Sekitar sepuluh menit dalam perjalanan Safira dan Sadam masih saling diam. Tak ada satu pun yang berbicara. Safira memandang keluar jendela mobil, lampu-lampu yang mulai menyala menghiasi sepanjang jalan. Ia tersenyum melihat indahnya cahaya lampu menghiasi langit yang mulai gelap.“Kita cari hotel dulu, ya,” kata Sadam tanpa memandang sang istri.Safira tak menjawab, tiba-tiba ia berpikir untuk menginap di rumah orang tuanya saja. Lalu menyampaikan itu pada Sadam, tetapi tentu saja mereka sepakat tidak akan mengatakan kejadian dengan Mirah tadi.“Baiklah, kalau begitu kita menginap di rumah ibu dan bapakmu untuk malam ini,” kata Sadam melirik sang istri yang duduk di sebelahnya.Hati Safira sangat senang akan menginap di rumah kedua orang tuanya yang selama ini selalu diidamkannya. Ia sangat merindukan suasana di rumah tersebut.“Kenapa kau memutuskan untuk keluar dari rumah, Mas?” tanya Safira ingin tahu.Sebenarnya sejak tadi ia bertanya-tanya dan penasaran mengapa Sadam bisa memut
Sementara itu di kediaman Mirah, wanita yang melahirkan tiga anak itu tidak bisa tidur karena tidak bisa berhenti memikirkan Sadam. Ia sudah mencoba menghubungi anak kesayangannya itu berkali-kalli bahkan menghubungi menantunya dan mengirim pesan, tetapi tak ada yang membalasnya.Sampai tengah malam mata Mirah tak kunjung terpejam. Ia merasa dikalahkan oleh menantunya. Tentu saja semakin menimbulkan kebencian pada Safira. Ia harus mencari cara agar Sadam kembali ke rumah itu.Tangan Mirah meraih kacamatanya yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia mengenakannya dan keluar dari kamar menuju dapur. Wanita berhidung bulat itu mengambil segelas air lalu berjalan menuju ruang tengah dan duduk di sana.Ia meneguk setengah gelas air yang dibawanya lalu menaruhnya di atas meja. Pandangannya tertuju ke kamar Sadam dan Safira. Mirah berdiri dan berjalan menuju kamar tersebut, membuka pintunya dan memindai ke dalam kamar. “Akan aku rebut kembali anakku,” gumam Mirah pad
Safira dan Sadam masih menginap di rumah Aini dan Arif. Mereka mengatakan akan menginap selama satu minggu di sana. Aini dan Arif berkali-kali bertanya pada Safira alasan mereka menginap cukup lama. Bukan tak senang hanya khawatir sedang ada masalah di rumah besannya. Namun, Safira meyakinkan kalau semua baik-baik saja. Ia dan suaminya hanya sedang ingin berkunjung lebih lama ke rumah Aini dan Arif.Sebenarnya Safira ingin sekali bercerita kepada Aini dan Arif tentang masalahnya dengan Mirah, tetapi pasti akan membuat kedua orang tuanya itu khawatir dan Safira tak ingin hal itu terjadi. Ia ingin Aini dan Arif tak terlalu banyak pikiran meskipun sebenarnya kedua orang tuanya itu merasa ada yang tak beres dengan anaknya.Sudah dua hari Safira dan Sadam berangkat kerja dari rumah Aini. Safira merasa bahagia bisa tinggal di sini meskipun hanya untuk seminggu ke depan. Setelah itu ia dan sang suami akan mengontrak rumah saja untuk tinggal. Selama di rumah Aini, Safira sama sekali tak pern
Safira segera memasukkan semua pakaian ke dalam koper sedangkan Sadam bicara pada Aini dan Arif kalau mereka harus segera kembali ke rumah karena mendapat kabar kalau Mirah sedang sakit. “Maaf kami harus pulang sekarang, Bu, Pak,” kata Sadam pada mertuanya.Safira keluar dari kamar dengan koper ditarik tangan kirinya. Raut wajahnya sangat datar, ada sedikit rasa kecewa di hatinya karena rencana untuk menginap lama di rumah kedua orang tuanya ternyata gagal. Namun, ia mengerti kalau Sadam pasti sangat khawatir pada Mirah. “Kami pamit, ya, Bu, Pak,” ucap Safira memeluk kedua orang tuanya secara bergantian disusul oleh sang suami yang berpamitan pada Aini dan juga Arif.“Ini buat bekal di sana.” Aini menyerahkan dua kotak berisi lauk untuk makan karena Sadam dan Safira buru-buru tidak sempat untuk makan.“Terima kasih, Bu,” ucap Safira menerima kotak itu dari Aini.“Kapan-kapan kami akan menginap lagi, terima kasih sudah mau direpotkan,” kata Sadam.“Titip anak kami, Nak Sadam.” Arif m
Sudah dua hari Mirah tak masuk kerja dan ini hari ketiga ia tidak berangkat ke kantor. Ia benar-benar terus memikirkan anak kesayangannya belum lagi Zafar yang sering pulang larut malam. Ditambah pekerjaan rumah yang menumpuk semakin membuatnya malas berangkat kerja. Ia sudah minta izin untuk tidak masuk kantor dengan alasan sakit dan ia juga mengabari kedua sahabatnya untuk mengawasi Safira. “Setiap hari menantumu ke kantor, kok, Jeng. Malahan tadi ia nanyain,” ucap Tari lewat sambungan ponselnya.“Oh ya? Terus kau jawab apa?” tanya Mirah.“Aku bilang kalau Jeng Mirah sakit,” jawabnya.Mirah tersenyum sinis saat Tari mengatakan kalau wajah Safira terlihat khawatir. Ia segera mengakhiri pembicaraannya dengan Tari.“Aku sudah menelepon Sadam mengatakan kalau Ibu sakit. Ia bilang akan segera pulang,” kata Nala pada Mirah saat mereka sedang menikmati sore hari di halaman belakang.“Sebaiknya kita bersiap,” ujar Mirah melirik anak sulungnya.Sehari sebelum Sadam dan Safira kembali ke rum
Safira mengira Mirah benar-benar sakit, tetapi ternyata semua hanya kepalsuan. Ia tak mengerti alasan Mirah membohongi dirinya dan sang suami.“Ya, aku dan Mas Sadam buru-buru ke sini karena Ibu sakit. Kami pikir Ibu memang sakit,” ucap Safira masih dengan nampan di tangannya.Mirah berdiri dengan angkuhnya seraya mendongak. Ia tersenyum getir melihat Safira yang terkejut. “Tapi kenapa Mbak Nala bilang kalau Ibu sakit?” “Agar Sadam kembali ke rumah ini. Ingat! Kau tidak akan pernah bisa memiliki Sadam sepenuhnya karena aku ibunya,” tegas Mirah mendekatkan wajah ke wajah sang menantu.Perempuan berhidung bangir itu tak menyangka kalau permintaan maaf sang mertua juga hanya dusta. Safira tak pernah merasa ingin memiliki Sadam sepenuhnya karena ia tahu kalau seorang anak harus berbakti pada orang tuanya.“Tega sekali Ibu membohongi kami! Aku akan bilang sama Mas Sadam,” ucap Safira seraya berbalik.Namun, tangan Safira ditarik oleh Mirah sampai nampannya terjatuh hingga semangkuk bubur
“Ayo, naik.” Sadam membuka kaca jendela mobilnya saat melihat sang istri yang sedang berjalan menuju rumah sepulang dari kantor.“Eh, Mas,” jawab Safira.Tangan kiri Safira membuka pintu mobil. Rambutnya yang digerai beberapa helai melayang di udara tertiup angin sore yang berembus melewatinya. Ia langsung masuk dan duduk di samping sang suami, lalu, kembali menutup pintu mobil.Safira bungkam karena Sadam pun tidak bicara selama perjalanan dari depan jalan utama ke arah rumah. Pria berdada bidang itu masih menyangka kalau Safira mengada-ngada tentang ibunya, tetapi ia juga tahu istrinya itu tak mungkin bohong. Hatinya gamang memikirkan masalah ini. Tak tahu harus percaya pada ibu atau sang istri. Sadam memilih untuk tidak banyak bicara sebelum membuktikannya.Sadam menghentikan laju kendaraannya di garasi dan mematikan mesinnya. Matanya tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir di depan rumah saat ia berjalan memasukinya. “Sepertinya ada tamu,” ucap Sadam yang hanya dijawab an
Safira melempar tas tangannya ke atas kasur. Ia kesal pada mertuanya yang malah mengadu domba dirinya dengan sang suami. Punggung tangan Safira mengusap air mata di pipi seraya terisak. Ia pun tak mengerti dengan dokter yang memeriksa Mirah. Bisa-bisanya dokter itu mengatakan kalau Mirah memang tidak sehat padahal jelas-jelas Mirah dalam keadaan sehat.Pria yang sudah membina rumah tangga dengannya selama dua tahun itu masuk ke kamar dan membanting pintu. Ia tak suka dibohongi dan hal ini menyangkut sang ibu. Ia sangat tak suka istrinya menuduh Mirah berpura-pura apalagi dengan bukti yang nyata.“Beri tahu aku alasanmu menuduh Ibu berpura-pura sakit!” kata Sadam dengan nada tinggi.“Aku tidak menuduh Ibu karena ia sendiri yang mengatakan kalau pura-pura sakit agar kau kembali ke rumah ini.” Safira masih mencoba meyakinkan sang suami.Namun, Sadam malah semakin marah padanya. Ia ingin alasan yang menyebabkan Safira bisa menuduh ibunya. Ia ingin Safira meminta maaf pada Mirah karena sud