MESIN CUCI
JenuhMinggu pagi aku sudah berkutat dengan pakaian kotor. Sengaja aku mencuci baju terlebih dahulu sebelum masak untuk sarapan. Biarlah sekali-kali mereka sarapan agak lambat dari biasanya. Siapa tahu mereka akan menyiapkan makanannya sendiri, tanpa menunggu tanganku yang sedang sibuk dengan pekerjaan lainnya.Kulihat berkali-kali ibu mendatangi meja makan. Raut wajahnya kecewa, melihat meja kosong melompong tanpa makanan. Aku tersenyum saat membelakanginya.Dia tidak berani menegurku, karena pasti aku akan merepet hingga membawa kisah si mesin cuci yang seharusnya mampu meringankan tugasku.Silahkan nikmati keusilanmu, Bu! Siapa suruh aku dilarang pakai mesin cuci. Alasanmu saja sayang listrik dan air. Padahal memang Ibu suka melihatku bekerja keras mengucek pakaian karena kesal bajunya tidak kuurusi.Mas Riza sudah pergi gowes pagi ini. Sesuai kesepakatan, setiap Minggu dia memang menutup tokonya. Dia ingin ada waktu sehari untuk istirahat dan menjalankan hobinya. Aku tak masalah, selagi dia ingat waktu dan tak pulang terlalu sore.Urusan anak-anak pun sudah beres. Risa sudah kubuatkan makanan khusus bayi satu tahun. Dan untuk Lala, aku belikan seporsi bubur ayam kesukaannya. Untukku sendiri, aku berniat merebus mie instan jika aku benar-benar tak memasak kali ini.Kudengar suara salam dari arah depan. Bapak mertua yang baru pulang dari mushola dengan semangatnya menuju meja makan. Seperti Ibu, dia pun langsung menampakkan wajah kecewa.Ada rasa tak enak, karena selama ini bapak mertua cukup sering membantuku meringankan pekerjaan rumah. Ibu lebih sering duduk berpangku tangan menonton serial televisi kesukannya.Dan Tika? Jangan ditanya soal anak itu. Rumah baginya hanya tempat singgah saja. Tak pernah dia berusaha membantu meringankan pekerjaan rumah. Bahkan piring bekas makan pun tidak mau diletakkan di wastafel.Apalagi mencucinya. Sungguh hal yang sangat mustahil dilakukannya.Aku kadang heran dengan didikan gadis itu. Menurutku Tika terlalu dimanja hingga tak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Boro-boro membantuku memasak. Memegang sapu saja sepertinya hanya beberapa kali saja. Itu pun setelah aku abai dengan kebersihan rumah ini. Rasanya seluruh badanku rontok bekerja keras mengurusi rumah."Mbak. Ini belum ada sarapan?" tanya Tika yang mulutnya pun masih menguap."Belum. Tanggung nyuci dulu," ucapku sambil mengucek pakaian milik Lala. Kudengar suara Tika menggerutu. Lagi, aku pura-pura tak mendengarnya. Kudengar dia masuk kamar dan membanting pintunya.Tangannya sayang sekali dipakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal jika mau lelah sebentar saja, dia bisa berlatih memasak.Kulkas sudah kupenuhi segala macam sayur dan daging ayam. Bahkan bumbu berbagai menu makanan sudah kusiapkan. Tentu saja itu bertujuan untuk mempermudah segala aktivitasku."Vit. Berhenti dulu nyucinya. Tika sudah lapar," ujar ibu mertua yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku."Tanggung, Bu. Bilas sekali lagi selesai."Kenapa, Bu? Bukankah enak sama-sama dikerjai hanya karena mesin cucinya tak boleh kupakai? Padahal aku sangat yakin mesin cuci itu dibeli menggunakan uang Mas Riza."Tika sudah laper, buruan Vit. Kasihan," ucapnya lagi."Aku juga kasihan sama diri sendiri, Bu. Nyuci pakai tangan sebanyak ini. Mas Riza nggak yakin kalau pakai jasa laundri. Belum kelar nyuci udah disuruh masak buat orang yang dari tadi main HP di kamar. Padahal perutku juga sama-sama lapar, Bu." Kuberanikan mengeluhkan unek-unek di dadaku.Tidak masalah dia menyuruhku ini itu. Hanya saja jangan bertingkah dengan melarangku menggunakan mesin cuci. Kadang aku heran dengan tingkah absurd ibu mertuaku. Apakah dia ingin aku menyerah dan memohon-mohon padanya untuk menggunakan mesin cuci, hingga dia bisa menitipkan pakaiannya dan sang anak untuk kucuci sekalian?Tidak. Pokoknya membayangkan noda darah haid di pinggiran celana dalam Tika membuat jiwaku bergejolak menolak."Kamu ini semenjak jadi PNS kok jadi berani membantah! Kenapa? Merasa sudah bisa menghasilkan uang sendiri hingga sama mertua nggak punya sopan santun?""Bu… kalau Ibu sabar dan tidak menetapkan peraturan aneh tentu aku nggak mungkin protes. Sabar, Bu. Aku pun lelah, lapar juga. Tapi aku sudah tanggung memegang cucian. Kalau nggak sabar kenapa Tika nggak disuruh masak aja sendiri? Tangannya genap, kok. Jangan kebiasaan nyuruh orang! Dia yang lapar kenapa aku yang dikejar-kejar?""Banyak ngomong kamu! Kuadukan Riza bisa hancur hidupmu!"Aku menahan emosi yang hampir meledak. Kalau tidak ingat wanita di depanku ini adalah ibu suamiku, tentu ingin sekali kuajak duel sekalian."Hidup siapa yang hancur, Bu? Masa gara-gara telat menyiapkan sarapan sampai mau ngehancurin hidup orang."Kujinjing ember berisi pakaian ke dekat mesin cuci. Satu persatu kumasukkan baju ke dalamnya. Ibu masih saja merepet tidak jelas di belakangku. Suara mesin pengering membuatku terbebas mendengarkan repetan bak kereta api dari mulut ibu mertua.***"Bun. Bisa nggak sih kamu sehari saja nggak tengkar sama ibu atau Tika?" tanya Mas Riza saat anak-anak sudah terlelap tidur.Kuhentikan aktivitasku di depan cermin. Aku yakin ibu mertua sudah mengadukanku bermacam-macam pada suamiku. Rasanya lelah membela diri, tetapi kurasa hal itu tetap penting dilakukan. Mas Riza harus tahu persis duduk perkaranya."Ibu ngadu apa, Yah?" tanyaku penuh selidik. Biar kudengar versi ibu yang disampaikan suamiku."Bukannya memasak itu pekerjaan yang biasa kamu lakukan, Bun? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sering membantah ibu?"Aku tahu Mas Riza. Dia sering seperti ini sebelumnya. Menelan mentah-mentah apa yang disampaikan ibunya. Seperti yang sudah-sudah, tugasku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hal seperti ini terjadi secara berulang-ulang, dan tugasku menjelaskan lagi dan lagi."Yah, apa salah aku meminta Tika memasak untuk dirinya sendiri?" Pertanyaan Mas Riza kujawab dengan pertanyaan lagi. Mas Riza menatapku nanar. Kulihat dahinya berkerut.Kuceritakan yang sebenarnya terjadi tadi pagi. Tentu tak ada yang ditambah atau dikurangi. Tidak seperti ibu atau Tika, yang selalu menambah atau mengurangi bobot informasi agar pas dengan versi yang mereka inginkan. Membuat versi yang membuatku tersudut."Silahkan Ayah menarik kesimpulan sendiri. Aku yang kelewatan atau justru mereka, ibu dan adik tercintamu!"Kurebahkan tubuh di kasur. Rasanya lelah sekali menghadapi tingkah kedua orang itu. Padahal seluruh pekerjaan rumah aku yang mengerjakannya, kecuali mencuci baju mereka tentunya.Dari memasak, mencuci piring bahkan hanya menyapu saja yang terkadang dikerjakan oleh bapak mertua. Dia cukup mengerti dengan kesusahan yang kurasakan. Saat pulang dari mengajar aku masih harus dibebani dengan pekerjaan rumah yang sebenarnya bisa ibu atau Tika lakukan."Yah,aku mau renovasi rumah orang tuaku. Daripada dibiarkan kosong lebih baik kita tempati. Tidak apa jauh sedikit dari tempatku mengajar. Asal tentram jiwa dan raga, Yah."Kalimat yang baru saja kuucapkan membuat Mas Riza menegakkan tubuhnya. Dia memandangku dengan seksama. Barangkali dia ingin melihat ketidakseriusanku kali ini."Bun… kita sudah sering membicarakannya. Kita sudah memutuskan kalau… ""Bukan kita, Yah. Kamu. Kamu sendiri yang memutuskan untuk tinggal di sini sesuai keinginan ibumu. Kumohon, Yah. Aku lelah. Aku ingin menikmati waktuku di rumah sendiri. Tanpa harus mendengar sindiran atau perlakukan tak mengenakkan dari ibu dan adikmu.Di sini aku seperti tak punya privasi. Aku yang ingin santai sejenak saat pulang mengajar, masih harus dibebani dengan pekerjaan rumah. Yang kalau boleh jujur, ibu atau Tika masih mampu mengerjakannya sendiri. Mereka sehat jiwa dan raga.Mereka bukan orang cacat yang menyerahkan seluruh pekerjaan padaku, yang jelas-jelas sudah lelah dengan pekerjaan di sekolah!" ucapku mulai terisak. Suasana hening seketika. Mudah-mudahan Mas Riza menyetujui usulku kali ini.Aku juga kasihan dengan rumah yang ditinggalkan oleh almarhum kedua orang tuaku. Dibiarkan terbengkalai meski sesekali aku menyempatkan diri untuk membersihkan rumah itu. Tetapi rumah yang dibiarkan kosong tetap saja berbeda. Aku sudah memiliki rencana ini jauh-jauh hari, hanya saja Mas Riza selalu membawa alasan ibunya yang melarang kami pindah dari rumah ini."Bagaimana kalau kita sewa ART saja, Bun? Khusus untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja. Mbak Marni fokus mengurus anak-anak."MESIN CUCI Lelah Perkataan Mas Riza semalam mengenai rencana menyewa ART untuk mengurusi pekerjaan rumah tak kugubris sama sekali. Aku ingin dia paham rencananya tak mendapat persetujuanku. Seharusnya dia mengerti kalau arahnya bukan ke ART, tetapi aku memang menginginkan pindah secepatnya dari sini.Bukankah lebih nyaman berada di rumah sendiri? Bebas melakukan apapun yang kami inginkan.Dan lagi, aku ingin membuat ibu mertua dan Tika tahu, bawa selama ini pekerjaan yang kulakukan tidak bisa dianggap enteng. Yang mereka tahu hanya menyalahkan dan menghujaniku dengan kata-kata pedas semau mereka."Bun, masak apa?" tanya Mas Riza sesampainya di dapur. Ibu mertua yang tengah duduk di ruang santai seketika berdiri dan menyusul Mas Riza ke dapur."Sayur asem sama sambel terasi. Lalapannya pakai kemangi sama leunca," jawabku sambil mengaduk panci berisi sayur asem. Aromanya menguar sedap memenuhi penjuru dapur."Aduh ... Tika nggak suka sayur asem. Masak yang lain lagi! Kasian nanti pu
MESIN CUCI Toxic Tak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya. "Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali. "Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju." Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala. Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya. Matanya mengerjap melihat potongan martabak ya
Tika Hilang 1"Bun …" panggil Mas Riza saat aku sedang menidurkan Lala dan Risa. Aku menoleh ke arah Mas Riza. Sepertinya ada hal mengganjal yang ingin dia sampaikan. Wajah suamiku terlihat gusar. Tetapi aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin membebani pikiranku untuk hal-hal yang belum pasti. Jika memang apa yang membuatnya terusik berhubungan denganku, maka sudah pasti dia akan mengatakannya padaku. "Kamu nggak malu kan karena suamimu bukan pekerja kantoran?" suaranya agak bergetar, terdengar penuh keragu-raguan. Jahat sekali yang menyampaikan ini padanya, aku yakin kedua manusia itu yang sudah mengucapkan hal yang tidak seharusnya diucapkan pada suamiku. Hatiku memanas mendengar pertanyaannya. Tumben sekali suamiku terlihat tak percaya diri seperti ini. Entah dimana otak kedua manusia itu. Jika saja bukan orang terdekat suamiku, ingin sekali aku meributkan segala hal yang mereka lakukan padaku. "Ada apa, Yah? Ada yang bilang sesuatu ke Ayah?" tanyaku penuh
"Hei, Vit. Cepat kamu hubungi Tika! Tadi sudah Ibu telepon HPnya nggak aktif. Siapa tau sekarang aktif!" perintahnya. Nadanya yang ketus tadinya membuatku menolak perintah itu. Tetapi mengingat Tika pun membawa motorku, aku cepat mengambil ponselku di kamar. Kucoba menghubungi nomor Tika. Tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan ponselnya. Lama-lama kurutuk adik iparku itu. Kurang ajar sekali kalau dia memang sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Kenapa pula dia membawa motorku? "Gimana? Dijawab nggak?" Aku menggeleng. Ibu mertua kembali meracau. Kalimatnya sudah beralih ke mana-mana. Aku yang tak mau tambah pusing melihat tingkahnya, segera beranjak ke kamar. Khawatir juga Risa menangis saat terjaga dan mencariku jika tak ada di sisinya."Dasar menantu tak berguna! Disuruh menghubungi Tika malah ngeloyor pergi. Nggak ada etikanya sama sekali!" sembur ibu mertua. Aku masih mampu mendengar kalimat umpatannya. Kali ini aku harus memaklumi, mengingat dia sedang panik dengan keberadaan an
Pagi ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya. Sengaja aku hanya menyiapkan makanan untuk Risa dan Lala. Mbak Minah, pengasuh mereka sudah kumintai tolong untuk memandikan mereka di rumahnya. Aku benar-benar marah dengan kejadian tadi malam. Semalaman aku sulit sekali memejamkan mata. Entah jam berapa aku bisa terlelap tidur hingga terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan mata yang membengkak sempurna. Lengkap sudah keadaanku pagi ini. Beruntung Lala dan Risa sangat pengertian dan mau diurus Mbak Marni meski setiap pagi aku yang bisa menyiapkan segala kebutuhan mereka. Kuabaikan kewajibanku memasak untuk seluruh anggota keluarga ini. Lantai rumah pun tak aku sapu sama sekali. Biar saja mereka tahu aku yang dikatai guru b*doh ini sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Mas Riza berdiri dengan tatapan mata sayu. Ada rasa kasihan mengingat semalaman dia tak kunjung masuk ke kamar lagi. Pasti ibu mertua memintanya mencari keberadaan Tika.
Tika Ditemukan 1"Makanya, Riza itu lama-lama tahu. Sebusuk apa istri yang dinikahinya," cemooh ibu mertuaku. Bapak mertua memegang lengan ibu, mengisyaratkan agar wanita itu diam. "Jangan ikut campur dengan urusan anak-anak. Tak baik. Lagi pula bukankah lebih baik kita fokus dengan urusan Tika? Mengapa merepotkan diri mengurusi hal yang seharusnya tak menjadi persoalan?" ucap Bapak Mertua dengan suara pelan penuh tekanan. Kudengar Ibu mencebik sinis. "Biarin, Pak. Sekali-kali dia perlu tahu. Jangan mentang-mentang sudah PNS …""Assalamu'alaikum," ucap seorang dari depan rumah.Ibu mertua langsung berlari ke arah depan. Disusul bapak mertua dan Mas Riza. Aku yang memang akan pergi ke sekolah segera menuju ke depan. "Benar ini rumah Kartika Pratiwi?" Seorang lelaki berpakaian polisi berdiri di depan pintu. Satu orang lagi berdiri tak jauh dari mobil patroli polisi. Ibu mertua luruh ke lantai. Beruntung Mas Riza dan bapak menangkap tubuhnya. Aku melirik pemandangan itu sekilas tanpa
Di sekolah aku tak fokus sama sekali.Teman-temanku yang seolah mengerti dengan masalahku tidak ada yang bertanya apapun. Aku hanya merenung di balik meja komputer. Memainkan keyboard tanpa kegiatan bermakna. Mereka paham, bahwa dalam keadaan seperti ini aku lebih suka diam. Tentu nanti akan kuceritakaan kalau sudah tepat waktunya. Yang jelas saat ini aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Toh berita kehilangan Tika semalam pasti sudah sampai di telinga banyak orang. Apalagi ibu yang selalu memakiku dengan keras, menyalahkanku karena tidak menyampaikan informasi yang kudengar pasti sangat mudah terdengar di telinga tetangga.Beberapa kali Mas Riza meneleponku. Tak kuangkat, karena jujur saja aku masih sakit karena dia membentakku dan tak mampu membelaku di depan ibunya.Kubiarkan lelaki itu menimbun rasa bersalahnya tinggi-tinggi. Kali ini aku benar-benar tak ingin mengalah. Dia sudah kelewatan. Aku tak akan membiarkan diriku dipecundangi seperti tadi. Setelah kejadian ini, aku benar
"Bun. Nanti aku ganti motor yang dihilangkan Tika. Tolong Bun. Jangan bersikap seperti ini!" pinta Mas Riza. Aku menatapnya dengan sinis. "Kamu tahu, Mas? Aku sengaja membelinya menggunakan uang pribadiku agar tak keluargamu tak mengungkit soal motor yang kupakai. Itu saja Tika masih seenaknya memakai dan mengakatakan motor itu pemberianmu. Jika sekarang kamu benar-benar menggantinya dengan uangmu, bagaimana tanggapan kedua orang itu? Aku makin diinjak dan diperlakukan seperti seorang pengemis yang seolah-olah menghabiskan hartamu saja!" Aku sengaja menekankan kata dua orang itu pada Mas Riza. Aku ingin dia tahu aku benar-benar marah kali ini. Aku ingin Mas Riza makin memperbaiki sikapnya. Aku tak ingin dia diam seribu bahasa saat aku tengah direndahkan kedua wanita di sisinya." Lalu bagaimana kamu akan pergi ke sekolah, Bun?" tanyanya kemudian. Aku berhenti dan memandang wajah itu. "Jalan kaki. Seperti itu kan perintah ibu dan adikmu?".Kulihat kilat penyesalan di mata suamiku. D
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a