Setelah itu seharian, aku tidak fokus bekerja.
Aku pacaran beberapa kali dengan berbagai jenis laki-laki, tapi tak ada yang serius. Aku juga menjaga kehormatanku karena berprinsip laki-laki yang meminta harga diriku tapi tidak menikahiku adalah lelaki pengecut. Selama ini aku juga tidak meminta apa pun kepada pacar-pacarku. Karena beberapa kali aku dituntut untuk mengembalikan barang-barang pemberian mereka, jadi aku terbiasa menyimpan semua pemberian dari mereka bertahun-tahun. Ada saja loh yang sudah lama putus tiba-tiba nongol lagi karena ingin minta ganti rugi. Untung saja hadiah darinya kusimpan rapi tanpa pernah kugunakan. Pelajaran itu membuatku semakin waspada terhadap laki-laki. Malah belakangan aku malas menjalin hubungan. Buat apa buang-buang waktu dikekang? Dilarang-larang? Disuruh-suruh dan ujungnya dikhianati? Waktu kita terbuang percuma. Kalau aku bisa menghidupi diriku sendiri. Ada banyak yang bisa kumintai tolong kalau perlu hal-hal yang tak bisa kulakukan, asalkan aku menyimpan uang. Makanya aku bersikeras menabung. Mungkin itu sebabnya aku selalu pasang wajah jutek. Kalau melihat cowok petakilan, aku langsung muak. Danesh Balian ini... tipe laki-laki yang berbeda. Ia pria dewasa yang tidak banyak bicara. Namun kerjanya nyata dan banyak proyek yang berhasil dicapainya. Jarang ada karyawan wanita yang tahan dengan caranya memimpin. Ia menuntut kerja nyata, progress yang significant, dan tidak suka kalau ada yang baperan, pasti langsung dimutasi. Namun di lain pihak sangat banyak yang mengidolakannya. Saat ini aku... Gawat! Aku dalam keadaan gawat karena aku tidak ingat apa saja yang ia instruksikan barusan. Dia berdiri di depan kubikelku, dengan posisinya sebelah tangan dimasukan ke dalam kantong celananya, dan sebelah tangan yang lain mengenggam gelas kopi. Aku hanya bisa menatapnya dengan tampang blo’onku. Sejak kapan wangi parfumnya menggoda hidungku. Kenapa aku baru sadar sekarang? Kenapa baru kunotice kalau wanginya itu maskulin dan tenang begini? “Coba ulangi?” tanyanya lagi. Dia sudah tanya dua kali Aku diam. Aku benar-benar tak menyimak. “Emh...” aku bergumam tak jelas. Otakku sedang mencari-cari file kalimatnya barusan, tapi tak ketemu. Lalu tercetus satu ide. Kalimat pengalih perhatian, “Bapak bisa jelaskan dengan lebih spesifik? Saya belum sempat makan jadi agak blank.” Kataku. Ia menatapku, lagi-lagi tanpa ekspresi. Lalu menghela nafas dan menengok ke samping, ke arah jendela besar yang memaparkan pemandangan kota besar metropolitan dan segala keruwetan jalanannya. “Saya belum ngomong apa-apa sih.” Katanya. Aku bengong. “Cuma pingin ngetes saja kamu fokus atau tidak.” Lanjutnya lagi sambil menyeruput kopinya. Aku masih bengong. “Kamu perlu diinfus vitamin atau tidak?” tanyanya lagi. “Saya perlu diinfus bonus pak.” Jawabku asal. Berharap hatinya luluh dengan candaanku. “Jangan berharap bonus kalau kamu bengong terus begitu.” Katanya sambil menatapku sinis. Kan beliau penyebabku bengong. “Bapak perlu zoom meeting dengan para pimpinan cabang?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Sudah selesai barusan, waktu kamu bengong mikirin saya.” Faklah! Aku tak tahu harus menanggapi apa. Dan dia dengan santainya berjalan masuk kembali ke dalam ruangan. “jangan lupa pulang, ini sudah lewat jam 5. Kalau bengong terus kesambet kamu. Saya yang repot.” Katanya sambil berlalu. ** Hari demi hari kulalui sampai saatnya kami bertemu lagi dalam situasi jengah di hari H. Kami janjian di KUA yang berada di area KTPku, karena dari semalam ia keluar kota untuk urusan bisnis. Jadi dari bandara dia akan langsung ke KUA. “Apa kabar, Diva?” tanyanya. “Baik, Pak.” Desisku. “Maksud saya, kabar kamu yang sebenarnya, bukan basa-basi begini.” “Hm... bingung Pak.” Aku akan jadi istri seseorang, yang kutahu memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis. Aku tak tahu latar belakang kehidupannya, juga tak tahu bagaimana wataknya yang sebenarnya. Hubungan kami selama ini sebatas profesional. “Harusnya kamu senang, kamu akan bisa segera mengadopsi Hana.” Katanya sambil memeriksa dokumen pernikahan kami. “Pernikahan bagi saya sakral Pak.” Ia menatapku dengan tajam. “Saya juga berpikir begitu. Makanya saya memilih kamu.” Begitu katanya. Aku memikirkan maksud kata-katanya barusan. Apa hubungannya antara hal sakral denganku? Maksudku, kami benar-benar orang lain, bukan sepasang kekasih. Tampaknya pengertian sakral bagiku tidak sama dengannya. Setelah itu aku menyapa wali hakimku, semua dataku sudah diperiksa oleh pihak KUA, dan bahwa saudara dan wali ku tidak ditemukan, aku sudah menunjukkan bukti surat kematian Ayah dan Kakekku, dan menunjukkan kesulitanku untuk menghubungi saudara-saudara kami. Ada hal menarik saat kami akan menikah. Pak Danesh menelepon ibunya yang kini tinggal di Singapura, mereka tinggal di sana sejak Papa Pak Danesh serangan jantung, lalu merambat ke ginjal dan jantung. Daripada bolak-balik Jakarta-Singapura, jadi mereka membeli apartemen di sana. “Mah, aku izin menikah. Tolong sampaikan ke Papa juga.” Aku bisa mendengar Pak Danesh menelepon kedua orang tuanya. Pernikahan kami akan diadakan esok hari. Berikutnya, seperti yang kutunggu-tunggu, teriakan ibunya. Aku penasaran seperti apa sosok wanita yang sering mengomeli Danesh si Ice King ini. “Apa?! Kamu kalau mimpi tidur dulu!! Mamah nggak dengar kamu pacaran kenapa sekarang tiba-tiba nikah?! Sama siapa? Siapa orang tuanya? Baik nggak anaknya?! Subur Nggak? Latar Belakangnya bermasalah nggak? Jangan-jangan kamu asal ambil cewek di karaoke biar mamah mingkem ya?!” Sang Mamah menyemburkan teriakan andalannya. Aku melirik Pak Danesh. Pak Danesh hanya menanggapi tanpa ekspresi. “Yaaaaah,” dia hanya mende sah begini ke Mamanya. “Balian!! Kamu serius dong kalau ngomong sama Mama!!” “Dia suka teriak-teriak, tapi dia sebenarnya baik. Buktinya saya diurus sampai se-sukses ini.” Pak Danesh bicara begini padaku. “Danesh jawab dong!!” Mama Pak Danesh menuntut jawaban. “Dia Asistenku di kantor, Mah.” “Asisten? Asisten atau sekretaris? Kayak yang di novel-novel itu? Menikahi CEO-ku? Perangainya binal nggak?” “Asisten Mah, dan dia kalem kok. Anaknya sopan. Bukan dari keluarga pengusaha, dia tinggal sendirian. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya sudah menikah lagi.” Aku buang muka. Aku bahkan tidak tahu keadaan ibuku sekarang. Aku juga tidak ingin mau tahu ada dimana ibuku sekarang berada. Tapi Aku tetap berterima kasih padanya karena tingkah lakunya yang jahat itu aku bisa termotivasi untuk bekerja dengan baik, bahkan bisa membeli mobil sendiri secara cash. “Duh Balian! Tahu begitu mama jodohkan kamu! Yang bener aja kamu masa mama dikasih mantu kayak gitu?!” “Kalau tidak menikah dengan Diva, aku nggak nikah seumur hidup ya Mah.” Sahut Danesh. “Balian!!” seru mamahnya makin histeris. “Gimana? Restu nggak?” “Haduh haduh... Mamah minggu depan pulang ke Indonesia! Mau lihat mantu!” “Iya Mah, nanti digelar karpet merah.” Desis Pak Danesh setengah tak peduli. Lalu ia bilang ‘i love you’ ke Sang Mamah, dan menutup sambungan teleponnya. Dan menatapku dengan matanya yang tajam itu. “Siap menikah dengan saya, Diva?” tanyanya. “Tidak.” Jawabku. “Tapi harus.” “Kamu harus tahu ini jalan keluar terbaik, termasuk untuk masalah di panti itu. Saya tahu kamu sedang kesulitan.” Aku pun menarik nafas. Kepalaku rasanya langsung berat.“Ha...ah!” dia menarik nafasnya. Aku juga menarik nafasku. Selesai pernikahan singkat kami di KUA. Dan besok kami berdua akan bertingkah laku seperti tidak terjadi apa-apa, saat ke kantor. Namun kini kusadari, dia tidak mengantarku ke kosan ku. “Danesh, Kosanku ke kanan.” Kataku. Tapi tikungannya sudah lewat. “Iya, kita ke apartemenku.” “Setelah itu kamu akan antar aku ke kosan atau aku pulang sendiri?” tanyaku. Aku butuh kejelasan, karena aku ingin beristirahat secepatnya. Entah apa yang mau dia tunjukan di apartemennya yang mewah ini, tapi yang kuharapkan hanya bantal bulukku di kosan yang akan membawaku ke alam mimpi. “Kamu tidak akan pulang lagi ke Kosan. Mulai detik ini kamu pindah ke apartemenku.” Aku mengangguk. Lalu mulai mencerna maksud kata-katanya. “Danesh...” desisku. Aku baru ingat hal penting. “Aku rugi dong.” “Rugi?” “Aku sudah bayar kosan untuk setahun ke depan. Jadi aku rugi 11 bulan!” Aku tahu 11 bulan itu receh bagi Danesh. Tahu banget. Tapi uang itu
Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi. Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar. “Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku. “Maaf,” kataku sambil menyeringai. “Mamaku ke sini ya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?” “Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu. “Kamu sempat ke kantor?” tanyaku. “Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.” “Yang membuat presentasinya siapa?” “Aku.” “Kamu? Bisa?” “Kamu bertanya?” Aku terkikik. Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunan
Tidak kusangka aku masih gemetaran saat kami sampai di apartemen.Aku memberi Hana sufor sambil duduk di sofa. Di bayanganku terdengar sosok Pepen yang gempal dan berkulit hitam, sedang berteriak-teriak dengan kasar.Aku yang baru kali ini mendengarnya saja begitu ketakutan, bagaimana Bu Suprihartini, Almarhum istrinya dulu? Setiap hari ia diancam hal seperti itu. Dalam keadaan hamil pula!“Diva, kamu duduk saja. Minum teh hangatnya.” Danesh membelai bahuku dan mengambil Hana dari gendonganku.Sambil berdiri ia menggendong dan memberi Hana susu.Kami mendengar suara tawa bayi mungil itu.Terlihat seutas senyum di bibir suamiku.“Kamu tahu siapa preman yang tadi teriak-teriak?” tanya Danesh.Aku ragu, karena aku baru kali melihat Pepen.Kuingat-ingat, menikah dengan Pepen ini bukanlah keinginan Bu Suprihartini.Pepen ini preman di kampung, Bu Suprihartini pendatang baru di kampung itu. Dia sangat cantik, wajahnya seperti artis blasteran. Bu Suprihartini dari Sukabumi, menikah dengan se
Mbak Diva, saya tahu saya egois. Saya membebani Mbak Diva. Tapi... tolong Mbak! Tolong! Jangan sampai anak ini jatuh ke tangan ayahnya. Jangan...Akan jadi apa masa depan anak ini kalau sampai Ayahnya menemukannya...Kata-kata terakhir ibu-ibu random yang kuserempet dengan mobilku itu memenuhi pikiranku.Berhari-hari, Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Tak terasa kini sudah hampir sebulan lamanya sejak kejadian itu, Kata-kata mengiba itu tidak hilang dari mimpiku.Aku mebuka mata karena bias cahaya silau yang masuk ke pelupuk matakuApa sih yang terjadi, kok badanku sakit semua?Belakangan ini mimpi saat di rumah sakit bersama Bu Suprihartini yang menggenggam erat tanganku, menghiasi tidurku.Dan sekarang... aku sepertinya tahu di mana aku berada. Rumah sakit, selang infus dengan jarum menghujam punggung tanganku. Terasa nyeri dan perih.Dan wangi ini.Aroma Oud Musk bercampur Bergamot yang kukenal.“Diva, jangan dipaksa bangun. Nanti malah pusing.” Suara bariton yang berat.W
Aku tidak tertawa, tapi bisa dibilang aku sedang meneliti keadaan.Para bodyguard itu seakan sudah sangat mengenal Bu Kristinah, terlihat dari sikap mereka yang secara sekilas seenaknya, tapi mereka begitu perhatian pada Ibu Mertuaku. Karena itu, kesimpulanku, Ibu mertuaku sebenarnya orang baik, tapi gengsinya tinggi.“Kamu perlu tahu, Diva,” Ibu Mertua membuka obrolan denganku. Wajahnya terlihat serius dan kelam. “Bertahun-tahun saya berusaha menyembuhkan penyakit Danesh, akan phobianya terhadap wanita. Ia pernah diulik saat usia 14 tahun, oleh sekelompok wanita dari... ah, entah dari club mana. Danesh pulang dalam keadaan linglung dan sempoyongan. CCTV di sekolahnya dulu menangkap adegan sekelompok wanita berpakaian seksi menculik Danesh menggeretnya paksa masuk ke dalam mobil van. Mereka tidak meminta tebusan apa pun, bahkan tidak menghubungi kami sedikit pun. Hasil Visum menunjukkan kalau Danesh dicekoki miras dan obat, lalu mereka merudapaksa Danesh. Danesh seringkali berteriak-t
Kehidupan pernikahan.Indah kalau kita menikah dengan kekasih yang tepat.Bahkan banyak kasus puluhan tahun bersama, nyatanya bukan sejodoh sesurga.Pernikahan akan bagai neraka kalau kita menikah dengan pasangan yang salah.Sebagai wanita, kehidupan pacaran banyak kujalani. Karena tak ingin seperti orang tuaku, aku menjaga betul kegadisanku. Aku menghindari pria yang mengajak kenalan lewat media sosial, atau yang menemuiku saat sedang jalan-jalan. Saat kencan pertama aku langsung tinggalkan pria yang minta split bill, atau yang pick me, atau yang narsis selalu membicarakan mengenai dirinya sendiri.Iseng kutanyakan saat kencan, istrimu atau ibumu, kalau jawabannya ibu, kutinggalkan. Kalau jawabannya istri, kutinggalkan juga. Karena jawaban yang tepat adalah, ‘Keduanya’. Suamiku nanti haruslah pria yang bisa menjadi pemersatu antara istri dan ibunya. Karena dua-duanya adalah investasi dunia akhirat yang tak kalah penting.Prioritasku mengenal laki-laki bukan untuk berpacaran lama-la
Aku memikirkan benar-benar hasil perbincanganku dengan Danesh kemarin. Selama ini kami tidak selalu dekat bahkan tidak selalu bertemu. Danesh lebih banyak berinteraksi dengan para asistennya yang laki-laki, jadi aku hanya ditugaskan untuk masalah dokumentasi dan jadwal.Tidak kukira, pemikiran Danesh akan berumah tangga, akan kehadiran seorang anak, begitu memikatku di kala selama ini aku berpikir pria itu sangat dingin.Jadi hari ini, karena aku berencana untuk mengurangi intensitas babysitter terhadap Hana, aku pun membawa Hana ke kantor.Iya, memang nekat aksiku ini.Aku membawa seorang bayi ke kantor.Sudah pasti hal itu akan membawa hal baru, lebih banyak fitnah tentunya.Tapi sekali lagi, aku bahkan tidak peduli hal itu. Kelebihan sekaligus kekuranganku, aku tidak banyak memiliki teman. Dan pendapat orang lain mengenai kehidupan pribadiku bukanlah hal besar bagiku. Kecuali pendapat orang mengenai pekerjaanku, nah itu baru penting. Karena orang lain tidak membiayai hidupku, tapi
Aku sedang di tengah pekerjaan saat tiba-tiba aku menerima telepon dari sekuriti lantai dasar. Ia bicara dengan nada terburu-buru.“Halo? Mbak Diva?! Bapak ada di ruangan?!” tanya si sekuriti.“Bapak sedang meeting, Pak.” Kataku.Ya, meeting dengan membawa Hana. Kurang epic apa coba.Ia membiarkan aku berkutat dengan pekerjaanku, sementara ia menggendong Hana kemana-mana. Sepertinya dia ngambek padaku karena aku membawa Hana ke kantor diam-diam tanpa persetujuannya.Aku tahu aku sedang sangat sibuk, hari ini aku menerima banyak proposal yang harus kuteliti untuk dibuat study kasusnya, lalu kesimpulan dariku akan jadi acuan bagi manajemen untuk diputuskan hasilnya. Aku juga sedang banyak menerima laporan dari kinerja setiap cabang untuk dibawa ke Rapat Kinerja bulan depan. Sebagian keputusan dari manajemen sudah keluar, aku sedang berdiskusi dengan 43 cabang mengenai solusinya.Dia tahu, Hana akan membuat gerakku terbatas karena aku diharapkan mondar-mandir ke segala ruangan untuk foll
Aku sedang di tengah pekerjaan saat tiba-tiba aku menerima telepon dari sekuriti lantai dasar. Ia bicara dengan nada terburu-buru.“Halo? Mbak Diva?! Bapak ada di ruangan?!” tanya si sekuriti.“Bapak sedang meeting, Pak.” Kataku.Ya, meeting dengan membawa Hana. Kurang epic apa coba.Ia membiarkan aku berkutat dengan pekerjaanku, sementara ia menggendong Hana kemana-mana. Sepertinya dia ngambek padaku karena aku membawa Hana ke kantor diam-diam tanpa persetujuannya.Aku tahu aku sedang sangat sibuk, hari ini aku menerima banyak proposal yang harus kuteliti untuk dibuat study kasusnya, lalu kesimpulan dariku akan jadi acuan bagi manajemen untuk diputuskan hasilnya. Aku juga sedang banyak menerima laporan dari kinerja setiap cabang untuk dibawa ke Rapat Kinerja bulan depan. Sebagian keputusan dari manajemen sudah keluar, aku sedang berdiskusi dengan 43 cabang mengenai solusinya.Dia tahu, Hana akan membuat gerakku terbatas karena aku diharapkan mondar-mandir ke segala ruangan untuk foll
Aku memikirkan benar-benar hasil perbincanganku dengan Danesh kemarin. Selama ini kami tidak selalu dekat bahkan tidak selalu bertemu. Danesh lebih banyak berinteraksi dengan para asistennya yang laki-laki, jadi aku hanya ditugaskan untuk masalah dokumentasi dan jadwal.Tidak kukira, pemikiran Danesh akan berumah tangga, akan kehadiran seorang anak, begitu memikatku di kala selama ini aku berpikir pria itu sangat dingin.Jadi hari ini, karena aku berencana untuk mengurangi intensitas babysitter terhadap Hana, aku pun membawa Hana ke kantor.Iya, memang nekat aksiku ini.Aku membawa seorang bayi ke kantor.Sudah pasti hal itu akan membawa hal baru, lebih banyak fitnah tentunya.Tapi sekali lagi, aku bahkan tidak peduli hal itu. Kelebihan sekaligus kekuranganku, aku tidak banyak memiliki teman. Dan pendapat orang lain mengenai kehidupan pribadiku bukanlah hal besar bagiku. Kecuali pendapat orang mengenai pekerjaanku, nah itu baru penting. Karena orang lain tidak membiayai hidupku, tapi
Kehidupan pernikahan.Indah kalau kita menikah dengan kekasih yang tepat.Bahkan banyak kasus puluhan tahun bersama, nyatanya bukan sejodoh sesurga.Pernikahan akan bagai neraka kalau kita menikah dengan pasangan yang salah.Sebagai wanita, kehidupan pacaran banyak kujalani. Karena tak ingin seperti orang tuaku, aku menjaga betul kegadisanku. Aku menghindari pria yang mengajak kenalan lewat media sosial, atau yang menemuiku saat sedang jalan-jalan. Saat kencan pertama aku langsung tinggalkan pria yang minta split bill, atau yang pick me, atau yang narsis selalu membicarakan mengenai dirinya sendiri.Iseng kutanyakan saat kencan, istrimu atau ibumu, kalau jawabannya ibu, kutinggalkan. Kalau jawabannya istri, kutinggalkan juga. Karena jawaban yang tepat adalah, ‘Keduanya’. Suamiku nanti haruslah pria yang bisa menjadi pemersatu antara istri dan ibunya. Karena dua-duanya adalah investasi dunia akhirat yang tak kalah penting.Prioritasku mengenal laki-laki bukan untuk berpacaran lama-la
Aku tidak tertawa, tapi bisa dibilang aku sedang meneliti keadaan.Para bodyguard itu seakan sudah sangat mengenal Bu Kristinah, terlihat dari sikap mereka yang secara sekilas seenaknya, tapi mereka begitu perhatian pada Ibu Mertuaku. Karena itu, kesimpulanku, Ibu mertuaku sebenarnya orang baik, tapi gengsinya tinggi.“Kamu perlu tahu, Diva,” Ibu Mertua membuka obrolan denganku. Wajahnya terlihat serius dan kelam. “Bertahun-tahun saya berusaha menyembuhkan penyakit Danesh, akan phobianya terhadap wanita. Ia pernah diulik saat usia 14 tahun, oleh sekelompok wanita dari... ah, entah dari club mana. Danesh pulang dalam keadaan linglung dan sempoyongan. CCTV di sekolahnya dulu menangkap adegan sekelompok wanita berpakaian seksi menculik Danesh menggeretnya paksa masuk ke dalam mobil van. Mereka tidak meminta tebusan apa pun, bahkan tidak menghubungi kami sedikit pun. Hasil Visum menunjukkan kalau Danesh dicekoki miras dan obat, lalu mereka merudapaksa Danesh. Danesh seringkali berteriak-t
Mbak Diva, saya tahu saya egois. Saya membebani Mbak Diva. Tapi... tolong Mbak! Tolong! Jangan sampai anak ini jatuh ke tangan ayahnya. Jangan...Akan jadi apa masa depan anak ini kalau sampai Ayahnya menemukannya...Kata-kata terakhir ibu-ibu random yang kuserempet dengan mobilku itu memenuhi pikiranku.Berhari-hari, Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Tak terasa kini sudah hampir sebulan lamanya sejak kejadian itu, Kata-kata mengiba itu tidak hilang dari mimpiku.Aku mebuka mata karena bias cahaya silau yang masuk ke pelupuk matakuApa sih yang terjadi, kok badanku sakit semua?Belakangan ini mimpi saat di rumah sakit bersama Bu Suprihartini yang menggenggam erat tanganku, menghiasi tidurku.Dan sekarang... aku sepertinya tahu di mana aku berada. Rumah sakit, selang infus dengan jarum menghujam punggung tanganku. Terasa nyeri dan perih.Dan wangi ini.Aroma Oud Musk bercampur Bergamot yang kukenal.“Diva, jangan dipaksa bangun. Nanti malah pusing.” Suara bariton yang berat.W
Tidak kusangka aku masih gemetaran saat kami sampai di apartemen.Aku memberi Hana sufor sambil duduk di sofa. Di bayanganku terdengar sosok Pepen yang gempal dan berkulit hitam, sedang berteriak-teriak dengan kasar.Aku yang baru kali ini mendengarnya saja begitu ketakutan, bagaimana Bu Suprihartini, Almarhum istrinya dulu? Setiap hari ia diancam hal seperti itu. Dalam keadaan hamil pula!“Diva, kamu duduk saja. Minum teh hangatnya.” Danesh membelai bahuku dan mengambil Hana dari gendonganku.Sambil berdiri ia menggendong dan memberi Hana susu.Kami mendengar suara tawa bayi mungil itu.Terlihat seutas senyum di bibir suamiku.“Kamu tahu siapa preman yang tadi teriak-teriak?” tanya Danesh.Aku ragu, karena aku baru kali melihat Pepen.Kuingat-ingat, menikah dengan Pepen ini bukanlah keinginan Bu Suprihartini.Pepen ini preman di kampung, Bu Suprihartini pendatang baru di kampung itu. Dia sangat cantik, wajahnya seperti artis blasteran. Bu Suprihartini dari Sukabumi, menikah dengan se
Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi. Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar. “Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku. “Maaf,” kataku sambil menyeringai. “Mamaku ke sini ya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?” “Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu. “Kamu sempat ke kantor?” tanyaku. “Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.” “Yang membuat presentasinya siapa?” “Aku.” “Kamu? Bisa?” “Kamu bertanya?” Aku terkikik. Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunan
“Ha...ah!” dia menarik nafasnya. Aku juga menarik nafasku. Selesai pernikahan singkat kami di KUA. Dan besok kami berdua akan bertingkah laku seperti tidak terjadi apa-apa, saat ke kantor. Namun kini kusadari, dia tidak mengantarku ke kosan ku. “Danesh, Kosanku ke kanan.” Kataku. Tapi tikungannya sudah lewat. “Iya, kita ke apartemenku.” “Setelah itu kamu akan antar aku ke kosan atau aku pulang sendiri?” tanyaku. Aku butuh kejelasan, karena aku ingin beristirahat secepatnya. Entah apa yang mau dia tunjukan di apartemennya yang mewah ini, tapi yang kuharapkan hanya bantal bulukku di kosan yang akan membawaku ke alam mimpi. “Kamu tidak akan pulang lagi ke Kosan. Mulai detik ini kamu pindah ke apartemenku.” Aku mengangguk. Lalu mulai mencerna maksud kata-katanya. “Danesh...” desisku. Aku baru ingat hal penting. “Aku rugi dong.” “Rugi?” “Aku sudah bayar kosan untuk setahun ke depan. Jadi aku rugi 11 bulan!” Aku tahu 11 bulan itu receh bagi Danesh. Tahu banget. Tapi uang itu
Setelah itu seharian, aku tidak fokus bekerja. Aku pacaran beberapa kali dengan berbagai jenis laki-laki, tapi tak ada yang serius. Aku juga menjaga kehormatanku karena berprinsip laki-laki yang meminta harga diriku tapi tidak menikahiku adalah lelaki pengecut. Selama ini aku juga tidak meminta apa pun kepada pacar-pacarku. Karena beberapa kali aku dituntut untuk mengembalikan barang-barang pemberian mereka, jadi aku terbiasa menyimpan semua pemberian dari mereka bertahun-tahun. Ada saja loh yang sudah lama putus tiba-tiba nongol lagi karena ingin minta ganti rugi. Untung saja hadiah darinya kusimpan rapi tanpa pernah kugunakan. Pelajaran itu membuatku semakin waspada terhadap laki-laki. Malah belakangan aku malas menjalin hubungan. Buat apa buang-buang waktu dikekang? Dilarang-larang? Disuruh-suruh dan ujungnya dikhianati? Waktu kita terbuang percuma. Kalau aku bisa menghidupi diriku sendiri. Ada banyak yang bisa kumintai tolong kalau perlu hal-hal yang tak bisa kulakukan, asalk