Semua barang-barang kami sudah ada di rumah baru. Malam ini kami mau tidur di rumah baru. Rumah ini memiliki tiga kamar. Ruang keluarga sengaja kami buat luas, untuk tempat berkumpul. Sore tadi, Dewi dan Intan diantar Bapak kesini. Katanya mau menginap disini. Kami senang sekali. Semua anak berkumpul disini. Semoga mereka nanti mau tinggal disini. Sampai malam mereka ngobrol dan bermain-main.Nayla ingin tidur bersama Dewi dan Intan, sempat aku larang."Nanti kamu malah ngompol tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan. Tidur sama Ayah dan Ibu, ya," bujukku pada Nayla."Nggak mau, Bu. Mau tidur sama Mbak Dewi dan Mbak Intan," rengek Nayla."Nggak apa-apa, Bu. Biar Nay tidur sama kami," sahut Dewi."Ya, sudah. Nanti kalau kamu ingin pipis, bangunin Mbak Dewi atau Mbak Intan ya?" ucapku pada Nayla. Nayla mengangguk. Mereka segera masuk ke kamar, karena sudah larut malam. Kamar satunya dipakai tidur oleh Angga. Semoga mereka berempat bisa akur sampai tua.***Hari ini kami sedang masak-masak
Ada yang mengucapkan salam. Aku sudah paham, siapa yang memanggilku dengan sebutan Ibu Nay kalau bukan Icha alias Annisa, anak bapakku dengan Ibu Sis. Sebenarnya Icha bisa memanggilku dengan sebutan mbak. Tapi karena jarak usia yang jauh, dan mungkin juga ikut kebiasaan Nayla yang memanggilku ibu. Jadi Icha ikut-ikutan memanggilku Ibu dengan embel-embel Nay. "Waalaikumsalam, bulek Icha. Alhamdulillah sudah sampai sini. Mana Ibu dan Bapak?" jawabku."Masih di depan, mana Nayla?" sahut Icha."Ada di dalam rumah, sedang menonton televisi. Ayo masuk saja," jawabku sambil mengajak Icha menemui Nayla. Nayla sedang asyik nonton film kartun."Bulek Icha datang ya? Sini nonton sama Nayla. Bentar lagi Mbak Intan pulang sekolah," sambut Nayla. Icha mendekati Nayla dan mereka asyik nonton film kartun sambil bercerita. "Bulek Icha, Ibu Nay ke dapur dulu ya? Nanti kalau mau makan dan minum, langsung ke dapur saja," ucapku."Iya," jawab Icha. Aku memang memanggilnya bulek, untuk membiasakan Nayla.
"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamualaikum," ucap Ibu. Belum ada jawaban juga. Kemana ya semua penghuni rumah ini? Bapak ada di rumahku. Emak, Mella, Deni dan Sheila tidak tampak di rumahku. Kriet...Suara pintu depan dibuka. Tampak Emak seperti habis bangun tidur."Assalamualaikum, Mak?" sapaku. Emak diam saja."Emak sehat?" ucapku lagi."Sehat dong. Kamu mendoakan Emak sakit ya?" ketus Emak menjawab ucapanku."Assalamualaikum," sapa Ibu pada Emak. Emak kaget, mungkin dari tadi tidak melihat Ibu bersamaku."Eh, Waalaikumsalam. Mari masuk," sambut Emak pada Ibu. Ibu pun masuk ke dalam rumah, aku mengikuti dari belakang."Ini Mak, ada sayur dan lauk. Saya tunggu Emak kok nggak datang ke rumah. Makanya saya bawa kesini makanannya," kataku sambil meletakkan makanan yang aku bawa tadi. "Iya, Emak tadi agak pusing, jadi belum sempat ke rumahmu," ucap Emak berbasa-basi, maklum ada besan di depannya. Jadi mungkin Emak ingin terlihat baik di depan kami. Pad
"Maksud saya kesini tadi karena ingin bertemu dengan besan. Ada acara di rumah anaknya kok nggak datang. Banyak yang bilang, katanya Makwonya Nayla dan Mella nggak diundang sama Nova. Saya jadi nggak enak mendengarnya. Masa sih, Nova seperti itu?" ucap Ibu."Mereka berdua diundang kok sama Nova. Waktu Nova mengundang, saya ada di rumah. Sekali lagi maafkan kami ya Bu?" kata Bapak lagi."Ada apa ini?" Tiba-tiba ada yang datang.Suara Deni mengagetkan kami. Wah bakal menjadi ramai ini. Deni tampak bingung melihat kami satu persatu. Mella langsung mendekati Deni dengan wajah yang memelas."Kak, aku ditampar sama Mbak Nova," ucap Mella dengan nada yang dibuat seperti kesakitan. Sambil memegang pipinya, kemudian ia meringis menandakan seolah-olah ia benar-benar kesakitan. Deni langsung menatap ke arahku, dengan tatapan tidak suka. Aku jadi kesal melihat Mella yang melakukan drama."Aku mengantar Ibu kesini, karena Ibu ingin bertemu dengan Emak," ucapku pada Deni. "Terus kenapa kok sampai
Malam ini undangan yang datang cukup banyak. Emak, Mella dan Deni juga datang. Berarti Bapak berhasil membujuk mereka. Mereka hanya diam saja. Ibu duduk di sebelah Emak, menghormati beliau sebagai besan. Kulihat Mella sangat sibuk dengan hpnya. Mungkin untuk menghindari berbicara dengan orang lain. Acara dimulai dengan sambutan dari tuan rumah yang diwakili oleh Pakwo. Karena beliau juga sesepuh di dusun kami. Kemudian sambutan dari Pak Kades. Dilanjutkan dengan mengirimkan doa, untuk leluhur-leluhur kami yang sudah meninggal. Dipimpin oleh Pak Haji Sobri. Selesai acara, para undangan disuguhi soto ayam dan snack. Semua menikmati makanan sambil berbincang-bincang. Aku juga sudah menyiapkan nasi kotak dan snack dalam kotak, untuk dibawa pulang oleh tamu undangan. Sengaja aku siapkan makanan untuk dibawa pulang. Seperti orang habis kenduri, pulang membawa 'nasi berkat', istilah orang Jawa. Dulu waktu aku masih kecil, paling senang kalau Bapak pergi kenduri. Aku dan Septi adikku, men
Pagi ini kami berencana merobohkan warung bekas tempat jualan kami. Seperti rencana semula, kayu dan papan, juga sengnya akan digunakan untuk membuat kandang ayam."Kenapa Bang, kok sepertinya Abang tidak bersemangat gitu," tanyaku pada Bang Jo."Nggak apa-apa, Dek. Abang cuma nggak tega saja merobohkan warung itu." Bang Jo menghela nafas panjang."Ya sudah, Abang disini saja. Nggak usah kesana," sahutku."Bukan begitu Dek. Kesannya kok kita tega dengan keluarga sendiri, sampai merobohkan warung itu. Kan bisa dimanfaatkan untuk yang lainnya. Apa kata orang-orang nantinya," sanggah Bang Jo."Oh, jadi Abang nggak ikhlas kalau warung itu dirobohkan? Tapi kita butuh papan dan kayunya. Kalau Deni dan Mella meminta baik-baik denganku, akan aku berikan pada mereka. Tapi nyatanya mereka malah selalu bikin emosi." Aku mulai kesal dengan Bang Jo."Kemarin Emak meminta pada Abang untuk tidak merobohkan warung itu. Abang jadi nggak tega," ucap Bang Jo dengan pelan.Aku mulai emosi dengan ucapan B
"Dek, jahat sekali Adek mau melaporkan Emak ke polisi. Apa Adek nggak mikirin dampaknya nanti bagi kita semua," kata Bang Jo setelah mengantar Emak pulang. Bang Jo tampak emosi padaku. Aku kaget mendengar ucapan Bang Jo.Emak tadi memang tampak pucat dan lemah setelah aku bilang tentang polisi. Karena itu Bang Jo mengantarnya pulang, takut nanti terjadi apa-apa. Sebenarnya kasihan juga melihat Emak seperti itu. Ada rasa menyesal sudah mengatakan itu. Tapi biarlah, sedikit pelajaran untuk Emak. Padahal tidak ada niat sedikitpun untuk melaporkan Emak. Hanya untuk menakutinya saja. Ah, Emak, andai Emak bisa bersikap lebih baik kepadaku. Semua ini tidak akan terjadi."Enggak lah Bang, aku nggak sejahat itu. Hanya untuk menakuti Emak saja. Biar Emak itu berpikir dulu sebelum berbicara dan bertindak." Aku menjawab pertanyaan Bang Jo, sambil tangan dan mata asyik berselancar di dunia maya. Impianku memiliki semacam tempat nongkrong anak-anak muda, harus terwujud.Bang Jo tampak bernafas le
"Enggak Bang, nggak apa-apa. Aku ingin melihatnya," sahutku lagi."Ya sudah, ayo kita sama-sama ke sana," ucap Bapak.Aku, Bapak dan Bang Jo berjalan ke warung lama. Kulihat atap dan dinding papannya sudah di buka semua. Beberapa anak buah Pak Salim sudah mulai mengangkut papan dan kayu ke rumahku yang baru. Cepat juga kerjanya Pak Salim dan anak buahnya."Pak, istirahat dulu," kataku pada Pak Salim."Iya, Mbak. Sebentar lagi, tanggung nih," sahut Pak Salim. Aku menyaksikan warung dan rumah yang dulu aku tempati, sekarang tinggal puing-puing saja. Ada rasa lega dihatiku, proses merobohkan warung ini tidak banyak kendala. Walaupun sempat diwarnai drama pelemparan asbak. Akhirnya Pak Salim dan empat anak buahnya beristirahat. Ada beberapa tetangga yang membantu. Mereka menikmati nasi bungkus yang aku bawa tadi. Aku berkeliling bekas bangunan warung dan rumah, melihat-lihat siapa tahu ada harta karun, hihi."Gayanya seperti bos saja, mondar-mandir nggak karuan," celetuk seseorang dari