"Lihat! Istrimu itu bisanya menghamburkan uang saja," cetus wanita berkacamata itu berkacak pinggang.
Raut wajah Safira seketika berubah sedih, senyuman yang menghiasi wajahnya pun memudar. Ia menelan air liurnya dan langsung menunduk seraya meremas bungkusan skincare yang sedang dipegangnya.
"Safira cuma beli mesin cuci, Bu, karena mesin cuci yang lama sudah rusak," kata Sadam seraya membuka kardus paket besar yang disandarkan ke tembok.
"Cuma, kamu bilang? Mesin cuci lama masih bisa digunakan, 'kan? Dan ini skincare terus yang dibeli," ketus Mirah seraya merebutnya dari tangan sang menantu.
"Me-mesin cuci lama sudah tidak berfungsi, Bu. Cuma pengeringnya yang masih bisa digunakan," jawab Safira.
"Ya, itu, pengeringnya masih bagus. Nyucinya bisa pakai tangan, 'kan?" Mirah memberikan skincare-nya kepada Safira seraya mendorong menantunya itu.
Jantung Safira berdegup kencang, bulir bening yang sedari tadi dibendungnya kini mengalir perlahan menuruni pipi.
"Sudahlah, Bu. Lagian ini semua pakai uang Safira, tak sedikit pun kami meminta sama Ibu," bela Sadam.
"Bela saja terus istrimu itu! Lebih baik uangnya disimpan bukan dibuang-buang percuma seperti ini," geram Mirah.
"Sudah, Bu, sudah," kata Sadam, tak ingin ada pertengkaran antara ibunya dan sang istri.
"Istri tak tahu diri, bisanya menghabiskan uang saja! Beli skincare juga buat sendiri saja, tak ingat orang lain," gerutu Mirah seraya berlalu meninggalkan anak dan menantunya dengan kesal.
Sadam merangkul bahu istrinya yang menangis dalam diam sambil terus menunduk. Ia menuntun sang istri menuju kamarnya. Pria bertubuh tinggi itu mengerti apa yang dirasakan sang istri. Ia mencoba menenangkannya.
"Maafkan Ibu, ya," ucap Sadam mendudukkan Safira di tepi tempat tidur.
Safira masih bergeming dan hanya terisak. Punggung tangannya mengusap pipi, menghapus air mata yang membasahinya.
Tubuhnya sangat letih dan lelah karena baru saja pulang kerja. Tiba di rumah malah kena marah oleh ibu mertuanya hanya gara-gara membeli mesin cuci baru, padahal memakai uangnya sendiri.
"Maafkan Ibu, ya, Sayang." Sadam memohon.
Kini tangan Sadam yang menyeka air mata Safira. Ia memandang wajah sang istri yang terlihat sangat sedih.
"Aku tak mengerti mengapa Ibu selalu bersikap seperti itu padaku? Selalu memperlakukan aku dengan buruk. Padahal selama ini aku selalu menghormati dan menghargainya, tak pernah sekali pun perhitungan dengannya. Semua yang aku beli untuk keperluan di rumah ini bukan untuk aku sendiri dan memakai uang kita bahkan uangku sendiri," tutur Safira, menatap lekat wajah sang suami.
"Iya, aku tahu. Tolong maafkan Ibu, ya." Sadam mencium kedua tangan Safira.
Hati Safira sangat sakit, terlalu sering diperlakukan tidak baik oleh ibu mertuanya. Semua yang dilakukan selalu salah di mata Mirah. Padahal Safira selalu mencoba dan berusaha membuat sang mertua senang.
Ia menatap wajah Sadam yang memelas memohon maaf atas perkataan ibunya yang menyayat hati. Safira menghela napas panjang, menenangkan hatinya yang baru saja terluka. Kemudian, ia mengangguk dan tersenyum samar. Demi sang suami, ia memaafkan Mirah. Kalau saja bukan ibu dari suaminya, tentu Safira sudah melawan.
"Terima kasih, Sayang." Sadam mengecup kening Safira.
Pria bercambang itu mengakui bahwa istrinya memang sangat baik. Selama dua tahun pernikahan, Safira bisa bertahan dengan sikap sang ibu.
Pernah beberapa kali Safira meminta keluar dari rumah itu dan ingin mengontrak, tetapi Mirah selalu melarang mereka pergi. Sadam pun mengalah dan memberi pengertian kepada istrinya.
"Iya, Mas. Ya sudah aku mau beresin belanjaan dulu," ucap Safira.
Hatinya masih terasa sangat sakit, tetapi ia mencoba untuk tenang. Safira merasa lebih baik menyibukkan diri dengan membereskan belanjaan yang dibelinya tadi setelah pulang dari kantor.
"Sudah biar aku yang bereskan, kamu istirahat saja, ya." Sadam melarang Safira yang hendak keluar dari kamar.
Ia meminta istrinya itu untuk beristirahat saja di kamar. Pria berkulit sawo matang itu melihat raut wajah sang istri yang sangat lelah.
Akhirnya, Safira membiarkan Sadam yang membereskan belanjaannya. Ia memilih untuk membersihkan diri daripada hanya berbaring di tempat tidur.
Keesokan harinya Safira sudah bangun dari sebelum Subuh. Ia sudah sibuk memasak untuk sarapan semua orang di rumah, termasuk mertua dan adik iparnya. Setelah sarapan sudah siap Safira beres-beres dan bersiap ke kantor.
Sekitar pukul tujuh semua orang di rumah Mirah sudah siap di meja makan untuk menikmati makanan yang dimasak Safira. Pagi ini perempuan beralis tipis itu memasak ayam kecap dan capcay.
Seperti biasa Safira membuatkan secangkir teh panas untuk mertuanya. Dengan hati-hati ia menyajikan di depan Mirah. Kemudian ia duduk di sebelah Sadam untuk sarapan bersama.
Namun, saat Mirah mendekatkan cangkir teh itu ke bibirnya yang merona tiba-tiba ia melempar cangkir tersebut hingga terjatuh pecah berhamburan.
Safira tersentak dengan dadanya yang naik turun. Mata Safira terbelalak melihat pecahan cangkir yang berserakan di lantai.
"Menantu kurang ajar! Kau sengaja mau buat bibir dan lidahku melepuh, ya?" teriak Mirah, mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya lalu meraih tisu dan mengelap teh yang tumpah ke bajunya.
"Ma-maaf, Bu. Aku baru buat tehnya, tadi buru-buru mandi dulu," gugup Safira.
"Alasan saja! Kau sengaja ingin buat bibir dan lidahku melepuh. Kau memang sengaja, 'kan?" teriak Mirah seraya membetulkan kacamatanya.
"Berisik, Bu, masih pagi teriak-teriak," tegur Zafar, adik Sadam yang duduk di sebelah Mirah.
"Ma-maaf, Bu. Safira tidak bermaksud melukai Ibu."
"Bohong! Bereskan semua ini sampai bersih!" perintah Mirah seraya berdiri dan menunjuk pecahan cangkir di lantai.
Safira langsung berdiri lalu berjongkok di depan pecahan cangkirnya dengan lutut dan tangannya yang gemetar. Matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi dan ia mencoba membendung air matanya.
"Cukup, Bu! Jangan terus memperlakukan Safira dengan kasar seperti ini!" teriak Sadam bangkit dari duduknya.
Ia langsung menghampiri sang istri dan membantunya membereskan pecahan cangkir teh itu. "Bela saja terus istrimu. Jelas - jelas perempuan itu mau melukai bibir dan lidahku!" dengkus Mirah menengadah."Kamu salah pilih istri, Sadam!" teriak Mirah kepada putranya. "Istri macam apa itu? Cuma bisa menghamburkan uang! Sekarang ingin melukaiku," lanjutnya."Safira sudah meminta maaf, Bu. Kalau Ibu seperti ini terus lebih baik Sadam dan Safira keluar dari rumah ini," tegas Sadam.Bak di sambar petir hati Safira hancur berkeping-keping mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang mertua hingga tak terasa darah menetes dari telunjuknya terkena pecahan cangkir. Ia memejamkan mata sampai bulir bening yang dibendungnya kini menetes ke lantai. Safira masih tertegun tak menyangka kalau Mirah akan tega berkata seperti itu."Sampai kapan pun aku tak akan pernah mengizinkanmu keluar dari rumah ini! Aku yang sudah melahirkanmu. Sudah seharusnya kau berbakti kepadaku sebagai ibumu! Mau jadi anak du
"Dan untuk Ibu, aku membeli mesin cuci dengan uangku sendiri. Tak sedikit pun meminta kepada Ibu," tegas Safira, kini memandang lekat wajah sang mertua. Wajah kedua teman Mirah berubah masam, yang tadinya senyum-senyum penuh ejekan sekarang menjadi tak enak dipandang begitupun dengan sang mertua. "Kurang ajar! Berani kau bicara tak pantas kepada ibu dari suamimu, hah? Perempuan mandul!" cetus Mirah dengan dada naik turun. Amarahnya menggelora melihat wajah Safira.Bagai dihantam batu besar yang tiba-tiba turun dari langit. Hati Safira terasa sangat hancur menjadi seperti debu beterbangan. Bibirnya seolah terkunci dan tubuhnya kaku. Hanya air mata yang mulai bergerak perlahan dan lama-lama semakin deras sampai menetes ke sepatunya.Ia terpaku di tempatnya berdiri memandang ketiga wanita yang menjauh meninggalkannya sambil menggerutu membicarakan dirinya.***"Safiraa, Safiraa," teriak Mirah dari lantai dua memanggil menantunya.Safira yang sedang asyik dengan ponselnya di kamar seger
Perutnya mulai keroncongan minta diisi. Matahari pun mulai beranjak naik, tetapi Sadam belum juga pulang dari lari pagi setelah Subuh tadi.Safira memutuskan untuk mandi saja setelah rasa lelahnya mulai hilang sambil menunggu Sadam pulang. Semalam ia minta diantar berkunjung ke rumah orang tuanya karena sudah rindu ingin bertemu ibu dan bapaknya. Safira duduk di depan meja rias, memandangi wajahnya yang cantik dan anggun. Sebenernya, Mirah sangat beruntung punya menantu secantik Safira, hanya karena Safira yang tak kunjung hamil. Jadi, Mirah membenci dirinya. "Safiraa, Safiraa," teriak Mirah lagi membuat menantunya itu tersentak. "Astaga, apa lagi, sih?" Safira membanting tempat skincare-nya ke atas kasur saat berdiri.Safira berlari kecil keluar dari kamar menghampiri Mirah yang terus memanggil namanya. Ia berdiri di depan sang mertua yang berada dapur. Mata indahnya berkedip-kedip memandang wajah sang mertua yang tak enak dipandang. Ia merasa risih saat mata Mirah memindai setia
Ia hanya bisa mengadu kepada Sadam. Tak mungkin mengadu pada kedua orang tuanya kalau ia selalu diperlakukan buruk oleh sang mertua. Perempuan berwajah cantik itu tak ingin ibu dan bapaknya khawatir. Untungnya Sadam selalu membela dirinya selama ini. Hal itu adalah salah satu alasannya tetap bertahan meskipun terkadang merengek minta pindah rumah, mengontrak pun tak masalah bagi Safira."Keterlaluan sekali Ibu berani menamparmu. Biar nanti aku bicara dengannya," kata Sadam, sedikit marah kepada sang ibu."Sudah, biarlah, Mas. Mau bicara apa pun juga tak akan pernah mengubah sikap Ibu terhadap aku. Ia memang tak menyukaiku, Mas," tutur Safira, menatap lurus ke depan.Namun, Sadam tetap akan bicara dengan ibunya. Sebagai suami, ia tak terima istrinya sampai ditampar seperti itu. Ia pun tak pernah berlaku kasar kepada Safira apalagi sampai memukul dan menamparnya. "Ya sudah, terserah, Mas, saja," balas Safira, menghela napas panjang.Tak lupa Safira pun mengungkapkan unek-unek dalam hat
"Ibu bicara apa, sih?" Sadam mulai kesal dengan sikap ibunya kepada sang istri. "Memang istrimu seperti itu, 'kan? Maunya hidup enak dan senang. Bisanya menghabiskan uang saja, heh," cetus wanita yang memakai daster selutut dan lengan pendek itu."Aku katakan sekali lagi, ya, Bu. Saat pulang kerja kadang aku merasa lelah sekali, tetapi masih harus mengurus cucian dan pekerjaan rumah lainnya," tukas Safira."Diam! Beraninya kau bicara lancang padaku," timpal Mirah.Safira pun terdiam, menghela napas kasar dan wajahnya berubah cemberut. Senyuman yang menghiasi wajahnya kini berubah seketika. Perasaan senang setelah bertemu kedua orang tua kini berubah kembali menjadi kesediaan dan sakit hati yang teramat.Ia benar-benar merasa sangat lelah dan butuh bantuan orang lain. Selama ini Mirah tak pernah sedikit pun membantunya. Setidaknya kalau tak ingin membantu, biarkan orang lain saja.Namun, justru keinginan Safira dan Sadam sangat ditentang oleh Mirah. Safira dicibir terus-menerus oleh m
"Mertuamu itu memang tak bisa masak enak, ya, Sadam," cetus Mirah. "Ayamnya ini terlalu pedas! Mau bikin Ibu sakit perut, iya, hah?" imbuh Mirah yang mengalihkan pandangan ke menantunya."Bukannya Ibu suka makan pedas. Lagi pula ini tak terlalu pedas," bela Sadam."Kau selalu saja membela perempuan ini," ketus wanita berkulit putih itu. "Lihat, Nala! Adikmu selalu tidak mempedulikan Ibu," ucapnya kepada putri pertamanya."Kalau Ibu memang tak suka masakan ibuku, tak perlu dimakan," sela Safira.Selera makannya kembali hilang, padahal sebelumnya ia sangat senang dibawakan makanan oleh ibunya sendiri. Masakan sang ibu membuat nafsu makannya bertambah, tetapi malah dihina oleh ibu dari suaminya."Diam kau!" bentak Mirah."Cukup! Cukup, Bu! Sikap Ibu terhadap Safira sudah keterlaluan, selalu saja ada hal yang dipermasalahkan. Ibu juga sudah berani menampar Safira, istri Sadam, yang selalu dijaga dengan baik. Aku, suaminya, tak pernah sedikit pun menyakiti Safira." Sontak Sadam berdiri den
Namun, Safira menolak karena masih lelah. Ia meminta waktu untuk beristirahat sejenak dan malah menyuruh mertuanya untuk minta tolong Nala yang membereskan semua karena kakak iparnya itu seharian ada di rumah."Beraninya kau menyuruh putriku!"Tangan Mirah mengayun hendak menampar kembali pipi Safira, tetapi tiba-tiba teringat Sadam dan tangannya terhenti mengambang di udara. Safira memandang lekat mata mertuanya seakan menantang. Ia yakin bahwa Mirah tak berani lagi menampar pipi mulusnya. Hati kecilnya ingin tersenyum melihat wajah sang mertua, tetapi ia tahan. "Tukang ngadu!" umpat Mirah kesal. "Ibu, sudah-sudah." Tangan Nala menarik lengan Mirah. Dada Mirah bergemuruh, kembang kempis menahan rasa kesal kepada Safira. Kalau saja bukan karena perkataan Sadam semalam, ia sudah menampar menantunya lagi lebih keras. Wanita beralis tipis itu yakin Safira akan mengadu lagi kepada putranya kalau sampai telapak tangannya itu mendarat lagi di pipi Safira."Em, Safira, aku baru saja data
"Memangnya sampai kapan Mbak Nala di sini? Tapi tadi juga ia tak mau membantuku," kata Safira memajukan bibirnya."Entahlah, mungkin satu atau dua minggu seperti biasanya."Safira menghela napas panjang. Ia berharap apa yang dikatakan Sadam betul, kakak iparnya akan membantu di rumah selama berada di sini. Satu pekan berlalu, ternyata kedatangan Nala dan kedua anaknya malah menambah beban pekerjaan di rumah untuk Safira. Tetap saja, ia yang membereskan rumah dan memasak. Belum lagi mencuci dan menyetrika baju yang kini bertambah banyak karena Safira juga yang harus mencuci dan menyetrika baju kakak ipar dan dua keponakannya. Ditambah ia harus berkali-kali membersihkan dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah Oza dan Kieran. Seharusnya Nala yang bertanggung jawab atas kedua keponakannya itu. Safira tak menyalahkan Oza dan Kieran yang masih lucu karena memang kedua anak itu butuh bermain.Selama seminggu ini pula ia merengek dan mengeluh kepada suaminya untuk menegur Nala dan
Zafar menyelinap pergi dari rumah malam-malam. Sebenarnya ia pergi siang pun, yakin tak ada yang akan melarangnya. Semua orang di rumah sudah menganggapnya tak ada. Mereka tidak peduli lagi pada Zafar. Laki-laki itu tersenyum getir menoleh ke rumah yang akan ditinggalkannya. Ia tak akan pernah menyesal angkat kaki dari rumah bagai neraka baginya itu. Percuma tinggal di rumah yang sama sekali tidak menganggapnya ada. Percuma ada di tengah-tengah keluarga yang sama sekali tidak pernah peduli tentangnya. Teringat pada mendiang ayahnya, Zafar yakin ayahnya sedih melihat keluarga mereka yang berantakan seperti ini. Laki-laki itu berpikir semua karena keegoisan sang ibu. Zafar bertekad tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Mirah. Ia tidak ingin kembali ke rumah itu apa pun alasannya. Muak sudah Zafar bertahan selama ini. Awalnya ada Safira dan Sadam yang peduli padanya meskipun ia kesal pada kakaknya itu. Namun, setidaknya kehadiran Zafar masih ada yang menganggap. Setelah rum
Hati Zafar memang sangat kecewa dan marah pada Safira meskipun ia tahu keputusan Safira itu adalah yang terbaik. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia senang bisa bertemu dengan mantan kakak iparnya itu. Selama ini ia merasa yang peduli padanya hanyalah Safira dan Sadam. Namun, dengan semua hal yang terjadi waktu itu menyebabkan Safira harus angkat kaki dari rumah Mirah dan membuat Zafar merasa tidak ada lagi yang mempedulikannya. Apalagi setelah Sadam menikah dengan Ayunda dan ternyata semua jadi kacau. Sadam seolah lupa kalau ia memiliki seorang adik. Kakaknya itu sibuk dengan tingkah sang istri dan keadaan rumah yang sudah tidak seperti dulu lagi."Keadaan rumah kacau. Aku tak tahan lagi tinggal di rumah yang setiap hari selalu saja dipenuhi keributan sampai-sampai ibu dan kakak-kakakku lupa akan kehadiranku di rumah itu," tutur Zafar. Tatapan matanya fokus ke depan seolah sedang kembali ke rumah yang menurutnya sudah sangat tidak layak disebut rumah. Zafar menginginkan rum
"Zafar," ucap Safira setengah berbisik.Ia tidak menyangka akan bertemu adik dari mantan suaminya setelah dua tahun berlalu. Yang membuat Safira sangat kaget adalah keadaan anak itu seperti tidak terurus dan sedang mengamen. Ia pun segera mendekati Zafar untuk memastikan kalau matanya tidak salah lihat.Tidak sengaja anak bungsu Mirah itu menoleh dan langsung terkejut saat seorang wanita yang dikenalnya sedang melangkah mendekat dan jarak keduanya bahkan kini sudah sangat dekat.Dengan tergesa Zafar pun segera melangkah pergi, menghindar dari mantan istri kakaknya itu. Tentu saja teman yang sedang bersama Zafar ikut terkejut karena orang yang sedang mengiringinya bernyanyi berhenti tiba-tiba dan pergi begitu saja."Loh, Zafar," panggil temannya seraya mengejar."Zafar, Zafar, tunggu!" panggil Safira yang juga ikut mengejar bersamaan dengan teman Zafar.Safira berjalan agak cepat bahkan hampir berlari kecil. Awalnya ia hanya ingin memastikan kalau orang yang dilihatnya memang adik dari
Sungguh sangat sakit menerima kenyatan pahit ini. Pernikahannya dengan laki-laki yang sangat dicintainya kini harus berakhir. Kapal rumah tangganya yang dijaga sepenuh hati ternyata harus karam di tengah laut kehidupan sebelum mencapai tujuan terakhirnya.Tak bisa dipungkiri dan dibohongi, hati perempuan berparas cantik itu sangat bersedih dan hancur. Ia benar-benar tidak menyangka kalau rumah tangga yang dianggapnya harmonis dan baik-baik saja, harus hancur seketika. Air matanya mengalir cukup deras sesaat setelah menerima akta cerai dari pengdilan agama. Statusnya kini sudah jelas dan sah menjadi seorang janda. Tidak pernah terbayang dan terpikir kalau pada akhirnya ia akan menyandang status janda. Tidak pernah sekali pun terbesit di dalam kepalanya untuk berpisah dengan Sadam apapun ujian rumah tangga yang akan mereka hadapi selama Sadam masih membela dan terus berada di sampingnya. Namun, takdir berkata lain. Tuhan mengatakan kalau ia dan Sadam memang sudah harus berakhir.Safira
Tak ada satu pun yang mengetahui kalau Arif sudah menemui Sadam. Ia sengaja tidak memberitahu Aini apalagi Safira. Arif hanya ingin meluapkan amarahnya pada sang menantu yang sudah berani melanggar janji saat menikahi anaknya. Sebenarnya ia sama sekali tidak puas, tetapi Arif menahan emosi karena Safira memintanya agar tidak lagi berurusan dengan keluarga Sadam. Arif pun menyetujui itu, tetapi dengan syarat Safira harus bangkit, melupakan laki-laki pengecut seperti Sadam. Ia tidak bisa melihat anaknya terus terpuruk dalam kesedihan. Pagi yang sangat cerah Safira sudah mengenakan pakaian dengan rapi. Ia merias wajahnya agar terlihat lebih fresh. Jujur saja, wajah Safira terlihat seperti orang yang sedang sakit. Bagai bunga yang sudah layu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.Setelah beberapa hari mengurung diri, Safira memutuskan untuk ke kantor. Bukan lagi untuk bekerja seperti biasanya, tetapi ia sudah menyiapkan berkas pengunduran dirinya. Ia harus melepaskan
"Bagaimana, Bu?" tanya Arif.Safira yang baru saja tiba di rumah lekas masuk ke kamar tanpa berkata apa pun lagi. Wajahnya sudah dibasahi dengan air mata sejak perjalanan menuju rumah tadi bersama Aini. "Mirah dan Sadam benar-benar keterlaluan, Pak! Tidak punya hati mereka itu!" geram Aini.Aini menahan sang suami yang mau menemui anaknya di kamar. Ia meminta Arif untuk memberik waktu pada Safira. Ibu dari Safira itu menceritakan semua yang terjadi di pernikahan Sadam. Cukup puas karena Safira berhasil mempermalukan Sadam dan juga Mirah. Ia tak banyak membantu karena memang sudah diwanti-wanti anaknya untuk mendampingi saja. "Laki-laki pengecut!" umpat Arif kesal pada sang menantu.Setidaknya kini semua sudah jelas hubungan antara Safira dan Sadam. Perempuan yang merasa sudah dikhianati itu tidak akan mau bersama Sadam lagi meskipun hati kecilnya berat untuk berpisah, tetapi Sadam sudah membuat luka yang teramat besar. Dan itu tidak bisa dimaafkan begitu saja.Tiga hari berlalu Saf
Setelah pesta pernikahan selesai Dahlia memanggil Mirah. Ia ingin bicara dengan besan barunya itu tentang sikap Mirah tadi yang sangat memalukan. Dahlia pun mengajak Mirah duduk bersama di halaman belakang sambil menikmati secangkir teh hangat."Aku sangat keberatan dengan sikapmu tadi, Jeng! Sangat memalukan!" Kedua tangan Dahlia memegang cangkir teh yang ada di atas meja.Mirah menghela napas panjang, kepalanya yang tertunduk diangkatnya dan melirik teman sekaligus ibu dari menantu barunya. Setelah dipikir-pikir memang sikap merah sangat keterlaluan dan memalukan, tetapi ia tidak bisa menahannya lagi. Semua dilakukan karena dendam dan marahnya pada Safira. Ia tidak terima diperlakukan seperti tadi oleh perempuan yang dianggapnya sampai itu."Aku minta maaf, Jeng, atas apa yang terjadi tadi, tapi semua itu karena aku sangat marah pada perempuan sampai itu," ungkap Mirah, memicingkan matanya saat teringat lagi pada Safira. Ia juga tidak akan marah dan lepas kontrol kalau Safira tida
Mirah merasa sangat dipermalukan oleh Safira dan Aini di acara pesta pernikahan anaknya sendiri. Wajahnya benar-benar berubah merah padam, Mirah merasa risih mendapatkan tatapan aneh dari beberapa tamu undangan. "Pergi kalian dari sini!" usir Mirah sekali lagi seraya membulatkan matanya. "Sudah, Bu, sudah! Biar Sadam bicara dulu dengan Safira." Pria bertubuh atletis itu melerai sang ibu yang dibakar api kemarahan.Namun, tentu saja Mirah melarang keras putranya berhubungan lagi dengan Safira. Kini tempat Safira sudah digantikan oleh Ayunda, sang menantu kesayangan. "Sadam hanya ingin menyelesaikan semuanya secara baik, Bu."Ada rasa bersalah dan tidak enak dalam hati kecil Sadam. Saat matanya menatap wajah Safira, ia merasa sangat bersalah telah menyakiti istrinya dengan cara seperti ini. Ingin sekali Sadam meminta maaf pada Safira, tetapi memang Mirah sama sekali tidak mengizinkannya."Diam! Perempuan ini tidak penting lagi bagi kita, Sadam!" bentak Mirah. Sadam pun menurut saja
“Safira!” Sadam sangat terkejut dengan kedatangan sang istri dan juga ibu mertuanya. Ia juga tercengang dengan permintaan Safira yang ingin bercerai dengannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan Safira, perempuan yang sangat dicintainya. Namun, ia juga mulai mencintai Ayunda dan baru saja sah menjadi suami istri. Tak mungkin ia menceraikan Ayunda. Sungguh sangat bimbang hati Sadam yang menginginkan kedua perempuan yang sekarang berada bersamanya. Sadam berubah menjadi sangat egois dan serakah!“Selama ini aku menunggumu! Tapi ternyata kau memang tak punya itikad baik untuk memperbaiki rumah tangga kita dan malah terlena dengan perempuan hina ini,” teriak Safira kesal.Tak ada air mata yang keluar hari ini. Hati Safira dipenuhi dendam dan amarah yang berkobar. Ia tidak ingin menjadi perempuan lemah di depan Sadam dan keluarganya, apalagi di hadapan sang mertua yang selama ini sudah memanfaatkan apa pun dari dirinya.Tiba-tiba Ayunda maju mendekati Safira dan melayangkan tangannya untuk