"Hutang apa, Mak?" tanyaku penasaran."Hutang Johan dan anak-anaknya selama belum menikah dengan kamu."Astaghfirullahaladzim, ada ya seorang ibu yang membiayai anak dan cucunya itu harus dibayar. Meminta imbalan. Yang ada dipikiran Emak hanya uang saja. Emak memang luar biasa keterlaluan. Seharusnya di usia Emak, banyak-banyak mendekatkan diri pada sang pencipta, bukan hanya memikirkan duniawi saja."Emak! Emak sangat keterlaluan, nggak punya perasaan. Ingat Mak, selama ini kita juga hidupnya dibiayai oleh Johan dan Nova," sahut Bapak."Itu kan sudah kewajiban anak terhadap orang tua," sahut Emak dengan enteng."Apakah kewajiban itu berlaku untuk kami saja, Mak? Apa Deni dan Mella nggak berkewajiban membiayai Emak dan Bapak? Kalau kami, ikhlas membiayai Emak dan Bapak. Tidak meminta imbalan apapun. Tapi, tolong, jangan perlakukan kami seperti ini. Seolah-olah Johan ini anak pungut yang harus dibedakan perlakuannya dengan Deni. Atau memang Johan ini akan pungut, Mak?" ucap Bang Jo den
"Oh, semoga semua lancar. Besok Deni dan Mella tinggal lagi di rumah. Deni berhasil merayu Emak," ucap Bapak sambil menghela nafas. Sepertinya Bapak kecewa dengan keputusan Emak.Aku kaget mendengar ucapan Bapak. Emak memang plin-plan, mungkin juga benar kata Bapak kalau Deni berhasil merayu Emak. Bakal ribut lagi Emak dan Mella. Aku sih nggak mau ambil pusing, sebentar lagi aku juga pindah. Menjauh dari mereka yang suka membuat huru-hara."Jadi, Deni dan Mella tinggal disitu lagi?" tanya Bang Jo.Bapak mengangguk dengan mata yang terlihat...entahlah, susah dijelaskan dengan kata-kata. Kasihan sekali dengan Bapak. ***"Bu, memang Ibu mau pindah ya?" tanya Minah."Siapa yang bilang?" jawabku."Mak Amir. Bagaimana dengan nasib kami Bu?" jawab Minah."Iya, Bu. Saya tadi malam nggak bisa tidur. Mikirin nanti jadi pengangguran, nggak punya penghasilan. Sedih sekali, Bu," sahut Warti sambil terisak-isak.Aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua."Kenapa kok Ibu malah tertawa," ucap
"Maaf, Mak. Saya sibuk beres-beres, sebelum diusir lagi." Aku memilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaannya."Wah, tahu diri juga kamu ya? Yang namanya numpang ya kayak gitu, harus siap kalau diusir. Sadar diri. Hebat sekali kamu bisa bikin rumah disitu. Paling juga banyak hutangnya," cibir Emak."Saya ngutang juga nggak ngerepotin Emak kan? Semua kami yang bayar sendiri, nggak minta uang sama Emak. Nggak kayak menantu kesayangan Emak, sudah numpang, banyak hutang, Emak juga yang membayar hutangnya." Emosiku sudah di ubun-ubun, tapi aku tetap berusaha untuk berbicara dengan nada yang rendah. Kalau menuruti Emosi, bisa terjadi perang dunia ketiga."Huh, ngomong sama kamu memang selalu bikin kesal." Emak berkata dengan ketus."Sama Mak." Spontan aku menjawabnya, tapi dengan suara pelan."Maksud kamu apa?" bentak Emak."Nggak kok Mak, nggak apa-apa." Aku deg-degan, Emak ini ternyata pendengarannya masih tajam juga, padahal tadi aku berbicara pelan."Dasar…." "Menantu durhaka," j
Hari ini aku ke rumah Emak, mengundang beliau untuk datang pas syukuran nanti. Sebelum berangkat aku sempat was-was, takut tidak diterima Emak. Karena kemarin Emak sempat marah denganku, gara-gara Angga pulang ke rumahku dulu. Biasanya dia pulang ke rumah Emak."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Kulihat Emak dan Bapak sedang menonton televisi. Emak sempat melirik ke arahku, kemudian menatap televisi lagi."Waalaikumsalam, Nova," ucap Bapak.Aku masuk dan memberikan makanan, yang tadi aku bawa dari rumah. "Terima kasih," sahut Bapak.Aku mengangguk."Mak, hari Kamis, kami mau syukuran pindah rumah. Kami mengharapkan Emak dan semuanya datang," ucapku pada Emak dan Bapak."Iya, Nova. Insyaallah kami datang, walaupun hanya sekedar duduk-duduk saja," sahut Bapak."Iya, Pak. Ngumpul dan makan-makan. Untuk masak dan yang lainnya, sudah ada yang mengerjakan," kataku lagi."Semoga acaranya lancar, ya?" kata Bapak."Amin, Pak. Terima kasih untuk doanya."Emak dari tadi hanya diam saja.
Semua barang-barang kami sudah ada di rumah baru. Malam ini kami mau tidur di rumah baru. Rumah ini memiliki tiga kamar. Ruang keluarga sengaja kami buat luas, untuk tempat berkumpul. Sore tadi, Dewi dan Intan diantar Bapak kesini. Katanya mau menginap disini. Kami senang sekali. Semua anak berkumpul disini. Semoga mereka nanti mau tinggal disini. Sampai malam mereka ngobrol dan bermain-main.Nayla ingin tidur bersama Dewi dan Intan, sempat aku larang."Nanti kamu malah ngompol tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan. Tidur sama Ayah dan Ibu, ya," bujukku pada Nayla."Nggak mau, Bu. Mau tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan," rengek Nayla."Nggak apa-apa, Bu. Biar Nay tidur sama kami," sahut Dewi."Ya, sudah. Nanti kalau kamu ingin pipis, bangunin Mbak Dewi atau Mbak Intan ya?" ucapku pada Nayla. Nayla mengangguk. Mereka segera masuk ke kamar, karena sudah larut malam. Kamar satunya dipakai tidur oleh Angga. Semoga mereka berempat bisa akur sampai tua.***Hari ini kami sedang masak-masak
Ada yang mengucapkan salam. Aku sudah paham, siapa yang memanggilku dengan sebutan Ibu Nay kalau bukan Icha alias Annisa, anak bapakku dengan Ibu Sis. Sebenarnya Icha bisa memanggilku dengan sebutan mbak. Tapi karena jarak usia yang jauh, dan mungkin juga ikut kebiasaan Nayla yang memanggilku ibu. Jadi Icha ikut-ikutan memanggilku Ibu dengan embel-embel Nay. "Waalaikumsalam, bulek Icha. Alhamdulillah sudah sampai sini. Mana Ibu dan Bapak?" jawabku."Masih di depan, mana Nayla?" sahut Icha."Ada di dalam rumah, sedang menonton televisi. Ayo masuk saja," jawabku sambil mengajak Icha menemui Nayla. Nayla sedang asyik nonton film kartun."Bulek Icha datang ya? Sini nonton sama Nayla. Bentar lagi Mbak Intan pulang sekolah," sambut Nayla. Icha mendekati Nayla dan mereka asyik nonton film kartun sambil bercerita. "Bulek Icha, Ibu Nay ke dapur dulu ya? Nanti kalau mau makan dan minum, langsung ke dapur saja," ucapku."Iya," jawab Icha. Aku memang memanggilnya bulek, untuk membiasakan Nayla.
"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamualaikum," ucap Ibu. Belum ada jawaban juga. Kemana ya semua penghuni rumah ini? Bapak ada di rumahku. Emak, Mella, Deni dan Sheila tidak tampak di rumahku. Kriet...Suara pintu depan dibuka. Tampak Emak seperti habis bangun tidur."Assalamualaikum, Mak?" sapaku. Emak diam saja."Emak sehat?" ucapku lagi."Sehat dong. Kamu mendoakan Emak sakit ya?" ketus Emak menjawab ucapanku."Assalamualaikum," sapa Ibu pada Emak. Emak kaget, mungkin dari tadi tidak melihat Ibu bersamaku."Eh, Waalaikumsalam. Mari masuk," sambut Emak pada Ibu. Ibu pun masuk ke dalam rumah, aku mengikuti dari belakang."Ini Mak, ada sayur dan lauk. Saya tunggu Emak kok nggak datang ke rumah. Makanya saya bawa kesini makanannya," kataku sambil meletakkan makanan yang aku bawa tadi. "Iya, Emak tadi agak pusing, jadi belum sempat ke rumahmu," ucap Emak berbasa-basi, maklum ada besan di depannya. Jadi mungkin Emak ingin terlihat baik di depan kami. Pad
"Maksud saya kesini tadi karena ingin bertemu dengan besan. Ada acara di rumah anaknya kok nggak datang. Banyak yang bilang, katanya Makwonya Nayla dan Mella nggak diundang sama Nova. Saya jadi nggak enak mendengarnya. Masa sih, Nova seperti itu?" ucap Ibu."Mereka berdua diundang kok sama Nova. Waktu Nova mengundang, saya ada di rumah. Sekali lagi maafkan kami ya Bu?" kata Bapak lagi."Ada apa ini?" Tiba-tiba ada yang datang.Suara Deni mengagetkan kami. Wah bakal menjadi ramai ini. Deni tampak bingung melihat kami satu persatu. Mella langsung mendekati Deni dengan wajah yang memelas."Kak, aku ditampar sama Mbak Nova," ucap Mella dengan nada yang dibuat seperti kesakitan. Sambil memegang pipinya, kemudian ia meringis menandakan seolah-olah ia benar-benar kesakitan. Deni langsung menatap ke arahku, dengan tatapan tidak suka. Aku jadi kesal melihat Mella yang melakukan drama."Aku mengantar Ibu kesini, karena Ibu ingin bertemu dengan Emak," ucapku pada Deni. "Terus kenapa kok sampai