"Enggak Bang, nggak apa-apa. Aku ingin melihatnya," sahutku lagi."Ya sudah, ayo kita sama-sama ke sana," ucap Bapak.Aku, Bapak dan Bang Jo berjalan ke warung lama. Kulihat atap dan dinding papannya sudah di buka semua. Beberapa anak buah Pak Salim sudah mulai mengangkut papan dan kayu ke rumahku yang baru. Cepat juga kerjanya Pak Salim dan anak buahnya."Pak, istirahat dulu," kataku pada Pak Salim."Iya, Mbak. Sebentar lagi, tanggung nih," sahut Pak Salim. Aku menyaksikan warung dan rumah yang dulu aku tempati, sekarang tinggal puing-puing saja. Ada rasa lega dihatiku, proses merobohkan warung ini tidak banyak kendala. Walaupun sempat diwarnai drama pelemparan asbak. Akhirnya Pak Salim dan empat anak buahnya beristirahat. Ada beberapa tetangga yang membantu. Mereka menikmati nasi bungkus yang aku bawa tadi. Aku berkeliling bekas bangunan warung dan rumah, melihat-lihat siapa tahu ada harta karun, hihi."Gayanya seperti bos saja, mondar-mandir nggak karuan," celetuk seseorang dari
"Bu, Ibu, Pakwo sakit, badannya panas sekali," ucap Dewi."Hah? Dewi lihat kalau Pakwo demam?" tanyaku."Iya, Bu. Dewi pegang badan Pakwo panas," ungkap Dewi.Ada siapa di rumah?" tanyaku."Semuanya ada, Bu." Aku segera berlari ke ruang Emak bersama Dewi."Assalamualaikum," ucapku sambil masuk ke dalam rumah."Iblis betina datang," ucap Deni mengejekku. Deni dan Mella sedang makan makanan yang dibawa Dewi tadi. Dasar nggak punya malu, sering mengejekku, padahal makan masih menunggu kiriman dariku juga."Mana Pakwo?" tanyaku pada Dewi."Dikamarnya, Bu."Aku dan Dewi segera masuk ke kamar Bapak. Tampak Bapak berbaring dengan tubuh ditutupi selimut, seperti kedinginan. Emak berbaring di sebelahnya."Eh Nova," sambut Bapak dengan wajah pucat."Bapak kenapa?" tanyaku."Ngapain kamu kesini," ucap Emak yang terbangun dari tidurnya. Entah tidur beneran atau pura-pura tidur."Menjenguk Bapak, Mak?" jawabku."Bapak nggak apa-apa, hanya demam biasa. Tadi sudah Emak kompres, bentar lagi juga sem
"Hush, nggak boleh ngomong gitu. Meninggal itu urusan Allah. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha. Usaha yang sudah kita lakukan adalah membawa Pakwo ke klinik untuk mendapatkan perawatan. Kita doakan saja semoga Pakwo bisa kembali sehat." Aku berkata dengan bahasa yang mudah dipahaminya."Dewi takut kalau Pakwo meninggal. Dewi sering membuat Pakwo kecewa." Dewi berkata sambil meneteskan air mata."Nanti pulang sekolah, kamu bisa gantian menunggui Pakwo di klinik. Jangan terlalu sedih ya, berdoa untuk Pakwo," lanjutku lagi."Iya, Bu," sahut Dewi sambil beranjak dari duduknya, "Dewi mau membangunkan Intan dulu."Aku Mengangguk dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Bang Jo menginap di klinik, menunggu Bapak. Jadi pagi ini tidak perlu bikin kopi.Anak-anak selalu aku biasakan untuk membantuku bekerja. Supaya nanti mereka terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah. Pagi hari biasanya Dewi menyapu dan mengepel, dibantu oleh Intan. Kemudian mereka bersiap-siap ke sekolah. Selesai makan,
Ucapan Bapak membuatku sangat terharu, mataku berkaca-kaca."Enggak, Pak. Kami nggak pernah merasa direpotkan oleh Bapak. Ini sudah kewajiban kami sebagai anak. Berbakti kepada orang tua. Maafkan kami yang belum maksimal berbakti pada Bapak dan Emak," ucapku lagi.Aku dan Bang Jo pulang, sepanjang perjalanan kami hanya diam saja. Sepertinya banyak hal yang dipikirkan oleh Bang Jo. Akhirnya sampai rumah juga. Aku menuju ke warung sedangkan Bang Jo langsung masuk ke dalam rumah."Siapa yang pesan nasi sebanyak ini?" tanyaku pada Warti dan Minah yang sedang membungkus nasi."Bapak itu Bu? Pesan nasi dua puluh bungkus," ucap Warti."Pakai minum nggak?" tanyaku."Pakai, Bu. Sudah saya siapkan tadi," jawab Minah.Aku menuju ke meja kasir."Ini Bu, uangnya," kata Bapak yang memesan nasi tadi sambil menyerahkan uang."Terima kasih, Pak," jawabku."Nayla tadi rewel nggak?" tanyaku pada Warti."Enggak kok, Bu. Hanya minta makan saja, terus nonton televisi lagi." Warti menjawab pertanyaanku.Tak
"Kayak nggak tahu dengan Mella. Mana mau ia membersihkan dapur, kerjanya hanya main hp terus," ucap Bapak.Emak hanya diam.Tiba-tiba Mella dan Sheila pulang, diantar oleh Lasmi. Tapi menggunakan motornya Mella. Mella tampak meringis kesakitan, jalannya pincang. Terlihat beberapa goresan di wajahnya. Tangannya juga lecet-lecet."Ada apa ini?" tanya Emak sambil mendekati Mella dan memapahnya untuk duduk di kursi. Maklumlah menantu kesayangan."Mella jatuh dari motor, Mak. Ngerem mendadak. Untung Sheila nggak apa-apa," ucap Lasmi."Kok bisa jatuh?" tanya Emak."Mobilnya ngerem mendadak, jadi aku kaget. Ikutan ngerem mendadak," sahut Mella."Mama sih naik motor sambil nelpon," celetuk Sheila. Mella melotot pada Sheila."Jatuhnya dimana?" tanya Bapak."Nggak jauh dari warung Bik Yani, Mella tadi habis dari sana. Lumayan lama ngobrol-ngobrol disana. Terus dia pulang, katanya mau beli bakso. Belum sempat beli bakso sudah jatuh duluan," ucap Lasmi."Tuh, makan bakso nggak ngajak-ngajak ya ka
Aku deg-degan, takut Bang Jo akan melakukan sesuatu yang berlebihan. Namanya emosi, biasanya orang akan bertindak nekat. Bang Jo mengambil gelas yang berisi teh yang ada di meja dan membawa gelas itu ke dekat jendela. Ternyata Bang Jo membuang air teh. Emak tampak kecewa melihat perbuatan Bang Jo. Sudah membuatkan teh, malah dibuang."Kenapa sih Emak selalu memperhatikan Mella? Apa Mella begitu istimewa di mata Emak?" tanya Bang Jo pada Emak. Emak hanya terdiam, entah takut dengan Bang Jo atau jengkel."Iri ya Bang?" ejek Deni dengan wajah yang tampak songong dan tersenyum penuh kemenangan, ingin rasanya kutampar mukanya. "Untuk apa iri dengan Mella. Aku cuma heran, kadangkala perhatian Emak terhadap Mella itu suka diluar nalar. Terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Coba pikir, kalian berdua menumpang tinggal dan makan disini. Jadi benalu bagi Bapak dan Emak. Tapi kok Emak malah seperti dicucuk hidungnya. Nurut sekali dengan Mella. Kecuali kalau Mella yang membiayai kehidupan Bapa
"Aku akan merayunya, sampai berhasil mengajak Emak. Nanti di tempatku, biar Emak sering-sering ikut pengajian bersamaku. Untuk membuka hati dan pikiran Emak, siapa tahu nanti Emak bisa berubah sedikit demi sedikit. Sudah tua itu harusnya lebih mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah membuat keributan dan huru hara. Aku juga sudah membicarakan hal ini pada Mas Arman. Ia setuju dengan rencanaku. Nanti kalau aku mau pulang, Mas Arman akan menjemput. Kasihan kalau Bapak dan Emak naik kendaraan umum," ungkap Aisyah.Ide yang sangat bagus, biar Emak jadi emak-emak sholehah. Rajin ngaji, jadi nggak ada waktu untuk ghibah."Sekarang Deni dan Mella ada di rumah kan?" tanya Bang Jo."Iya. Pagi-pagi Mella sudah minta nasi goreng. Terpaksa Deni memasak nasi gorengnya. Kalau Emak sampai tahu, pasti Emak yang akan memasaknya. Kebetulan waktu Mella merengek-rengek tadi, Emak masih di kamar. Jadi nggak mendengar rengekan Mella. Kaki dan tangan, juga mukanya bengkak. Kalau jalan selalu mencari pega
Pagi ini Aisyah akan pulang bersama dengan Bapak dan Emak. Kemarin sore, Arman suaminya Aisyah sudah datang. Dari subuh tadi aku dan Bang Jo sudah sibuk mempersiapkan apa yang akan dibawa oleh Aisyah. Dewi dan Intan sudah bangun, mereka sedang melakukan tugas harian mereka. Senangnya punya anak yang sudah bisa membantu pekerjaan rumah.Aku membuat rendang pagi ini. Sebagian untuk dijual dan sebagian lagi nanti dibawa Aisyah. Awalnya Emak sempat menolak diajak oleh Aisyah. Bapak, Bang Jo dan Aisyah berusaha membujuknya. Alasan Emak kasihan dengan Deni, kalau ditinggal pergi nanti. Kalau Emak berpikir seperti itu terus, kapan Deni bisa dewasa. Dengan berbagai rayuan, akhirnya Emak luluh juga.Deni sempat marah, begitu tahu Bapak dan Emak akan ikut Aisyah. Tapi Aisyah berdalih, kalau Bapak dan Emak ikut Aisyah, karena mau melakukan terapi pengobatan alternatif. Rasakan kamu, Deni!Karyawan warung sudah datang, Nayla masih tidur. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk dibawa ke rumah Bapak