“Ha...ah!” dia menarik nafasnya.
Aku juga menarik nafasku. Selesai pernikahan singkat kami di KUA. Dan besok kami berdua akan bertingkah laku seperti tidak terjadi apa-apa, saat ke kantor. Namun kini kusadari, dia tidak mengantarku ke kosan ku. “Danesh, Kosanku ke kanan.” Kataku. Tapi tikungannya sudah lewat. “Iya, kita ke apartemenku.” “Setelah itu kamu akan antar aku ke kosan atau aku pulang sendiri?” tanyaku. Aku butuh kejelasan, karena aku ingin beristirahat secepatnya. Entah apa yang mau dia tunjukan di apartemennya yang mewah ini, tapi yang kuharapkan hanya bantal bulukku di kosan yang akan membawaku ke alam mimpi. “Kamu tidak akan pulang lagi ke Kosan. Mulai detik ini kamu pindah ke apartemenku.” Aku mengangguk. Lalu mulai mencerna maksud kata-katanya. “Danesh...” desisku. Aku baru ingat hal penting. “Aku rugi dong.” “Rugi?” “Aku sudah bayar kosan untuk setahun ke depan. Jadi aku rugi 11 bulan!” Aku tahu 11 bulan itu receh bagi Danesh. Tahu banget. Tapi uang itu kucari dengan seluruh kerja kerasku. Jadi menurutku bukan sekedar pecahan rupiah. Aku menengok ke arahnya lalu akhirnya mataku terpaku ke arah rahangnya. Wah... rahang itu, persegi. Juga ada seutas sembulan urat di bagian lehernya. Kulitnya kecoklatan... hidungnya mancung dan matanya saat tidak menghadapi pekerjaan ternyata terlihat teduh. Biasanya dia menatap dengan tajam seperti tidak suka, atau muak kalau melihat manusia lain.Tapi saat ini ia menatap jalanan di depan kami dengan lembut. Juga... itu lengan baju kenapa sempit begitu? Banyak yang bilang setelah putus dengan Susan, Pak Danesh sering menghabiskan waktunya di pusat kebugaran. Mungkin untuk membakar adrenalin kemarahannya. Hasilnya terbentuk biceps yang sangat memikat ternyata. Dia sudah ganteng dari dulu, tapi hari ini dia tampan maksimal. Ditambah... dia adalah suamiku! Tangannya itu, tiba-tiba terulur ke arahku. Lalu mendarat di puncak kepalaku, mengelus rambutku dengan lembut. Terakhir aku diperlakukan begitu, adalah saat sebelum ayah meninggal. 10 tahun yang lalu. Sentuhannya membangkitkan kembali masa laluku yang hangat, saat masih sering ada tawa di hidupku. “Jadi begini Nyonya Danesh, kamu itu sudah tidak diizinkan suamimu untuk tinggal di Kosan, itu akan menurunkan harga diri suamimu. Aku akan dianggap menelantarkan kamu.” Nyonya Danesh. Panggilan itu sekaan membuatku berada di posisi bangsawan. Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Terus terang saja aku bingung mau bereaksi apa. “Kamu sudah ambil cuti kan?” tanya Danesh. “Belum.” Jawabku. “Mana bisa aku mengajukan cuti seminggu? Akan ada banyak pertanyaan! Apa alasanku cuti seminggu? Pernikahan kita kan misi rahasia!” protesku. Danesh hanya tersenyum. Tipis sekali senyumya, persis saat kami berhasil mencapai kesepakatan dengan klien. Dan seperti biasa, ia minim bicara. Ia merogoh dashboard mobil dan mengambil sebuah kunci dengan kartu yang tergantung. “Akses masuk apartemenku.” Katanya sambil meletakkan rangkaian kunci itu di tanganku. “Aku disediakan kamar sendiri kan?” tanyaku kemudian. Dia diam. “Danesh Balian, aku punya kamarku sendiri kan?” aku mengulangi pertanyaanku “Kita sudah menikah.” Hanya ini jawabannya. Rasanya aliran listrik langsung menyerang nadiku. “Tapi aku… belum siap unboxing.” kataku jujur-jujuran. ini kuucapkan sambil bisik-bisik. “Hm.” Ia sedang tertawa. Tunggu... ‘HM’ tadi itu terdengar seperti sebuah nada tertawa! Sekali lagi, ia mengelus kepalaku dengan lembut. “Kalau untuk yang itu, aku akan membuatmu yang minta sendiri padaku.” bisiknya. Senyum liciknya, matanya yang berkilat saat menatapku. Benar-benar membuatku terhipnotis. siapa dia? Ini bukan Danesh yang jutek. Yang cuek dengan sekitarnya. Bukan Danesh yang dingin. Danesh yang ini begitu lembut padaku. Kalau dipikir, sejak dulu Danesh memang memperlakukanku berbeda dibanding wanita lain. Ia lebih care saat denganku. Kupikir karena aku adalah Asistennya, jadi mau tak mau kami berkepentingan. “Tapi, Yah… kalau kesabaranku habis dan aku tak tahan padamu,” ia semakin mendekatkan bibirnya di dekat telingaku. “Aku akan ambil hak ku, dengan atau tanpa persetujuanmu.” “Aku akan kabur bersama Hana.” ancamku. Tubuhku agak mundur, bersiap untuk kabur dari dalam mobil. Ia malah maju dan meraih tengkukku. Lalu menahan kepalaku agar tetap dalam posisi menatapnya. “Tidak bisa,” nada suaranya rendah namun terdengar mengancam. “Kamu tidak akan bisa berpisah dariku. Kalau kamu nekat lari, pikirkan ini, karena pengadilan pasti akan mengalihkan Hak Asuh Hana padaku. Aku akan dianggap memiliki kapasitas orang tua asuh yang lebih baik dari pada kamu. Dari segi keamanan dan keuangan. Kamu tega meninggalkan Hana?” Sial! Sial! Sial! Sial! Rubah ini sangat licik! Dia ahli strategi di kantor, dan dia memperlakukanku seperti proyek! Kenapa tidak terpikirkan sejak awal olehku? Dia pasti akan menguasaiku sepenuhnya! “Kamu ingat perjanjian pra nikah kita?” ancamku. “Tidak ada klausula kalau kita sepakat akan perpisahan. Dan tidak dijelaskan saat kita berpisah Hana akan diasuh siapa.” Ia mengelus pipiku. Aku mengerang, dia benar. Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Juga, dia jadi berani pegang-pegang aku sejak tadi, Tapi bagaimana pun dia sudah jadi suamiku. Masa kularang-larang dia menyentuhku?! “Aku ingin kamu selalu di dekatku. Jadi sekarang, silakan kamu tinggal di apartemenku. Kamar Hana berada tepat di sebelah kamar kita.” katanya berbisik. Dan dia akhirnya melepasku. Menjauh dariku Dengan senyum yang tersungging, simpul namun sinis. Seakan mengejek kepolosanku. Sisi sifatnya yang ini, yang licik dan apa adanya ini, baru kali ini kulihat! Dan malah membuatku takut padanya karena semakin tak bisa kutebak langkahnya. **Apartemennya, mewah dan eksklusif. Minusnya, seakan tanpa kehidupan, layaknya display di toko perabot. Aku juga berani bertaruh dia bahkan tidak tahu bagaimana cara sofa itu didapatkan. Kalau barang-barangku di kosan, aku tahu persis riwayat dari setiap barangnya, seperti lampu tidur yang kutemukan di tempat sampah tetanggaku, atau karpet yang saat kupesan tiba-tiba salah motif tapi malah jadinya membuat kamarku terasa hidup.
Apartemen Danesh... hampa. Tapi plusnya, dia sudah menyiapkan kamar Hana dengan detail. Lengkap dengan tempat tidur yang bisa diupgrade, bisa ditiduri Hana dari bayi sampai berusia 12 tahun. Aku mungkin akan tidur di sofa yang kelihatannya empuk, yang diletakkan di samping tempat tidur Hana saja. Pak Danesh sedang pergi ke Kosanku, katanya akan mengemasi barang-barangku. Aku disuruhnya santai-santai di sini. Mungkin aku akan mandi saja, make up-ku masih mode pernikahan. Besok, kami berencana menjemput Hana, semoga semuanya berjalan lancar. Tapi, malamku ternyata tidak sesederhana harapanku. Aku baru selesai mandi dan memakai skincare malamku saat kudengar seseorang menekan bel apartemen. “Cepat juga beres-beresnya,” aku berkata demikian sambil melihat jam dinding. Hebat juga Danesh bisa mengepak semuanya dalam waktu setengah jam. “Iyaaa, sabar. Cepat juga kamu-“ Oh tidak. Yang di depan pintu bukan Danesh. Tapi seorang perempuan paruh baya yang sangat cantik. Rambutnya yang putih terblow sempurna, dan pakaiannya sangat indah. Dia datang bersama dua orang pria yang tampaknya bodyguard. “Loh?” ia mengernyit sambil menatapku, lalu ia sedikit mundur untuk memastikan nomor pintu. “Benar kan ini nomornya ya? Penthouse 2?” tanyanya. “Iya bu ini benar Penthouse 2.” Kataku. Aku langsung tahu siapa wanita bersahaja di depanku ini. “Dan kamu siapa? ARTnya Danesh?” tanyanya. Aku mencibir. “Tidak mungkin ART bu, bisa jadi malah dia ani-ani nya Mas Danesh.” Bisik salah satu Bodyguardnya. Kurang ajar. “Haaaahhh?!” seru si ibu-ibu sosialita. “Saya istrinya Danesh, Bu, Mas.” Aku akhirnya menyerah dengan segala kehebohan ini. Seusai dugaanku, semua langsung terdiam. Mereka semua menatapku dari atas ke bawah. “Lebih cantik dari yang sudah-sudah,” bisik salah satu bodyguard ke Sang Ibu. “Ya tapi kita tak tahu latar belakangnya!” “Saya anak terlantar, Bu.” Jawabku. Semua diam lagi. “Saya akan... berbicara dengan lebih intens saat Danesh di sini. Lain kali kita bertemu lagi.” Kata si Nyonya besar sambil berbalik, beberapa kali dia menatapku dari atas ke bawah, lalu kembali lagi ke atas kepalaku dan matanya berakhir di ujung kakiku. “Ibu tidak masuk dulu?” tawarku “Saya ada arisan.” Jawabnya sambil balik badan meninggalkanku. “Dia bohong, tak ada arisan.” Bisik salah satu bodyguardnya padaku. “Betewe, Kamu cantik.” Ia bahkan mengerling ke arahku. “Mas Danesh jarang terlihat bersama wanita, dan kami lumayan trauma dengan Susan. Syukur kepada Tuhan dia pilih yang tampak polos begini. Hati-hati kalau malam pertama, nomor darurat 112.” Kikik bodyguard yang lain. “Ambulance 119, damkar 113.” Bisik yang lain. “Ngapain panggil damkar?!” tanya salah satunya. “Siapa tahu keborgol di ranjang nggak bisa lepas, wahahaha!” “Hush! Berisik!” sembur Nyonya. Dan mereka pun berjalan ke arah lift, masih kudengar obrolan mereka dan omelan Sang Nyonya di ujung koridor. Rombongan apa sih yang barusan menemuiku? Ludruk?Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi. Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar. “Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku. “Maaf,” kataku sambil menyeringai. “Mamaku ke sini ya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?” “Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu. “Kamu sempat ke kantor?” tanyaku. “Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.” “Yang membuat presentasinya siapa?” “Aku.” “Kamu? Bisa?” “Kamu bertanya?” Aku terkikik. Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunan
Tidak kusangka aku masih gemetaran saat kami sampai di apartemen.Aku memberi Hana sufor sambil duduk di sofa. Di bayanganku terdengar sosok Pepen yang gempal dan berkulit hitam, sedang berteriak-teriak dengan kasar.Aku yang baru kali ini mendengarnya saja begitu ketakutan, bagaimana Bu Suprihartini, Almarhum istrinya dulu? Setiap hari ia diancam hal seperti itu. Dalam keadaan hamil pula!“Diva, kamu duduk saja. Minum teh hangatnya.” Danesh membelai bahuku dan mengambil Hana dari gendonganku.Sambil berdiri ia menggendong dan memberi Hana susu.Kami mendengar suara tawa bayi mungil itu.Terlihat seutas senyum di bibir suamiku.“Kamu tahu siapa preman yang tadi teriak-teriak?” tanya Danesh.Aku ragu, karena aku baru kali melihat Pepen.Kuingat-ingat, menikah dengan Pepen ini bukanlah keinginan Bu Suprihartini.Pepen ini preman di kampung, Bu Suprihartini pendatang baru di kampung itu. Dia sangat cantik, wajahnya seperti artis blasteran. Bu Suprihartini dari Sukabumi, menikah dengan se
Mbak Diva, saya tahu saya egois. Saya membebani Mbak Diva. Tapi... tolong Mbak! Tolong! Jangan sampai anak ini jatuh ke tangan ayahnya. Jangan...Akan jadi apa masa depan anak ini kalau sampai Ayahnya menemukannya...Kata-kata terakhir ibu-ibu random yang kuserempet dengan mobilku itu memenuhi pikiranku.Berhari-hari, Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Tak terasa kini sudah hampir sebulan lamanya sejak kejadian itu, Kata-kata mengiba itu tidak hilang dari mimpiku.Aku mebuka mata karena bias cahaya silau yang masuk ke pelupuk matakuApa sih yang terjadi, kok badanku sakit semua?Belakangan ini mimpi saat di rumah sakit bersama Bu Suprihartini yang menggenggam erat tanganku, menghiasi tidurku.Dan sekarang... aku sepertinya tahu di mana aku berada. Rumah sakit, selang infus dengan jarum menghujam punggung tanganku. Terasa nyeri dan perih.Dan wangi ini.Aroma Oud Musk bercampur Bergamot yang kukenal.“Diva, jangan dipaksa bangun. Nanti malah pusing.” Suara bariton yang berat.W
Aku tidak tertawa, tapi bisa dibilang aku sedang meneliti keadaan.Para bodyguard itu seakan sudah sangat mengenal Bu Kristinah, terlihat dari sikap mereka yang secara sekilas seenaknya, tapi mereka begitu perhatian pada Ibu Mertuaku. Karena itu, kesimpulanku, Ibu mertuaku sebenarnya orang baik, tapi gengsinya tinggi.“Kamu perlu tahu, Diva,” Ibu Mertua membuka obrolan denganku. Wajahnya terlihat serius dan kelam. “Bertahun-tahun saya berusaha menyembuhkan penyakit Danesh, akan phobianya terhadap wanita. Ia pernah diulik saat usia 14 tahun, oleh sekelompok wanita dari... ah, entah dari club mana. Danesh pulang dalam keadaan linglung dan sempoyongan. CCTV di sekolahnya dulu menangkap adegan sekelompok wanita berpakaian seksi menculik Danesh menggeretnya paksa masuk ke dalam mobil van. Mereka tidak meminta tebusan apa pun, bahkan tidak menghubungi kami sedikit pun. Hasil Visum menunjukkan kalau Danesh dicekoki miras dan obat, lalu mereka merudapaksa Danesh. Danesh seringkali berteriak-t
Kehidupan pernikahan.Indah kalau kita menikah dengan kekasih yang tepat.Bahkan banyak kasus puluhan tahun bersama, nyatanya bukan sejodoh sesurga.Pernikahan akan bagai neraka kalau kita menikah dengan pasangan yang salah.Sebagai wanita, kehidupan pacaran banyak kujalani. Karena tak ingin seperti orang tuaku, aku menjaga betul kegadisanku. Aku menghindari pria yang mengajak kenalan lewat media sosial, atau yang menemuiku saat sedang jalan-jalan. Saat kencan pertama aku langsung tinggalkan pria yang minta split bill, atau yang pick me, atau yang narsis selalu membicarakan mengenai dirinya sendiri.Iseng kutanyakan saat kencan, istrimu atau ibumu, kalau jawabannya ibu, kutinggalkan. Kalau jawabannya istri, kutinggalkan juga. Karena jawaban yang tepat adalah, ‘Keduanya’. Suamiku nanti haruslah pria yang bisa menjadi pemersatu antara istri dan ibunya. Karena dua-duanya adalah investasi dunia akhirat yang tak kalah penting.Prioritasku mengenal laki-laki bukan untuk berpacaran lama-la
Aku memikirkan benar-benar hasil perbincanganku dengan Danesh kemarin. Selama ini kami tidak selalu dekat bahkan tidak selalu bertemu. Danesh lebih banyak berinteraksi dengan para asistennya yang laki-laki, jadi aku hanya ditugaskan untuk masalah dokumentasi dan jadwal.Tidak kukira, pemikiran Danesh akan berumah tangga, akan kehadiran seorang anak, begitu memikatku di kala selama ini aku berpikir pria itu sangat dingin.Jadi hari ini, karena aku berencana untuk mengurangi intensitas babysitter terhadap Hana, aku pun membawa Hana ke kantor.Iya, memang nekat aksiku ini.Aku membawa seorang bayi ke kantor.Sudah pasti hal itu akan membawa hal baru, lebih banyak fitnah tentunya.Tapi sekali lagi, aku bahkan tidak peduli hal itu. Kelebihan sekaligus kekuranganku, aku tidak banyak memiliki teman. Dan pendapat orang lain mengenai kehidupan pribadiku bukanlah hal besar bagiku. Kecuali pendapat orang mengenai pekerjaanku, nah itu baru penting. Karena orang lain tidak membiayai hidupku, tapi
Aku sedang di tengah pekerjaan saat tiba-tiba aku menerima telepon dari sekuriti lantai dasar. Ia bicara dengan nada terburu-buru.“Halo? Mbak Diva?! Bapak ada di ruangan?!” tanya si sekuriti.“Bapak sedang meeting, Pak.” Kataku.Ya, meeting dengan membawa Hana. Kurang epic apa coba.Ia membiarkan aku berkutat dengan pekerjaanku, sementara ia menggendong Hana kemana-mana. Sepertinya dia ngambek padaku karena aku membawa Hana ke kantor diam-diam tanpa persetujuannya.Aku tahu aku sedang sangat sibuk, hari ini aku menerima banyak proposal yang harus kuteliti untuk dibuat study kasusnya, lalu kesimpulan dariku akan jadi acuan bagi manajemen untuk diputuskan hasilnya. Aku juga sedang banyak menerima laporan dari kinerja setiap cabang untuk dibawa ke Rapat Kinerja bulan depan. Sebagian keputusan dari manajemen sudah keluar, aku sedang berdiskusi dengan 43 cabang mengenai solusinya.Dia tahu, Hana akan membuat gerakku terbatas karena aku diharapkan mondar-mandir ke segala ruangan untuk foll
Panti Asuhan tempat anak itu dititipkan, tidak ingin memproses adopsi anak itu untukku.Saat aku berhadapan dengan Kepala Pantinya, yang menatapku dengan pandangan berat seakan aku ini kandidat orang tua asuh yang tak layak, ia hanya bisa menggeleng.“Bu Novi,” aku bersikeras mencoba meyakinkannya. “Ibu tahu sendiri, kalau Bu Suprihartini mengamanahkan saya untuk mengadopsi anaknya!” seruku kesal. Aku gemas dengan birokrasi yang beredar. Aku sampai meninggikan suaraku di panti asuhan ini. “Ya, Mbak Diva, saya tahu. Saya ada di sana saat itu, bersama kamu. Saya ingat kejadiannya, saya ingat kalimat persis yang Bu Suprihartini ucapkan pada kamu.” Bu Novi mengatakan hal ini dengan nada tegas padaku. “Tapi Anda kami anggap tidak layak mengadopsi Hana!”“Alasannya apa?!” tanyaku mendesaknya.Kulihat Bu Novi menipiskan bibirnya dan menarik nafas dengan tubuh gemetar.Kemarahannya sudah memuncak tapi rasa sabar ia tekan sedemikian rupa.Ia mencondongkan tubuhnya padaku sambil berbisik. “Ini
Aku sedang di tengah pekerjaan saat tiba-tiba aku menerima telepon dari sekuriti lantai dasar. Ia bicara dengan nada terburu-buru.“Halo? Mbak Diva?! Bapak ada di ruangan?!” tanya si sekuriti.“Bapak sedang meeting, Pak.” Kataku.Ya, meeting dengan membawa Hana. Kurang epic apa coba.Ia membiarkan aku berkutat dengan pekerjaanku, sementara ia menggendong Hana kemana-mana. Sepertinya dia ngambek padaku karena aku membawa Hana ke kantor diam-diam tanpa persetujuannya.Aku tahu aku sedang sangat sibuk, hari ini aku menerima banyak proposal yang harus kuteliti untuk dibuat study kasusnya, lalu kesimpulan dariku akan jadi acuan bagi manajemen untuk diputuskan hasilnya. Aku juga sedang banyak menerima laporan dari kinerja setiap cabang untuk dibawa ke Rapat Kinerja bulan depan. Sebagian keputusan dari manajemen sudah keluar, aku sedang berdiskusi dengan 43 cabang mengenai solusinya.Dia tahu, Hana akan membuat gerakku terbatas karena aku diharapkan mondar-mandir ke segala ruangan untuk foll
Aku memikirkan benar-benar hasil perbincanganku dengan Danesh kemarin. Selama ini kami tidak selalu dekat bahkan tidak selalu bertemu. Danesh lebih banyak berinteraksi dengan para asistennya yang laki-laki, jadi aku hanya ditugaskan untuk masalah dokumentasi dan jadwal.Tidak kukira, pemikiran Danesh akan berumah tangga, akan kehadiran seorang anak, begitu memikatku di kala selama ini aku berpikir pria itu sangat dingin.Jadi hari ini, karena aku berencana untuk mengurangi intensitas babysitter terhadap Hana, aku pun membawa Hana ke kantor.Iya, memang nekat aksiku ini.Aku membawa seorang bayi ke kantor.Sudah pasti hal itu akan membawa hal baru, lebih banyak fitnah tentunya.Tapi sekali lagi, aku bahkan tidak peduli hal itu. Kelebihan sekaligus kekuranganku, aku tidak banyak memiliki teman. Dan pendapat orang lain mengenai kehidupan pribadiku bukanlah hal besar bagiku. Kecuali pendapat orang mengenai pekerjaanku, nah itu baru penting. Karena orang lain tidak membiayai hidupku, tapi
Kehidupan pernikahan.Indah kalau kita menikah dengan kekasih yang tepat.Bahkan banyak kasus puluhan tahun bersama, nyatanya bukan sejodoh sesurga.Pernikahan akan bagai neraka kalau kita menikah dengan pasangan yang salah.Sebagai wanita, kehidupan pacaran banyak kujalani. Karena tak ingin seperti orang tuaku, aku menjaga betul kegadisanku. Aku menghindari pria yang mengajak kenalan lewat media sosial, atau yang menemuiku saat sedang jalan-jalan. Saat kencan pertama aku langsung tinggalkan pria yang minta split bill, atau yang pick me, atau yang narsis selalu membicarakan mengenai dirinya sendiri.Iseng kutanyakan saat kencan, istrimu atau ibumu, kalau jawabannya ibu, kutinggalkan. Kalau jawabannya istri, kutinggalkan juga. Karena jawaban yang tepat adalah, ‘Keduanya’. Suamiku nanti haruslah pria yang bisa menjadi pemersatu antara istri dan ibunya. Karena dua-duanya adalah investasi dunia akhirat yang tak kalah penting.Prioritasku mengenal laki-laki bukan untuk berpacaran lama-la
Aku tidak tertawa, tapi bisa dibilang aku sedang meneliti keadaan.Para bodyguard itu seakan sudah sangat mengenal Bu Kristinah, terlihat dari sikap mereka yang secara sekilas seenaknya, tapi mereka begitu perhatian pada Ibu Mertuaku. Karena itu, kesimpulanku, Ibu mertuaku sebenarnya orang baik, tapi gengsinya tinggi.“Kamu perlu tahu, Diva,” Ibu Mertua membuka obrolan denganku. Wajahnya terlihat serius dan kelam. “Bertahun-tahun saya berusaha menyembuhkan penyakit Danesh, akan phobianya terhadap wanita. Ia pernah diulik saat usia 14 tahun, oleh sekelompok wanita dari... ah, entah dari club mana. Danesh pulang dalam keadaan linglung dan sempoyongan. CCTV di sekolahnya dulu menangkap adegan sekelompok wanita berpakaian seksi menculik Danesh menggeretnya paksa masuk ke dalam mobil van. Mereka tidak meminta tebusan apa pun, bahkan tidak menghubungi kami sedikit pun. Hasil Visum menunjukkan kalau Danesh dicekoki miras dan obat, lalu mereka merudapaksa Danesh. Danesh seringkali berteriak-t
Mbak Diva, saya tahu saya egois. Saya membebani Mbak Diva. Tapi... tolong Mbak! Tolong! Jangan sampai anak ini jatuh ke tangan ayahnya. Jangan...Akan jadi apa masa depan anak ini kalau sampai Ayahnya menemukannya...Kata-kata terakhir ibu-ibu random yang kuserempet dengan mobilku itu memenuhi pikiranku.Berhari-hari, Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Tak terasa kini sudah hampir sebulan lamanya sejak kejadian itu, Kata-kata mengiba itu tidak hilang dari mimpiku.Aku mebuka mata karena bias cahaya silau yang masuk ke pelupuk matakuApa sih yang terjadi, kok badanku sakit semua?Belakangan ini mimpi saat di rumah sakit bersama Bu Suprihartini yang menggenggam erat tanganku, menghiasi tidurku.Dan sekarang... aku sepertinya tahu di mana aku berada. Rumah sakit, selang infus dengan jarum menghujam punggung tanganku. Terasa nyeri dan perih.Dan wangi ini.Aroma Oud Musk bercampur Bergamot yang kukenal.“Diva, jangan dipaksa bangun. Nanti malah pusing.” Suara bariton yang berat.W
Tidak kusangka aku masih gemetaran saat kami sampai di apartemen.Aku memberi Hana sufor sambil duduk di sofa. Di bayanganku terdengar sosok Pepen yang gempal dan berkulit hitam, sedang berteriak-teriak dengan kasar.Aku yang baru kali ini mendengarnya saja begitu ketakutan, bagaimana Bu Suprihartini, Almarhum istrinya dulu? Setiap hari ia diancam hal seperti itu. Dalam keadaan hamil pula!“Diva, kamu duduk saja. Minum teh hangatnya.” Danesh membelai bahuku dan mengambil Hana dari gendonganku.Sambil berdiri ia menggendong dan memberi Hana susu.Kami mendengar suara tawa bayi mungil itu.Terlihat seutas senyum di bibir suamiku.“Kamu tahu siapa preman yang tadi teriak-teriak?” tanya Danesh.Aku ragu, karena aku baru kali melihat Pepen.Kuingat-ingat, menikah dengan Pepen ini bukanlah keinginan Bu Suprihartini.Pepen ini preman di kampung, Bu Suprihartini pendatang baru di kampung itu. Dia sangat cantik, wajahnya seperti artis blasteran. Bu Suprihartini dari Sukabumi, menikah dengan se
Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi. Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar. “Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku. “Maaf,” kataku sambil menyeringai. “Mamaku ke sini ya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?” “Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu. “Kamu sempat ke kantor?” tanyaku. “Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.” “Yang membuat presentasinya siapa?” “Aku.” “Kamu? Bisa?” “Kamu bertanya?” Aku terkikik. Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunan
“Ha...ah!” dia menarik nafasnya. Aku juga menarik nafasku. Selesai pernikahan singkat kami di KUA. Dan besok kami berdua akan bertingkah laku seperti tidak terjadi apa-apa, saat ke kantor. Namun kini kusadari, dia tidak mengantarku ke kosan ku. “Danesh, Kosanku ke kanan.” Kataku. Tapi tikungannya sudah lewat. “Iya, kita ke apartemenku.” “Setelah itu kamu akan antar aku ke kosan atau aku pulang sendiri?” tanyaku. Aku butuh kejelasan, karena aku ingin beristirahat secepatnya. Entah apa yang mau dia tunjukan di apartemennya yang mewah ini, tapi yang kuharapkan hanya bantal bulukku di kosan yang akan membawaku ke alam mimpi. “Kamu tidak akan pulang lagi ke Kosan. Mulai detik ini kamu pindah ke apartemenku.” Aku mengangguk. Lalu mulai mencerna maksud kata-katanya. “Danesh...” desisku. Aku baru ingat hal penting. “Aku rugi dong.” “Rugi?” “Aku sudah bayar kosan untuk setahun ke depan. Jadi aku rugi 11 bulan!” Aku tahu 11 bulan itu receh bagi Danesh. Tahu banget. Tapi uang itu
Setelah itu seharian, aku tidak fokus bekerja. Aku pacaran beberapa kali dengan berbagai jenis laki-laki, tapi tak ada yang serius. Aku juga menjaga kehormatanku karena berprinsip laki-laki yang meminta harga diriku tapi tidak menikahiku adalah lelaki pengecut. Selama ini aku juga tidak meminta apa pun kepada pacar-pacarku. Karena beberapa kali aku dituntut untuk mengembalikan barang-barang pemberian mereka, jadi aku terbiasa menyimpan semua pemberian dari mereka bertahun-tahun. Ada saja loh yang sudah lama putus tiba-tiba nongol lagi karena ingin minta ganti rugi. Untung saja hadiah darinya kusimpan rapi tanpa pernah kugunakan. Pelajaran itu membuatku semakin waspada terhadap laki-laki. Malah belakangan aku malas menjalin hubungan. Buat apa buang-buang waktu dikekang? Dilarang-larang? Disuruh-suruh dan ujungnya dikhianati? Waktu kita terbuang percuma. Kalau aku bisa menghidupi diriku sendiri. Ada banyak yang bisa kumintai tolong kalau perlu hal-hal yang tak bisa kulakukan, asalk