Ada yang mengucapkan salam. Aku sudah paham, siapa yang memanggilku dengan sebutan Ibu Nay kalau bukan Icha alias Annisa, anak bapakku dengan Ibu Sis. Sebenarnya Icha bisa memanggilku dengan sebutan mbak. Tapi karena jarak usia yang jauh, dan mungkin juga ikut kebiasaan Nayla yang memanggilku ibu. Jadi Icha ikut-ikutan memanggilku Ibu dengan embel-embel Nay. "Waalaikumsalam, bulek Icha. Alhamdulillah sudah sampai sini. Mana Ibu dan Bapak?" jawabku."Masih di depan, mana Nayla?" sahut Icha."Ada di dalam rumah, sedang menonton televisi. Ayo masuk saja," jawabku sambil mengajak Icha menemui Nayla. Nayla sedang asyik nonton film kartun."Bulek Icha datang ya? Sini nonton sama Nayla. Bentar lagi Mbak Intan pulang sekolah," sambut Nayla. Icha mendekati Nayla dan mereka asyik nonton film kartun sambil bercerita. "Bulek Icha, Ibu Nay ke dapur dulu ya? Nanti kalau mau makan dan minum, langsung ke dapur saja," ucapku."Iya," jawab Icha. Aku memang memanggilnya bulek, untuk membiasakan Nayla.
"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamualaikum," ucap Ibu. Belum ada jawaban juga. Kemana ya semua penghuni rumah ini? Bapak ada di rumahku. Emak, Mella, Deni dan Sheila tidak tampak di rumahku. Kriet...Suara pintu depan dibuka. Tampak Emak seperti habis bangun tidur."Assalamualaikum, Mak?" sapaku. Emak diam saja."Emak sehat?" ucapku lagi."Sehat dong. Kamu mendoakan Emak sakit ya?" ketus Emak menjawab ucapanku."Assalamualaikum," sapa Ibu pada Emak. Emak kaget, mungkin dari tadi tidak melihat Ibu bersamaku."Eh, Waalaikumsalam. Mari masuk," sambut Emak pada Ibu. Ibu pun masuk ke dalam rumah, aku mengikuti dari belakang."Ini Mak, ada sayur dan lauk. Saya tunggu Emak kok nggak datang ke rumah. Makanya saya bawa kesini makanannya," kataku sambil meletakkan makanan yang aku bawa tadi. "Iya, Emak tadi agak pusing, jadi belum sempat ke rumahmu," ucap Emak berbasa-basi, maklum ada besan di depannya. Jadi mungkin Emak ingin terlihat baik di depan kami. Pad
"Maksud saya kesini tadi karena ingin bertemu dengan besan. Ada acara di rumah anaknya kok nggak datang. Banyak yang bilang, katanya Makwonya Nayla dan Mella nggak diundang sama Nova. Saya jadi nggak enak mendengarnya. Masa sih, Nova seperti itu?" ucap Ibu."Mereka berdua diundang kok sama Nova. Waktu Nova mengundang, saya ada di rumah. Sekali lagi maafkan kami ya Bu?" kata Bapak lagi."Ada apa ini?" Tiba-tiba ada yang datang.Suara Deni mengagetkan kami. Wah bakal menjadi ramai ini. Deni tampak bingung melihat kami satu persatu. Mella langsung mendekati Deni dengan wajah yang memelas."Kak, aku ditampar sama Mbak Nova," ucap Mella dengan nada yang dibuat seperti kesakitan. Sambil memegang pipinya, kemudian ia meringis menandakan seolah-olah ia benar-benar kesakitan. Deni langsung menatap ke arahku, dengan tatapan tidak suka. Aku jadi kesal melihat Mella yang melakukan drama."Aku mengantar Ibu kesini, karena Ibu ingin bertemu dengan Emak," ucapku pada Deni. "Terus kenapa kok sampai
Malam ini undangan yang datang cukup banyak. Emak, Mella dan Deni juga datang. Berarti Bapak berhasil membujuk mereka. Mereka hanya diam saja. Ibu duduk di sebelah Emak, menghormati beliau sebagai besan. Kulihat Mella sangat sibuk dengan hpnya. Mungkin untuk menghindari berbicara dengan orang lain. Acara dimulai dengan sambutan dari tuan rumah yang diwakili oleh Pakwo. Karena beliau juga sesepuh di dusun kami. Kemudian sambutan dari Pak Kades. Dilanjutkan dengan mengirimkan doa, untuk leluhur-leluhur kami yang sudah meninggal. Dipimpin oleh Pak Haji Sobri. Selesai acara, para undangan disuguhi soto ayam dan snack. Semua menikmati makanan sambil berbincang-bincang. Aku juga sudah menyiapkan nasi kotak dan snack dalam kotak, untuk dibawa pulang oleh tamu undangan. Sengaja aku siapkan makanan untuk dibawa pulang. Seperti orang habis kenduri, pulang membawa 'nasi berkat', istilah orang Jawa. Dulu waktu aku masih kecil, paling senang kalau Bapak pergi kenduri. Aku dan Septi adikku, men
Pagi ini kami berencana merobohkan warung bekas tempat jualan kami. Seperti rencana semula, kayu dan papan, juga sengnya akan digunakan untuk membuat kandang ayam."Kenapa Bang, kok sepertinya Abang tidak bersemangat gitu," tanyaku pada Bang Jo."Nggak apa-apa, Dek. Abang cuma nggak tega saja merobohkan warung itu." Bang Jo menghela nafas panjang."Ya sudah, Abang disini saja. Nggak usah kesana," sahutku."Bukan begitu Dek. Kesannya kok kita tega dengan keluarga sendiri, sampai merobohkan warung itu. Kan bisa dimanfaatkan untuk yang lainnya. Apa kata orang-orang nantinya," sanggah Bang Jo."Oh, jadi Abang nggak ikhlas kalau warung itu dirobohkan? Tapi kita butuh papan dan kayunya. Kalau Deni dan Mella meminta baik-baik denganku, akan aku berikan pada mereka. Tapi nyatanya mereka malah selalu bikin emosi." Aku mulai kesal dengan Bang Jo."Kemarin Emak meminta pada Abang untuk tidak merobohkan warung itu. Abang jadi nggak tega," ucap Bang Jo dengan pelan.Aku mulai emosi dengan ucapan B
"Dek, jahat sekali Adek mau melaporkan Emak ke polisi. Apa Adek nggak mikirin dampaknya nanti bagi kita semua," kata Bang Jo setelah mengantar Emak pulang. Bang Jo tampak emosi padaku. Aku kaget mendengar ucapan Bang Jo.Emak tadi memang tampak pucat dan lemah setelah aku bilang tentang polisi. Karena itu Bang Jo mengantarnya pulang, takut nanti terjadi apa-apa. Sebenarnya kasihan juga melihat Emak seperti itu. Ada rasa menyesal sudah mengatakan itu. Tapi biarlah, sedikit pelajaran untuk Emak. Padahal tidak ada niat sedikitpun untuk melaporkan Emak. Hanya untuk menakutinya saja. Ah, Emak, andai Emak bisa bersikap lebih baik kepadaku. Semua ini tidak akan terjadi."Enggak lah Bang, aku nggak sejahat itu. Hanya untuk menakuti Emak saja. Biar Emak itu berpikir dulu sebelum berbicara dan bertindak." Aku menjawab pertanyaan Bang Jo, sambil tangan dan mata asyik berselancar di dunia maya. Impianku memiliki semacam tempat nongkrong anak-anak muda, harus terwujud.Bang Jo tampak bernafas le
"Enggak Bang, nggak apa-apa. Aku ingin melihatnya," sahutku lagi."Ya sudah, ayo kita sama-sama ke sana," ucap Bapak.Aku, Bapak dan Bang Jo berjalan ke warung lama. Kulihat atap dan dinding papannya sudah di buka semua. Beberapa anak buah Pak Salim sudah mulai mengangkut papan dan kayu ke rumahku yang baru. Cepat juga kerjanya Pak Salim dan anak buahnya."Pak, istirahat dulu," kataku pada Pak Salim."Iya, Mbak. Sebentar lagi, tanggung nih," sahut Pak Salim. Aku menyaksikan warung dan rumah yang dulu aku tempati, sekarang tinggal puing-puing saja. Ada rasa lega dihatiku, proses merobohkan warung ini tidak banyak kendala. Walaupun sempat diwarnai drama pelemparan asbak. Akhirnya Pak Salim dan empat anak buahnya beristirahat. Ada beberapa tetangga yang membantu. Mereka menikmati nasi bungkus yang aku bawa tadi. Aku berkeliling bekas bangunan warung dan rumah, melihat-lihat siapa tahu ada harta karun, hihi."Gayanya seperti bos saja, mondar-mandir nggak karuan," celetuk seseorang dari
"Bu, Ibu, Pakwo sakit, badannya panas sekali," ucap Dewi."Hah? Dewi lihat kalau Pakwo demam?" tanyaku."Iya, Bu. Dewi pegang badan Pakwo panas," ungkap Dewi.Ada siapa di rumah?" tanyaku."Semuanya ada, Bu." Aku segera berlari ke ruang Emak bersama Dewi."Assalamualaikum," ucapku sambil masuk ke dalam rumah."Iblis betina datang," ucap Deni mengejekku. Deni dan Mella sedang makan makanan yang dibawa Dewi tadi. Dasar nggak punya malu, sering mengejekku, padahal makan masih menunggu kiriman dariku juga."Mana Pakwo?" tanyaku pada Dewi."Dikamarnya, Bu."Aku dan Dewi segera masuk ke kamar Bapak. Tampak Bapak berbaring dengan tubuh ditutupi selimut, seperti kedinginan. Emak berbaring di sebelahnya."Eh Nova," sambut Bapak dengan wajah pucat."Bapak kenapa?" tanyaku."Ngapain kamu kesini," ucap Emak yang terbangun dari tidurnya. Entah tidur beneran atau pura-pura tidur."Menjenguk Bapak, Mak?" jawabku."Bapak nggak apa-apa, hanya demam biasa. Tadi sudah Emak kompres, bentar lagi juga sem
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa