Dewi dan Intan baru selesai sarapan, sebelum berangkat sekolah. Mereka sarapan di rumahku. "Ini uang sakunya, jangan jajan sembarangan ya?" pesanku pada anak-anak."Iya, Bu, terima kasih," jawab Intan.Dewi dan Intan berangkat sekolah, aku bersiap-siap untuk membuka warung. "Assalamualaikum, Bu," sapa Minah yang baru datang."Waalaikumsalam," jawabku."Biar saya saja yang menyapu, Bu," pinta Minah."Nggak usah, kamu kerjakan yang di belakang ya? Bantuin Bik Sarni dan Warti," ucapku."Baik, Bu," kata Minah sambil berjalan menuju ke dalam.Aku menyapu dan mengelap meja-meja, dilanjutkan mengelap etalase tempat sayur dan lauk di pajang. Pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Sambil bersenandung, aku mengerjakan semua ini. "Wah, sedang bahagia ya? Pakai nyanyi segala. Tapi sayang suaranya nggak pas. Mella itu kalau menyanyi enak didengar, makanya kamu belajar nyanyi sama Mella." Ucap seseorang. Aku segera menoleh ke belakang, ternyata pagi-pagi Bu Tari sudah ada di warungku. Alamat bakal
"Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Rizal, tumben pagi-pagi sudah kesini," sapaku pada Rizal, anak buah Pak Haji Hadi. Perasaanku kok jadi nggak enak ya?"Eh Rizal, sama siapa?" sapa Bang Jo yang muncul dari belakang."Sendirian Pak," ucap Rizal dengan gugup."Ada apa Rizal?" tanya Bang Jo."Eh...gimana ya? Saya sebenarnya nggak enak hati disuruh kesini sama Pak Haji. Pak Haji sendiri juga nggak enak mau kesini langsung." Rizal menghela nafas."Ada apa? Kok berbelit-belit? Langsung saja," ucap Bang Jo. Aku yang mendengarkan ikut deg-degan. Apa ada masalah dengan pembangunan warung itu ya? Tapi Rizal kan nggak tahu kalau warung itu punya kami."Sebenarnya….""Sebenarnya begini Pak, Bu. Beberapa hari yang lalu Pak Deni dan istrinya menempati bedeng kontrakan Pak Haji. Katanya yang bayar kontrakan itu Pak Johan. Jadi nanti minta saja dengan Pak Johan…,"Belum selesai Rizal berbicara aku sudah mulai emosi dan memotong pembicaraannya."Apa? Deni bilang begitu?" teriakku."Sabar Dek, de
"Hutang apa, Mak?" tanyaku penasaran."Hutang Johan dan anak-anaknya selama belum menikah dengan kamu."Astaghfirullahaladzim, ada ya seorang ibu yang membiayai anak dan cucunya itu harus dibayar. Meminta imbalan. Yang ada dipikiran Emak hanya uang saja. Emak memang luar biasa keterlaluan. Seharusnya di usia Emak, banyak-banyak mendekatkan diri pada sang pencipta, bukan hanya memikirkan duniawi saja."Emak! Emak sangat keterlaluan, nggak punya perasaan. Ingat Mak, selama ini kita juga hidupnya dibiayai oleh Johan dan Nova," sahut Bapak."Itu kan sudah kewajiban anak terhadap orang tua," sahut Emak dengan enteng."Apakah kewajiban itu berlaku untuk kami saja, Mak? Apa Deni dan Mella nggak berkewajiban membiayai Emak dan Bapak? Kalau kami, ikhlas membiayai Emak dan Bapak. Tidak meminta imbalan apapun. Tapi, tolong, jangan perlakukan kami seperti ini. Seolah-olah Johan ini anak pungut yang harus dibedakan perlakuannya dengan Deni. Atau memang Johan ini akan pungut, Mak?" ucap Bang Jo den
"Oh, semoga semua lancar. Besok Deni dan Mella tinggal lagi di rumah. Deni berhasil merayu Emak," ucap Bapak sambil menghela nafas. Sepertinya Bapak kecewa dengan keputusan Emak.Aku kaget mendengar ucapan Bapak. Emak memang plin-plan, mungkin juga benar kata Bapak kalau Deni berhasil merayu Emak. Bakal ribut lagi Emak dan Mella. Aku sih nggak mau ambil pusing, sebentar lagi aku juga pindah. Menjauh dari mereka yang suka membuat huru-hara."Jadi, Deni dan Mella tinggal disitu lagi?" tanya Bang Jo.Bapak mengangguk dengan mata yang terlihat...entahlah, susah dijelaskan dengan kata-kata. Kasihan sekali dengan Bapak. ***"Bu, memang Ibu mau pindah ya?" tanya Minah."Siapa yang bilang?" jawabku."Mak Amir. Bagaimana dengan nasib kami Bu?" jawab Minah."Iya, Bu. Saya tadi malam nggak bisa tidur. Mikirin nanti jadi pengangguran, nggak punya penghasilan. Sedih sekali, Bu," sahut Warti sambil terisak-isak.Aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua."Kenapa kok Ibu malah tertawa," ucap
"Maaf, Mak. Saya sibuk beres-beres, sebelum diusir lagi." Aku memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya."Wah, tahu diri juga kamu ya? Yang namanya numpang ya kayak gitu, harus siap kalau diusir. Sadar diri. Hebat sekali kamu bisa bikin rumah disitu. Paling juga banyak hutangnya," cibir Emak."Saya ngutang juga nggak ngerepotin Emak kan? Semua kami yang bayar sendiri, nggak minta uang sama Emak. Nggak kayak menantu kesayangan Emak, sudah numpang, banyak hutang, Emak juga yang membayar hutangnya." Emosiku sudah di ubun-ubun, tapi aku tetap berusaha untuk berbicara dengan nada yang rendah. Kalau menuruti Emosi, bisa terjadi perang dunia ketiga."Huh, ngomong sama kamu memang selalu bikin kesal." Emak berkata dengan ketus."Sama Mak." Spontan aku menjawabnya, tapi dengan suara pelan."Maksud kamu apa?" bentak Emak."Nggak kok Mak, nggak apa-apa." Aku deg-degan, Emak ini ternyata pendengarannya masih tajam juga, padahal tadi aku berbicara pelan."Dasar…." "Menantu durhaka," j
Hari ini aku ke rumah Emak, mengundang beliau untuk datang pas syukuran nanti. Sebelum berangkat aku sempat was-was, takut tidak diterima Emak. Karena kemarin Emak sempat marah denganku, gara-gara Angga pulang ke rumahku dulu. Biasanya dia pulang ke rumah Emak."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Kulihat Emak dan Bapak sedang menonton televisi. Emak sempat melirik ke arahku, kemudian menatap televisi lagi."Waalaikumsalam, Nova," ucap Bapak.Aku masuk dan memberikan makanan, yang tadi aku bawa dari rumah. "Terima kasih," sahut Bapak.Aku mengangguk."Mak, hari Kamis, kami mau syukuran pindah rumah. Kami mengharapkan Emak dan semuanya datang," ucapku pada Emak dan Bapak."Iya, Nova. Insyaallah kami datang, walaupun hanya sekedar duduk-duduk saja," sahut Bapak."Iya, Pak. Ngumpul dan makan-makan. Untuk masak dan yang lainnya, sudah ada yang mengerjakan," kataku lagi."Semoga acaranya lancar, ya?" kata Bapak."Amin, Pak. Terima kasih untuk doanya."Emak dari tadi hanya diam saja.
Semua barang-barang kami sudah ada di rumah baru. Malam ini kami mau tidur di rumah baru. Rumah ini memiliki tiga kamar. Ruang keluarga sengaja kami buat luas, untuk tempat berkumpul. Sore tadi, Dewi dan Intan diantar Bapak kesini. Katanya mau menginap disini. Kami senang sekali. Semua anak berkumpul disini. Semoga mereka nanti mau tinggal disini. Sampai malam mereka ngobrol dan bermain-main.Nayla ingin tidur bersama Dewi dan Intan, sempat aku larang."Nanti kamu malah ngompol tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan. Tidur sama Ayah dan Ibu, ya," bujukku pada Nayla."Nggak mau, Bu. Mau tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan," rengek Nayla."Nggak apa-apa, Bu. Biar Nay tidur sama kami," sahut Dewi."Ya, sudah. Nanti kalau kamu ingin pipis, bangunin Mbak Dewi atau Mbak Intan ya?" ucapku pada Nayla. Nayla mengangguk. Mereka segera masuk ke kamar, karena sudah larut malam. Kamar satunya dipakai tidur oleh Angga. Semoga mereka berempat bisa akur sampai tua.***Hari ini kami sedang masak-masak
Ada yang mengucapkan salam. Aku sudah paham, siapa yang memanggilku dengan sebutan Ibu Nay kalau bukan Icha alias Annisa, anak bapakku dengan Ibu Sis. Sebenarnya Icha bisa memanggilku dengan sebutan mbak. Tapi karena jarak usia yang jauh, dan mungkin juga ikut kebiasaan Nayla yang memanggilku ibu. Jadi Icha ikut-ikutan memanggilku Ibu dengan embel-embel Nay. "Waalaikumsalam, bulek Icha. Alhamdulillah sudah sampai sini. Mana Ibu dan Bapak?" jawabku."Masih di depan, mana Nayla?" sahut Icha."Ada di dalam rumah, sedang menonton televisi. Ayo masuk saja," jawabku sambil mengajak Icha menemui Nayla. Nayla sedang asyik nonton film kartun."Bulek Icha datang ya? Sini nonton sama Nayla. Bentar lagi Mbak Intan pulang sekolah," sambut Nayla. Icha mendekati Nayla dan mereka asyik nonton film kartun sambil bercerita. "Bulek Icha, Ibu Nay ke dapur dulu ya? Nanti kalau mau makan dan minum, langsung ke dapur saja," ucapku."Iya," jawab Icha. Aku memang memanggilnya bulek, untuk membiasakan Nayla.