpa rasa takut, melangkah masuk ke dalam Gedung yang gelap. Menggunakan senter handphone untuk menerangi jalan. Dengan pengawal yang datang bersamaku, terus mengikutiku. Saat masih berjalan menaiki tangga, langkahku terhenti melihat beberapa orang yang turun dari lantai atas. Manik mata ini pun terpaku pada salah satu di antara mereka. Rhino!Tanpa bisa kubendung air mata ini, lolos begitu saja. Tidak peduli tatapan orang lain, aku hampiri Rhino dengan langsung memeluknya. Akhirnya aku bisa bernafas lega untuk sekarang. Tidak ada luka serius yang terlihat. Dapat aku rasakan Rhino mengelus lembut belakang kepalaku. Seperti dia mencoba membuatku lebih tenang....Aku masih berada di samping Rhino saat kami akhirnya kembali ke mobil. Meski aku lega dia tidak terluka parah, ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikiranku. Namun, Rhino tetap tenang sepanjang perjalanan pulang, meskipun a
Sungguh tidak disangka bahwa seorang Rhino menemui Inna hanya untuk bertanya soal apa yang aku suka, seperti jenis bunga, model gaun dan pesta pernikahan dengan tema seperti apa yang aku inginkan. Inna sendiri tidak menyangka bahwa Rhino terlihat bersungguh-sungguh dengan pernikahan itu. Mengingat apa yang pernah aku katakan pada Inna jika pernikahan kami karena Kakek....Malam itu, setelah kepergian Inna, suasana di Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit Kamar sambil memikirkan semua yang terjadi belakangan ini. Ancaman, pengawalan ketat, dan sikap Rhino yang semakin melibatkan dirinya dalam hidupku. Rasanya seperti ada benang yang perlahan-lahan mengikatku lebih erat dengan pria itu.Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku segera meraihnya, berharap itu bukan ancaman lagi. Tapi ternyata pesan dari Rhino.Rhino: "sudah tidur?"Aku mengerutkan kening, lalu mengetik balasan.Aku: "Belum. Ada apa, Pak?"Tidak butuh waktu lama untuk mendapatka
Di tengah malam, aku terbangun karena mendengar suara ketukan pada kaca yang tidak santai. Hatiku langsung berdegup kencang. Sontak aku menoleh ke arah jendela yang sudah tertutup gorden sepenuhnya. Apa di luar sana ada seseorang? Haruskah aku memeriksanya? Tapi, jika terjadi sesuatu padaku itu hanya akan menambah kekhawatiran Rhino. Aku mengambil handphone yang berada di atas nakas."Pak Rhino," bisikku begitu dia mengangkat telepon. "Ada suara aneh di luar Kamar saya!""Jangan keluar, saya akan ke sana," jawabnya tegas.Tidak butuh waktu lama sebelum Rhino muncul di depan pintu Kamar-ku, diikuti oleh dua pengawal. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, matanya menyapu seluruh ruangan.Aku mengangguk, meski rasa takut masih menguasai diriku. "Tapi saya dengar suara seperti seseorang mengetuk jendela."Rhino berjalan ke arah Balkon dan memeriksa. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, sementara aku menunggu dengan cemas.Setelah beberapa saat, dia kembali masuk. "Gak ada apa-apa. Mung