Aku paling benci jika pagi hariku terganggu. Siapapun pengganggunya, akan kupastikan mendapat ceramah sepanjang jalan kenangan dari mulut pedasku. Seperti pagi hari ini, ketika kepalaku mendadak pening karena jeritan ponsel yang lupa kupasang mode silent.Orang yang repot-repot menghubungiku sepagi ini pastilah makhluk paling kurang kerjaan di dunia. Pasti juga bukan mama ataupun Mbak Merry, karena mama sudah menelponku lama semalaman. Sedangkan Mbak Merry rajin bertukar pesan whatsapp hampir setiap hari denganku.Menyalakan lampu tidur, aku berjalan malas ke arah meja rias, tempatku mengisi daya ponsel. Mataku yang masih berat, kupaksakan melebar saat kulihat nama Bang Fino berkedip-kedip di layar gawaiku. Ngapain coba duda tampan itu mencariku subuh-subuh begini?"Iya, Ba—""Bisa kamu ke sini, Lisa?" potong Bang Fino dengan suara serak namun tersengal-sengal.Keningku semakin berkerut. Ngapain ke tempatnya sepagi ini? lagi pula aku juga tak tahu di mana tempat tinggalnya."Aku di la
Akhirnya aku bisa melepaskan lenganku dari pelukan Bang Fino. Saat lelaki itu semakin jatuh dalam lelap, aku berhasil menarik tangan kiriku dan menggantinya dengan guling yang sudah ada di tempat tidur. Setelah menyelimutinya, aku bergegas ke dapur Bang Fino untuk menyiapkan air dingin dan handuk kecil yang akan kugunakan untuk kompres sementara.Aku bukan tenaga medis, merawat orang sakit juga tak pernah terbayang dalam benakku. Menjadi perawat dadakan seperti ini juga tak pernah terbersit menjadi cira-cita nasa kecilku. Saat diri sendiri sakit saja aku masih merengek manja pada mama. Lalu sekarang aku dihadapkan dengan mantan kekasih yang berubah manja hanya karena demam dan tinggal sendirian.Tak sulit menemukan barang-barang yang kubutuhkan untuk kompres Bang Fino. Tata letak apartmen ini tak jauh berbeda dengan yang aku sewa di lantai Atas. Hanya warna dinding yang didominasi abu-abu tua, juga semua furniture berkelas saja yang menjadi perbedaan mencolok di sini.Setelah mengompr
Aku sengaja berlama-lama di apartment, enggan pergi ke manapun, enggan juga bertemu siapa pun. Tahu kan maksudnya apa? Tentu saja yang kumaksud adalah Arfino Hesta. Bang Pinpin-ku yang kini berubah menjadi sosok yang sangat amat menyebalkan. Apalagi ketika bertemu dengan mantan istrinya seperti tadi.Enak saja si Bu Nadia mengataiku dan Bang Fino lagi enak-enakan kumpul kebo. Mantan lakinya tuh yang merengek seperti bayi memintaku datang karena mengalami mimpi buruk semalam. Kalau tahu akan mendapatkan kalimat sarkas yang membuat sakit hati seperti ini, aku tak akan terlalu cepat luluh dengan permintaan Bang Fino tadi subuh.Aku sadar sebenarnya ini juga bukan salah Bang Fino. Dia sedang sakit, benar-benar sakit dan butuh diperhatikan juga diurus. Satu-satunya orang yang patut disalahkan tentu saja Bu Nadia yang ujug-ujug datang lalu seenak udelnya menuduhku kumpul kebo. Dia tuh yang lebih mirip kebo! Kampret emang!Susah payah menahan amarah, aku langsung meninggalkan sepasang mantan
Sudah dua hari berselang sejak terakhir kali aku menemani Bang Fino di apartmentnya saat ia sakit. Meskipun banyak diam, nyatanya aku tak hanya menemani, bahkan aku sempat memasakkan pria tampan itu makan malam dengan harapan kesehatannya lekas membaik. Tapi kenyataan yang kudengar dari Mas Hanif pagi ini justru berbanding terbalik dengan harapan yang aku simpan sebelumnya. “Tumbenan kelihatan buru-buru, Mas? sibuk banget nih kayaknya,” sapaku tersenyum ramah saat tak sengaja berpapasan di lobby apartment. Aku baru saja kembali dari café setelah membeli beberapa makanan ringan, sedangkan Mas Hanif terlihat terburu-buru saat keluar lift sengan tangan menenteng travel bag berukuran sedang. “Lho kamu belum tahu, Mel?” Mas Hanif menaikkan satu alisnya saat balik bertanya. “Tahu tentang apa, Mas?” aku menyesap minuman boba yang aku kubeli tadi. “Semalam Hesta dilarikan ke rumah sakit karena gejala tipes, gila, bikin repot orang aja tu
Hujan deras tengah mengguyur ibukota menjelang malam hari. Sejuknya sampai bisa membuaiku yang tengah asik menatap layar laptop dari balik jendela besar di dalam apartmen. Udara dinginnya sedari tadi menemaniku memeriksa naskah terakhir yang rencananya naik cetak bulan depan. Naskah novel yang sarat kisah romansa tersebut bahkan sudah aku kirim ke penulisnya beberapa saat lalu. Namun aku masih betah berlama-lama menatap monitor, sambil melamun kisahku sendiri. Romansa rumit yang mengikatku dengan seseorang dari masa lalu."Seumur hidup, tante baru dengar kali ini Fino membicarakan orang lain dengan begitu antusiasnya, tapi di sisi lain ... tante juga menangkap gurat sedih dan penyesalan di wajah anak tante itu."Pikiranku mendadak tertarik pada percakapan dengan Tante Ririn empat hari yang lalu. Iya, ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah menyambutku itu ternyata memang ibu kandung Bang Fino. Pantas saja wajahnya tak begitu asing.Dulu, dulu sekali, Bang Fino pernah menunjukkan protret
Anin akhirnya melepas masa lajang. Akad nikahnya berlangsung khidmat, pesta resepsinya juga bisa dibilang meriah dan sangat mewah. Aku dan Nathan pergi ke PIK sejak siang tadi menjelang prosesi ijab, tak hanya berdua, tapi juga mengajak serta Windi. Mantan kekasih Nathan yang sedang memainkan peran jinak-jinak merpati untuk kembali berbaikan dengan sahabatku itu. Awalnya aku enggan ikut dengan pasangan putus nyambung itu, tapi Windi berkeras mengajakku karena khawatir diculik di tengah jalan oleh Nathan. Alasan konyol, tapi ya sudahlah, daripada aku harus melenggang seorang diri kan? kesannya lebih mengenaskan lagi."Mbak Anin cantik banget ya," bisik Windi saat duduk di sebelahku usai menyaksikan wajah lega Anin setelah ijab kabul."Kalau kata orang jawa, wajahnya tuh manglingi, Win. Cantiknya beda, aura pengantinnya kuat dan terpancar sempurna. Cewek tuh akan terlihat cantik berkali-kali lipat kalau hatinya sedang bahagia," jelasku singkat."Nanti kalau kamu sama Nathan menikah, jan
Mataku masih basah ketika aku berjalan cepat menyusuri bandara Juanda. Aku tak peduli tatapan penuh tanya dari orang-orang yang kulewati, pikiranku hanya satu, bertemu mama dan papa secepatnya. Sebenarnya aku sudah merencanakan akan pulang ke Surabaya dua minggu lagi saat ulang tahun Bestari, anak bungsu Mbak Merry. Tapi ternyata Tuhan punya kejutan lain yang mengharuskanku pulang saat ini juga. Bahkan tanpa mengganti pakaian atau pulang dulu ke apartmen, aku memaksa Bang Fino untuk putar haluan dan segera mengantarku ke bandara sore tadi.Mbak Merry sempat menelpon lagi saat aku masih di bandara. Katanya papa baru saja masuk ruang operasi sedangkan mama baru dipindakan ke ruang perawatan dan kesadarannya sudah kembali. Berita yang sedikit melegakan, tapi tetap saja aku belum tenang karena belum melihat secara langsung kondisi kedua bidadariku itu.Aku berlari cepat ketika baru sampai di rumah sakit. Mengamati dengan seksama deretan kamar yang berjajar untuk mencari kamar inap mama ya
Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya