Hati Zafar memang sangat kecewa dan marah pada Safira meskipun ia tahu keputusan Safira itu adalah yang terbaik. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia senang bisa bertemu dengan mantan kakak iparnya itu. Selama ini ia merasa yang peduli padanya hanyalah Safira dan Sadam. Namun, dengan semua hal yang terjadi waktu itu menyebabkan Safira harus angkat kaki dari rumah Mirah dan membuat Zafar merasa tidak ada lagi yang mempedulikannya. Apalagi setelah Sadam menikah dengan Ayunda dan ternyata semua jadi kacau. Sadam seolah lupa kalau ia memiliki seorang adik. Kakaknya itu sibuk dengan tingkah sang istri dan keadaan rumah yang sudah tidak seperti dulu lagi."Keadaan rumah kacau. Aku tak tahan lagi tinggal di rumah yang setiap hari selalu saja dipenuhi keributan sampai-sampai ibu dan kakak-kakakku lupa akan kehadiranku di rumah itu," tutur Zafar. Tatapan matanya fokus ke depan seolah sedang kembali ke rumah yang menurutnya sudah sangat tidak layak disebut rumah. Zafar menginginkan rum
Zafar menyelinap pergi dari rumah malam-malam. Sebenarnya ia pergi siang pun, yakin tak ada yang akan melarangnya. Semua orang di rumah sudah menganggapnya tak ada. Mereka tidak peduli lagi pada Zafar. Laki-laki itu tersenyum getir menoleh ke rumah yang akan ditinggalkannya. Ia tak akan pernah menyesal angkat kaki dari rumah bagai neraka baginya itu. Percuma tinggal di rumah yang sama sekali tidak menganggapnya ada. Percuma ada di tengah-tengah keluarga yang sama sekali tidak pernah peduli tentangnya. Teringat pada mendiang ayahnya, Zafar yakin ayahnya sedih melihat keluarga mereka yang berantakan seperti ini. Laki-laki itu berpikir semua karena keegoisan sang ibu. Zafar bertekad tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Mirah. Ia tidak ingin kembali ke rumah itu apa pun alasannya. Muak sudah Zafar bertahan selama ini. Awalnya ada Safira dan Sadam yang peduli padanya meskipun ia kesal pada kakaknya itu. Namun, setidaknya kehadiran Zafar masih ada yang menganggap. Setelah rum
"Lihat! Istrimu itu bisanya menghamburkan uang saja," cetus wanita berkacamata itu berkacak pinggang. Raut wajah Safira seketika berubah sedih, senyuman yang menghiasi wajahnya pun memudar. Ia menelan air liurnya dan langsung menunduk seraya meremas bungkusan skincare yang sedang dipegangnya."Safira cuma beli mesin cuci, Bu, karena mesin cuci yang lama sudah rusak," kata Sadam seraya membuka kardus paket besar yang disandarkan ke tembok."Cuma, kamu bilang? Mesin cuci lama masih bisa digunakan, 'kan? Dan ini skincare terus yang dibeli," ketus Mirah seraya merebutnya dari tangan sang menantu. "Me-mesin cuci lama sudah tidak berfungsi, Bu. Cuma pengeringnya yang masih bisa digunakan," jawab Safira."Ya, itu, pengeringnya masih bagus. Nyucinya bisa pakai tangan, 'kan?" Mirah memberikan skincare-nya kepada Safira seraya mendorong menantunya itu.Jantung Safira berdegup kencang, bulir bening yang sedari tadi dibendungnya kini mengalir perlahan menuruni pipi. "Sudahlah, Bu. Lagian ini s
Ia langsung menghampiri sang istri dan membantunya membereskan pecahan cangkir teh itu. "Bela saja terus istrimu. Jelas - jelas perempuan itu mau melukai bibir dan lidahku!" dengkus Mirah menengadah."Kamu salah pilih istri, Sadam!" teriak Mirah kepada putranya. "Istri macam apa itu? Cuma bisa menghamburkan uang! Sekarang ingin melukaiku," lanjutnya."Safira sudah meminta maaf, Bu. Kalau Ibu seperti ini terus lebih baik Sadam dan Safira keluar dari rumah ini," tegas Sadam.Bak di sambar petir hati Safira hancur berkeping-keping mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang mertua hingga tak terasa darah menetes dari telunjuknya terkena pecahan cangkir. Ia memejamkan mata sampai bulir bening yang dibendungnya kini menetes ke lantai. Safira masih tertegun tak menyangka kalau Mirah akan tega berkata seperti itu."Sampai kapan pun aku tak akan pernah mengizinkanmu keluar dari rumah ini! Aku yang sudah melahirkanmu. Sudah seharusnya kau berbakti kepadaku sebagai ibumu! Mau jadi anak du
"Dan untuk Ibu, aku membeli mesin cuci dengan uangku sendiri. Tak sedikit pun meminta kepada Ibu," tegas Safira, kini memandang lekat wajah sang mertua. Wajah kedua teman Mirah berubah masam, yang tadinya senyum-senyum penuh ejekan sekarang menjadi tak enak dipandang begitupun dengan sang mertua. "Kurang ajar! Berani kau bicara tak pantas kepada ibu dari suamimu, hah? Perempuan mandul!" cetus Mirah dengan dada naik turun. Amarahnya menggelora melihat wajah Safira.Bagai dihantam batu besar yang tiba-tiba turun dari langit. Hati Safira terasa sangat hancur menjadi seperti debu beterbangan. Bibirnya seolah terkunci dan tubuhnya kaku. Hanya air mata yang mulai bergerak perlahan dan lama-lama semakin deras sampai menetes ke sepatunya.Ia terpaku di tempatnya berdiri memandang ketiga wanita yang menjauh meninggalkannya sambil menggerutu membicarakan dirinya.***"Safiraa, Safiraa," teriak Mirah dari lantai dua memanggil menantunya.Safira yang sedang asyik dengan ponselnya di kamar seger
Perutnya mulai keroncongan minta diisi. Matahari pun mulai beranjak naik, tetapi Sadam belum juga pulang dari lari pagi setelah Subuh tadi.Safira memutuskan untuk mandi saja setelah rasa lelahnya mulai hilang sambil menunggu Sadam pulang. Semalam ia minta diantar berkunjung ke rumah orang tuanya karena sudah rindu ingin bertemu ibu dan bapaknya. Safira duduk di depan meja rias, memandangi wajahnya yang cantik dan anggun. Sebenernya, Mirah sangat beruntung punya menantu secantik Safira, hanya karena Safira yang tak kunjung hamil. Jadi, Mirah membenci dirinya. "Safiraa, Safiraa," teriak Mirah lagi membuat menantunya itu tersentak. "Astaga, apa lagi, sih?" Safira membanting tempat skincare-nya ke atas kasur saat berdiri.Safira berlari kecil keluar dari kamar menghampiri Mirah yang terus memanggil namanya. Ia berdiri di depan sang mertua yang berada dapur. Mata indahnya berkedip-kedip memandang wajah sang mertua yang tak enak dipandang. Ia merasa risih saat mata Mirah memindai setia
Ia hanya bisa mengadu kepada Sadam. Tak mungkin mengadu pada kedua orang tuanya kalau ia selalu diperlakukan buruk oleh sang mertua. Perempuan berwajah cantik itu tak ingin ibu dan bapaknya khawatir. Untungnya Sadam selalu membela dirinya selama ini. Hal itu adalah salah satu alasannya tetap bertahan meskipun terkadang merengek minta pindah rumah, mengontrak pun tak masalah bagi Safira."Keterlaluan sekali Ibu berani menamparmu. Biar nanti aku bicara dengannya," kata Sadam, sedikit marah kepada sang ibu."Sudah, biarlah, Mas. Mau bicara apa pun juga tak akan pernah mengubah sikap Ibu terhadap aku. Ia memang tak menyukaiku, Mas," tutur Safira, menatap lurus ke depan.Namun, Sadam tetap akan bicara dengan ibunya. Sebagai suami, ia tak terima istrinya sampai ditampar seperti itu. Ia pun tak pernah berlaku kasar kepada Safira apalagi sampai memukul dan menamparnya. "Ya sudah, terserah, Mas, saja," balas Safira, menghela napas panjang.Tak lupa Safira pun mengungkapkan unek-unek dalam hat
"Ibu bicara apa, sih?" Sadam mulai kesal dengan sikap ibunya kepada sang istri. "Memang istrimu seperti itu, 'kan? Maunya hidup enak dan senang. Bisanya menghabiskan uang saja, heh," cetus wanita yang memakai daster selutut dan lengan pendek itu."Aku katakan sekali lagi, ya, Bu. Saat pulang kerja kadang aku merasa lelah sekali, tetapi masih harus mengurus cucian dan pekerjaan rumah lainnya," tukas Safira."Diam! Beraninya kau bicara lancang padaku," timpal Mirah.Safira pun terdiam, menghela napas kasar dan wajahnya berubah cemberut. Senyuman yang menghiasi wajahnya kini berubah seketika. Perasaan senang setelah bertemu kedua orang tua kini berubah kembali menjadi kesediaan dan sakit hati yang teramat.Ia benar-benar merasa sangat lelah dan butuh bantuan orang lain. Selama ini Mirah tak pernah sedikit pun membantunya. Setidaknya kalau tak ingin membantu, biarkan orang lain saja.Namun, justru keinginan Safira dan Sadam sangat ditentang oleh Mirah. Safira dicibir terus-menerus oleh m