Yang mau baca lebih cepat bisa ke Karyakarsa ya, karena di sana udah tamat :)
Aku baru saja keluar dari ruangan Mbak Dela ketika berpapasan dengan Bu Nadia di dekat ruang meeting. Tanpa senyum basa-basi, pimpinan redaksi Gayatri itu memanggilku untuk menghadap ke ruangannya."Siang, Bu," sapaku saat menguak pintu ruangannya yang memang tak pernah tertutup rapat."Duduk, Mel." Tanpa menoleh, Bu Nadia mengendikkan dagu mengarah pada kursi empuk di depan meja kerjanya.Aku menurut patuh. "Iya, Bu.""Saya pikir, delapan tahun menjadi bagian Gayatri sudah mendewasakanmu, Meli. Ternyata dugaan saya salah selama ini." Bu Nadia langsung mengulurkan map berisi surat pengunduran diriku yang sudah disetujui Mbak Dela.Aku tak langsung menyahut kalimatnya, karena perempuan cantik bersurai panjang itu nampak akan melanjutkan wejangannya."Ini serius?"Aku mengangguk mantap. "Delapan tahun rasanya sudah sangat cukup bagi saya untuk menambah wawasan dan ikut berproses di Gayatri. Sudah waktunya saya istirahat dan bergulat dengan situasi baru yang lebih segar di luar sana," ja
“Abang sengaja kan?” aku melirik bergantian pada Nando dan Bang Fino yang kini duduk di sofa sebelahku.“Sengaja apanya?” Bang Fino menyesap pelan kopi dalam kaleng yang aku suguhkan padanya.Aku mengendik ke arah Nando yang sudah terlelap dengan mulut sedikit menganga di atas pangkuanku. Lucunya anak kecil. “Ngajak Nando ke sini biar bisa berlama-lama,” ketusku dengan suara pelan. Aku tak tega melihat wajah pulas Nando, jadi aku tak ingin membangunkan mimpinya juga.Bang Fino malah menyengir lebar mendengar tuduhanku. “Kalau kamu menganggap seperti itu, aku nggak keberatan sama sekali sih,” balas Bang Fino mengangkat kedua pundak.“Bang,” pekikku tertahan.“Hmmm…” Bang Fino malah tersenyum tipis ketika melirikku.“Pindahin nih,” pintaku kesal.Masa iya kurang jelas juga sih permintaanku? Ini anaknya ketiduran di pangkuanku loh, kenapa Bang Fino malah terlihat menikmati pemandangan aneh ini sih? Padahal saat ini aku tak begitu akrab dengan ibu kandung Nando, jadi tetap saja terasa ane
"Mel, sini lo sini," panggil Anin histeris lantas langsung menarik pergelangan tanganku untuk masuk ke ruangan Nathan. Nathan yang terlihat baru datang langsung meletakkan tas laptop dan ikut mendelik ke arahku."Kalian kenapa sih?""Elo yang kenapa?" sahut Nathan sembari menyilangkan tangan di depan dada saat duduk ujung meja kerjanya.Aku menautkan kedua alis. "Gue nggak kenapa-napa kok,""Kabar tentang lo berantem sama Raisa dan Nela kemaren sore itu bener?"Aku mendebas napas panjang. Ternyata karena kejadian kemarin sore. Anin memang sedang ada meeting di luar kantor, sedangkan Nathan sibuk meliput event writers expo di PIK. Jadi wajar saja kalau mereka berdua tak tahu menahu perihal kejadian sehari lalu."Oh itu?" jawabku mendesah malas."Gitu doang tanggapan lo?" kejar Anin masih penasaran."Nggak biasanya elo gampang ngamuk kayak gini, Mel?" Nathan menggeleng pelan dengan tatapan masih sangsi."Bukan gue yang mulai, Nin, Nath. Mereka berdua yang nyolot duluan, mereka ngomongin
Akhirnya aku resmi keluar dari Gayatri. Tempat pertamaku bergelut dengan kerasnya dunia kerja dan membawaku pada pengalaman luar biasa di dunia literasi. Menyesal? tidak juga, karena aku sudah mendapatkan banyak pelajaran hidup di sini. Mungkin hanya satu hal yang aku sesalkan, banyak rekan-rekan kerja yang mengira aku keluar dari Gayatri karena skandal dengan suami Bu Nadia yang mereka kenal dengan Pak Hesta. Padahal hal itu tentu saja jauh dari kenyataan yang ada. Kalaupun mau membela diri juga rasanya akan sia-sia, karena sebagian besar staff di sini tak tahu menahu perihal perceraian Bang Fino dan Bu Nadia hampir dua tahun silam. Mereka hanya mau tahu hal apa yang kiranya seru untuk diperbincangkan. Misalnya saja isu tentangku yang bertajuk 'Calon Pelakor Atasan Sendiri yang Akhirnya Mengundurkan Diri'. Sial kuadrat! Setidaknya ada Anin, Nathan juga Mbak Dela yang masih percaya denganku. Mereka bertiga beberapa menguatkanku dan selalu memberi sugesti positif agar tak mengambil ha
"Abang nggak berencana pulang?" aku menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Bang Fino yang malah duduk santai menikmati setoples kacang telir milikku sembari menonton tayangan Netflix. "Ini udah lewat tengah malam, Bang!" imbuhku mengingatkannya lagi. "Kamu ngusir?" "Ini udah malam banget, Abang," desahku mengacak rambut lalu duduk di ujung sofa yang sama. Sengaja mengambil jarak dengan pria yang tadi mengguncang otak dan hatiku saat kami berada di dalam lift dengan ciuman dadakan itu. "Kamu tadi juga menghabiskan malam dengan si Nathan Nathan itu!" Bang Fino terdengar mengomel tak jelas. "Astaga ... malah bahas Nathan lagi," seruku lantas memutar bola mata malas. Bebal sekali mantan suami Bu Nadia ini. "Aku tadi nggak berduaan aja sama Nathan, tapi sama Anin juga perginya." Bang Fino melirikkku sekilas seolah tak percaya. Benar-benar kekanakan sekali bapak
Hari ini aku punya janji makan siang dengan Anin. Bukan sekedar makan bersama, tapi dia juga mengantarkan undangan pernikahan. Iya, Anin si gadis manja dengan celotehan luar biasa itu akhirnya melepas masa lajang dengan Dion, kekasih yang sudah empat tahun ini mendampinginya. Namun Anin bilang bukan hanya karena itu ia ingin bertemu, tapi karena ada berita besar lain yang harus aku dengar secara langsung. "Udah dari tadi?" tanyaku begitu mendapati wajah sewot Anin yang menunggu di sudut cafe. "Sepuluh menitan yang lalu," jawabnya lantas mengulurkan buku menu padaku. "Udah gue pesenin makan, lo pilih aja minumnya." "Gue ketiduran, Nin, semalam ngecek naskah Diana Lestari. Eh ... seru banget isinya sampe gue babat sekalian baca tamat," balasku setelah memesan minuman dingin. Diana Lestari adalah salah satu penulis kenamaan yang mempercayaiku menyunting naskahnya sebelum dicetak. Beruntungnya,
Aku paling benci jika pagi hariku terganggu. Siapapun pengganggunya, akan kupastikan mendapat ceramah sepanjang jalan kenangan dari mulut pedasku. Seperti pagi hari ini, ketika kepalaku mendadak pening karena jeritan ponsel yang lupa kupasang mode silent.Orang yang repot-repot menghubungiku sepagi ini pastilah makhluk paling kurang kerjaan di dunia. Pasti juga bukan mama ataupun Mbak Merry, karena mama sudah menelponku lama semalaman. Sedangkan Mbak Merry rajin bertukar pesan whatsapp hampir setiap hari denganku.Menyalakan lampu tidur, aku berjalan malas ke arah meja rias, tempatku mengisi daya ponsel. Mataku yang masih berat, kupaksakan melebar saat kulihat nama Bang Fino berkedip-kedip di layar gawaiku. Ngapain coba duda tampan itu mencariku subuh-subuh begini?"Iya, Ba—""Bisa kamu ke sini, Lisa?" potong Bang Fino dengan suara serak namun tersengal-sengal.Keningku semakin berkerut. Ngapain ke tempatnya sepagi ini? lagi pula aku juga tak tahu di mana tempat tinggalnya."Aku di la
Akhirnya aku bisa melepaskan lenganku dari pelukan Bang Fino. Saat lelaki itu semakin jatuh dalam lelap, aku berhasil menarik tangan kiriku dan menggantinya dengan guling yang sudah ada di tempat tidur. Setelah menyelimutinya, aku bergegas ke dapur Bang Fino untuk menyiapkan air dingin dan handuk kecil yang akan kugunakan untuk kompres sementara.Aku bukan tenaga medis, merawat orang sakit juga tak pernah terbayang dalam benakku. Menjadi perawat dadakan seperti ini juga tak pernah terbersit menjadi cira-cita nasa kecilku. Saat diri sendiri sakit saja aku masih merengek manja pada mama. Lalu sekarang aku dihadapkan dengan mantan kekasih yang berubah manja hanya karena demam dan tinggal sendirian.Tak sulit menemukan barang-barang yang kubutuhkan untuk kompres Bang Fino. Tata letak apartmen ini tak jauh berbeda dengan yang aku sewa di lantai Atas. Hanya warna dinding yang didominasi abu-abu tua, juga semua furniture berkelas saja yang menjadi perbedaan mencolok di sini.Setelah mengompr