Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
MESIN CUCI PIM ( Pondok Indah Mertua) Kumasukkan satu per satu pakaian basah di ember ke dalam tabung pengering mesin cuci. Kututup mesin pengering dengan lempengan plastik lingkaran di atasnya. Setelahnya kuputar tombol pengering hingga mesin itu bekerja. Kugenggam kedua tanganku yang terlihat keriput. Bagaimana tidak, sepagi ini aku sudah berkutat mengucek baju empat orang, aku sendiri, Mas Riza—suamiku, Lala dan Risa—kedua anakku. Belum lagi pinggang yang sepertinya hampir lepas dari tempatnya yang seharusnya. Panas dan tentu saja pegal bukan main. Setelah memutuskan untuk tidak mencucikan lagi baju milik mertua dan anak gadisnya, ibu mertua tidak mengijinkanku mencuci baju di mesin cuci. Aku hanya boleh menggunakan mesin pengeringnya saja. Hebat sekali bukan? Aku hanya diam tak berani membantah. Bukan takut, hanya aku memang tak suka berdebat dengan orang yang lebih tua. Terlebih dia adalah ibu dari suamiku. Lagi pula aku menghargai perasaan Mas Riza. Tak mungkin mendebat ib
MESIN CUCIMulut Adik Ipar"Bun, Tika ngambek-ngambek minta pinjam motor. Kenapa nggak dikasih? Bukannya kamu bisa jalan kaki ke sekolah?" ucap Mas Riza setelah salamnya kujawab. Aku yang sedang sarapan saat waktu istirahat terpaksa meletakkan sendok di atas kotak bekalku. Kuredam emosi yang secepat kilat memuncak. "Bun, aku tahu itu motormu, tetapi bukan berarti Tika tak boleh meminjamnya. Ayolah, Bun. Seperti bukan kamu kalau sikapmu seperti ini," lanjutnya lagi. Aku mengurai sesak yang tiba-tiba menyumbat aliran napasku. "Tika atau Ibu nggak ngasih tahu motornya mau dipake kemana?" tanyaku balik. Kudengar helaan napas dari ujung sana. "Bun, tolong dong. Toko lagi rame. Nggak bisa kutinggal. Tika ke sekolah kamu ya ambil motor?" ujarnya lagi. Kuredakan dentuman emosi yang tiba-tiba menggila. "Yah, habis anak-anak pulang aku ada KKG di kota kecamatan. Aku suruh jalan kaki ke sana?" ucapku mulai terpancing berucap dengan nada keras. "Loh. Kenapa nggak bilang kamu ada KKG?" Kalima
MESIN CUCI Jenuh Minggu pagi aku sudah berkutat dengan pakaian kotor. Sengaja aku mencuci baju terlebih dahulu sebelum masak untuk sarapan. Biarlah sekali-kali mereka sarapan agak lambat dari biasanya. Siapa tahu mereka akan menyiapkan makanannya sendiri, tanpa menunggu tanganku yang sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya. Kulihat berkali-kali ibu mendatangi meja makan. Raut wajahnya kecewa, melihat meja kosong melompong tanpa makanan. Aku tersenyum saat membelakanginya. Dia tidak berani menegurku, karena pasti aku akan merepet hingga membawa kisah si mesin cuci yang seharusnya mampu meringankan tugasku. Silahkan nikmati keusilanmu, Bu! Siapa suruh aku dilarang pakai mesin cuci. Alasanmu saja sayang listrik dan air. Padahal memang Ibu suka melihatku bekerja keras mengucek pakaian karena kesal bajunya tidak kuurusi. Mas Riza sudah pergi gowes pagi ini. Sesuai kesepakatan, setiap Minggu dia memang menutup tokonya. Dia ingin ada waktu sehari untuk istirahat dan menjalankan hobinya.
MESIN CUCI Lelah Perkataan Mas Riza semalam mengenai rencana menyewa ART untuk mengurusi pekerjaan rumah tak kugubris sama sekali. Aku ingin dia paham rencananya tak mendapat persetujuanku. Seharusnya dia mengerti kalau arahnya bukan ke ART, tetapi aku memang menginginkan pindah secepatnya dari sini.Bukankah lebih nyaman berada di rumah sendiri? Bebas melakukan apapun yang kami inginkan.Dan lagi, aku ingin membuat ibu mertua dan Tika tahu, bawa selama ini pekerjaan yang kulakukan tidak bisa dianggap enteng. Yang mereka tahu hanya menyalahkan dan menghujaniku dengan kata-kata pedas semau mereka."Bun, masak apa?" tanya Mas Riza sesampainya di dapur. Ibu mertua yang tengah duduk di ruang santai seketika berdiri dan menyusul Mas Riza ke dapur."Sayur asem sama sambel terasi. Lalapannya pakai kemangi sama leunca," jawabku sambil mengaduk panci berisi sayur asem. Aromanya menguar sedap memenuhi penjuru dapur."Aduh ... Tika nggak suka sayur asem. Masak yang lain lagi! Kasian nanti pu
MESIN CUCI Toxic Tak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya. "Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali. "Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju." Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala. Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya. Matanya mengerjap melihat potongan martabak ya
Tika Hilang 1"Bun …" panggil Mas Riza saat aku sedang menidurkan Lala dan Risa. Aku menoleh ke arah Mas Riza. Sepertinya ada hal mengganjal yang ingin dia sampaikan. Wajah suamiku terlihat gusar. Tetapi aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin membebani pikiranku untuk hal-hal yang belum pasti. Jika memang apa yang membuatnya terusik berhubungan denganku, maka sudah pasti dia akan mengatakannya padaku. "Kamu nggak malu kan karena suamimu bukan pekerja kantoran?" suaranya agak bergetar, terdengar penuh keragu-raguan. Jahat sekali yang menyampaikan ini padanya, aku yakin kedua manusia itu yang sudah mengucapkan hal yang tidak seharusnya diucapkan pada suamiku. Hatiku memanas mendengar pertanyaannya. Tumben sekali suamiku terlihat tak percaya diri seperti ini. Entah dimana otak kedua manusia itu. Jika saja bukan orang terdekat suamiku, ingin sekali aku meributkan segala hal yang mereka lakukan padaku. "Ada apa, Yah? Ada yang bilang sesuatu ke Ayah?" tanyaku penuh
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a