Di halaman belakang rumah Zafar sedang duduk memandangi kolam ikan seraya memeluk gitar kesayangannya. Sesekali anak bungsu Mirah itu menyesap kopi hitam dalam gelas kaca yang diletakkan di atas meja di sebalahnya.Ia kurang suka dengan acara-acara yang mengundang banyak orang seperti yang diadakan ibunya hari ini. Sebenarnya ia ingin keluar rumah saja, nongkrong bersama teman-teman di kafe, tetapi uang jajannya sudah menipis dan Mirah tak akan memberikan uang jajan tambahan sampai awal bulan selanjutnya. Ya, Zafar menerima uang jajan sebulan sekali dari sang ibu dan itu harus cukup sampai bulan berikutnya. Tak banyak yang diberikan Mirah pada Zafar hanya satu juta setiap bulannnya meskipun memang hanya untuk bekal sehari-hari dan membeli bensin, tetapi sikap sang ibu yang selalu pilih kasih dan membandingkan dirinya dengan sang kakak menumbuhkan sifat iri dan benci dalam diri Zafar.Semua kebutuhan pemuda berambut sebahu itu memang sudah diurus Mirah, tetapi setiap ia mengungkapkan k
Safira hanya menghela napas ditinggal begitu saja oleh Zafar. Ia hanya merasa kasihan pada adik iparnya, tak bermaksud apa pun. Ia juga tidak merasa sok baik karena selama ini tak pernah mengusik hidup zafar. Pernah beberapa kali menawarkan bantuan pada Zafar seperti jika kekurangan uang jajan boleh minta padanya, tetapi Zafar selalu bersikap dingin dan terkadang sama saja seperti Mirah, malah menghinanya. Namun, Safira memaklumi karena ia tahu Zafar merasa cemburu pada Sadam dengan perlakuan sang ibu yang berbeda.Perempuan berkulit putih itu hanya merasa haus. Setelah meneguk segelas air mineral, ia kembali ke kamarnya. Berdiam diri sesuai perintah sang ratu di rumah itu, tetapi ia sambil menunggu saat semua tamu dipersilakan untuk menikmati hidangan. Sementara itu di ruang tengah Mirah masih berbincang bersama teman-temannya. Ia juga memperkenalkan Sadam pada sahabatnya, Dahlia. “Aku tidak akan nolak, kok, Jeng, kalau kita jadi besanan,” kikik Dahlia mengipasi wajahnya dengan ki
Mirah membiarkan anak keduanya masuk ke kamar, ia tak mengejar lagi putranya itu meskipun hatinya sangat kesal. Untuk saat ini teman-temannya lebih penting, masalah dengan sadam bisa diurus setelah acara selesai. Wanita tua itu kembali bergabung bersama yang lain.“Aduh, Jeng, saya minta maaf dengan sikap Sadam,” ucap Mirah pada sahabatnya, Dahlia.Dahlia masih memasang wajah judesnya, kesal karena merasa dipermalukan di depan yang lain oleh Sadam. “Maafkan adik saya, Tante. Sadam memang seperti itu kalau belum kenal dengan orang.” Nala mencoba membantu Mirah membujuk Dahlia.“Kita kenalkan dulu Ayunda dengan Sadam. Kalau sudah berkenalan pasti Sadam tidak akan bisa menolak,” bujuk Mirah.“Ya sudah, nanti kita kenalkan mereka,” jawab Dahlia meski hatinya masih kesal.Mirah dan Nala pun saling pandang seraya tersenyum. Mirah lega akhirnya Dahlia mulai memudarkan raut wajah kesalnya dan kembali berbincang dengan yang lain seraya menikmati kue yang dihidangkan.“Oh iya, Jeng, waktu itu
Acara arisan yang diadakan di rumah Mirah berlangsung tanpa menikmati makan siang yang disiapkan. Teman-teman Mirah keburu kehilangan selera makan karena sup iga buatan Mirah yang sangat asin. Padahal masih ada menu lain yang dihidangkan. Namun, mereka lebih memilih menikmati kue, buah dan minuman.Sang tuan rumah memasang wajah kecut dengan senyum yang dipaksakan. Ia sangat malu diejek oleh teman-temannya karena sup iga yang dibuatnya. Amarah dalam hatinya sudah berkobar, tetapi ditahan karena tamunya belum bubar. “Perempuan itu sudah mempermalukan Ibu, Nala,” bisik Mirah pada anak sulungnya.“Sabar, Bu, masih banyak orang,” balas ibu dua anak itu.Sekitar pukul tiga sore semua teman-teman Mirah mulai berpamitan meninggalkan kediaman ibu Sadam. Mereka berterima kasih atas jamuannya dan beberapa di antaranya masih saja ada yang meledek Mirah, membuat wanita itu menjadi sangat kesal.“Nala, bawa anak-anakmu ke atas!” titah Mirah pada Nala.“Iya, Bu.” Wanita pemilik badan berisi itu s
Mirah tak bisa membendung amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun. Menurutnya gara-gara Safira ia diejek teman-temannya dan itu membuat dirinya merasa sangat malu. Ibu tiga anak itu terus memaksa sang menantu untuk meminum kuah supnya. Tangannya terus mendorong mangkuk ke mulut Safira sampai kuah sup berjatuhan dan Safira gelagapan. Hidung mancung istri Sadam itu terasa sangat sakit kemasukan kuah sup yang sangat asin. Ia pun susah untuk bernapas karena ibu mertuanya tak henti mencekokinya dengan kuah sup. Rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan berambut sepinggang itu tak dipedulikan oleh Mirah. Kedua tangan Safira mencoba melepaskan tangan Mirah, tetapi sang merrtua sangat kuat. Perlahan air mata turun dari kedua ujung mata Safira.Tanpa peduli Mirah terus meluapkan kemarahannya pada Safira. Hatinya belum puas melihat sang menantu kesakitan. Napas Mirah memburu dengan dada yang kembang kempis. Ia tak menghentikan aksinya menyiksa istri Sadam.“Hentikan!” teriak Sadam.Tangan gaga
Sore itu Safira membereskan rumah yang cukup berantakan setelah acara arisan mertua dan teman-temannya. Perempuan berambut yang dicat cokelat itu tidak mengira kalau Mirah akan berbuat setega itu hanya karena sup iga yang asin. Ia akui perbuatannya memang salah, tetapi Safira hanya membalas rasa sakit hatinya karena lebih sering direndahkan di depan orang lain oleh ibu mertuanya.Istri Sadam itu menghela napas berat, menghapus air mata yang mengalir di pipi menggunakan telapak tangannya. Suara gedoran pintu kamar yang disebabkan suaminya memenuhi rongga telinga Safira. Ia tak bisa membukakan pintu kamar itu karena kuncinya dibawa Mirah. Safira ditinggalkan sendiri di bawah dan diberi waktu tiga puluh menit untuk membereskan semuanya. Tanpa membuang waktu ia mulai membereskan sampah yang menumpuk di meja. Tisu, kulit pisang, kertas kue, bungkus permen, bekas air mineral menumpuk di atas meja bekas teman-teman mertuanya tadi. Safira memunguti dan memasukannya ke dalam plastik hitam. T
“Ayo, kemasi baju-baju kita ke dalam koper,” ucap Sadam tiba-tiba saat masuk ke kamar sekaligus membuat istrinya kaget.“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Safira masih mematung saat Sadam menurunkan koper dari atas lemari baju mereka.“Kita keluar dari rumah ini,” cetus pria berdada bidang itu.Safira malah celingak-celinguk tak percaya dengan ucapan suaminya karena selama ini ia minta tinggal berpisah dengan Mirah justru suaminya selalu menuruti kemauan ibu mertuanya agar tetap tinggal di sana dengan alasan anak laki-laki harus berbakti padanya dan juga pesan suaminya kalau Sadam harus menjaga Mirah.“Safira, ayo, cepat bereskan bajunya!” pinta sang suami.“Eh, i-iya, Mas,” gugup Safira.Tak bisa dibohongi hatinya sangat senang dengan keputusan Sadam. Akhirnya, ia bisa keluar juga dari rumah itu bersama sang suami. Perempuan berkulit seputih porselen itu segera mengemasi baju-baju suami dan dirinya ke dalam koper. Tak butuh waktu lama, mereka berdua telah selesai mengemasinya.Sadam menu
Sekitar sepuluh menit dalam perjalanan Safira dan Sadam masih saling diam. Tak ada satu pun yang berbicara. Safira memandang keluar jendela mobil, lampu-lampu yang mulai menyala menghiasi sepanjang jalan. Ia tersenyum melihat indahnya cahaya lampu menghiasi langit yang mulai gelap.“Kita cari hotel dulu, ya,” kata Sadam tanpa memandang sang istri.Safira tak menjawab, tiba-tiba ia berpikir untuk menginap di rumah orang tuanya saja. Lalu menyampaikan itu pada Sadam, tetapi tentu saja mereka sepakat tidak akan mengatakan kejadian dengan Mirah tadi.“Baiklah, kalau begitu kita menginap di rumah ibu dan bapakmu untuk malam ini,” kata Sadam melirik sang istri yang duduk di sebelahnya.Hati Safira sangat senang akan menginap di rumah kedua orang tuanya yang selama ini selalu diidamkannya. Ia sangat merindukan suasana di rumah tersebut.“Kenapa kau memutuskan untuk keluar dari rumah, Mas?” tanya Safira ingin tahu.Sebenarnya sejak tadi ia bertanya-tanya dan penasaran mengapa Sadam bisa memut
Zafar menyelinap pergi dari rumah malam-malam. Sebenarnya ia pergi siang pun, yakin tak ada yang akan melarangnya. Semua orang di rumah sudah menganggapnya tak ada. Mereka tidak peduli lagi pada Zafar. Laki-laki itu tersenyum getir menoleh ke rumah yang akan ditinggalkannya. Ia tak akan pernah menyesal angkat kaki dari rumah bagai neraka baginya itu. Percuma tinggal di rumah yang sama sekali tidak menganggapnya ada. Percuma ada di tengah-tengah keluarga yang sama sekali tidak pernah peduli tentangnya. Teringat pada mendiang ayahnya, Zafar yakin ayahnya sedih melihat keluarga mereka yang berantakan seperti ini. Laki-laki itu berpikir semua karena keegoisan sang ibu. Zafar bertekad tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah Mirah. Ia tidak ingin kembali ke rumah itu apa pun alasannya. Muak sudah Zafar bertahan selama ini. Awalnya ada Safira dan Sadam yang peduli padanya meskipun ia kesal pada kakaknya itu. Namun, setidaknya kehadiran Zafar masih ada yang menganggap. Setelah rum
Hati Zafar memang sangat kecewa dan marah pada Safira meskipun ia tahu keputusan Safira itu adalah yang terbaik. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia senang bisa bertemu dengan mantan kakak iparnya itu. Selama ini ia merasa yang peduli padanya hanyalah Safira dan Sadam. Namun, dengan semua hal yang terjadi waktu itu menyebabkan Safira harus angkat kaki dari rumah Mirah dan membuat Zafar merasa tidak ada lagi yang mempedulikannya. Apalagi setelah Sadam menikah dengan Ayunda dan ternyata semua jadi kacau. Sadam seolah lupa kalau ia memiliki seorang adik. Kakaknya itu sibuk dengan tingkah sang istri dan keadaan rumah yang sudah tidak seperti dulu lagi."Keadaan rumah kacau. Aku tak tahan lagi tinggal di rumah yang setiap hari selalu saja dipenuhi keributan sampai-sampai ibu dan kakak-kakakku lupa akan kehadiranku di rumah itu," tutur Zafar. Tatapan matanya fokus ke depan seolah sedang kembali ke rumah yang menurutnya sudah sangat tidak layak disebut rumah. Zafar menginginkan rum
"Zafar," ucap Safira setengah berbisik.Ia tidak menyangka akan bertemu adik dari mantan suaminya setelah dua tahun berlalu. Yang membuat Safira sangat kaget adalah keadaan anak itu seperti tidak terurus dan sedang mengamen. Ia pun segera mendekati Zafar untuk memastikan kalau matanya tidak salah lihat.Tidak sengaja anak bungsu Mirah itu menoleh dan langsung terkejut saat seorang wanita yang dikenalnya sedang melangkah mendekat dan jarak keduanya bahkan kini sudah sangat dekat.Dengan tergesa Zafar pun segera melangkah pergi, menghindar dari mantan istri kakaknya itu. Tentu saja teman yang sedang bersama Zafar ikut terkejut karena orang yang sedang mengiringinya bernyanyi berhenti tiba-tiba dan pergi begitu saja."Loh, Zafar," panggil temannya seraya mengejar."Zafar, Zafar, tunggu!" panggil Safira yang juga ikut mengejar bersamaan dengan teman Zafar.Safira berjalan agak cepat bahkan hampir berlari kecil. Awalnya ia hanya ingin memastikan kalau orang yang dilihatnya memang adik dari
Sungguh sangat sakit menerima kenyatan pahit ini. Pernikahannya dengan laki-laki yang sangat dicintainya kini harus berakhir. Kapal rumah tangganya yang dijaga sepenuh hati ternyata harus karam di tengah laut kehidupan sebelum mencapai tujuan terakhirnya.Tak bisa dipungkiri dan dibohongi, hati perempuan berparas cantik itu sangat bersedih dan hancur. Ia benar-benar tidak menyangka kalau rumah tangga yang dianggapnya harmonis dan baik-baik saja, harus hancur seketika. Air matanya mengalir cukup deras sesaat setelah menerima akta cerai dari pengdilan agama. Statusnya kini sudah jelas dan sah menjadi seorang janda. Tidak pernah terbayang dan terpikir kalau pada akhirnya ia akan menyandang status janda. Tidak pernah sekali pun terbesit di dalam kepalanya untuk berpisah dengan Sadam apapun ujian rumah tangga yang akan mereka hadapi selama Sadam masih membela dan terus berada di sampingnya. Namun, takdir berkata lain. Tuhan mengatakan kalau ia dan Sadam memang sudah harus berakhir.Safira
Tak ada satu pun yang mengetahui kalau Arif sudah menemui Sadam. Ia sengaja tidak memberitahu Aini apalagi Safira. Arif hanya ingin meluapkan amarahnya pada sang menantu yang sudah berani melanggar janji saat menikahi anaknya. Sebenarnya ia sama sekali tidak puas, tetapi Arif menahan emosi karena Safira memintanya agar tidak lagi berurusan dengan keluarga Sadam. Arif pun menyetujui itu, tetapi dengan syarat Safira harus bangkit, melupakan laki-laki pengecut seperti Sadam. Ia tidak bisa melihat anaknya terus terpuruk dalam kesedihan. Pagi yang sangat cerah Safira sudah mengenakan pakaian dengan rapi. Ia merias wajahnya agar terlihat lebih fresh. Jujur saja, wajah Safira terlihat seperti orang yang sedang sakit. Bagai bunga yang sudah layu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.Setelah beberapa hari mengurung diri, Safira memutuskan untuk ke kantor. Bukan lagi untuk bekerja seperti biasanya, tetapi ia sudah menyiapkan berkas pengunduran dirinya. Ia harus melepaskan
"Bagaimana, Bu?" tanya Arif.Safira yang baru saja tiba di rumah lekas masuk ke kamar tanpa berkata apa pun lagi. Wajahnya sudah dibasahi dengan air mata sejak perjalanan menuju rumah tadi bersama Aini. "Mirah dan Sadam benar-benar keterlaluan, Pak! Tidak punya hati mereka itu!" geram Aini.Aini menahan sang suami yang mau menemui anaknya di kamar. Ia meminta Arif untuk memberik waktu pada Safira. Ibu dari Safira itu menceritakan semua yang terjadi di pernikahan Sadam. Cukup puas karena Safira berhasil mempermalukan Sadam dan juga Mirah. Ia tak banyak membantu karena memang sudah diwanti-wanti anaknya untuk mendampingi saja. "Laki-laki pengecut!" umpat Arif kesal pada sang menantu.Setidaknya kini semua sudah jelas hubungan antara Safira dan Sadam. Perempuan yang merasa sudah dikhianati itu tidak akan mau bersama Sadam lagi meskipun hati kecilnya berat untuk berpisah, tetapi Sadam sudah membuat luka yang teramat besar. Dan itu tidak bisa dimaafkan begitu saja.Tiga hari berlalu Saf
Setelah pesta pernikahan selesai Dahlia memanggil Mirah. Ia ingin bicara dengan besan barunya itu tentang sikap Mirah tadi yang sangat memalukan. Dahlia pun mengajak Mirah duduk bersama di halaman belakang sambil menikmati secangkir teh hangat."Aku sangat keberatan dengan sikapmu tadi, Jeng! Sangat memalukan!" Kedua tangan Dahlia memegang cangkir teh yang ada di atas meja.Mirah menghela napas panjang, kepalanya yang tertunduk diangkatnya dan melirik teman sekaligus ibu dari menantu barunya. Setelah dipikir-pikir memang sikap merah sangat keterlaluan dan memalukan, tetapi ia tidak bisa menahannya lagi. Semua dilakukan karena dendam dan marahnya pada Safira. Ia tidak terima diperlakukan seperti tadi oleh perempuan yang dianggapnya sampai itu."Aku minta maaf, Jeng, atas apa yang terjadi tadi, tapi semua itu karena aku sangat marah pada perempuan sampai itu," ungkap Mirah, memicingkan matanya saat teringat lagi pada Safira. Ia juga tidak akan marah dan lepas kontrol kalau Safira tida
Mirah merasa sangat dipermalukan oleh Safira dan Aini di acara pesta pernikahan anaknya sendiri. Wajahnya benar-benar berubah merah padam, Mirah merasa risih mendapatkan tatapan aneh dari beberapa tamu undangan. "Pergi kalian dari sini!" usir Mirah sekali lagi seraya membulatkan matanya. "Sudah, Bu, sudah! Biar Sadam bicara dulu dengan Safira." Pria bertubuh atletis itu melerai sang ibu yang dibakar api kemarahan.Namun, tentu saja Mirah melarang keras putranya berhubungan lagi dengan Safira. Kini tempat Safira sudah digantikan oleh Ayunda, sang menantu kesayangan. "Sadam hanya ingin menyelesaikan semuanya secara baik, Bu."Ada rasa bersalah dan tidak enak dalam hati kecil Sadam. Saat matanya menatap wajah Safira, ia merasa sangat bersalah telah menyakiti istrinya dengan cara seperti ini. Ingin sekali Sadam meminta maaf pada Safira, tetapi memang Mirah sama sekali tidak mengizinkannya."Diam! Perempuan ini tidak penting lagi bagi kita, Sadam!" bentak Mirah. Sadam pun menurut saja
“Safira!” Sadam sangat terkejut dengan kedatangan sang istri dan juga ibu mertuanya. Ia juga tercengang dengan permintaan Safira yang ingin bercerai dengannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan Safira, perempuan yang sangat dicintainya. Namun, ia juga mulai mencintai Ayunda dan baru saja sah menjadi suami istri. Tak mungkin ia menceraikan Ayunda. Sungguh sangat bimbang hati Sadam yang menginginkan kedua perempuan yang sekarang berada bersamanya. Sadam berubah menjadi sangat egois dan serakah!“Selama ini aku menunggumu! Tapi ternyata kau memang tak punya itikad baik untuk memperbaiki rumah tangga kita dan malah terlena dengan perempuan hina ini,” teriak Safira kesal.Tak ada air mata yang keluar hari ini. Hati Safira dipenuhi dendam dan amarah yang berkobar. Ia tidak ingin menjadi perempuan lemah di depan Sadam dan keluarganya, apalagi di hadapan sang mertua yang selama ini sudah memanfaatkan apa pun dari dirinya.Tiba-tiba Ayunda maju mendekati Safira dan melayangkan tangannya untuk