"Ibu bicara apa, sih?" Sadam mulai kesal dengan sikap ibunya kepada sang istri.
"Memang istrimu seperti itu, 'kan? Maunya hidup enak dan senang. Bisanya menghabiskan uang saja, heh," cetus wanita yang memakai daster selutut dan lengan pendek itu.
"Aku katakan sekali lagi, ya, Bu. Saat pulang kerja kadang aku merasa lelah sekali, tetapi masih harus mengurus cucian dan pekerjaan rumah lainnya," tukas Safira.
"Diam! Beraninya kau bicara lancang padaku," timpal Mirah.
Safira pun terdiam, menghela napas kasar dan wajahnya berubah cemberut. Senyuman yang menghiasi wajahnya kini berubah seketika. Perasaan senang setelah bertemu kedua orang tua kini berubah kembali menjadi kesediaan dan sakit hati yang teramat.
Ia benar-benar merasa sangat lelah dan butuh bantuan orang lain. Selama ini Mirah tak pernah sedikit pun membantunya. Setidaknya kalau tak ingin membantu, biarkan orang lain saja.
Namun, justru keinginan Safira dan Sadam sangat ditentang oleh Mirah. Safira dicibir terus-menerus oleh mertuanya sendiri. Lubang besar menganga di hati Safira, terasa sangat sakit meskipun tak berdarah. Semakin lama ucapan yang keluar dari mulut Mirah semakin beracun untuk perempuan berkulit putih itu.
Mirah menolak mentah-mentah keinginan Safira untuk mencari asisten rumah tangga. Wanita dengan bola mata cokelat itu menganggap bahwa membayar tenaga asisten rumah tangga adalah suatu pemborosan. Padahal dari penghasilan mereka bertiga sangat mampu untuk membayar seorang asisten rumah tangga.
Selera makan Safira menurun hingga ia tak mau melanjutkan menyantapnya. Keputusan mertuanya tak bisa diganggu, sekali tak ada asisten rumah tangga berarti tak akan pernah ada dan Safira tetap harus mengerjakan semuanya sendiri.
Terasa sangat sesak dada Safira. Ingin sekali ia mencomot bibir merah ibu mertuanya itu, membantu pun tak pernah dan sekarang tak mengizinkan memakai jasa orang. Padahal Safira sedikit pun tak akan pernah meminta mertuanya itu untuk membayar gaji orang yang membantunya itu.
Mirah tak hentinya nyerocos menjelek-jelekkan menantunya. Belum sedikit pun ia menyendok makanan yang ada di atas piringnya karena mulutnya sibuk ngoceh.
Safira sudah kehilangan selera makannya dan hanya mengaduk-aduk makanannya sendiri. Wajahnya menjadi tak enak dipandang sedangkan Sadam masih melanjutkan makan malamnya seraya mendengarkan ocehan sang ibu.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Safira pun bangkit dan berjalan ke arah ruang tamu, membukakan pintu. Ternyata kakak ipar dan kedua keponakannya yang datang.
Safira sangat senang dengan kedatangan kakak ipar dan kedua keponakannya. Ia menyambutnya dengan senyuman dan raut wajah gembira seraya memeluk sang kakak ipar.
Istri Sadam itu langsung mempersilakan kakak iparnya masuk dan mengajaknya makan malam bersama meskipun selera makan Safira sudah hilang gara-gara mertuanya tadi.
"Ya ampun anakku, Ibu senang kau datang. Ibu rindu sekali."
Mirah bangkit dari duduknya menyambut anak pertama dan kedua cucunya. Wajahnya yang masam dan cemberut kini berubah riang. Ia memeluk erat Nala, anak pertamanya, lalu mencium pipi kedua cucunya yang masih kecil-kecil.
"Apa kabar, Mbak?" tanya Sadam, menoleh ke arah kakaknya seraya tersenyum.
"Baik, kabarmu gimana?" Nala menghampiri Sadam dan berjabat tangan.
"Baik juga, Mbak. Ayo, makan dulu," ajak Sadam.
Sementara itu berbeda dengan ibu dan kakaknya, Zafar malah tak menghiraukan kedatangan Nala. Ia bersikap tak acuh dan melanjutkan makan malamnya, hanya tersenyum kecut saat Nala menyapa adik bungsunya itu. Sudah tak aneh bagi Nala dan Sadam dengan sikap adik mereka yang selalu tidak pernah peduli karena Zafar merasa kalau sang ibu lebih menyayangi kedua kakaknya.
Zafar berdiri dan mengambil piring kotornya. Kemudian, berlalu menaruh piring tersebut di wastafel tanpa mencucinya. Ia kembali masuk ke kamar setelah makan malamnya selesai. Pemuda yang masih menimba ilmu di perguruan tinggi itu lebih suka menghabiskan waktu sendiri di dalam kamar. Sikapnya pun sangat dingin dan tak acuh.
Ia selalu merasa kalau Mirah kurang menyayangi dan tak menganggapnya.
Memang Mirah selalu membedakan apa pun antara Sadam dan Zafar. Wanita yang mempunyai tiga anak itu memang lebih menyayangi Sadam dibanding anak bungsunya, selalu Sadam yang diutamakan. Jadi, timbul kecemburuan dalam hati Zafar.
"Zafar, kakakmu baru datang malah pergi. Hey!" panggil Mirah yang tak dihiraukan anak bungsunya itu.
"Tuli kau!" cela Mirah kesal tak dipedulikan oleh Zafar.
"Sudah, Bu, biarkan saja. Mungkin Zafar sedang ingin istirahat," kata Nala mendudukkan kedua anaknya di kursi makan masing-masing.
"Anak itu memang selalu bersikap dingin sama Ibu. Ia selalu bilang kalau Ibu lebih sayang ke kalian. Padahal Ibu menyayanginya, juga." Mirah menghela napas panjang.
Mirah tak pernah sadar dengan sikapnya yang selalu mengutamakan Sadam. Ia selalu mengelak dan sudah merasa adil kepada semua anaknya.
Safira mulai melanjutkan menyantap makan malamnya. Ia teringat sang ibu yang sudah lelah memasak untuknya, hatinya terenyuh dan mulai menyuapkan makanannya. Lagi pula kedatangan kakak iparnya membuat suasana hati Safira membaik. Sementara itu Sadam sedang menikmati sepotong kue sebagai makanan penutupnya.
"Cuih, ih."
Tiba-tiba Mirah memuntahkan makanan yang baru sesendok dimasukan ke mulut. Wajahnya kembali memerah.
"Kenapa, Bu?" tanya Nala yang malah sudah menikmati makanannya.
Safira tercekat melihat makanan yang dimasak ibunya malah dimuntahkan oleh sang mertua di depan wajahnya sendiri. Ia melongo tak bisa berkata-kata, tubuhnya terpaku di kursi yang ia duduki.
"Ibumu bisa masak atau tidak, hah?" Bola mata Mirah melotot di balik kacamatanya.
Gemetar tangan Safira memasukkan sendok ke mulutnya, mencicipi masakan yang dibawa dari rumah sang ibu tadi. Lidah Safira tak merasakan ada yang aneh di makanannya.
"Kenapa, sih, Bu?" tanya Sadam yang mulai lelah dengan mulut Mirah yang selalu saja memulai pertengkaran.
"Mertuamu itu memang tak bisa masak enak, ya, Sadam," cetus Mirah. "Ayamnya ini terlalu pedas! Mau bikin Ibu sakit perut, iya, hah?" imbuh Mirah yang mengalihkan pandangan ke menantunya."Bukannya Ibu suka makan pedas. Lagi pula ini tak terlalu pedas," bela Sadam."Kau selalu saja membela perempuan ini," ketus wanita berkulit putih itu. "Lihat, Nala! Adikmu selalu tidak mempedulikan Ibu," ucapnya kepada putri pertamanya."Kalau Ibu memang tak suka masakan ibuku, tak perlu dimakan," sela Safira.Selera makannya kembali hilang, padahal sebelumnya ia sangat senang dibawakan makanan oleh ibunya sendiri. Masakan sang ibu membuat nafsu makannya bertambah, tetapi malah dihina oleh ibu dari suaminya."Diam kau!" bentak Mirah."Cukup! Cukup, Bu! Sikap Ibu terhadap Safira sudah keterlaluan, selalu saja ada hal yang dipermasalahkan. Ibu juga sudah berani menampar Safira, istri Sadam, yang selalu dijaga dengan baik. Aku, suaminya, tak pernah sedikit pun menyakiti Safira." Sontak Sadam berdiri den
Namun, Safira menolak karena masih lelah. Ia meminta waktu untuk beristirahat sejenak dan malah menyuruh mertuanya untuk minta tolong Nala yang membereskan semua karena kakak iparnya itu seharian ada di rumah."Beraninya kau menyuruh putriku!"Tangan Mirah mengayun hendak menampar kembali pipi Safira, tetapi tiba-tiba teringat Sadam dan tangannya terhenti mengambang di udara. Safira memandang lekat mata mertuanya seakan menantang. Ia yakin bahwa Mirah tak berani lagi menampar pipi mulusnya. Hati kecilnya ingin tersenyum melihat wajah sang mertua, tetapi ia tahan. "Tukang ngadu!" umpat Mirah kesal. "Ibu, sudah-sudah." Tangan Nala menarik lengan Mirah. Dada Mirah bergemuruh, kembang kempis menahan rasa kesal kepada Safira. Kalau saja bukan karena perkataan Sadam semalam, ia sudah menampar menantunya lagi lebih keras. Wanita beralis tipis itu yakin Safira akan mengadu lagi kepada putranya kalau sampai telapak tangannya itu mendarat lagi di pipi Safira."Em, Safira, aku baru saja data
"Memangnya sampai kapan Mbak Nala di sini? Tapi tadi juga ia tak mau membantuku," kata Safira memajukan bibirnya."Entahlah, mungkin satu atau dua minggu seperti biasanya."Safira menghela napas panjang. Ia berharap apa yang dikatakan Sadam betul, kakak iparnya akan membantu di rumah selama berada di sini. Satu pekan berlalu, ternyata kedatangan Nala dan kedua anaknya malah menambah beban pekerjaan di rumah untuk Safira. Tetap saja, ia yang membereskan rumah dan memasak. Belum lagi mencuci dan menyetrika baju yang kini bertambah banyak karena Safira juga yang harus mencuci dan menyetrika baju kakak ipar dan dua keponakannya. Ditambah ia harus berkali-kali membersihkan dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah Oza dan Kieran. Seharusnya Nala yang bertanggung jawab atas kedua keponakannya itu. Safira tak menyalahkan Oza dan Kieran yang masih lucu karena memang kedua anak itu butuh bermain.Selama seminggu ini pula ia merengek dan mengeluh kepada suaminya untuk menegur Nala dan
Setelah membeli semua bahan makanan yang dibutuhkan Mirah, Sadam mengajak Safira untuk sarapan dulu. Namun, sang istri menolak. Ia tak ingin kejadian waktu itu terulang lagi. Gara-gara ia meminta Sadam membelikan lontong sayur untuk sarapan malah dimarahi oleh mertuanya."Ayolah, aku mau makan ketoprak mumpung kita lagi di pasar, banyak jajanan," rayu Sadam."Baiklah, tapi bungkuskan juga buat orang rumah, ya, Mas." Akhirnya, Safira menyerah juga dengan permintaan sang suami.Memang jarang juga mereka makan di luar berdua. Bukan tak ingin, tetapi Safira selalu memikirkan kebutuhan di rumah dulu. Selain itu, kalau mereka berdua tak makan di rumah dan mengatakan sudah makan di luar, Mirah selalu bilang kalau itu pemborosan."Iya, nanti minta dibungkus buat orang rumah," ucap Sadam.Selesai menyantap ketoprak, Sadam dan Safira langsung menuju arah pulang. Kedua tangan Safira menenteng beberapa kantung plastik yang cukup berat. "Dari pasar saja lama banget," ketus Mirah sudah berdiri di
Sekitar pukul sepuluh teman-teman Mirah mulai berdatangan. Hampir semua teman ibu mertuanya itu berpenampilan seperti Mirah. Pantaslah kalau sang mertua cukup sombong karena memang pergaulannya pun dengan ibu-ibu sosialita. "Kenalin, ini anak pertama saya, Nala," ucap Mirah merangkul anak pertamanya, memperkenalkan pada teman-temannya sebelum mulai acara. Safira sedang merapikan hidangan di atas meja panjang. Ia terihat sangat kelelahan dan pucat karena belum mengisi perutnya sama sekali. "Itu siapa, Jeng?" tanya wanita seumuran Mirah yang lengannya dipenuhi benda berkilau. "Oh, itu istri anak laki-laki saya," ketus Mirah."Oh, yang waktu itu ketemu di kantor, ya?" cetus ibu-ibu lain yang waktu itu ikut mengejek Safira di halaman kantor dan ternyata bernama Dahlia."Iya, Jeng. Sudah jangan urusi menantu saya yang tidak tahu diri itu. Bisanya cuma menghabiskan uang suami saja untuk membeli barang tak penting. Ia juga istri pemalas!" cerocos Mirah kesal. Sekitar tujuh orang ibu-ibu
Wajah putih Safira berubah merah padam, menahan amarah yang terus membara dalam dadanya. Ia menatap tajam wajah Mirah yang juga menegang dengan rahang mengeras. Tak mau terjadi keributan Safira memilih membalik badan dan berjalan ke kamarnya, lalu membanting pintu. Ia tak menghiraukan selusin sendok yang berantakan karena dibantingnya hingga mengenai beberapa piring yang ditumpuk.“Menantu kurang ajar!” geram Mirah menyusul Safira.Semua orang yang hadir bergeming menyaksikan pertarungan Mirah dan menantunya, lalu, beberapa di antara mereka ada yang saling berbisik membicarakan hal yang baru saja terjadi.“Ibu! Sudah, Bu! Biar nanti aku yang bereskan,” cegah Nala menarik lengan sang ibu.“Tidak bisa, Nala, perempuan itu sudah sangat kurang ajar dan tidak sopan di depan teman-teman Ibu, bikin malu saja!” kesal Mirah, dadanya kembang kempis dan melanjutkan kembali mengejar sang menantu.Safira tak mengindahkan suara sang ibu mertua yang terdengar melengking terus memanggil dirinya ser
Sadam meminta Mirah untuk membicarakannya baik-baik. Kali ini ia cukup marah dengan sikap sang ibu pada istrinya. Namun, Mirah selalu saja membuat Sadam kalah dengan dalih seorang anak harus berbakti pada ibunya.“Cepat!” bentak Mirah pada Safira.Ia berlalu dari kamar anak dan menantunya, kembali bergabung bersama teman-temannya dengan raut wajah masih terlihat tidak enak dipandang. “Ibu apa-apaan, sih? Malu dilihatin yang lain,” bisik Nala, mendekatkan bibir ke kuping Mirah.“Sst,” balas Mirah, melirik anak sulungya.“Maaf, ya, semuanya. Kalian jadi menyaksikan kejadian yang tidak enak di rumah saya,” ungkap Mirah dengan senyum palsunya.Beberapa orang yang hadir masih saling berbisik, tetapi tidak dengan teman-teman dekat Mirah yang tersenyum dan mendukung aksinya memperlakukan Safira dengan kasar. Sementara itu Sadam menghampiri Safira yang masih duduk sembari terisak. Lagi-lagi ia meminta maaf atas perbuatan ibunya pada Safira. “Aku sudah tak tahan tinggal di sini, Mas,” ungka
“Tapi, Bu, Safira istri Sadam. Ia harus ikut, dong,” bantah Sadam.Menurutnya kalau Mirah ingin mengenalkan dirinya pada orang, Safira pun harus ikut dikenalkan karena mereka adalah sepasang suami istri. Namun, Mirah tak mengizinkan Safira berada di tengah-tengah tamu yang hadir. Selain kejadian tadi yang membuat amarah Mirah tersulut, menurutnya Safira tidak pantas berada di tengah orang-orang kaya dan terhormat. Malahan wanita yang lebih sering menggunakan gincu merah merona di bibirnya itu merasa malu punya menantu seperti Safira.Sepeninggal sang ibu, Sadam menghela napas kasar. Ia merasa malas menuruti permintaan ibunya itu. Selain masih kesal dengan perlakuan sang ibu pada istrinya, Sadam juga merasa tidak enak dengan Safira. “Ibu itu aneh-aneh saja,” keluh Sadam, mengusap wajah dengan telapak tangannya.“Sudah turuti saja, Mas. Mungkin Ibu ingin mengenalkanmu pada temannya karena ada maksud lain,” cetus Safira bersandar ke ujung tempat tidur.“Tujuan apa?” Sadam mulai memilih-
Zafar menyelinap pergi dari rumah malam-malam. Sebenarnya ia pergi siang pun, yakin tak ada yang akan melarangnya. Semua orang di rumah sudah menganggapnya tak ada. Mereka tidak peduli lagi pada Zafar. Laki-laki itu tersenyum getir menoleh ke rumah yang akan ditinggalkannya. Ia tak akan pernah menyesal angkat kaki dari rumah bagai neraka baginya itu. Percuma tinggal di rumah yang sama sekali tidak menganggapnya ada. Percuma ada di tengah-tengah keluarga yang sama sekali tidak pernah peduli tentangnya. Teringat pada mendiang ayahnya, Zafar yakin ayahnya sedih melihat keluarga mereka yang berantakan seperti ini. Laki-laki itu berpikir semua karena keegoisan sang ibu. Zafar bertekad tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Mirah. Ia tidak ingin kembali ke rumah itu apa pun alasannya. Muak sudah Zafar bertahan selama ini. Awalnya ada Safira dan Sadam yang peduli padanya meskipun ia kesal pada kakaknya itu. Namun, setidaknya kehadiran Zafar masih ada yang menganggap. Setelah rum
Hati Zafar memang sangat kecewa dan marah pada Safira meskipun ia tahu keputusan Safira itu adalah yang terbaik. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia senang bisa bertemu dengan mantan kakak iparnya itu. Selama ini ia merasa yang peduli padanya hanyalah Safira dan Sadam. Namun, dengan semua hal yang terjadi waktu itu menyebabkan Safira harus angkat kaki dari rumah Mirah dan membuat Zafar merasa tidak ada lagi yang mempedulikannya. Apalagi setelah Sadam menikah dengan Ayunda dan ternyata semua jadi kacau. Sadam seolah lupa kalau ia memiliki seorang adik. Kakaknya itu sibuk dengan tingkah sang istri dan keadaan rumah yang sudah tidak seperti dulu lagi."Keadaan rumah kacau. Aku tak tahan lagi tinggal di rumah yang setiap hari selalu saja dipenuhi keributan sampai-sampai ibu dan kakak-kakakku lupa akan kehadiranku di rumah itu," tutur Zafar. Tatapan matanya fokus ke depan seolah sedang kembali ke rumah yang menurutnya sudah sangat tidak layak disebut rumah. Zafar menginginkan rum
"Zafar," ucap Safira setengah berbisik.Ia tidak menyangka akan bertemu adik dari mantan suaminya setelah dua tahun berlalu. Yang membuat Safira sangat kaget adalah keadaan anak itu seperti tidak terurus dan sedang mengamen. Ia pun segera mendekati Zafar untuk memastikan kalau matanya tidak salah lihat.Tidak sengaja anak bungsu Mirah itu menoleh dan langsung terkejut saat seorang wanita yang dikenalnya sedang melangkah mendekat dan jarak keduanya bahkan kini sudah sangat dekat.Dengan tergesa Zafar pun segera melangkah pergi, menghindar dari mantan istri kakaknya itu. Tentu saja teman yang sedang bersama Zafar ikut terkejut karena orang yang sedang mengiringinya bernyanyi berhenti tiba-tiba dan pergi begitu saja."Loh, Zafar," panggil temannya seraya mengejar."Zafar, Zafar, tunggu!" panggil Safira yang juga ikut mengejar bersamaan dengan teman Zafar.Safira berjalan agak cepat bahkan hampir berlari kecil. Awalnya ia hanya ingin memastikan kalau orang yang dilihatnya memang adik dari
Sungguh sangat sakit menerima kenyatan pahit ini. Pernikahannya dengan laki-laki yang sangat dicintainya kini harus berakhir. Kapal rumah tangganya yang dijaga sepenuh hati ternyata harus karam di tengah laut kehidupan sebelum mencapai tujuan terakhirnya.Tak bisa dipungkiri dan dibohongi, hati perempuan berparas cantik itu sangat bersedih dan hancur. Ia benar-benar tidak menyangka kalau rumah tangga yang dianggapnya harmonis dan baik-baik saja, harus hancur seketika. Air matanya mengalir cukup deras sesaat setelah menerima akta cerai dari pengdilan agama. Statusnya kini sudah jelas dan sah menjadi seorang janda. Tidak pernah terbayang dan terpikir kalau pada akhirnya ia akan menyandang status janda. Tidak pernah sekali pun terbesit di dalam kepalanya untuk berpisah dengan Sadam apapun ujian rumah tangga yang akan mereka hadapi selama Sadam masih membela dan terus berada di sampingnya. Namun, takdir berkata lain. Tuhan mengatakan kalau ia dan Sadam memang sudah harus berakhir.Safira
Tak ada satu pun yang mengetahui kalau Arif sudah menemui Sadam. Ia sengaja tidak memberitahu Aini apalagi Safira. Arif hanya ingin meluapkan amarahnya pada sang menantu yang sudah berani melanggar janji saat menikahi anaknya. Sebenarnya ia sama sekali tidak puas, tetapi Arif menahan emosi karena Safira memintanya agar tidak lagi berurusan dengan keluarga Sadam. Arif pun menyetujui itu, tetapi dengan syarat Safira harus bangkit, melupakan laki-laki pengecut seperti Sadam. Ia tidak bisa melihat anaknya terus terpuruk dalam kesedihan. Pagi yang sangat cerah Safira sudah mengenakan pakaian dengan rapi. Ia merias wajahnya agar terlihat lebih fresh. Jujur saja, wajah Safira terlihat seperti orang yang sedang sakit. Bagai bunga yang sudah layu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.Setelah beberapa hari mengurung diri, Safira memutuskan untuk ke kantor. Bukan lagi untuk bekerja seperti biasanya, tetapi ia sudah menyiapkan berkas pengunduran dirinya. Ia harus melepaskan
"Bagaimana, Bu?" tanya Arif.Safira yang baru saja tiba di rumah lekas masuk ke kamar tanpa berkata apa pun lagi. Wajahnya sudah dibasahi dengan air mata sejak perjalanan menuju rumah tadi bersama Aini. "Mirah dan Sadam benar-benar keterlaluan, Pak! Tidak punya hati mereka itu!" geram Aini.Aini menahan sang suami yang mau menemui anaknya di kamar. Ia meminta Arif untuk memberik waktu pada Safira. Ibu dari Safira itu menceritakan semua yang terjadi di pernikahan Sadam. Cukup puas karena Safira berhasil mempermalukan Sadam dan juga Mirah. Ia tak banyak membantu karena memang sudah diwanti-wanti anaknya untuk mendampingi saja. "Laki-laki pengecut!" umpat Arif kesal pada sang menantu.Setidaknya kini semua sudah jelas hubungan antara Safira dan Sadam. Perempuan yang merasa sudah dikhianati itu tidak akan mau bersama Sadam lagi meskipun hati kecilnya berat untuk berpisah, tetapi Sadam sudah membuat luka yang teramat besar. Dan itu tidak bisa dimaafkan begitu saja.Tiga hari berlalu Saf
Setelah pesta pernikahan selesai Dahlia memanggil Mirah. Ia ingin bicara dengan besan barunya itu tentang sikap Mirah tadi yang sangat memalukan. Dahlia pun mengajak Mirah duduk bersama di halaman belakang sambil menikmati secangkir teh hangat."Aku sangat keberatan dengan sikapmu tadi, Jeng! Sangat memalukan!" Kedua tangan Dahlia memegang cangkir teh yang ada di atas meja.Mirah menghela napas panjang, kepalanya yang tertunduk diangkatnya dan melirik teman sekaligus ibu dari menantu barunya. Setelah dipikir-pikir memang sikap merah sangat keterlaluan dan memalukan, tetapi ia tidak bisa menahannya lagi. Semua dilakukan karena dendam dan marahnya pada Safira. Ia tidak terima diperlakukan seperti tadi oleh perempuan yang dianggapnya sampai itu."Aku minta maaf, Jeng, atas apa yang terjadi tadi, tapi semua itu karena aku sangat marah pada perempuan sampai itu," ungkap Mirah, memicingkan matanya saat teringat lagi pada Safira. Ia juga tidak akan marah dan lepas kontrol kalau Safira tida
Mirah merasa sangat dipermalukan oleh Safira dan Aini di acara pesta pernikahan anaknya sendiri. Wajahnya benar-benar berubah merah padam, Mirah merasa risih mendapatkan tatapan aneh dari beberapa tamu undangan. "Pergi kalian dari sini!" usir Mirah sekali lagi seraya membulatkan matanya. "Sudah, Bu, sudah! Biar Sadam bicara dulu dengan Safira." Pria bertubuh atletis itu melerai sang ibu yang dibakar api kemarahan.Namun, tentu saja Mirah melarang keras putranya berhubungan lagi dengan Safira. Kini tempat Safira sudah digantikan oleh Ayunda, sang menantu kesayangan. "Sadam hanya ingin menyelesaikan semuanya secara baik, Bu."Ada rasa bersalah dan tidak enak dalam hati kecil Sadam. Saat matanya menatap wajah Safira, ia merasa sangat bersalah telah menyakiti istrinya dengan cara seperti ini. Ingin sekali Sadam meminta maaf pada Safira, tetapi memang Mirah sama sekali tidak mengizinkannya."Diam! Perempuan ini tidak penting lagi bagi kita, Sadam!" bentak Mirah. Sadam pun menurut saja
“Safira!” Sadam sangat terkejut dengan kedatangan sang istri dan juga ibu mertuanya. Ia juga tercengang dengan permintaan Safira yang ingin bercerai dengannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan Safira, perempuan yang sangat dicintainya. Namun, ia juga mulai mencintai Ayunda dan baru saja sah menjadi suami istri. Tak mungkin ia menceraikan Ayunda. Sungguh sangat bimbang hati Sadam yang menginginkan kedua perempuan yang sekarang berada bersamanya. Sadam berubah menjadi sangat egois dan serakah!“Selama ini aku menunggumu! Tapi ternyata kau memang tak punya itikad baik untuk memperbaiki rumah tangga kita dan malah terlena dengan perempuan hina ini,” teriak Safira kesal.Tak ada air mata yang keluar hari ini. Hati Safira dipenuhi dendam dan amarah yang berkobar. Ia tidak ingin menjadi perempuan lemah di depan Sadam dan keluarganya, apalagi di hadapan sang mertua yang selama ini sudah memanfaatkan apa pun dari dirinya.Tiba-tiba Ayunda maju mendekati Safira dan melayangkan tangannya untuk