Adopsi

Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi.

Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar.

“Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku.

“Maaf,” kataku sambil menyeringai.

“Mamaku ke sini ya?” tanyanya.

Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?”

“Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu.

“Kamu sempat ke kantor?” tanyaku.

“Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.”

“Yang membuat presentasinya siapa?”

“Aku.”

“Kamu? Bisa?”

“Kamu bertanya?”

Aku terkikik.

Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunanya aku? 

Yah tapi kali ini mungkin bisa dibuat dispensasi, karena dia sendiri yang menyuruhku cuti. 

“Kapan kita ke panti?” tanyanya.

“Minggu depan, boleh? Aku ingin berkas pernikahan kita lengkap dulu. Pasti Bu Bovi akan bertanya banyak hal.” Kataku.

“Oke.”

**

Seminggu kemudian,

“Ini Bu!” aku langsung menyodorkan Kartu Nikah Digital ke depan Bu Novi, Ketua Yayasan Panti.

“Astaghfirullah…” desisnya sambil terbelalak memandang kartu itu. “Nikah kontrak itu tidak Sah loh Mbak! Memanipulasi hukum negara dan sumpah ke Tuhan-Nya main-main!” semburnya.

“Bukan nikah kontrak buuu, ini nikah beneran!”

“Masa?” Bu Novi mengangkat kartu itu dan menyipitkan mata melihat foto kami. “Loh? Loh!! Ini kan Pak Danesh?! Dia yang waktu itu menyusul ke rumah sakit kan? Yang mengadzani Hana?!”

Ia tampak terkejut.

“Ya bu, dia.” jawabku.

“Dia bukannya atasan kamu Mbak?”

“Iya sih…”

“Cinta lokasi ya?” tebaknya sambil senyum-senyum.

Aku mengangguk saja. Walau pun kurasa kurang tepat disebut cinlok.

“Bukannya tak boleh ya menikahi rekan kerja dalam satu kantor?”

“Status kami masih rahasia di kantor. Yang penting Hana ada yang mengurus kalau saya bekerja. Ibu tahu keluarga Danesh dari kalangan… begitulah.” aku malas melanjutkan kalimatku karena kesannya seperti menyombong.

“Wah, Hana sudah bisa menyatukan dua insan manusia yang tadinya hanya teman biasa jadi sepasang suami-istri ya, hebat si anak Solehah itu.” Bu Novi mengembalikan kartu digital itu padaku.

“Mau lihat buku nikahnya juga bu?” tanyaku.

“Nggak usaaaah, saya percaya kok.”  Bu Novi mengibaskan tangannya. “Pak Danesh di mana?”

“Itu di luar lagi terima telepon.”

“Bu Novi,” Danesh masuk ke ruangan Bu Novi setengah buru-buru. 

“Bapak, apa kabar?” Bu Novi berdiri sambil mengulurkan tangan untuk menyambut Danesh.

“Bu, orang tua Hana akhir-akhir ini ke sini? Bapaknya atau saudaranya yang lain?” sembur Danesh. Tidak tampak tenang seperti biasanya, kali ini ia tampak khawatir.

Wajah Bu Novi saat itu, langsung terlihat pucat.

Baru kali ini aku melihatnya langsung tegang seperti itu.

“Yah…” dan Bu Novi langsung tampak kebingungan.

“Di luar gerbang barusan saya lihat ada yang ingin memaksa masuk, dihentikan oleh sekuriti. Mereka sedang bertikai sekarang. Saya mendengar salah satu pria memanggil nama Hana ke dalam. Siapa dia?” Tanya Danesh.

“Ya ampun, itu… Pak Pepen. Saya harus ke dalam untuk menyembunyikan Hana-”

“Bu, sebentar!” Danesh mencegah Bu Novi. “Siapa Pepen?”

“Itu ayah kandung Hana Pak! Sudah seminggu ini dia ke sini mencari Hana. Kami sudah bilang dia tidak berkepentingan lagi untuk mengasuh Hana karena hak asuh sudah diberikan ke kami. Lagipula apa pentingnya Hana untuknya?! Tapi dia bersikeras kalau Hana adalah Haknya, karena dia kehilangan istrinya yang sangat ia cintai, jadi dia akan bertanggung jawab untuk mengganti kesalahannya terhadap istrinya. Mbak Diva, dia juga mencari kamu, dia menuntut tanggung jawab, katanya.”

“Hah?!” seruku kaget.

“Sudahlah, Mbak, jangan dihiraukan. Orang jahat sepertinya mau kita berdalih apa, tak akan dia dengarkan! Saya merasakan firasat buruk, motif tersembunyi yang sifatnya nggak jauh-jauh dari kriminal. Dia sepertinya tidak tahu kalau Bu Suprihartini sempat menyampaikan amanah kepada kita sebelum meninggal.” kata Bu Novi sambil mengarahkan kami untuk berjalan masuk ke dalam panti melalui pintu belakang, tidak dari pintu depan.

Aku bisa mendengar ribut-ribut di depan pos keamanan yayasan. 

“Aku sepertinya harus punya pengacara.” gumamku langsung pusing.

“Ini maksud saya, salah satunya. Mbak Diva tidak akan bisa melindungi Hana sendirian. Saya menyarankan Mbak Diva menikah juga demi kepentingan kalian, agar ada yang melindungi kalian berdua. Juga, berat rasanya menahan Hana lama-lama di panti, karena Pak Pepen berulang kali menyusup ke sini.” Bu Novi bicara sambil terburu-buru berjalan ke arah ruang bayi.

“Untung saja kita segera menikah,” geram Danesh.

Aku belum bisa menanggapinya, aku sedang sangat panik!

“Kalau saya menunggu lebih lama, saya nekat akan memberikan Hana ke orang tua asuh lain. Semakin cepat dia diasuh orang lain semakin baik. Kalau perlu pindah negara. Kemarin ada pasangan dari Australia yang datang, mereka kandidat terkuat saya. Juga ada pasangan dari Semarang yang bolak balik datang menengok Hana.”

“Jangan dong Buuuu,” keluhku hampir menangis.

“Bawa Hana. Jaga dia.” Bu Novi membungkuk untuk meraih seorang bayi mungil yang hidungnya mancung. Bayi itu masih terlelap kekenyangan.

Bu Novi mengecup kening Hana.

“Doa saya mengiringi kalian, semoga Hana dapat memberi kebaikan bagi hidup kalian.” 

setetes air mata turun ke pipi wanita paruh baya berhijab di depanku.

“Ibu, terima kasih banyak.” kataku sambil memeluk Hana. Bayi itu langsung menggenggam rambutku dan bibirnya menyunggingkan tawa, walaupun dia masih tidur. Sepertinya dalam tidur pun ia bisa mengenali aromaku.

“Administrasi menyusul ya bu, pengacara saya akan ke sini.” kata Danesh sambil mencari jalan keluar ke arah parkiran mobil.

Kami berjalan mengendap-endap di antara mobil yang terparkir, aku menjaga agar Hana tidak terbangun dan menangis.

Aku sempat mendengar teriakan laki-laki, tubuhnya gempal, berkulit legam dan tampak sangar.

“Heh kau sundal!! Anak itu milikku, aku bapaknya! Dasar kau cecunguk gila! Ini namanya penculikan!!” serunya lantang sambil membawa… Ya Tuhanku, itu golok!

“Kau sindikat penculik, perdagangan bayi berkedok Yayasan heh! Mana sini kepala kau kutebas biar mampus!”

ia masih berteriak-teriak.

“Lihat saja,  kutebas juga kepala siapa pun yang berani jadi orang tua asuh tuh anak!” 

aku langsung meraih lengan Danesh dan memeluknya.

aku… sangat takut.

Aku benar-benar takut sampai lutut ku terpaku dan tak kuat melangkah lagi.

“Diva, ayo jalan,” desis Danesh. “Aku sambil lapor polisi.” 

“Danesh, kakiku lemas…” lirihku.

“Kamu kuat, ayo demi Hana.” katanya.

Ya!

Demi Hana,

Masa begini saja aku tak kuat melangkah. Justru aku harus lari yang kencang!

Dan setelahnya, aku kembali melangkahkan kakiku.

“Saya ingin Yayasan ini dijaga 24 jam selama 3 bulan berturut-turut. Mengerti ya?” geram Danesh di telepon sambil membuka pintu mobil untukku. “Sudah nggak normal ada preman teriak-teriak di depan pagar, di dalam sini isinya anak-anak semua!”

Siapa yang suamiku telepon?

Tidak mungkin polisi, mereka tidak bisa disuruh-suruh warga biasa.

“Aku sewa jasa keamanan swasta, 20 personel akan berjaga bergantian di Yayasan. Mereka diberi kewenangan dari Kepolisian untuk menyetrum siapa pun yang ingin memaksa masuk dengan kekerasan.” Katanya selanjutnya.

“Menyetrum?!” tanyaku.

“Pakai Stun Gun.”

“Wow.” izin yang seperti itu bagi perusahaan keamanan swasta, sudah pasti diberikan bagi perusahaan dengan level bonafit.

“Kamu nunduk biar nggak kelihatan,” kata Danesh selanjutnya. “Setelah ini kita harus ke kantor pengacaraku, dia akan mewakili kita untuk urusan hukum. Jaga-jaga saja seandainya sesuatu terjadi pada kamu dan Hana.”