“Bagaimana, Bu?” tanya polisi itu lagi.“Saya nggak tahu, Pak.” Aku menjawab apa adanya, karena memang tidak terlintas di pikiranku apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Pikiranku sudah dipenuhi dengan berbagai masalah yang dari kemarin datang silih berganti.“Mbak Nova, apa yang akan Mbak Nova lakukan setelah visum nanti? Mau melaporkan pihak pesantren atau bagaimana?” Gantian Pak Kades yang bertanya.“Mungkin saya hanya butuh permintaan maaf dari pelaku dan pengasuh pesantren karena lemah dalam pengawasan. Kalau mau menuntut pelaku, percuma. Keluarga saya tidak akan mendapatkan apa-apa dan pasti lebih kecewa. Nanti dengan dalih anak masih dibawah umur, pelaku tidak akan dihukum.”“Betul juga kata Mbak Nova, pelaku masih dibawah umur.” Pak Kades menimpali ucapanku.“Dan saya yakin kalau pihak pesantren akan tetap memihak pada pelaku karena masih ada hubungan keluarga.” Aku melanjutkan ucapanku.“Oke, nggak apa-apa kalau itu keinginan Ibu. Jadi maksud Ibu, visum ini akan Ibu gunakan
“Pak Johan tenang dulu, akan saya ceritakan apa yang terjadi.” Pak Kades membantuku untuk menyampaikan berita ini.Bang Jo menarik nafas panjang dan ia pun duduk di sofa.“Pak Johan, Angga kabur dari pesantren karena sudah tidak betah disana. Ia sering di-bully teman-temannya. Tadi Mbak Nova menelpon saya untuk menemani ke kantor polisi kemudian ke puskesmas. Saya pergi bersama dengan Pak Azis supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.” Pak Kades menjelaskan.“Angga dibully? Kenapa? Kamu melakukan kesalahan apa?” Nafas Bang Jo tampak tersengal-sengal mungkin karena syok.“Ada apa ini? Angga kok kamu pulang?” Tiba-tiba terdengar suara Bapak yang masuk ke ruang tamu. Kami semua menoleh ke arah Bapak. Bapak mendekati Angga dan mengelus kepala Angga.“Aww.” Angga spontan merintih ketika Bapak tanpa sengaja menyenggolnya.“Kenapa, Ngga?” Bapak mengernyitkan dahi.Pak kades menjelaskan apa yang terjadi. Angga menunduk dan sesekali kulihat menyeka air matanya. Mata Bapak tampak berkaca-kaca.“
Belum sempat aku menjawab ucapan Dewi, terdengar suara orang berteriak-teriak. Aku dan Dewi hanya saling berpandangan.Suara teriakan itu terdengar lagi.“Bu, kayaknya suara itu dari kamar Angga.”Deg! Aku dan Dewi bergegas lari ke kamar Angga.“Ampun, sakit….” Suara Angga yang berteriak-teriak dengan mata terpejam.“Jangan,” teriak Angga lagi.Aku segera membangunkan Angga.“Angga, bangun Nak?” “Angga!” Dewi menggoyang-goyangkan tubuh Angga.Perlahan Angga membuka mata, ia masih dalam kondisi terisak-isak. Angga langsung duduk, aku dan Dewi segera memeluknya.“Sayang, tenang, kamu sekarang aman di rumah. Ada Ayah, Ibu dan Mbak Dewi yang akan melindungimu.” Aku berkata dengan mata berkaca-kaca. Sedih melihat Angga seperti ini, sampai terbawa dalam mimpi. Semoga ini tidak menimbulkan trauma mendalam bagi Angga.Aku melepaskan pelukanku.“Angga, kami akan selalu melindungimu. Istighfar ya?” kata Dewi sambil meneteskan air mata.“Angga takut,” sahut Angga disela isakan tangisnya.“Tenan
“Kayaknya Pak kades belum datang, Mbak. Ya kan Rita?” sahut Gino.“I-iya aku belum melihat Pak Kades.” Rita menjawab dengan gugup.“Rita, ada apa? Apa yang kamu sembunyikan?” selidikku pada Rita.“Ngapain Mbak Nova nyari Pak kades? Untuk menggodanya ya?” sahut seseorang diantara staf yang tadi melihatku.“Memangnya kemarin belum puas?”“Mbak Nova tuh sudah punya suami, walaupun sudah tua. Tapi hargailah suami Mbak Nova.”“Apa yang kalian bicarakan?” Aku cukup kaget mendengar mereka berbicara seperti itu.“Sudahlah, Mbak, jangan pura-pura tidak tahu.”“Hei, kalian jangan menuduh sembarangan.” Gino berkata untuk membelaku.“Sudahlah, Gino, kamu tahu apa sih?”Aku sedih mendengar perkataan mereka, kataku berkaca-kaca.“Rita bisa kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” Aku memohon pada Rita. Rita membuka ponselnya dan menunjukkannya padaku. Aku syok melihat foto yang ada di ponsel Rita. Fotoku berdua dengan Pak Kades, duduk berdekatan. Padahal kemarin aku nggak seperti itu, nggak per
“Assalamualaikum.” Terdengar suara orang mengucapkan salam di seberang.“Waalaikumsalam.” Aku pun menjawab salam itu.“Saya Mudzaki dari pondok pesantren As -Salam. Apakah saya berbicara dengan ibu Nova, orang tua Angga Saputra?”Aku paham apa yang akan disampaikan oleh orang itu.“Iya, saya sendiri. Ada apa ya Pak?” Aku pura-pura tidak tahu apa yang terjadi.“Begini, Bu. Dari kemarin pagi setelah subuh Angga sudah tidak ada di pesantren. Kata teman-temannya ia kabur melompat pagar.”“Apakah Bapak tahu apa alasannya ia kabur?” “Katanya habis berantem dengan teman-temannya.”“Kok bisa berantem nggak ketahuan?”“Maaf, ini memang kesalahan kami. Kami lemah dalam pengawasan. Apakah Angga pulang ke rumah, Bu?”“Pak, saya beritahu, Angga memang pulang. Tapi apakah Bapak tahu bagaimana kondisi Angga? Ia terluka, bahkan ada beberapa bekas memar di bagian tubuhnya. Coba tanya dengan Ikhwan dan teman-temannya, apa yang ia lakukan? Kami sudah melakukan visum terhadap luka Angga. Saya mohon kead
“Assalamualaikum.” Suara orang mengucapkan salam lagi.“Biar Angga yang buka,” kata Angga sambil beranjak dari duduknya.Tak lama kemudian Angga masuk lagi.“Ayah, ada Pak Kades,” kata Angga memberitahu siapa tamunya.Aku, Bang Jo dan Bapak beranjak dari duduk dan menuju ke ruang tamu untuk menemui Pak Kades.Ternyata Pak Kades tidak sendirian, tapi bersama dengan Pak Azis. Setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya Pak Kades menyampaikan maksud kedatangannya.“Begini, Pak Johan dan Mbak Nova. Saya dan Pak Azis sudah pergi ke pondok pesantren. Saya sudah menjelaskan maksud kedatangan saya. Ternyata tadi ada pihak pondok menelpon Mbak Nova ya?” tanya Pak Kades.“Iya, Pak.”“Kata mereka setelah mendapat kabar dari Mbak Nova, mereka langsung melakukan investigasi ke komplotan yang melakukan penganiayaan itu. Ada dua orang yang berbicara jujur dengan pengasuh pondok, mereka takut kalau dikeluarkan dari pondok.” Pak Kades berhenti sejenak. Kami masih mendengarkan dengan seksama.“Ternyata korb
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa