"Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Rizal, tumben pagi-pagi sudah kesini," sapaku pada Rizal, anak buah Pak Haji Hadi. Perasaanku kok jadi nggak enak ya?"Eh Rizal, sama siapa?" sapa Bang Jo yang muncul dari belakang."Sendirian Pak," ucap Rizal dengan gugup."Ada apa Rizal?" tanya Bang Jo."Eh...gimana ya? Saya sebenarnya nggak enak hati disuruh kesini sama Pak Haji. Pak Haji sendiri juga nggak enak mau kesini langsung." Rizal menghela nafas."Ada apa? Kok berbelit-belit? Langsung saja," ucap Bang Jo. Aku yang mendengarkan ikut deg-degan. Apa ada masalah dengan pembangunan warung itu ya? Tapi Rizal kan nggak tahu kalau warung itu punya kami."Sebenarnya….""Sebenarnya begini Pak, Bu. Beberapa hari yang lalu Pak Deni dan istrinya menempati bedeng kontrakan Pak Haji. Katanya yang bayar kontrakan itu Pak Johan. Jadi nanti minta saja dengan Pak Johan…,"Belum selesai Rizal berbicara aku sudah mulai emosi dan memotong pembicaraannya."Apa? Deni bilang begitu?" teriakku."Sabar Dek, de
"Hutang apa, Mak?" tanyaku penasaran."Hutang Johan dan anak-anaknya selama belum menikah dengan kamu."Astaghfirullahaladzim, ada ya seorang ibu yang membiayai anak dan cucunya itu harus dibayar. Meminta imbalan. Yang ada dipikiran Emak hanya uang saja. Emak memang luar biasa keterlaluan. Seharusnya di usia Emak, banyak-banyak mendekatkan diri pada sang pencipta, bukan hanya memikirkan duniawi saja."Emak! Emak sangat keterlaluan, nggak punya perasaan. Ingat Mak, selama ini kita juga hidupnya dibiayai oleh Johan dan Nova," sahut Bapak."Itu kan sudah kewajiban anak terhadap orang tua," sahut Emak dengan enteng."Apakah kewajiban itu berlaku untuk kami saja, Mak? Apa Deni dan Mella nggak berkewajiban membiayai Emak dan Bapak? Kalau kami, ikhlas membiayai Emak dan Bapak. Tidak meminta imbalan apapun. Tapi, tolong, jangan perlakukan kami seperti ini. Seolah-olah Johan ini anak pungut yang harus dibedakan perlakuannya dengan Deni. Atau memang Johan ini akan pungut, Mak?" ucap Bang Jo den
"Oh, semoga semua lancar. Besok Deni dan Mella tinggal lagi di rumah. Deni berhasil merayu Emak," ucap Bapak sambil menghela nafas. Sepertinya Bapak kecewa dengan keputusan Emak.Aku kaget mendengar ucapan Bapak. Emak memang plin-plan, mungkin juga benar kata Bapak kalau Deni berhasil merayu Emak. Bakal ribut lagi Emak dan Mella. Aku sih nggak mau ambil pusing, sebentar lagi aku juga pindah. Menjauh dari mereka yang suka membuat huru-hara."Jadi, Deni dan Mella tinggal disitu lagi?" tanya Bang Jo.Bapak mengangguk dengan mata yang terlihat...entahlah, susah dijelaskan dengan kata-kata. Kasihan sekali dengan Bapak. ***"Bu, memang Ibu mau pindah ya?" tanya Minah."Siapa yang bilang?" jawabku."Mak Amir. Bagaimana dengan nasib kami Bu?" jawab Minah."Iya, Bu. Saya tadi malam nggak bisa tidur. Mikirin nanti jadi pengangguran, nggak punya penghasilan. Sedih sekali, Bu," sahut Warti sambil terisak-isak.Aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua."Kenapa kok Ibu malah tertawa," ucap
"Maaf, Mak. Saya sibuk beres-beres, sebelum diusir lagi." Aku memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya."Wah, tahu diri juga kamu ya? Yang namanya numpang ya kayak gitu, harus siap kalau diusir. Sadar diri. Hebat sekali kamu bisa bikin rumah disitu. Paling juga banyak hutangnya," cibir Emak."Saya ngutang juga nggak ngerepotin Emak kan? Semua kami yang bayar sendiri, nggak minta uang sama Emak. Nggak kayak menantu kesayangan Emak, sudah numpang, banyak hutang, Emak juga yang membayar hutangnya." Emosiku sudah di ubun-ubun, tapi aku tetap berusaha untuk berbicara dengan nada yang rendah. Kalau menuruti Emosi, bisa terjadi perang dunia ketiga."Huh, ngomong sama kamu memang selalu bikin kesal." Emak berkata dengan ketus."Sama Mak." Spontan aku menjawabnya, tapi dengan suara pelan."Maksud kamu apa?" bentak Emak."Nggak kok Mak, nggak apa-apa." Aku deg-degan, Emak ini ternyata pendengarannya masih tajam juga, padahal tadi aku berbicara pelan."Dasar…." "Menantu durhaka," j
Hari ini aku ke rumah Emak, mengundang beliau untuk datang pas syukuran nanti. Sebelum berangkat aku sempat was-was, takut tidak diterima Emak. Karena kemarin Emak sempat marah denganku, gara-gara Angga pulang ke rumahku dulu. Biasanya dia pulang ke rumah Emak."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Kulihat Emak dan Bapak sedang menonton televisi. Emak sempat melirik ke arahku, kemudian menatap televisi lagi."Waalaikumsalam, Nova," ucap Bapak.Aku masuk dan memberikan makanan, yang tadi aku bawa dari rumah. "Terima kasih," sahut Bapak.Aku mengangguk."Mak, hari Kamis, kami mau syukuran pindah rumah. Kami mengharapkan Emak dan semuanya datang," ucapku pada Emak dan Bapak."Iya, Nova. Insyaallah kami datang, walaupun hanya sekedar duduk-duduk saja," sahut Bapak."Iya, Pak. Ngumpul dan makan-makan. Untuk masak dan yang lainnya, sudah ada yang mengerjakan," kataku lagi."Semoga acaranya lancar, ya?" kata Bapak."Amin, Pak. Terima kasih untuk doanya."Emak dari tadi hanya diam saja.
Semua barang-barang kami sudah ada di rumah baru. Malam ini kami mau tidur di rumah baru. Rumah ini memiliki tiga kamar. Ruang keluarga sengaja kami buat luas, untuk tempat berkumpul. Sore tadi, Dewi dan Intan diantar Bapak kesini. Katanya mau menginap disini. Kami senang sekali. Semua anak berkumpul disini. Semoga mereka nanti mau tinggal disini. Sampai malam mereka ngobrol dan bermain-main.Nayla ingin tidur bersama Dewi dan Intan, sempat aku larang."Nanti kamu malah ngompol tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan. Tidur sama Ayah dan Ibu, ya," bujukku pada Nayla."Nggak mau, Bu. Mau tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan," rengek Nayla."Nggak apa-apa, Bu. Biar Nay tidur sama kami," sahut Dewi."Ya, sudah. Nanti kalau kamu ingin pipis, bangunin Mbak Dewi atau Mbak Intan ya?" ucapku pada Nayla. Nayla mengangguk. Mereka segera masuk ke kamar, karena sudah larut malam. Kamar satunya dipakai tidur oleh Angga. Semoga mereka berempat bisa akur sampai tua.***Hari ini kami sedang masak-masak
Ada yang mengucapkan salam. Aku sudah paham, siapa yang memanggilku dengan sebutan Ibu Nay kalau bukan Icha alias Annisa, anak bapakku dengan Ibu Sis. Sebenarnya Icha bisa memanggilku dengan sebutan mbak. Tapi karena jarak usia yang jauh, dan mungkin juga ikut kebiasaan Nayla yang memanggilku ibu. Jadi Icha ikut-ikutan memanggilku Ibu dengan embel-embel Nay. "Waalaikumsalam, bulek Icha. Alhamdulillah sudah sampai sini. Mana Ibu dan Bapak?" jawabku."Masih di depan, mana Nayla?" sahut Icha."Ada di dalam rumah, sedang menonton televisi. Ayo masuk saja," jawabku sambil mengajak Icha menemui Nayla. Nayla sedang asyik nonton film kartun."Bulek Icha datang ya? Sini nonton sama Nayla. Bentar lagi Mbak Intan pulang sekolah," sambut Nayla. Icha mendekati Nayla dan mereka asyik nonton film kartun sambil bercerita. "Bulek Icha, Ibu Nay ke dapur dulu ya? Nanti kalau mau makan dan minum, langsung ke dapur saja," ucapku."Iya," jawab Icha. Aku memang memanggilnya bulek, untuk membiasakan Nayla.
"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamualaikum," ucap Ibu. Belum ada jawaban juga. Kemana ya semua penghuni rumah ini? Bapak ada di rumahku. Emak, Mella, Deni dan Sheila tidak tampak di rumahku. Kriet...Suara pintu depan dibuka. Tampak Emak seperti habis bangun tidur."Assalamualaikum, Mak?" sapaku. Emak diam saja."Emak sehat?" ucapku lagi."Sehat dong. Kamu mendoakan Emak sakit ya?" ketus Emak menjawab ucapanku."Assalamualaikum," sapa Ibu pada Emak. Emak kaget, mungkin dari tadi tidak melihat Ibu bersamaku."Eh, Waalaikumsalam. Mari masuk," sambut Emak pada Ibu. Ibu pun masuk ke dalam rumah, aku mengikuti dari belakang."Ini Mak, ada sayur dan lauk. Saya tunggu Emak kok nggak datang ke rumah. Makanya saya bawa kesini makanannya," kataku sambil meletakkan makanan yang aku bawa tadi. "Iya, Emak tadi agak pusing, jadi belum sempat ke rumahmu," ucap Emak berbasa-basi, maklum ada besan di depannya. Jadi mungkin Emak ingin terlihat baik di depan kami. Pad
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa