Hohohoho… Meliiii, setengah mabuk aja bisa bikin kamu cosplay jadi patung, gimana kalau mabuk beneran, udah diuwel-uwel si Pinpin kamu mah…
"Abang nggak berencana pulang?" aku menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Bang Fino yang malah duduk santai menikmati setoples kacang telir milikku sembari menonton tayangan Netflix. "Ini udah lewat tengah malam, Bang!" imbuhku mengingatkannya lagi. "Kamu ngusir?" "Ini udah malam banget, Abang," desahku mengacak rambut lalu duduk di ujung sofa yang sama. Sengaja mengambil jarak dengan pria yang tadi mengguncang otak dan hatiku saat kami berada di dalam lift dengan ciuman dadakan itu. "Kamu tadi juga menghabiskan malam dengan si Nathan Nathan itu!" Bang Fino terdengar mengomel tak jelas. "Astaga ... malah bahas Nathan lagi," seruku lantas memutar bola mata malas. Bebal sekali mantan suami Bu Nadia ini. "Aku tadi nggak berduaan aja sama Nathan, tapi sama Anin juga perginya." Bang Fino melirikkku sekilas seolah tak percaya. Benar-benar kekanakan sekali bapak
Hari ini aku punya janji makan siang dengan Anin. Bukan sekedar makan bersama, tapi dia juga mengantarkan undangan pernikahan. Iya, Anin si gadis manja dengan celotehan luar biasa itu akhirnya melepas masa lajang dengan Dion, kekasih yang sudah empat tahun ini mendampinginya. Namun Anin bilang bukan hanya karena itu ia ingin bertemu, tapi karena ada berita besar lain yang harus aku dengar secara langsung. "Udah dari tadi?" tanyaku begitu mendapati wajah sewot Anin yang menunggu di sudut cafe. "Sepuluh menitan yang lalu," jawabnya lantas mengulurkan buku menu padaku. "Udah gue pesenin makan, lo pilih aja minumnya." "Gue ketiduran, Nin, semalam ngecek naskah Diana Lestari. Eh ... seru banget isinya sampe gue babat sekalian baca tamat," balasku setelah memesan minuman dingin. Diana Lestari adalah salah satu penulis kenamaan yang mempercayaiku menyunting naskahnya sebelum dicetak. Beruntungnya,
Aku paling benci jika pagi hariku terganggu. Siapapun pengganggunya, akan kupastikan mendapat ceramah sepanjang jalan kenangan dari mulut pedasku. Seperti pagi hari ini, ketika kepalaku mendadak pening karena jeritan ponsel yang lupa kupasang mode silent.Orang yang repot-repot menghubungiku sepagi ini pastilah makhluk paling kurang kerjaan di dunia. Pasti juga bukan mama ataupun Mbak Merry, karena mama sudah menelponku lama semalaman. Sedangkan Mbak Merry rajin bertukar pesan whatsapp hampir setiap hari denganku.Menyalakan lampu tidur, aku berjalan malas ke arah meja rias, tempatku mengisi daya ponsel. Mataku yang masih berat, kupaksakan melebar saat kulihat nama Bang Fino berkedip-kedip di layar gawaiku. Ngapain coba duda tampan itu mencariku subuh-subuh begini?"Iya, Ba—""Bisa kamu ke sini, Lisa?" potong Bang Fino dengan suara serak namun tersengal-sengal.Keningku semakin berkerut. Ngapain ke tempatnya sepagi ini? lagi pula aku juga tak tahu di mana tempat tinggalnya."Aku di la
Akhirnya aku bisa melepaskan lenganku dari pelukan Bang Fino. Saat lelaki itu semakin jatuh dalam lelap, aku berhasil menarik tangan kiriku dan menggantinya dengan guling yang sudah ada di tempat tidur. Setelah menyelimutinya, aku bergegas ke dapur Bang Fino untuk menyiapkan air dingin dan handuk kecil yang akan kugunakan untuk kompres sementara.Aku bukan tenaga medis, merawat orang sakit juga tak pernah terbayang dalam benakku. Menjadi perawat dadakan seperti ini juga tak pernah terbersit menjadi cira-cita nasa kecilku. Saat diri sendiri sakit saja aku masih merengek manja pada mama. Lalu sekarang aku dihadapkan dengan mantan kekasih yang berubah manja hanya karena demam dan tinggal sendirian.Tak sulit menemukan barang-barang yang kubutuhkan untuk kompres Bang Fino. Tata letak apartmen ini tak jauh berbeda dengan yang aku sewa di lantai Atas. Hanya warna dinding yang didominasi abu-abu tua, juga semua furniture berkelas saja yang menjadi perbedaan mencolok di sini.Setelah mengompr
Aku sengaja berlama-lama di apartment, enggan pergi ke manapun, enggan juga bertemu siapa pun. Tahu kan maksudnya apa? Tentu saja yang kumaksud adalah Arfino Hesta. Bang Pinpin-ku yang kini berubah menjadi sosok yang sangat amat menyebalkan. Apalagi ketika bertemu dengan mantan istrinya seperti tadi.Enak saja si Bu Nadia mengataiku dan Bang Fino lagi enak-enakan kumpul kebo. Mantan lakinya tuh yang merengek seperti bayi memintaku datang karena mengalami mimpi buruk semalam. Kalau tahu akan mendapatkan kalimat sarkas yang membuat sakit hati seperti ini, aku tak akan terlalu cepat luluh dengan permintaan Bang Fino tadi subuh.Aku sadar sebenarnya ini juga bukan salah Bang Fino. Dia sedang sakit, benar-benar sakit dan butuh diperhatikan juga diurus. Satu-satunya orang yang patut disalahkan tentu saja Bu Nadia yang ujug-ujug datang lalu seenak udelnya menuduhku kumpul kebo. Dia tuh yang lebih mirip kebo! Kampret emang!Susah payah menahan amarah, aku langsung meninggalkan sepasang mantan
Sudah dua hari berselang sejak terakhir kali aku menemani Bang Fino di apartmentnya saat ia sakit. Meskipun banyak diam, nyatanya aku tak hanya menemani, bahkan aku sempat memasakkan pria tampan itu makan malam dengan harapan kesehatannya lekas membaik. Tapi kenyataan yang kudengar dari Mas Hanif pagi ini justru berbanding terbalik dengan harapan yang aku simpan sebelumnya. “Tumbenan kelihatan buru-buru, Mas? sibuk banget nih kayaknya,” sapaku tersenyum ramah saat tak sengaja berpapasan di lobby apartment. Aku baru saja kembali dari café setelah membeli beberapa makanan ringan, sedangkan Mas Hanif terlihat terburu-buru saat keluar lift sengan tangan menenteng travel bag berukuran sedang. “Lho kamu belum tahu, Mel?” Mas Hanif menaikkan satu alisnya saat balik bertanya. “Tahu tentang apa, Mas?” aku menyesap minuman boba yang aku kubeli tadi. “Semalam Hesta dilarikan ke rumah sakit karena gejala tipes, gila, bikin repot orang aja tu
Hujan deras tengah mengguyur ibukota menjelang malam hari. Sejuknya sampai bisa membuaiku yang tengah asik menatap layar laptop dari balik jendela besar di dalam apartmen. Udara dinginnya sedari tadi menemaniku memeriksa naskah terakhir yang rencananya naik cetak bulan depan. Naskah novel yang sarat kisah romansa tersebut bahkan sudah aku kirim ke penulisnya beberapa saat lalu. Namun aku masih betah berlama-lama menatap monitor, sambil melamun kisahku sendiri. Romansa rumit yang mengikatku dengan seseorang dari masa lalu."Seumur hidup, tante baru dengar kali ini Fino membicarakan orang lain dengan begitu antusiasnya, tapi di sisi lain ... tante juga menangkap gurat sedih dan penyesalan di wajah anak tante itu."Pikiranku mendadak tertarik pada percakapan dengan Tante Ririn empat hari yang lalu. Iya, ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah menyambutku itu ternyata memang ibu kandung Bang Fino. Pantas saja wajahnya tak begitu asing.Dulu, dulu sekali, Bang Fino pernah menunjukkan protret
Anin akhirnya melepas masa lajang. Akad nikahnya berlangsung khidmat, pesta resepsinya juga bisa dibilang meriah dan sangat mewah. Aku dan Nathan pergi ke PIK sejak siang tadi menjelang prosesi ijab, tak hanya berdua, tapi juga mengajak serta Windi. Mantan kekasih Nathan yang sedang memainkan peran jinak-jinak merpati untuk kembali berbaikan dengan sahabatku itu. Awalnya aku enggan ikut dengan pasangan putus nyambung itu, tapi Windi berkeras mengajakku karena khawatir diculik di tengah jalan oleh Nathan. Alasan konyol, tapi ya sudahlah, daripada aku harus melenggang seorang diri kan? kesannya lebih mengenaskan lagi."Mbak Anin cantik banget ya," bisik Windi saat duduk di sebelahku usai menyaksikan wajah lega Anin setelah ijab kabul."Kalau kata orang jawa, wajahnya tuh manglingi, Win. Cantiknya beda, aura pengantinnya kuat dan terpancar sempurna. Cewek tuh akan terlihat cantik berkali-kali lipat kalau hatinya sedang bahagia," jelasku singkat."Nanti kalau kamu sama Nathan menikah, jan
Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S
“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka
"Aku masih nggak habis pikir, kenapa Bang Fino nggak cerita sama sekali kalau tadi itu Papa yang minta Abang dateng," omelku begitu membuka pintu apartment lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Kami sudah sampai di ibukota, karena tinggal di gedung yang sama, Bang Fino hanya ke unitnya untuk meletakkan koper lalu menyusulku ke lantai atas. Ke tempatku."Masih ngambek aja sih?" Bang Fino tergelak kecil saat membawaku dalam rangkulannya. Bahkan dengan jemarinya ia usil sekali mencubiti pipiku yang sedikit tembam karena asupan makanan sehat masakan mama selama berada di rumah Surabaya sebulan ke belakang.Kami berjalan bersisian ke sofa di ruang, persis seperti remaja kasmaran yang sedang hangat-hangatnya mengenal cinta. Sebelumnya, aku selalu geli saat membayangkan bagaimana canggungnya kami saat terlibat sentuhan fisik seperti ini. Seperti dulu. Namun nyatanya, tubuhku menyukainya. Aku suka semua perhatian dan sentuhannya yang sangat terasa tulus dan penuh kasih sayang."Bukannya n
Akhirnya aku memutuskan kembali ke ibukota setelah tinggal di Surabaya lebih dari dua bulan. Kemarin siang aku menerima kabar baik dari Nathan tentang interview langsung dengan petinggi Mediakarya, penerbit besar yang menjadi 'musuh' bebuyutan Gayatri. Bukan berniat membelot dari Gayatri lantas berakhir ke pesaing mereka, bukan. Aku hanya ingin mengasah kemampuanku di tempat yang lebih menantang lagi.Perkembangan kesehatan mama dan papa sudah sangat baik, karena itu pula aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku kembali bekerja pada mereka berdua. Tidak ada drama, karena mama dan papa langsung memberiku ijin kembali ke Jakarta. Bahkan mama yang paling antusias dengan keberangkatanku siang ini ke ibukota. Beliau sampai repot membuatkan sambal cumi beberapa toples untukku dan Bang Fino. Mama dengan mudahnya termakan omongan Bang Fino yang mengaku sangat menyukai sambal cumi buatannya. Padahal aku tahu benar kalau perut pria itu tak terlalu bersahabat dengan rasa pedas yang berleb
"Abang pake pelet ya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku."Hah? gimana maksudnya?"Bang Fino yang sedang menyesap es jeruk peras langsung meletakkan gelasnya lagi demi menatapku. Kami berdua sedang menikmati rujak cingur tersohor di Surabaya. Bang Fino tadi bilang ingin merasakan kuliner khas daerah sini, jadilah pria itu kuajak ke tempat yang menjadi langgananku sejak lama."Abang nemuin Papa lagi kan dua minggu lalu?" cecarku tak bisa berbasa-basi."Ohh itu," jawab Bang Fino kemudian mengangguk pelan dengan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Harus kuakui wajahnya memang tampan dan memanjakan mata, apalagi setelah kami tak bertemu selama dua pekan ke belakang. Kadar ketampanannya berlipat ganda."Iya kan?"Bang Fino mengangguk lagi. "Iya, papa kamu pasti sudah cerita semuanya ya?"Gantian aku yang mengangguk mengiyakan. "Ya pastilah! papa sudah cerita a sampai z tentang kedatangan Abang waktu itu."Sepasang netra Bang Fino langsung terbeliak cerah. "Jadi giman
Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya
Mataku masih basah ketika aku berjalan cepat menyusuri bandara Juanda. Aku tak peduli tatapan penuh tanya dari orang-orang yang kulewati, pikiranku hanya satu, bertemu mama dan papa secepatnya. Sebenarnya aku sudah merencanakan akan pulang ke Surabaya dua minggu lagi saat ulang tahun Bestari, anak bungsu Mbak Merry. Tapi ternyata Tuhan punya kejutan lain yang mengharuskanku pulang saat ini juga. Bahkan tanpa mengganti pakaian atau pulang dulu ke apartmen, aku memaksa Bang Fino untuk putar haluan dan segera mengantarku ke bandara sore tadi.Mbak Merry sempat menelpon lagi saat aku masih di bandara. Katanya papa baru saja masuk ruang operasi sedangkan mama baru dipindakan ke ruang perawatan dan kesadarannya sudah kembali. Berita yang sedikit melegakan, tapi tetap saja aku belum tenang karena belum melihat secara langsung kondisi kedua bidadariku itu.Aku berlari cepat ketika baru sampai di rumah sakit. Mengamati dengan seksama deretan kamar yang berjajar untuk mencari kamar inap mama ya
Anin akhirnya melepas masa lajang. Akad nikahnya berlangsung khidmat, pesta resepsinya juga bisa dibilang meriah dan sangat mewah. Aku dan Nathan pergi ke PIK sejak siang tadi menjelang prosesi ijab, tak hanya berdua, tapi juga mengajak serta Windi. Mantan kekasih Nathan yang sedang memainkan peran jinak-jinak merpati untuk kembali berbaikan dengan sahabatku itu. Awalnya aku enggan ikut dengan pasangan putus nyambung itu, tapi Windi berkeras mengajakku karena khawatir diculik di tengah jalan oleh Nathan. Alasan konyol, tapi ya sudahlah, daripada aku harus melenggang seorang diri kan? kesannya lebih mengenaskan lagi."Mbak Anin cantik banget ya," bisik Windi saat duduk di sebelahku usai menyaksikan wajah lega Anin setelah ijab kabul."Kalau kata orang jawa, wajahnya tuh manglingi, Win. Cantiknya beda, aura pengantinnya kuat dan terpancar sempurna. Cewek tuh akan terlihat cantik berkali-kali lipat kalau hatinya sedang bahagia," jelasku singkat."Nanti kalau kamu sama Nathan menikah, jan
Hujan deras tengah mengguyur ibukota menjelang malam hari. Sejuknya sampai bisa membuaiku yang tengah asik menatap layar laptop dari balik jendela besar di dalam apartmen. Udara dinginnya sedari tadi menemaniku memeriksa naskah terakhir yang rencananya naik cetak bulan depan. Naskah novel yang sarat kisah romansa tersebut bahkan sudah aku kirim ke penulisnya beberapa saat lalu. Namun aku masih betah berlama-lama menatap monitor, sambil melamun kisahku sendiri. Romansa rumit yang mengikatku dengan seseorang dari masa lalu."Seumur hidup, tante baru dengar kali ini Fino membicarakan orang lain dengan begitu antusiasnya, tapi di sisi lain ... tante juga menangkap gurat sedih dan penyesalan di wajah anak tante itu."Pikiranku mendadak tertarik pada percakapan dengan Tante Ririn empat hari yang lalu. Iya, ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah menyambutku itu ternyata memang ibu kandung Bang Fino. Pantas saja wajahnya tak begitu asing.Dulu, dulu sekali, Bang Fino pernah menunjukkan protret