Oke, kami akan membahas target cabang, jadi meeting kecil kali ini akan melibatkan semua asisten di sini.
“Bos lagi galau.” Salah satu Asisten Bos meletakkan Map di atas mejaku. Hasil notulen meeting barusan. Sebut saja namanya Ali, seorang laki-laki berusia sekitar 25an, kami sepantaran tapi dia memanggil semua orang dengan sebutan ‘Mbak’ atau ‘Bu’ untuk perwujudan kesopanan. Ali bisik-bisik, tapi karena panik bisikannya jadi mengudang perhatian sekelilingnya. “Pak Danesh mau ke Surabaya nanti malam! Aku disuruhnya cariin tiket sekarang.” “Mau kubantu?” Sahutku santai. Itu memang pekerjaanku, sementara Asisten Direksi mengurusi keperluan masing-masing direksinya. Untuk tiket atau tempat booking jadi jobdeskku agar akses ke bagian umum untuk masalah reumberst dipermudah lewat satu pintu saja. Tangan Ali mencegah jemariku yang bersiap meng-klik mouse untuk cari tiket. “Bisa bilang Ke Pak Danesh kalau tidak ada tiket available ke sana nggak Mbak?” Aku mengangkat alisku. “Kenapa harus berbohong? Penerbangan sedang longgar nih, banyak tiket murah untuk penerbangan malam.” “Ini tiket ke Surabaya loh Mbaaaaak, itu kan tempatnya...” Ali semakin mencondongkan tubuhnya ke arahku, “Si mantaaaaan...” Hm. Aku tidak melihat ada hubungan antara si mantan dengan pekerjaan kami,itu kan ranah pribadinya Bosku, tapi kudengarkan dulu saja penyebab Ali sepanik ini. “Lalu?” “Katanya dia minta balikan sama si Mantan karena ibunya minta dia segera menikah. Bisa heboh lagi dan ganggu kerja kita nggak sih Mbak? Ingat kan tingkahnya yang merasa level dewita saat mereka masih berhubungan? Di acak-acaknya-“ ”Oke!” sahutku menghentikan ucapan Ali. “But nothing we can do about it...” sahutku mengingatkan porsi kerja kami masing-masing. Mau direksi balikan sama mantan toxic kek, mau dia jalan kayang, kek. Kita hanya bawahan. Disuruh ya lakukan selama sesuai jobdesk. Kenapa Ali curhat padaku? Karena aku yang paling tidak bisa disuruh-suruh oleh si mantan toxic. Selalu melawan. Aku berkali-kali diancam dipecat oleh Susan Prasodjo, si mantan Bosku, nyatanya sampai sekarang malah dia yang ‘dipecat’ kok. Yah tapi... aku kepikiran juga. Padahal kami sudah menikmati hari-hari penuh ketenangan setelah mereka putus. Masa besok kami harus ribet-ribetan lagi. “Aku boleh tanya dulu ya ke si Bos mengenai tiketnya? Apakah bisa ditunda sampai besok pagi, atau harus malam ini.” aku minta izin ke Ali. “Silakan. Tapi usahakan dia tunda dulu. Aku butuh persiapan, harus secepatnya kasih dia kandidat foto cewek single dari I*******m, biar dia cari cewek selain Susan.” desis Ali sambil menggiringku menuju ruangan Pak Bos. ** Danesh Balian Direktur Bisnis dan Strategi. PT. Raksamanggala Mitrajaya.Melihat jabatan se-bonafit itu seharusnya tidak boleh ada gangguan apa pun di pekerjaannya kan? Termasuk urusan cewek labil merepotkan yang suka mengacak-acak semua janji meeting dan pertemuan.
Karena Pak Danesh harus memberi makan 1500 karyawannya di seluruh Indonesia, jangan sampai Presdir harus turun tangan lagi menangani pekerjaan yang bukan ranahnya. Malulah cuma gara-gara masalah cewek doang. Aku menarik nafas sesaat sebelum masuk ke ruangannya, dalam setahun bisa dihitung berapa kali aku masuk sendiri ke dalam ruangan ini. Sejarang itu aku mengobrol dengan Pak Danesh. “Yaaa?” terdengar suara dari dalam saat aku mengetuk pintu itu 3 kali. Aku pun melongok ke dalam saat kubuka sedikit pintunya, Pak Danesh sedang di depan komputernya sambil melirik sekilas ke arahku, “Sudah selesai laporan targetnya?” tanyanya. “Mohon izin Pak, boleh? Tapi setengahnya di luar masalah pekerjaan.” “Saya sedang agak sibuk.” Gumamnya. “Saya usahakan cepat.” Tawarku. “Oke.” Katanya sambil duduk bersandar menungguku. Aku berdiri di depannya. Bismillah, sekarang aku pasrahkan semuanya. Kuserahkan urusan duniaku ke Tuhan Yang Maha Esa. “Pertama, Saya sudah pesankan tiket untuk penerbangan nanti malam ke Surabaya, mobil operasional akan menjemput Pak Danesh di apartemen pukul 7 malam, saya akan sediakan makan malam di mobil. Mobil operasional cabang Surabaya sudah saya instruksikan untuk standby sejak pukul 8 nanti malam. Bapak mau dipesankan tiket untuk pulang dari Surabaya ke Jakarta?” tanyaku. “Tidak usah, saya tidak tahu kapan saya akan pulang. Nanti saya kabari Ali.” Kata Pak Danesh. “Lalu... topik kedua,” desisku. Kurasakan jemariku jadi dingin. “Saya butuh suami, Pak. Kalau bapak ke Surabaya dan kenal dengan pria yang cocok dengan tabiat saya yang jutek ini, boleh dikenalkan ke saya ya pak?” Aku lalu diam. Jeda sebentar, rasanya aku kehabisan nafas. Ini sih aku memancing untuk dipecat. Atau mungkin dimutasi, atau bisa jadi dipindah ke divisi lain. Apa yang barusan kuucapkan?! Berani sekali aku! “Apa?” tanyanya pelan. Terlihat dia juga terkejut. Aku pun kaget dengan mulutku ini. “Ja-ja-jadi, saya... belum berhasil mengadopsi Hana, karena saya belum menikah.” Aku segera mengemukakan alasannya, takut dia salah paham. “Hm, masuk akal. Saya sudah feeling dari dulu waktu kamu minta izin untuk mengurus dokumen orang tua asuh.” Aku merengut. Aku ingat Pak Danesh memang pernah berujar begitu dulu. Lalu kami diam beberapa saat, Pak Danesh menatapku sambil mengetuk-ngetuk telunjuknya di pinggiran kursi. Aku hanya bisa menunduk sambil berdiri. “Kalau begitu, Diva.” Ia angkat bicara, aku mengangkat wajahku. “Bagaimana kalau kamu menikah saja, dengan saya.” ** Bisa bayangkan kekagetanku? Sigma Male di depanku ini, yang biasanya kalem, pendiam, tapi sat-set kalau kerja, memintaku jadi istrinya Tunggu, aku berhalusinasi ya? Apakah aku terkena serangan panik karena tidak bisa mengadopsi Hana? Jadi pikiranku menciptakan bayangan sendiri? Aku bahkan tidak terlalu mengenal Pak Danesh! Kami hanya bicara sepatah-sepatah mengenai pekerjaan. Dia lebih banyak berinteraksi dengan Asistennya. Dan sepertinya, Pak Danesh membatasi diri untuk dekat dengan kaum wanita. Satu-satunya wanita yang dekat dengannya hanya Susan, makanya kami kaget waktu tahu beliau memiliki pacar. Kami pikir tadinya Pak Danesh tidak suka perempuan. Aku pun selama bekerja di sini membatasi diri berinteraksi dengannya. Kecuali saat, aku menyerempet Bu Suprihartini, aku dengan sangat terpaksa menelepon Pak Danesh. Karena kupikir proses membereskan tragedi ini akan memakan waktu lama, aku pasti akan mengganggu aktifitas kantor. Waktu hal itu terjadi, Pak Danesh langsung datang ke klinik, dan membayar semua pengeluaran. Ia juga menghubungi pengacara untuk melindungiku, juga menghubungi Bu Novi si pemilik Panti Asuhan saat Bu Suprihartini akhirnya meninggal setelah mengatakan wasiat. Ya, dia mengurus semuanya. Ia lakukan dalam diam. Pokoknya aku sudah terima beres. Aku sampai pagi hanya mengenggam tangan Bu Suprihartini yang mengejan untuk mengeluarkan Hana dari perutnya karena sudah bukaan 8 saat ia terserempet mobilku. Setelah Hana keluar, dengan terbata-bata ia menjelaskan ke polisi kalau ia berjalan sempoyongan mencari bidan, karena akan melahirkan. Sekaligus, ia baru saja mengalami kekerasan dari suaminya. Kekerasan itulah yang membuatnya mengalami bukaan lebih cepat. Aku memang melihat sekujur tubuhnya biru-biru, malah banyak titik-titik bekas sundutan rokok di betisnya. Terlebih, aku lebih tenang karena Pak Danesh ada di sana. Padahal aku menelponnya karena mau minta izin cuti mendadak. Dia malah datang untukku.Dan kini, Saat ini, Dia minta aku jadi istrinya? Kejadian apa lagi ini?! “Bapak... bukannya akan ke Surabaya untuk bertemu dengan... Susan?” tanyaku. Ia mengangkat alisnya. “Saya ke Surabaya untuk urusan pekerjaan.” Jawabnya. Sialan si Ali! Kan aku jadi maluuuuu! Aku langsung menunduk. “Maaf Pak.” Kataku pelan. Aku malu banget sumpah! Aku bisa melihat sudut bibirnya naik sedikit, ia sedang menertawakan kepolosan kami. Atau bisa jadi dia sinis menanggapi gosip yang beredar. Karena dia tidak bisa ditebak, jadi aku hanya bisa mengira-ngira. “Kenapa bapak... minta saya jadi istri?” aku bicara dengan hati-hati. Kalau dia tersinggung kan gawat. “Karena kita sama-sama butuh status itu.” Ia menjawab dengan tegas, seakan tanpa beban. Apakah pernikahan hanya bernilai segitu di matanya? Bagiku pernikahan adalah sesuatu yang berat, apalagi kalau menikah dengan orang yang salah. Kita harus menghabiskan waktu dengan orang lain, di mana tidak selalu kita bersinergi dengannya. Aku ing
Setelah itu seharian, aku tidak fokus bekerja. Aku pacaran beberapa kali dengan berbagai jenis laki-laki, tapi tak ada yang serius. Aku juga menjaga kehormatanku karena berprinsip laki-laki yang meminta harga diriku tapi tidak menikahiku adalah lelaki pengecut. Selama ini aku juga tidak meminta apa pun kepada pacar-pacarku. Karena beberapa kali aku dituntut untuk mengembalikan barang-barang pemberian mereka, jadi aku terbiasa menyimpan semua pemberian dari mereka bertahun-tahun. Ada saja loh yang sudah lama putus tiba-tiba nongol lagi karena ingin minta ganti rugi. Untung saja hadiah darinya kusimpan rapi tanpa pernah kugunakan. Pelajaran itu membuatku semakin waspada terhadap laki-laki. Malah belakangan aku malas menjalin hubungan. Buat apa buang-buang waktu dikekang? Dilarang-larang? Disuruh-suruh dan ujungnya dikhianati? Waktu kita terbuang percuma. Kalau aku bisa menghidupi diriku sendiri. Ada banyak yang bisa kumintai tolong kalau perlu hal-hal yang tak bisa kulakukan, asalk
“Ha...ah!” dia menarik nafasnya. Aku juga menarik nafasku. Selesai pernikahan singkat kami di KUA. Dan besok kami berdua akan bertingkah laku seperti tidak terjadi apa-apa, saat ke kantor. Namun kini kusadari, dia tidak mengantarku ke kosan ku. “Danesh, Kosanku ke kanan.” Kataku. Tapi tikungannya sudah lewat. “Iya, kita ke apartemenku.” “Setelah itu kamu akan antar aku ke kosan atau aku pulang sendiri?” tanyaku. Aku butuh kejelasan, karena aku ingin beristirahat secepatnya. Entah apa yang mau dia tunjukan di apartemennya yang mewah ini, tapi yang kuharapkan hanya bantal bulukku di kosan yang akan membawaku ke alam mimpi. “Kamu tidak akan pulang lagi ke Kosan. Mulai detik ini kamu pindah ke apartemenku.” Aku mengangguk. Lalu mulai mencerna maksud kata-katanya. “Danesh...” desisku. Aku baru ingat hal penting. “Aku rugi dong.” “Rugi?” “Aku sudah bayar kosan untuk setahun ke depan. Jadi aku rugi 11 bulan!” Aku tahu 11 bulan itu receh bagi Danesh. Tahu banget. Tapi uang itu
Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi. Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar. “Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku. “Maaf,” kataku sambil menyeringai. “Mamaku ke sini ya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?” “Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu. “Kamu sempat ke kantor?” tanyaku. “Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.” “Yang membuat presentasinya siapa?” “Aku.” “Kamu? Bisa?” “Kamu bertanya?” Aku terkikik. Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunan
Tidak kusangka aku masih gemetaran saat kami sampai di apartemen.Aku memberi Hana sufor sambil duduk di sofa. Di bayanganku terdengar sosok Pepen yang gempal dan berkulit hitam, sedang berteriak-teriak dengan kasar.Aku yang baru kali ini mendengarnya saja begitu ketakutan, bagaimana Bu Suprihartini, Almarhum istrinya dulu? Setiap hari ia diancam hal seperti itu. Dalam keadaan hamil pula!“Diva, kamu duduk saja. Minum teh hangatnya.” Danesh membelai bahuku dan mengambil Hana dari gendonganku.Sambil berdiri ia menggendong dan memberi Hana susu.Kami mendengar suara tawa bayi mungil itu.Terlihat seutas senyum di bibir suamiku.“Kamu tahu siapa preman yang tadi teriak-teriak?” tanya Danesh.Aku ragu, karena aku baru kali melihat Pepen.Kuingat-ingat, menikah dengan Pepen ini bukanlah keinginan Bu Suprihartini.Pepen ini preman di kampung, Bu Suprihartini pendatang baru di kampung itu. Dia sangat cantik, wajahnya seperti artis blasteran. Bu Suprihartini dari Sukabumi, menikah dengan se
Mbak Diva, saya tahu saya egois. Saya membebani Mbak Diva. Tapi... tolong Mbak! Tolong! Jangan sampai anak ini jatuh ke tangan ayahnya. Jangan...Akan jadi apa masa depan anak ini kalau sampai Ayahnya menemukannya...Kata-kata terakhir ibu-ibu random yang kuserempet dengan mobilku itu memenuhi pikiranku.Berhari-hari, Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Tak terasa kini sudah hampir sebulan lamanya sejak kejadian itu, Kata-kata mengiba itu tidak hilang dari mimpiku.Aku mebuka mata karena bias cahaya silau yang masuk ke pelupuk matakuApa sih yang terjadi, kok badanku sakit semua?Belakangan ini mimpi saat di rumah sakit bersama Bu Suprihartini yang menggenggam erat tanganku, menghiasi tidurku.Dan sekarang... aku sepertinya tahu di mana aku berada. Rumah sakit, selang infus dengan jarum menghujam punggung tanganku. Terasa nyeri dan perih.Dan wangi ini.Aroma Oud Musk bercampur Bergamot yang kukenal.“Diva, jangan dipaksa bangun. Nanti malah pusing.” Suara bariton yang berat.W
Aku tidak tertawa, tapi bisa dibilang aku sedang meneliti keadaan.Para bodyguard itu seakan sudah sangat mengenal Bu Kristinah, terlihat dari sikap mereka yang secara sekilas seenaknya, tapi mereka begitu perhatian pada Ibu Mertuaku. Karena itu, kesimpulanku, Ibu mertuaku sebenarnya orang baik, tapi gengsinya tinggi.“Kamu perlu tahu, Diva,” Ibu Mertua membuka obrolan denganku. Wajahnya terlihat serius dan kelam. “Bertahun-tahun saya berusaha menyembuhkan penyakit Danesh, akan phobianya terhadap wanita. Ia pernah diulik saat usia 14 tahun, oleh sekelompok wanita dari... ah, entah dari club mana. Danesh pulang dalam keadaan linglung dan sempoyongan. CCTV di sekolahnya dulu menangkap adegan sekelompok wanita berpakaian seksi menculik Danesh menggeretnya paksa masuk ke dalam mobil van. Mereka tidak meminta tebusan apa pun, bahkan tidak menghubungi kami sedikit pun. Hasil Visum menunjukkan kalau Danesh dicekoki miras dan obat, lalu mereka merudapaksa Danesh. Danesh seringkali berteriak-t
Kehidupan pernikahan.Indah kalau kita menikah dengan kekasih yang tepat.Bahkan banyak kasus puluhan tahun bersama, nyatanya bukan sejodoh sesurga.Pernikahan akan bagai neraka kalau kita menikah dengan pasangan yang salah.Sebagai wanita, kehidupan pacaran banyak kujalani. Karena tak ingin seperti orang tuaku, aku menjaga betul kegadisanku. Aku menghindari pria yang mengajak kenalan lewat media sosial, atau yang menemuiku saat sedang jalan-jalan. Saat kencan pertama aku langsung tinggalkan pria yang minta split bill, atau yang pick me, atau yang narsis selalu membicarakan mengenai dirinya sendiri.Iseng kutanyakan saat kencan, istrimu atau ibumu, kalau jawabannya ibu, kutinggalkan. Kalau jawabannya istri, kutinggalkan juga. Karena jawaban yang tepat adalah, ‘Keduanya’. Suamiku nanti haruslah pria yang bisa menjadi pemersatu antara istri dan ibunya. Karena dua-duanya adalah investasi dunia akhirat yang tak kalah penting.Prioritasku mengenal laki-laki bukan untuk berpacaran lama-la
Aku sedang di tengah pekerjaan saat tiba-tiba aku menerima telepon dari sekuriti lantai dasar. Ia bicara dengan nada terburu-buru.“Halo? Mbak Diva?! Bapak ada di ruangan?!” tanya si sekuriti.“Bapak sedang meeting, Pak.” Kataku.Ya, meeting dengan membawa Hana. Kurang epic apa coba.Ia membiarkan aku berkutat dengan pekerjaanku, sementara ia menggendong Hana kemana-mana. Sepertinya dia ngambek padaku karena aku membawa Hana ke kantor diam-diam tanpa persetujuannya.Aku tahu aku sedang sangat sibuk, hari ini aku menerima banyak proposal yang harus kuteliti untuk dibuat study kasusnya, lalu kesimpulan dariku akan jadi acuan bagi manajemen untuk diputuskan hasilnya. Aku juga sedang banyak menerima laporan dari kinerja setiap cabang untuk dibawa ke Rapat Kinerja bulan depan. Sebagian keputusan dari manajemen sudah keluar, aku sedang berdiskusi dengan 43 cabang mengenai solusinya.Dia tahu, Hana akan membuat gerakku terbatas karena aku diharapkan mondar-mandir ke segala ruangan untuk foll
Aku memikirkan benar-benar hasil perbincanganku dengan Danesh kemarin. Selama ini kami tidak selalu dekat bahkan tidak selalu bertemu. Danesh lebih banyak berinteraksi dengan para asistennya yang laki-laki, jadi aku hanya ditugaskan untuk masalah dokumentasi dan jadwal.Tidak kukira, pemikiran Danesh akan berumah tangga, akan kehadiran seorang anak, begitu memikatku di kala selama ini aku berpikir pria itu sangat dingin.Jadi hari ini, karena aku berencana untuk mengurangi intensitas babysitter terhadap Hana, aku pun membawa Hana ke kantor.Iya, memang nekat aksiku ini.Aku membawa seorang bayi ke kantor.Sudah pasti hal itu akan membawa hal baru, lebih banyak fitnah tentunya.Tapi sekali lagi, aku bahkan tidak peduli hal itu. Kelebihan sekaligus kekuranganku, aku tidak banyak memiliki teman. Dan pendapat orang lain mengenai kehidupan pribadiku bukanlah hal besar bagiku. Kecuali pendapat orang mengenai pekerjaanku, nah itu baru penting. Karena orang lain tidak membiayai hidupku, tapi
Kehidupan pernikahan.Indah kalau kita menikah dengan kekasih yang tepat.Bahkan banyak kasus puluhan tahun bersama, nyatanya bukan sejodoh sesurga.Pernikahan akan bagai neraka kalau kita menikah dengan pasangan yang salah.Sebagai wanita, kehidupan pacaran banyak kujalani. Karena tak ingin seperti orang tuaku, aku menjaga betul kegadisanku. Aku menghindari pria yang mengajak kenalan lewat media sosial, atau yang menemuiku saat sedang jalan-jalan. Saat kencan pertama aku langsung tinggalkan pria yang minta split bill, atau yang pick me, atau yang narsis selalu membicarakan mengenai dirinya sendiri.Iseng kutanyakan saat kencan, istrimu atau ibumu, kalau jawabannya ibu, kutinggalkan. Kalau jawabannya istri, kutinggalkan juga. Karena jawaban yang tepat adalah, ‘Keduanya’. Suamiku nanti haruslah pria yang bisa menjadi pemersatu antara istri dan ibunya. Karena dua-duanya adalah investasi dunia akhirat yang tak kalah penting.Prioritasku mengenal laki-laki bukan untuk berpacaran lama-la
Aku tidak tertawa, tapi bisa dibilang aku sedang meneliti keadaan.Para bodyguard itu seakan sudah sangat mengenal Bu Kristinah, terlihat dari sikap mereka yang secara sekilas seenaknya, tapi mereka begitu perhatian pada Ibu Mertuaku. Karena itu, kesimpulanku, Ibu mertuaku sebenarnya orang baik, tapi gengsinya tinggi.“Kamu perlu tahu, Diva,” Ibu Mertua membuka obrolan denganku. Wajahnya terlihat serius dan kelam. “Bertahun-tahun saya berusaha menyembuhkan penyakit Danesh, akan phobianya terhadap wanita. Ia pernah diulik saat usia 14 tahun, oleh sekelompok wanita dari... ah, entah dari club mana. Danesh pulang dalam keadaan linglung dan sempoyongan. CCTV di sekolahnya dulu menangkap adegan sekelompok wanita berpakaian seksi menculik Danesh menggeretnya paksa masuk ke dalam mobil van. Mereka tidak meminta tebusan apa pun, bahkan tidak menghubungi kami sedikit pun. Hasil Visum menunjukkan kalau Danesh dicekoki miras dan obat, lalu mereka merudapaksa Danesh. Danesh seringkali berteriak-t
Mbak Diva, saya tahu saya egois. Saya membebani Mbak Diva. Tapi... tolong Mbak! Tolong! Jangan sampai anak ini jatuh ke tangan ayahnya. Jangan...Akan jadi apa masa depan anak ini kalau sampai Ayahnya menemukannya...Kata-kata terakhir ibu-ibu random yang kuserempet dengan mobilku itu memenuhi pikiranku.Berhari-hari, Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Tak terasa kini sudah hampir sebulan lamanya sejak kejadian itu, Kata-kata mengiba itu tidak hilang dari mimpiku.Aku mebuka mata karena bias cahaya silau yang masuk ke pelupuk matakuApa sih yang terjadi, kok badanku sakit semua?Belakangan ini mimpi saat di rumah sakit bersama Bu Suprihartini yang menggenggam erat tanganku, menghiasi tidurku.Dan sekarang... aku sepertinya tahu di mana aku berada. Rumah sakit, selang infus dengan jarum menghujam punggung tanganku. Terasa nyeri dan perih.Dan wangi ini.Aroma Oud Musk bercampur Bergamot yang kukenal.“Diva, jangan dipaksa bangun. Nanti malah pusing.” Suara bariton yang berat.W
Tidak kusangka aku masih gemetaran saat kami sampai di apartemen.Aku memberi Hana sufor sambil duduk di sofa. Di bayanganku terdengar sosok Pepen yang gempal dan berkulit hitam, sedang berteriak-teriak dengan kasar.Aku yang baru kali ini mendengarnya saja begitu ketakutan, bagaimana Bu Suprihartini, Almarhum istrinya dulu? Setiap hari ia diancam hal seperti itu. Dalam keadaan hamil pula!“Diva, kamu duduk saja. Minum teh hangatnya.” Danesh membelai bahuku dan mengambil Hana dari gendonganku.Sambil berdiri ia menggendong dan memberi Hana susu.Kami mendengar suara tawa bayi mungil itu.Terlihat seutas senyum di bibir suamiku.“Kamu tahu siapa preman yang tadi teriak-teriak?” tanya Danesh.Aku ragu, karena aku baru kali melihat Pepen.Kuingat-ingat, menikah dengan Pepen ini bukanlah keinginan Bu Suprihartini.Pepen ini preman di kampung, Bu Suprihartini pendatang baru di kampung itu. Dia sangat cantik, wajahnya seperti artis blasteran. Bu Suprihartini dari Sukabumi, menikah dengan se
Dia pulang menjelang tengah malam, membawa sebuah laptop dan beberapa map. Ia mengenakan lanyard kantor, bisa jadi dia mampir ke kantor dulu tadi. Di belakangnya, menyusul petugas pindahan yang masing-masing membawa kardus besar. “Barang kamu banyak sekali.” Desisnya sambil meletakkan tangannya yang besar ke atas kepalaku. “Maaf,” kataku sambil menyeringai. “Mamaku ke sini ya?” tanyanya. Aku mengangguk, “Seingatku baru minggu depan dia ke sini, kenapa hari ini sudah sampai?” “Dia memang begitu, maunya buru-buru.” Kata Danesh sambil menjabat tangan para petugas angkut barang, lalu menutup pintu. “Kamu sempat ke kantor?” tanyaku. “Kamu sendiri yang membuat jadwalku, hari ini ada meeting kinerja cabang.” “Yang membuat presentasinya siapa?” “Aku.” “Kamu? Bisa?” “Kamu bertanya?” Aku terkikik. Rasanya tak enak kalau membuat Bossku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya jadi jobdeskku. Dia sendiri yang bikin, dia sendiri yang mengatur, dia sendiri yang membagikan. Lalu apa gunan
“Ha...ah!” dia menarik nafasnya. Aku juga menarik nafasku. Selesai pernikahan singkat kami di KUA. Dan besok kami berdua akan bertingkah laku seperti tidak terjadi apa-apa, saat ke kantor. Namun kini kusadari, dia tidak mengantarku ke kosan ku. “Danesh, Kosanku ke kanan.” Kataku. Tapi tikungannya sudah lewat. “Iya, kita ke apartemenku.” “Setelah itu kamu akan antar aku ke kosan atau aku pulang sendiri?” tanyaku. Aku butuh kejelasan, karena aku ingin beristirahat secepatnya. Entah apa yang mau dia tunjukan di apartemennya yang mewah ini, tapi yang kuharapkan hanya bantal bulukku di kosan yang akan membawaku ke alam mimpi. “Kamu tidak akan pulang lagi ke Kosan. Mulai detik ini kamu pindah ke apartemenku.” Aku mengangguk. Lalu mulai mencerna maksud kata-katanya. “Danesh...” desisku. Aku baru ingat hal penting. “Aku rugi dong.” “Rugi?” “Aku sudah bayar kosan untuk setahun ke depan. Jadi aku rugi 11 bulan!” Aku tahu 11 bulan itu receh bagi Danesh. Tahu banget. Tapi uang itu
Setelah itu seharian, aku tidak fokus bekerja. Aku pacaran beberapa kali dengan berbagai jenis laki-laki, tapi tak ada yang serius. Aku juga menjaga kehormatanku karena berprinsip laki-laki yang meminta harga diriku tapi tidak menikahiku adalah lelaki pengecut. Selama ini aku juga tidak meminta apa pun kepada pacar-pacarku. Karena beberapa kali aku dituntut untuk mengembalikan barang-barang pemberian mereka, jadi aku terbiasa menyimpan semua pemberian dari mereka bertahun-tahun. Ada saja loh yang sudah lama putus tiba-tiba nongol lagi karena ingin minta ganti rugi. Untung saja hadiah darinya kusimpan rapi tanpa pernah kugunakan. Pelajaran itu membuatku semakin waspada terhadap laki-laki. Malah belakangan aku malas menjalin hubungan. Buat apa buang-buang waktu dikekang? Dilarang-larang? Disuruh-suruh dan ujungnya dikhianati? Waktu kita terbuang percuma. Kalau aku bisa menghidupi diriku sendiri. Ada banyak yang bisa kumintai tolong kalau perlu hal-hal yang tak bisa kulakukan, asalk