MESIN CUCI
ToxicTak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya."Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali."Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju."Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala.Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya.Matanya mengerjap melihat potongan martabak yang ibu ambilkan. Sepertinya dia sengaja memilihkan bagian kecil untuk anakku. Sedangkan yang sekotak itu dia simpan di lemari dapur.Ujung martabak yang aku yakin menjadi pilihan terakhir setiap orang saat menyantap martabak itu diberikan pada anakku. Rasanya sakit sekali, sudut hatiku berontak melihat sikap tak berotak Ibu mertua."Tak usah, Bu. Lala sudah kenyang. Sudah sikat gigi pula! Lagi pula kalau cuma secuil pinggiran martabak, ibunya masih bisa beli berkotak-kotak tanpa harus merampas jatah orang!" ujarku bengis sambil menahan tangan ibu mertua yang hendak meraih tangan Lala."Memangnya anakku siapa, harus diberi jatah martabak yang semua orang ingin menyingkirkannya."Mata ibu mertua membelalak mendengar ucapan pedasku. Biarlah aku dicap menantu durhaka, apalagi kalau anak-anakku yang diinjak harga dirinya seperti ini. Panas betul hatiku melihat pemberian ayahnya justru dimasukkan ke dalam lemari yang tinggi.Seolah ketakutan anakku akan mengambilnya, padahal selama ini kedua anakku tak akan memakan apapun yang bukan diberikan olehku. Jadi tak mungkin mengambil makanan yang jelas-jelas sudah diletakkan di tempat yang sulit."Bun …," panggilan lirih Mas Riza terdengar. Tak kuhiraukan suara itu. Kuraih Risa dan menuntun Lala ke kamar. Samar-samar masih dapat kudengar ibu mertua yang menceramahi anaknya.Silahkan, Mas. Dengarkan tausiyah dari ibumu dengan baik. Sesekali jadilah aku yang tiap hari mendengar ibu mertua ceramah bagaimana menjadi istri solehah idaman surga. Sedangkan surganya sendiri tak terlihat sama sekali hilalnya.***Jam setengah tiga pagi aku keluar dari kamar. Kulangkahkan kaki menuju ke kamar mandi dengan kutahan rasa kantukku. Inilah mengapa aku ingin sekali pindah ke rumah sendiri. Ingin sekali aku membuat kamar mandi di kamar."Tenang, Mas. Nanti pulang kerja aku langsung aja ke kosan kamu. Besok aku off day satu hari. Nanti kuberi alasan pada orangtuaku. Bilang saja ada meeting dengan karyawan satu kabupaten. Pasti ibuku percaya. Pokoknya kamu tenang saja, Mas."Samar-samar kudengar suara Tika di dalam kamarnya tengah menelepon seseorang. Alisku bertaut mendengar perkataannya. Aku mencium aroma ketidakberesan pada adik iparku itu.Tapi buru-buru kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Bukan urusanku, lagi pula bodo amat dia mau berbuat apa. Toh ibunya akan selalu mendukung apapun yang dilakukan putri manisnya.Selesai dari kamar mandi aku menuju ke kamar untuk melaksanakan ibadah sholat malam. Saat melewati kamar Tika, kulihat pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Tika membelalakkan mata melihatku. Sepertinya dia tak menyangka aku berada di depan kamarnya."Heh, Mbak. Nguping ya?" tanyanya dengan suara meninggi. Bahkan anak itu masih menggunakan baju kerjanya. Kubalas tuduhannya dengan mencebik sinis."Iya dong. Awas kebablasan ya… ada apa-apa ditanggung sendiri, dilarang sambaaat… apalagi sambat ke Mas Riza" jawabku dengan menyunggingkan senyum ancaman.Aku sendiri heran bisa-bisanya ide mengerjai Tika muncul begitu saja. Padahal aku hanya mendengar sepotong saja kalimat yang Tika ucapkan saat bertelepon dengan seseorang."Awas kamu, Mbak! Suka banget ngurusin hidup orang. Pasti kamu sengaja nguping ya. Kamu takut, kedok kamu kebongar. Diam-diam suka ketemuan sama pria lain di belakang Mas Riza!"Aku tersenyum meremehkan. Tika menatapku dengan mata melotot. Polesan make up-nya terlihat luntur di sana-sini. Apalagi bulu matanya yang terlihat tidak wajar."Aku tantang kamu punya bukti kalau aku benar-benar ketemuan sama cowok lain di luar sana! Aku tunggu ya," ujarku sambil berlalu dari hadapannya. Secepat kilat Tika menutup pintu dengan keras.Like mother, like daughter. Sama-sama sawan suka banting-banting pintu!***Kuperiksa satu per satu buku ulangan anak didikku. Setelah selesai dikoreksi, nilai mereka kuisikan di buku analisis. Rasanya lega sekali melihat presentasi hasil ulangan matematika kali ini lebih dari 90%.Suasana di kantor lumayan sepi. Hanya ada Bu Kinanti yang kelasnya juga sedang diisi oleh guru lain, sama sepertiku. Kulihat dari tadi dia tersenyum menatap layar ponselnya."Udaah … buruan minta dihalalin, Mbak. Biar nggak nanggung banyak dosa zina mata," ujarku mengejeknya. Bu Kinanti yang masih gadis itu hanya tersenyum simpul.Dia memang guru baru di sekolah ini. Baru lulus kuliah dan melamar menjadi guru honorer sambil menunggu jadwal tes CPNS tahun berikutnya.Tak lama kulihat layar ponsel yang berkedip. Memang selama sekolah aku selalu menggunakan mode senyap agar tak menganggu rekan lain atau anak didikku saat berada di dalam kelas.Mas Riza mengirimiku pesan.[ Bun, sibuk? Tika mau pinjam motor kamu buat kerja hari ini. Nanti dia ke sekolah kamu buat nukar motor. Nggak papa, kan?]Tak ada niatan untuk membalas pesan suamiku. Tanpa menunggu jawabanku pun pasti adiknya yang sok itu tetap kemari untuk menukar motornya. Mungkin dia malu menggunakan motor lamanya hingga menginginkan motor baruku yang pasti masih kinclong.Padahal dulu saat aku ingin meminjam motornya, berbagai alasan tak masuk akal dikemukakannya. Aku sadar, itu hanya alasan agar aku tak bisa menggunakan motor itu saja.Tak lama kulihat Tika dengan jaket kuning gadingnya sudah meluncur di halaman sekolahku. Kuambil kunci motor dengan malas. Sebenarnya ada rasa sayang saat membiarkan Tika menggunakan motor itu.Tapi jika aku melarang dia meminjamnya, entah sindiran sepedas apa yang akan keluar dari mulut Tika dan ibunya. Aku tak bisa membayangkannya."Pulang kerja langsung pulang ya, Tik," ujarku pelan. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya."Tik?" ulangku. Barangkali dia tak mendengar, aku masih berpositif thinking. Hebat sekali bukan?"Bawel. Belum juga berangkat! Lagi pula motor ini juga yang beli Mas Riza. Masa adiknya nggak boleh make!" jawabnya judes. Aku memutar bola mata malas."Dengarkan kataku. Buka telinga kamu lebar-lebar. Motor itu aku yang beli, bukan kakakmu. Jadi kamu jangan sembarangan kalau bicara."Dengan gerak cepat Tika melajukan motornya dengan cepat dan berlalu dari hadapanku. Boro-boro ucapan terima kasih. Tidak menampakkan wajah juteknya saja sudah beruntung.Rupanya gadis ini tak tahu aku membelinya dengan uangku sendiri. Karena Mas Riza dilarang ibunya saat akan membelikanku sepeda motor baru.Ibu mertuaku beralasan aku cukup jalan kaki saja ke sekolah. Tak perlu motor apalagi harus membeli baru. Karena aku sudah kesal, nekat saja aku membelinya dengan uangku sendiri. Toh kebutuhan harian sudah menjadi tanggung jawab Mas Riza.Tika Hilang 1"Bun …" panggil Mas Riza saat aku sedang menidurkan Lala dan Risa. Aku menoleh ke arah Mas Riza. Sepertinya ada hal mengganjal yang ingin dia sampaikan. Wajah suamiku terlihat gusar. Tetapi aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin membebani pikiranku untuk hal-hal yang belum pasti. Jika memang apa yang membuatnya terusik berhubungan denganku, maka sudah pasti dia akan mengatakannya padaku. "Kamu nggak malu kan karena suamimu bukan pekerja kantoran?" suaranya agak bergetar, terdengar penuh keragu-raguan. Jahat sekali yang menyampaikan ini padanya, aku yakin kedua manusia itu yang sudah mengucapkan hal yang tidak seharusnya diucapkan pada suamiku. Hatiku memanas mendengar pertanyaannya. Tumben sekali suamiku terlihat tak percaya diri seperti ini. Entah dimana otak kedua manusia itu. Jika saja bukan orang terdekat suamiku, ingin sekali aku meributkan segala hal yang mereka lakukan padaku. "Ada apa, Yah? Ada yang bilang sesuatu ke Ayah?" tanyaku penuh
"Hei, Vit. Cepat kamu hubungi Tika! Tadi sudah Ibu telepon HPnya nggak aktif. Siapa tau sekarang aktif!" perintahnya. Nadanya yang ketus tadinya membuatku menolak perintah itu. Tetapi mengingat Tika pun membawa motorku, aku cepat mengambil ponselku di kamar. Kucoba menghubungi nomor Tika. Tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan ponselnya. Lama-lama kurutuk adik iparku itu. Kurang ajar sekali kalau dia memang sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Kenapa pula dia membawa motorku? "Gimana? Dijawab nggak?" Aku menggeleng. Ibu mertua kembali meracau. Kalimatnya sudah beralih ke mana-mana. Aku yang tak mau tambah pusing melihat tingkahnya, segera beranjak ke kamar. Khawatir juga Risa menangis saat terjaga dan mencariku jika tak ada di sisinya."Dasar menantu tak berguna! Disuruh menghubungi Tika malah ngeloyor pergi. Nggak ada etikanya sama sekali!" sembur ibu mertua. Aku masih mampu mendengar kalimat umpatannya. Kali ini aku harus memaklumi, mengingat dia sedang panik dengan keberadaan an
Pagi ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya. Sengaja aku hanya menyiapkan makanan untuk Risa dan Lala. Mbak Minah, pengasuh mereka sudah kumintai tolong untuk memandikan mereka di rumahnya. Aku benar-benar marah dengan kejadian tadi malam. Semalaman aku sulit sekali memejamkan mata. Entah jam berapa aku bisa terlelap tidur hingga terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan mata yang membengkak sempurna. Lengkap sudah keadaanku pagi ini. Beruntung Lala dan Risa sangat pengertian dan mau diurus Mbak Marni meski setiap pagi aku yang bisa menyiapkan segala kebutuhan mereka. Kuabaikan kewajibanku memasak untuk seluruh anggota keluarga ini. Lantai rumah pun tak aku sapu sama sekali. Biar saja mereka tahu aku yang dikatai guru b*doh ini sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Mas Riza berdiri dengan tatapan mata sayu. Ada rasa kasihan mengingat semalaman dia tak kunjung masuk ke kamar lagi. Pasti ibu mertua memintanya mencari keberadaan Tika.
Tika Ditemukan 1"Makanya, Riza itu lama-lama tahu. Sebusuk apa istri yang dinikahinya," cemooh ibu mertuaku. Bapak mertua memegang lengan ibu, mengisyaratkan agar wanita itu diam. "Jangan ikut campur dengan urusan anak-anak. Tak baik. Lagi pula bukankah lebih baik kita fokus dengan urusan Tika? Mengapa merepotkan diri mengurusi hal yang seharusnya tak menjadi persoalan?" ucap Bapak Mertua dengan suara pelan penuh tekanan. Kudengar Ibu mencebik sinis. "Biarin, Pak. Sekali-kali dia perlu tahu. Jangan mentang-mentang sudah PNS …""Assalamu'alaikum," ucap seorang dari depan rumah.Ibu mertua langsung berlari ke arah depan. Disusul bapak mertua dan Mas Riza. Aku yang memang akan pergi ke sekolah segera menuju ke depan. "Benar ini rumah Kartika Pratiwi?" Seorang lelaki berpakaian polisi berdiri di depan pintu. Satu orang lagi berdiri tak jauh dari mobil patroli polisi. Ibu mertua luruh ke lantai. Beruntung Mas Riza dan bapak menangkap tubuhnya. Aku melirik pemandangan itu sekilas tanpa
Di sekolah aku tak fokus sama sekali.Teman-temanku yang seolah mengerti dengan masalahku tidak ada yang bertanya apapun. Aku hanya merenung di balik meja komputer. Memainkan keyboard tanpa kegiatan bermakna. Mereka paham, bahwa dalam keadaan seperti ini aku lebih suka diam. Tentu nanti akan kuceritakaan kalau sudah tepat waktunya. Yang jelas saat ini aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Toh berita kehilangan Tika semalam pasti sudah sampai di telinga banyak orang. Apalagi ibu yang selalu memakiku dengan keras, menyalahkanku karena tidak menyampaikan informasi yang kudengar pasti sangat mudah terdengar di telinga tetangga.Beberapa kali Mas Riza meneleponku. Tak kuangkat, karena jujur saja aku masih sakit karena dia membentakku dan tak mampu membelaku di depan ibunya.Kubiarkan lelaki itu menimbun rasa bersalahnya tinggi-tinggi. Kali ini aku benar-benar tak ingin mengalah. Dia sudah kelewatan. Aku tak akan membiarkan diriku dipecundangi seperti tadi. Setelah kejadian ini, aku benar
"Bun. Nanti aku ganti motor yang dihilangkan Tika. Tolong Bun. Jangan bersikap seperti ini!" pinta Mas Riza. Aku menatapnya dengan sinis. "Kamu tahu, Mas? Aku sengaja membelinya menggunakan uang pribadiku agar tak keluargamu tak mengungkit soal motor yang kupakai. Itu saja Tika masih seenaknya memakai dan mengakatakan motor itu pemberianmu. Jika sekarang kamu benar-benar menggantinya dengan uangmu, bagaimana tanggapan kedua orang itu? Aku makin diinjak dan diperlakukan seperti seorang pengemis yang seolah-olah menghabiskan hartamu saja!" Aku sengaja menekankan kata dua orang itu pada Mas Riza. Aku ingin dia tahu aku benar-benar marah kali ini. Aku ingin Mas Riza makin memperbaiki sikapnya. Aku tak ingin dia diam seribu bahasa saat aku tengah direndahkan kedua wanita di sisinya." Lalu bagaimana kamu akan pergi ke sekolah, Bun?" tanyanya kemudian. Aku berhenti dan memandang wajah itu. "Jalan kaki. Seperti itu kan perintah ibu dan adikmu?".Kulihat kilat penyesalan di mata suamiku. D
Sebuah Keputusan Aku melihat Tika sedang duduk mengangkat kakinya di kursi ruang tengah. Sesudah menyiapkan makanan untuk Lala dan Risa, aku tak memasak apa pun untuk anggota rumah ini. Biarlah mereka terbiasa tanpaku. Aku ingin mereka berlatih hidup tanpa pembantu gratis ini. Tika yang melirik ke arahku tak punya inisiatif untuk menjelaskan perihal motor itu. Bahkan ucapan permintaan maaf pun tidak ada. Heran sekali ada orang seperti dia. Bebal bermuka tembok. Tak punya rasa malu sedikit pun. Mulutku yang sudah gatal ini kupaksa mengeluarkan pertanyaan untuknya."Jadi motorku gimana nasibnya, Tik?"Orang yang kutanya itu melirik sekilas dengan wajah jutek. Dia kembali memasukkan tangan ke dalam toples di depannya. Tak ada tanda-tanda dia akan menjawab pertanyaanku. Kesal, aku mengulangi pertanyaan untuknya. "Tik. Kamu sudah sehat, Kan? Polisi bilang akan meminta keteranganmu kalau kamu sudah sehat. Kulihat kamu sudah sehat, biar nanti kuhubungi polisi untuk kemari," pancingku pad
Dari Mas Riza ku ketahui kabar mengenai kronologis kejadian yang menimpa Tika kemarin. Itu pun setelah Mas Riza bertanya langsung pada polisi yang menangani kasus Tika. Anak itu janjian dengan seseorang di kafe dekat alun-alun kota. Setelah puas kopi darat, Tika diajak laki-laki itu ke kos-kosan yang tidak jauh dari lokasi pertemuan mereka. Entah apa yang dipikirkan Tika, bahkan dia mau diajak ke kos-kosan lawan jenis. Terlebih lagi dia baru mengenal laki-laki itu. Dan parahnya, selama ini Tika sering memberi uang padanya. Benar sekali dugaanku selama ini. Pantas saja dia selalu merongrong keuangan suamiku akhir-akhir ini. Klasik, laki-laki itu mengaku seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di kota ini. Dia meminta uang pada Tika dengan dalih kiriman dari orang tuanya tersendat. Luar biasa sekali, bahkan Mas Riza keceplosan bahwa selama ini Tika meminta sejumlah uang padanya. Tika mengaku setelah beberapa saat di kos-kosan, laki-laki yang mengaku bernama Dion itu memint
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a