“Mella.” Aku berusaha untuk memanggilnya lagi.Masih juga tidak ada respon, aku pun memegang bahunya sambil memanggilnya. Mella tampak kaget dan buru-buru mengusap kedua matanya.Aku duduk di sebelah Mella.“Mella, ada apa?” “Nggak ada apa-apa, Mbak.” Mella menjawab dengan pelan.“Jangan bohong padaku, apa yang kamu pikirkan?” Mella ragu untuk berbicara, aku pun mengangguk meyakinkannya untuk berbicara.“Aku sedih, Mbak. Ternyata setelah beberapa hari kejadian, masih banyak orang yang membicarakannya. Kemarin Bik Cici, juga orang yang di warung tadi. Apa yang harus aku lakukan, Mbak?” Mella berbicara dengan air mata yang menetes perlahan.“Tidak ada yang perlu kamu lakukan. Kamu diamkan saja, tidak usah pedulikan omongan orang. Memang aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, tapi kamu harus kuat. Ada Sheila yang selalu membutuhkanmu. Nanti lama-lama kelamaan, orang akan lupa dengan sendirinya.” Aku berusaha membesarkan hatinya.“Memang tidak semudah apa yang aku katakan, tapi setidakny
“Ada apa, Bu?” tanyaku penasaran.“Tekanan darah Pak Johan sangat tinggi.” Bu Erni menyebutkan angka yang membuatku sangat kaget.“Setinggi itu?” Aku mengernyitkan dahi.“Iya, Mbak. Pak Johan harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Kalau terlalu tinggi tekanan darahnya, nanti malah bisa stroke. Bukannya saya menakut-nakuti lho?” Bu Erni menjelaskan.“Iya, Bu. Saya tahu.” Aku mengiyakan penjelasan Bu Erni, karena aku memang pernah membaca tentang penyebab stroke.“Apakah Ayah saya baik-baik saja Bu?” tanya Dewi, terlihat sekali kalau ia sangat cemas dengan kondisi ayahnya.“Ayah nggak apa-apa, Dewi, hanya kecapekan saja.” Bang Jo berkata dengan pelan.“Insyaallah baik-baik saja, nanti saya kasih obat. Apa Pak Johan dirawat di klinik saja?” Bu Erni menawarkan pada Bang Jo.“Nggak usah, Bu. Saya dirawat di rumah saja.” Bang Jo ikut berkomentar dengan suara yang pelan.“Pak Johan masih rutin minum obatnya kan?”“Sudah lama nggak minum, Bu,” sahut Bang Jo.“Pak, obat hiperte
“Assalamualaikum.” Terdengar suara orang mengucapkan salam, ketika aku menutup pintu. Aku pun membuka pintu lagi. Betapa terkejutnya aku melihat siapa yang datang.“Angga?” Aku memastikan kalau yang datang itu benar-benar Angga.“Iya, Bu. Ini Angga.” Angga mendekatiku dan mencium tanganku.Angga terlihat agak berbeda dari biasanya. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, badannya agak kurus dan pucat. Makanya tadi aku sempat tidak percaya kalau Angga pulang.“Ayo, masuk.” Aku mengajak Angga masuk. Angga hanya mengangguk.“Pulang kok nggak bilang-bilang. Kamu nggak sekolah? Mana tasmu?” tanyaku ketika Angga sudah duduk di sofa.Angga hanya diam, ia menunduk. Sepertinya ada yang tidak beres.“Ada apa, Angga? Kamu punya masalah?” Angga mengangguk. Jantungku terasa berhenti berdetak. Bang Jo belum sehat, sekarang malah Angga punya masalah.“Angga kabur, Bu.” Suara Angga terdengar bergetar. Aku semakin syok mendengarnya. Kalau sampai Bang Jo tahu, pasti akan membuat tekanan darahnya naik la
“Bagaimana, Bu?” tanya polisi itu lagi.“Saya nggak tahu, Pak.” Aku menjawab apa adanya, karena memang tidak terlintas di pikiranku apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Pikiranku sudah dipenuhi dengan berbagai masalah yang dari kemarin datang silih berganti.“Mbak Nova, apa yang akan Mbak Nova lakukan setelah visum nanti? Mau melaporkan pihak pesantren atau bagaimana?” Gantian Pak Kades yang bertanya.“Mungkin saya hanya butuh permintaan maaf dari pelaku dan pengasuh pesantren karena lemah dalam pengawasan. Kalau mau menuntut pelaku, percuma. Keluarga saya tidak akan mendapatkan apa-apa dan pasti lebih kecewa. Nanti dengan dalih anak masih dibawah umur, pelaku tidak akan dihukum.”“Betul juga kata Mbak Nova, pelaku masih dibawah umur.” Pak Kades menimpali ucapanku.“Dan saya yakin kalau pihak pesantren akan tetap memihak pada pelaku karena masih ada hubungan keluarga.” Aku melanjutkan ucapanku.“Oke, nggak apa-apa kalau itu keinginan Ibu. Jadi maksud Ibu, visum ini akan Ibu gunakan
“Pak Johan tenang dulu, akan saya ceritakan apa yang terjadi.” Pak Kades membantuku untuk menyampaikan berita ini.Bang Jo menarik nafas panjang dan ia pun duduk di sofa.“Pak Johan, Angga kabur dari pesantren karena sudah tidak betah disana. Ia sering di-bully teman-temannya. Tadi Mbak Nova menelpon saya untuk menemani ke kantor polisi kemudian ke puskesmas. Saya pergi bersama dengan Pak Azis supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.” Pak Kades menjelaskan.“Angga dibully? Kenapa? Kamu melakukan kesalahan apa?” Nafas Bang Jo tampak tersengal-sengal mungkin karena syok.“Ada apa ini? Angga kok kamu pulang?” Tiba-tiba terdengar suara Bapak yang masuk ke ruang tamu. Kami semua menoleh ke arah Bapak. Bapak mendekati Angga dan mengelus kepala Angga.“Aww.” Angga spontan merintih ketika Bapak tanpa sengaja menyenggolnya.“Kenapa, Ngga?” Bapak mengernyitkan dahi.Pak kades menjelaskan apa yang terjadi. Angga menunduk dan sesekali kulihat menyeka air matanya. Mata Bapak tampak berkaca-kaca.“
Belum sempat aku menjawab ucapan Dewi, terdengar suara orang berteriak-teriak. Aku dan Dewi hanya saling berpandangan.Suara teriakan itu terdengar lagi.“Bu, kayaknya suara itu dari kamar Angga.”Deg! Aku dan Dewi bergegas lari ke kamar Angga.“Ampun, sakit….” Suara Angga yang berteriak-teriak dengan mata terpejam.“Jangan,” teriak Angga lagi.Aku segera membangunkan Angga.“Angga, bangun Nak?” “Angga!” Dewi menggoyang-goyangkan tubuh Angga.Perlahan Angga membuka mata, ia masih dalam kondisi terisak-isak. Angga langsung duduk, aku dan Dewi segera memeluknya.“Sayang, tenang, kamu sekarang aman di rumah. Ada Ayah, Ibu dan Mbak Dewi yang akan melindungimu.” Aku berkata dengan mata berkaca-kaca. Sedih melihat Angga seperti ini, sampai terbawa dalam mimpi. Semoga ini tidak menimbulkan trauma mendalam bagi Angga.Aku melepaskan pelukanku.“Angga, kami akan selalu melindungimu. Istighfar ya?” kata Dewi sambil meneteskan air mata.“Angga takut,” sahut Angga disela isakan tangisnya.“Tenan
“Kayaknya Pak kades belum datang, Mbak. Ya kan Rita?” sahut Gino.“I-iya aku belum melihat Pak Kades.” Rita menjawab dengan gugup.“Rita, ada apa? Apa yang kamu sembunyikan?” selidikku pada Rita.“Ngapain Mbak Nova nyari Pak kades? Untuk menggodanya ya?” sahut seseorang diantara staf yang tadi melihatku.“Memangnya kemarin belum puas?”“Mbak Nova tuh sudah punya suami, walaupun sudah tua. Tapi hargailah suami Mbak Nova.”“Apa yang kalian bicarakan?” Aku cukup kaget mendengar mereka berbicara seperti itu.“Sudahlah, Mbak, jangan pura-pura tidak tahu.”“Hei, kalian jangan menuduh sembarangan.” Gino berkata untuk membelaku.“Sudahlah, Gino, kamu tahu apa sih?”Aku sedih mendengar perkataan mereka, kataku berkaca-kaca.“Rita bisa kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” Aku memohon pada Rita. Rita membuka ponselnya dan menunjukkannya padaku. Aku syok melihat foto yang ada di ponsel Rita. Fotoku berdua dengan Pak Kades, duduk berdekatan. Padahal kemarin aku nggak seperti itu, nggak per
“Assalamualaikum.” Terdengar suara orang mengucapkan salam di seberang.“Waalaikumsalam.” Aku pun menjawab salam itu.“Saya Mudzaki dari pondok pesantren As -Salam. Apakah saya berbicara dengan ibu Nova, orang tua Angga Saputra?”Aku paham apa yang akan disampaikan oleh orang itu.“Iya, saya sendiri. Ada apa ya Pak?” Aku pura-pura tidak tahu apa yang terjadi.“Begini, Bu. Dari kemarin pagi setelah subuh Angga sudah tidak ada di pesantren. Kata teman-temannya ia kabur melompat pagar.”“Apakah Bapak tahu apa alasannya ia kabur?” “Katanya habis berantem dengan teman-temannya.”“Kok bisa berantem nggak ketahuan?”“Maaf, ini memang kesalahan kami. Kami lemah dalam pengawasan. Apakah Angga pulang ke rumah, Bu?”“Pak, saya beritahu, Angga memang pulang. Tapi apakah Bapak tahu bagaimana kondisi Angga? Ia terluka, bahkan ada beberapa bekas memar di bagian tubuhnya. Coba tanya dengan Ikhwan dan teman-temannya, apa yang ia lakukan? Kami sudah melakukan visum terhadap luka Angga. Saya mohon kead