Sudah dua hari Mirah tak masuk kerja dan ini hari ketiga ia tidak berangkat ke kantor. Ia benar-benar terus memikirkan anak kesayangannya belum lagi Zafar yang sering pulang larut malam. Ditambah pekerjaan rumah yang menumpuk semakin membuatnya malas berangkat kerja. Ia sudah minta izin untuk tidak masuk kantor dengan alasan sakit dan ia juga mengabari kedua sahabatnya untuk mengawasi Safira. “Setiap hari menantumu ke kantor, kok, Jeng. Malahan tadi ia nanyain,” ucap Tari lewat sambungan ponselnya.“Oh ya? Terus kau jawab apa?” tanya Mirah.“Aku bilang kalau Jeng Mirah sakit,” jawabnya.Mirah tersenyum sinis saat Tari mengatakan kalau wajah Safira terlihat khawatir. Ia segera mengakhiri pembicaraannya dengan Tari.“Aku sudah menelepon Sadam mengatakan kalau Ibu sakit. Ia bilang akan segera pulang,” kata Nala pada Mirah saat mereka sedang menikmati sore hari di halaman belakang.“Sebaiknya kita bersiap,” ujar Mirah melirik anak sulungnya.Sehari sebelum Sadam dan Safira kembali ke rum
Safira mengira Mirah benar-benar sakit, tetapi ternyata semua hanya kepalsuan. Ia tak mengerti alasan Mirah membohongi dirinya dan sang suami.“Ya, aku dan Mas Sadam buru-buru ke sini karena Ibu sakit. Kami pikir Ibu memang sakit,” ucap Safira masih dengan nampan di tangannya.Mirah berdiri dengan angkuhnya seraya mendongak. Ia tersenyum getir melihat Safira yang terkejut. “Tapi kenapa Mbak Nala bilang kalau Ibu sakit?” “Agar Sadam kembali ke rumah ini. Ingat! Kau tidak akan pernah bisa memiliki Sadam sepenuhnya karena aku ibunya,” tegas Mirah mendekatkan wajah ke wajah sang menantu.Perempuan berhidung bangir itu tak menyangka kalau permintaan maaf sang mertua juga hanya dusta. Safira tak pernah merasa ingin memiliki Sadam sepenuhnya karena ia tahu kalau seorang anak harus berbakti pada orang tuanya.“Tega sekali Ibu membohongi kami! Aku akan bilang sama Mas Sadam,” ucap Safira seraya berbalik.Namun, tangan Safira ditarik oleh Mirah sampai nampannya terjatuh hingga semangkuk bubur
“Ayo, naik.” Sadam membuka kaca jendela mobilnya saat melihat sang istri yang sedang berjalan menuju rumah sepulang dari kantor.“Eh, Mas,” jawab Safira.Tangan kiri Safira membuka pintu mobil. Rambutnya yang digerai beberapa helai melayang di udara tertiup angin sore yang berembus melewatinya. Ia langsung masuk dan duduk di samping sang suami, lalu, kembali menutup pintu mobil.Safira bungkam karena Sadam pun tidak bicara selama perjalanan dari depan jalan utama ke arah rumah. Pria berdada bidang itu masih menyangka kalau Safira mengada-ngada tentang ibunya, tetapi ia juga tahu istrinya itu tak mungkin bohong. Hatinya gamang memikirkan masalah ini. Tak tahu harus percaya pada ibu atau sang istri. Sadam memilih untuk tidak banyak bicara sebelum membuktikannya.Sadam menghentikan laju kendaraannya di garasi dan mematikan mesinnya. Matanya tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir di depan rumah saat ia berjalan memasukinya. “Sepertinya ada tamu,” ucap Sadam yang hanya dijawab an
Safira melempar tas tangannya ke atas kasur. Ia kesal pada mertuanya yang malah mengadu domba dirinya dengan sang suami. Punggung tangan Safira mengusap air mata di pipi seraya terisak. Ia pun tak mengerti dengan dokter yang memeriksa Mirah. Bisa-bisanya dokter itu mengatakan kalau Mirah memang tidak sehat padahal jelas-jelas Mirah dalam keadaan sehat.Pria yang sudah membina rumah tangga dengannya selama dua tahun itu masuk ke kamar dan membanting pintu. Ia tak suka dibohongi dan hal ini menyangkut sang ibu. Ia sangat tak suka istrinya menuduh Mirah berpura-pura apalagi dengan bukti yang nyata.“Beri tahu aku alasanmu menuduh Ibu berpura-pura sakit!” kata Sadam dengan nada tinggi.“Aku tidak menuduh Ibu karena ia sendiri yang mengatakan kalau pura-pura sakit agar kau kembali ke rumah ini.” Safira masih mencoba meyakinkan sang suami.Namun, Sadam malah semakin marah padanya. Ia ingin alasan yang menyebabkan Safira bisa menuduh ibunya. Ia ingin Safira meminta maaf pada Mirah karena sud
Safira kembali menyusul Nala setelah menemui kurir paket tadi karena ternyata paket yang diterima Nala belum dibayar. Kakak ipar Safira itu pakai sistem bayar di tempat. “Mbak, kurirnya masih nunggu di depan. Paketnya belum dibayar,” cetus Safira.“Loh, kok, belum dibayar gimana, sih?” Nala menautkan kedua alisnya seraya membuka bungkusan paket yang baru saja diterimanya.“Kurirnya bilang begitu. Kasian masih nunggu, tuh, Mbak,” jawab Safira seraya membalik badan hendak pergi dari sana.“Memangnya belum kau bayar, Safira?” tanya Mirah.Sontak langkah Safira terhenti mendengar pertanyaan sang ibu mertua. Ia kaget Mirah malah bertanya padanya. Mana ia tahu, itu paket Nala.“Mbak Nala tidak menitipkan uang padaku,” jawab Safira kebingungan.“Maksudnya, ya, kau bayar saja, Safira,” celetuk Mirah dengan entengnya.“Hah? Mbak Nala yang beli, kok, aku yang bayar, Bu?” Safira tak terima karena itu bukan barang yang dibelinya.Setelah membuka paket yang berisi krim perawatan wajah dengan raut
Sadam tak menggubris sang istri. Sekarang ia tak suka kalau Safira mengadu masalah uang atau lelahnya mengurus rumah. Terkadang Sadam mengatakan kalau semua yang dilakukan Safira justru bagus untuk membantu ibunya di rumah. Akan tetapi, ia tak memikirkan perasaan sang istri yang tersakiti. Safira juga tahu diri untuk membantu di rumah dan membeli kebutuhan di rumah sang mertua, tetapi bukan seperti ini caranya. Bukan semua ia yang menanggung, belum lagi harus kerja seharian. Ibunya saja tak pernah sampai membuatnya seperti ini.Safira sering menangis sendiri di kamarnya. Percuma bercerita pada sang suami karena memang sekarang Sadam sudah berubah. Mulai muncul benih-benih dendam dalam hati perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. Ia berjanji kalau suatu saat pasti akn membalasnya dengan kesuksesan yang akan membuat sang mertua sangat menyesal.Hari-hari Safira selalu berulang seperti itu, mengurus rumah, bekerja seharian, mencuci dan menyetrika pakaian tanpa dibantu siapa pun. Pa
Akhirnya, Sadam mengajak istri, Ibu dan kakaknya untuk duduk bersama membahas masalah yang membuat Mirah sangat marah sampai menampar Safira.Ternyata Mirah mengetahui kalau Safira bukan anak kandung kedua orang tuanya saat bertemu dengan Aini, ibunya Safira. Saat itu Aini mengatakan kalau ia merasa sangat senang saat Safira dan Sadam menginap di rumahnya. Sebagai seorang ibu yang mengurus dan membesarkan Safira, ia sangat merindukan anaknya itu meskipun bukan anak kandungnya sendiri.Ya, memang Safira bukan anak kandung Aini dan Arif. Ia diadopsi sejak masih bayi karena pasangan suami istri itu divonis tidak bisa memiliki anak. Mereka tidak tahu keberadaan orang tua Safira. Perempuan berkulit putih itu pernah mencari keberadaan orang tuanya, tetapi tidak pernah menemukannya. Alamat yang diberikan pihak panti ternyata sudah tidak ditinggali lagi.Sebenarnya sebelum menikah Safira sudah mengatakan pada Sadam kalau ia bukan anak kandung Aini dan Arif. Ia tak pernah tahu orang tua kandun
Safira merasa sangat lelah saat pulang dari kantor. Kedua tangannya menenteng kantung plastik berisi barang-barang kebutuhan rumah. Ya, saat pulang kantor tadi ia mampir ke supermarket membeli semua kebutuhan rumah karena sudah mulai habis. Kalau bukan dirinya yang belanja dan mengeluarkan uang, tak ada satu pun orang rumah yang mau belanja apalagi Nala tak akan peduli dengan urusan rumah dan Mirah seperti bisa hanya menyuruh dirinya untuk beli ini itu.Safira membereskan belanjaannya, sesekali ia mengusap keningnya yang berkeringat dan entah mengapa tubuhnya merasa sangat lelah sekali hari ini. “Mana susu dan pampers untuk Kieran?” Nala menghampiri adik iparnya.“Tidak aku belikan,” jawab Safira tanpa memandang Nala.“Apa? Kenapa tidak kau belikan, Safira?” Nala memutar bola matanya kesal.“Loh, itu ‘kan kebutuhan anak Mbak Nala dan bukan tanggung jawabku,” balas Safira tak menghentikan kagiatannya yang menata kebutuhan dapur.“Kau ini perhitungan sekali jadi orang. Kita keluarga, l