MESIN CUCI
PIM ( Pondok Indah Mertua) Kumasukkan satu per satu pakaian basah di ember ke dalam tabung pengering mesin cuci. Kututup mesin pengering dengan lempengan plastik lingkaran di atasnya. Setelahnya kuputar tombol pengering hingga mesin itu bekerja. Kugenggam kedua tanganku yang terlihat keriput. Bagaimana tidak, sepagi ini aku sudah berkutat mengucek baju empat orang, aku sendiri, Mas Riza—suamiku, Lala dan Risa—kedua anakku. Belum lagi pinggang yang sepertinya hampir lepas dari tempatnya yang seharusnya. Panas dan tentu saja pegal bukan main. Setelah memutuskan untuk tidak mencucikan lagi baju milik mertua dan anak gadisnya, ibu mertua tidak mengijinkanku mencuci baju di mesin cuci. Aku hanya boleh menggunakan mesin pengeringnya saja. Hebat sekali bukan? Aku hanya diam tak berani membantah. Bukan takut, hanya aku memang tak suka berdebat dengan orang yang lebih tua. Terlebih dia adalah ibu dari suamiku. Lagi pula aku menghargai perasaan Mas Riza. Tak mungkin mendebat ibunya. Sebenarnya aku tak masalah jika hanya mencucikan baju milik kedua mertua. Akan tetapi Tika—adik iparku justru membebankan masalah cucian kotornya kepadaku. Lama kelamaan aku merasa terbebani, apalagi dengan jumlah cuciannya yang makin lama makin menumpuk. Tadinya kubiarkan saja. Tapi lama kelamaan aku merasa dia seolah mengerjaiku atau memang sifat 'kemproh' yang dimilikinya sangat bertolak belakang denganku. Bayangkan, setiap hari dia hampir lima kali berganti pakaian. Bukan itu saja, sering aku mendapati pakaian dalamnya juga ikut masuk ke dalam cuciannya. Luar biasa bukan? Sekalipun dia adik iparku, rasanya aku tak mau membebani diriku terlalu berat. Toh aku tak sedang mencari perhatian mereka. Seharusnya sebagai seorang gadis, dia merasa risih jika barang paling pribadinya terlihat bahkan dipegang orang lain. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuknya. Tika terlihat santai dan nyaman bahkan saat bajunya juga kulipat dengan rapi. Bahkan dia tak ambil bagian sedikit pun saat aku berjibaku dengan aku melipat cucian yang jumlahnya tak sedikit. Dengan seenaknya dia akan melipat kakinya di atas sofa, menatap penuh antusias tayangan televisi yang ada di hadapan kami tanpa berusaha ambil bagian menyelesaikan pekerjaan ini bersama. Lelah, merasa tak dihargai, belum lagi dengan badanku yang terasa lepas seluruh tulang-belulangnya. Tidak. Aku tak bisa diam saja. Aku berhak menolak. Aku berhak hidup nyaman sekalipun tinggal di rumah mertuaku. Aku bukan menantu bod*h yang tetap diam saat diperlakukan tak adil oleh sekelilingku. Dan yang menjadi puncak kekesalanku, Tika pernah menaruh celana dalam dimana ada noda darah haid ikut tercampur ke dalam mesin cuci. Marahku menggelegak, seluruh wajahku memanas karena emosi yang tersulut akibat hal menjijikkan itu. Aku mual membayangkan pakaian yang sudah tercampur dengan kotoran darah haid. Karena mau bagaimanapun, noda darah sulit hilang jika hanya dicuci di mesin cuci. Harus disikat dengan sabun colek hingga benar-benar bersih. Beruntung karena jumlah pakaian yang banyak membuatku tidak langsung memasukkan seluruh baju ke mesin cuci. Aku berniat mencuci tumpukan pakaian itu menjadi dua tahap. Jadi hanya bapak dan ibu mertua yang sudah terlanjur tercampur dengan celana dalam bernoda darah itu. Sejak itu aku memutuskan untuk memilah pakaian keluargaku saja yang akan kucuci. Ibu mertua tidak menanyakan alasanku berbuat demikian. Hanya tatapan penuh penghakiman yang mewakili perasaannya karena sikapku. Padahal jika dia menanyakan, aku dengan senang hati memberitahu alasanku. Karena dia diam saja, kuputuskan untuk tidak membuka urusan itu ke siapapun, kecuali Mas Riza tentunya. Aku tak mau dicap sebagai menantu yang jahat, hanya mau uang anaknya saja sedangkan urusan orang tua dikesampingkan. Mas Riza mengerti, dan memintaku untuk bersabar menghadapi keluarganya. Entah sabar seperti apa yang dimaksud olehnya. Yang kurasa adalah sabarku sudah mencapai titik puncak, klimaks. Tetapi kata-kata itu selalu diucapkan suamiku demi meredam emosi yang entah sampai kapan akan tersulut. Hanya saja keputusanku berbuntut panjang. Ibu mertua melarangku menggunakan mesin cuci. Alasannya klasik, masalah air dan listrik yang dianggap boros. Alasan klise dan sungguh membuat lawakan yang sangat lucu. Padahal yang kutahu Mas Riza menanggung kedua pengeluaran itu. Bahkan untuk biaya makan pun dari Mas Riza. Karena malas berdebat aku mengalah dan memutuskan mengucek pakaian dengan tangan. Meski konsekuensinya tenagaku akan terkuras habis di setiap pagi seperti ini. Tak jarang aku pun melewatkan sarapan karena terlalu buru-buru menghindari terlambat ke sekolah. "Makan yang banyak, Za. Biar semangat kerjanya," ujar ibu mertuaku.Kulirik arah meja makan yang terhubung dengan tempatku berdiri.Aroma makanan sungguh menggugah selera. Kuabaikan perut yang keroncongan minta diisi. Senyuman Mas Riza mengembang melihat makanan kesukaannya tersaji di sana. Capcay dengan bakwan jagung yang dari tadi kusiapkan sendirian. Ya … sendirian. Mereka akan datang satu per satu jika makanan sudah tersaji di meja makan. Saat keringatku bercucuran menyiapkan makanan, tak ada satu pun yang mendekat. Mereka sibuk dalam gua di kamarnya yang rapat tertutup pintu. Terkadang setan membisikkan ide buruk padaku. Sekali-kali aku ingin menaburkan garam yang jumlahnya tak sedikit, atau terkadang obat pencahar yang pastinya membuat semua orang kelimpungan karenanya. Tetapi aku masih punya hati, kutepis jauh-jauh rencana itu. Bapak mertua yang baru pulang dari mushola dekat rumah ikut bergabung di sana. Memang kebiasaan bapak mertua yang melaksanakan subuh di mushola dan pulang menjelang pukul tujuh pagi. "Tika mana, Bu? Belum bangun juga? Masuk shift siang ya?" "Iya, Pak. Tadi malem pulang jam sebelas. Mungkin masih ngantuk," jawab ibu mertua. Aku yang sedang membelakangi mereka hanya mengerucutkan bibir mendengar pembelaan ibu mertua pada anak gadis kesayangannya. Bagaimana tidak ngantuk. Pulang kerja jam sebelas bukan langsung tidur, justru asyik bertelepon ria hingga menjelang pukul dua dini hari. Aku yang tadi malam ke kamar mandi untuk mengambil wudu tak sengaja mendengar suaranya yang cekikikan. Tadinya aku kaget dan berpikir tidak-tidak mengenai suara cekikikan tersebut. Setelah kupastikan dengan seksama, suara itu berasal dari kamar Tika, adik iparku. Dia tengah bertelepon dengan seseorang hingga dini hari. "Bun … nggak ikut sarapan? Cucian baju nanti lagi, udah siang juga. Sini sarapan. Takut nggak keburu," ajak Mas Riza. Aku menggeleng pelan. Apalagi melihat ibu mertua yang menampakkan aura angker, nampak tak suka dengan sikap manis anak laki-lakinya. "Aku udah nyiapin bekal, Mas. Habis ngeringin baju langsung berangkat. Anak-anak sudah diambil Mbak Marni tadi," kataku sambil mempercepat pekerjaanku. Jarum sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Kali ini aku harus merelakan baju kami dijemur setelah aku pulang sekolah. Meskipun sekolah tempatku mengajar hanya berjarak lima puluh meter dari rumah, aku tetap tak boleh membiasakan diri telat. Apalagi anak didikku akan melihat apa yang dicontohkan gurunya. Selesai mengeringkan baju, aku menuju ke kamar. Beruntung selesai masak kusempatkan mandi terlebih dahulu. Jadi sekarang tinggal mengganti daster dengan seragam berwarna khakhi kebanggaanku. Mematut diri di cermin, memoles lipstik warna nude andalanku. Aku tak suka warna-warna mencolok saat beraktifitas di sekolah. "Mbak. Motornya kupakai ya. Mbak pakai motorku atau jalan kaki saja ya!" Tika mengambil kunci motor yang baru saja akan kuambil di samping meja TV. Aku menggeleng cepat. "Maaf, Tik. Mbak mau KKG di korwilcam. Jadi tetap butuh motor," jawabku sambil mengambil kunci yang sudah di tangannya. Kuabaikan matanya yang melotot tak terima. Aku pura-pura tak melihatnya. Kebiasaan, main serobot barang milik orang! Kulihat Tika menatap ibunya dengan pandangan memelas. Dia mengibarkan bendera S.O.S merasa butuh pertolongan. Pertolongan apa? Tentu saja pertolongan supaya sang Ibu membantunya memintaku untuk mengalah dan membiarkannya menggunakan motor matic yang baru saja kubeli bulan lalu. Enak saja! Mas Riza sudah pergi ke tokonya, sehingga tak melihat kelakuan adik yang sangat dimanjakannya. "Vit, kamu pakai motor Tika aja gimana?" ujar ibu mertua mencoba berdiplomasi. Aku yang sudah hafal perangai mereka tetap kekeh memegang kunci motorku. Cuek, aku memakai kaus kaki warna krem yang biasa kupakai. "Maaf, Bu. Motor Tika kayaknya kempes. Bocor kelihatannya. Tuh keliatan dari sini," jawabku dengan menunjuk motor Tika. Dengan santainya aku melenggang di depan mereka. Kupakai sepatu hitam yang tadi pagi masih sempat kusemir. Pandangan ibu mertua menuju motor milik anaknya. Kedua alisnya bertaut melihat pemandangan di depannya. Tika masih merasa tak bersalah. Dia masih tersungut karena gagal meminjam motorku. "Kok motornya bisa kempes, Tik?" tanya ibu mertua dengan nada kesal. "Tadi malem kayaknya kena paku, Bu." Tika menjawab pertanyaan ibunya. Masih dapat Kudengar suaranya yang menggerutu. "Tuh, kan. Kena paku loh, Bu. Masa iya aku pakai motor yang bannya kempes kena paku." Sudah tahu motornya kena paku, kenapa menyuruh aku memakainya? Enak saja! Tidak semudah itu, Esmeralda! Kau tak akan menang melawanku kali ini. "Telepon Mas Riza. Suruh pulang dulu nganterin motormu ke bengkel!" perintah ibu mertua. Aku mencebik kesal. Padahal bengkel motor tak jauh dari rumah ini. Harusnya menuntun sebentar ke sana tidak akan membuat tangan Tika berubah kasar, atau rumitnya pecah-pecah. Paling hanya bedak di wajahnya saja yang luntur. Bodo amat. Aku sudah siang, tak mau lagi mendengar drama ini yang sudah bosan kudengar selama enam tahun terakhir.Kunyalakan motor matic yang masih sangat halus bunyi starternya. Saatnya menuju sekolah yang tidak hanya sebagai tempatku bekerja, namun bisa juga menjadi tempat hiburan di mana sepuluh rekan kerjaku hampir memiliki jiwa humor di atas rata-rata. Di sekolah aku bisa mendapatkan kehangatan keluarga yang tak pernah kudapatkan di rumah. Entah hingga kapan aku akan melewati drama seperti ini. ***MESIN CUCIMulut Adik Ipar"Bun, Tika ngambek-ngambek minta pinjam motor. Kenapa nggak dikasih? Bukannya kamu bisa jalan kaki ke sekolah?" ucap Mas Riza setelah salamnya kujawab. Aku yang sedang sarapan saat waktu istirahat terpaksa meletakkan sendok di atas kotak bekalku. Kuredam emosi yang secepat kilat memuncak. "Bun, aku tahu itu motormu, tetapi bukan berarti Tika tak boleh meminjamnya. Ayolah, Bun. Seperti bukan kamu kalau sikapmu seperti ini," lanjutnya lagi. Aku mengurai sesak yang tiba-tiba menyumbat aliran napasku. "Tika atau Ibu nggak ngasih tahu motornya mau dipake kemana?" tanyaku balik. Kudengar helaan napas dari ujung sana. "Bun, tolong dong. Toko lagi rame. Nggak bisa kutinggal. Tika ke sekolah kamu ya ambil motor?" ujarnya lagi. Kuredakan dentuman emosi yang tiba-tiba menggila. "Yah, habis anak-anak pulang aku ada KKG di kota kecamatan. Aku suruh jalan kaki ke sana?" ucapku mulai terpancing berucap dengan nada keras. "Loh. Kenapa nggak bilang kamu ada KKG?" Kalima
MESIN CUCI Jenuh Minggu pagi aku sudah berkutat dengan pakaian kotor. Sengaja aku mencuci baju terlebih dahulu sebelum masak untuk sarapan. Biarlah sekali-kali mereka sarapan agak lambat dari biasanya. Siapa tahu mereka akan menyiapkan makanannya sendiri, tanpa menunggu tanganku yang sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya. Kulihat berkali-kali ibu mendatangi meja makan. Raut wajahnya kecewa, melihat meja kosong melompong tanpa makanan. Aku tersenyum saat membelakanginya. Dia tidak berani menegurku, karena pasti aku akan merepet hingga membawa kisah si mesin cuci yang seharusnya mampu meringankan tugasku. Silahkan nikmati keusilanmu, Bu! Siapa suruh aku dilarang pakai mesin cuci. Alasanmu saja sayang listrik dan air. Padahal memang Ibu suka melihatku bekerja keras mengucek pakaian karena kesal bajunya tidak kuurusi. Mas Riza sudah pergi gowes pagi ini. Sesuai kesepakatan, setiap Minggu dia memang menutup tokonya. Dia ingin ada waktu sehari untuk istirahat dan menjalankan hobinya.
MESIN CUCI Lelah Perkataan Mas Riza semalam mengenai rencana menyewa ART untuk mengurusi pekerjaan rumah tak kugubris sama sekali. Aku ingin dia paham rencananya tak mendapat persetujuanku. Seharusnya dia mengerti kalau arahnya bukan ke ART, tetapi aku memang menginginkan pindah secepatnya dari sini.Bukankah lebih nyaman berada di rumah sendiri? Bebas melakukan apapun yang kami inginkan.Dan lagi, aku ingin membuat ibu mertua dan Tika tahu, bawa selama ini pekerjaan yang kulakukan tidak bisa dianggap enteng. Yang mereka tahu hanya menyalahkan dan menghujaniku dengan kata-kata pedas semau mereka."Bun, masak apa?" tanya Mas Riza sesampainya di dapur. Ibu mertua yang tengah duduk di ruang santai seketika berdiri dan menyusul Mas Riza ke dapur."Sayur asem sama sambel terasi. Lalapannya pakai kemangi sama leunca," jawabku sambil mengaduk panci berisi sayur asem. Aromanya menguar sedap memenuhi penjuru dapur."Aduh ... Tika nggak suka sayur asem. Masak yang lain lagi! Kasian nanti pu
MESIN CUCI Toxic Tak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya. "Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali. "Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju." Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala. Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya. Matanya mengerjap melihat potongan martabak ya
Tika Hilang 1"Bun …" panggil Mas Riza saat aku sedang menidurkan Lala dan Risa. Aku menoleh ke arah Mas Riza. Sepertinya ada hal mengganjal yang ingin dia sampaikan. Wajah suamiku terlihat gusar. Tetapi aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin membebani pikiranku untuk hal-hal yang belum pasti. Jika memang apa yang membuatnya terusik berhubungan denganku, maka sudah pasti dia akan mengatakannya padaku. "Kamu nggak malu kan karena suamimu bukan pekerja kantoran?" suaranya agak bergetar, terdengar penuh keragu-raguan. Jahat sekali yang menyampaikan ini padanya, aku yakin kedua manusia itu yang sudah mengucapkan hal yang tidak seharusnya diucapkan pada suamiku. Hatiku memanas mendengar pertanyaannya. Tumben sekali suamiku terlihat tak percaya diri seperti ini. Entah dimana otak kedua manusia itu. Jika saja bukan orang terdekat suamiku, ingin sekali aku meributkan segala hal yang mereka lakukan padaku. "Ada apa, Yah? Ada yang bilang sesuatu ke Ayah?" tanyaku penuh
"Hei, Vit. Cepat kamu hubungi Tika! Tadi sudah Ibu telepon HPnya nggak aktif. Siapa tau sekarang aktif!" perintahnya. Nadanya yang ketus tadinya membuatku menolak perintah itu. Tetapi mengingat Tika pun membawa motorku, aku cepat mengambil ponselku di kamar. Kucoba menghubungi nomor Tika. Tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan ponselnya. Lama-lama kurutuk adik iparku itu. Kurang ajar sekali kalau dia memang sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Kenapa pula dia membawa motorku? "Gimana? Dijawab nggak?" Aku menggeleng. Ibu mertua kembali meracau. Kalimatnya sudah beralih ke mana-mana. Aku yang tak mau tambah pusing melihat tingkahnya, segera beranjak ke kamar. Khawatir juga Risa menangis saat terjaga dan mencariku jika tak ada di sisinya."Dasar menantu tak berguna! Disuruh menghubungi Tika malah ngeloyor pergi. Nggak ada etikanya sama sekali!" sembur ibu mertua. Aku masih mampu mendengar kalimat umpatannya. Kali ini aku harus memaklumi, mengingat dia sedang panik dengan keberadaan an
Pagi ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya. Sengaja aku hanya menyiapkan makanan untuk Risa dan Lala. Mbak Minah, pengasuh mereka sudah kumintai tolong untuk memandikan mereka di rumahnya. Aku benar-benar marah dengan kejadian tadi malam. Semalaman aku sulit sekali memejamkan mata. Entah jam berapa aku bisa terlelap tidur hingga terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan mata yang membengkak sempurna. Lengkap sudah keadaanku pagi ini. Beruntung Lala dan Risa sangat pengertian dan mau diurus Mbak Marni meski setiap pagi aku yang bisa menyiapkan segala kebutuhan mereka. Kuabaikan kewajibanku memasak untuk seluruh anggota keluarga ini. Lantai rumah pun tak aku sapu sama sekali. Biar saja mereka tahu aku yang dikatai guru b*doh ini sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Mas Riza berdiri dengan tatapan mata sayu. Ada rasa kasihan mengingat semalaman dia tak kunjung masuk ke kamar lagi. Pasti ibu mertua memintanya mencari keberadaan Tika.
Tika Ditemukan 1"Makanya, Riza itu lama-lama tahu. Sebusuk apa istri yang dinikahinya," cemooh ibu mertuaku. Bapak mertua memegang lengan ibu, mengisyaratkan agar wanita itu diam. "Jangan ikut campur dengan urusan anak-anak. Tak baik. Lagi pula bukankah lebih baik kita fokus dengan urusan Tika? Mengapa merepotkan diri mengurusi hal yang seharusnya tak menjadi persoalan?" ucap Bapak Mertua dengan suara pelan penuh tekanan. Kudengar Ibu mencebik sinis. "Biarin, Pak. Sekali-kali dia perlu tahu. Jangan mentang-mentang sudah PNS …""Assalamu'alaikum," ucap seorang dari depan rumah.Ibu mertua langsung berlari ke arah depan. Disusul bapak mertua dan Mas Riza. Aku yang memang akan pergi ke sekolah segera menuju ke depan. "Benar ini rumah Kartika Pratiwi?" Seorang lelaki berpakaian polisi berdiri di depan pintu. Satu orang lagi berdiri tak jauh dari mobil patroli polisi. Ibu mertua luruh ke lantai. Beruntung Mas Riza dan bapak menangkap tubuhnya. Aku melirik pemandangan itu sekilas tanpa
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a