Shaynala memilih mengalah, karena percuma saja terus merayu Abi nya. Ia beranjak ke kamar guna menenangkan diri sebelum kembali ke kantor.Ponselnya terus berdenting, menunjukkan notifikasi tentang titik lokasi suaminya yang saat ini sudah benar-benar berhenti di titik yang sama seperti lokasi Larissa.PYAR!Shaynala membanting ponselnya ke lantai kamarnya, nafasnya naik turun menandakan emosinya yang sudah memuncak. "Tidak pernah kapok! Dia malah terus menemui wanita itu, padahal aku sempat mengiranya sudah berubah! Baiklah, Mas. Kalau kamu masih mempertahankan Larissa, maka jangan salahkan aku kalau aku benar-benar mengajukan perceraian ke pengadilan! Seperti kata Abi, tidak ada kesempatan kedua untuk seorang penghianat!" desisnya.Shaynala mengambil satu ponsel lagi dari dalam tas, kemudian menghubungi nomor Elok — pengacara yang akan mengurus pengajuan perceraiannya."Kamu sudah yakin, Nala? Sudah memikirkan semuanya baik-baik?" tanya Elok dari seberang telepon setelah Shaynala be
Larissa berusaha menggandeng lengan Arsen dan membawanya masuk ke dalam lift. Namun, baru saja beberapa langkah wanita itu merasakan tengkuknya berat dan sejurus kemudian tubuhnya limbung.Victor dengan cepat menangkap tubuh Larissa kemudian menyeretnya ke dekat lift. Ada sofa panjang di sana dan Victor langsung menidurkan tubuh Larissa di sofa itu."Untung dia langsung pingsan," gumam Victor.Ia baru saja memukul tengkuk Larissa hingga menyebabkan wanita itu kehilangan kesadarannya, selanjutnya Victor lekas beranjak menuju Arsen yang saat ini sudah melepas semua kancing kemejanya."Sial!" pekiknya dan langsung menggelandang lengan Arsen menuju kamar. Victor mengunci pintu kamar dan setelah itu menyeret Arsen ke kamar mandi. Ia mencengkeram kuat lengan Arsen agar tubuh itu tidak terus bergerak.Tangannya menyalakan keran shower, Arsen memberontak saat air dingin mengguyur tubuhnya."Diam, sialan! Kau sedang dalam pengaruh obat perangsang. Kau akan semakin hancur kalau kembali masuk d
BRAK! Pintu kayu itu terbuka lebar saat Arsen menendangnya menggunakan satu kaki. Pria itu sudah tidak peduli pada keadaan Larissa yang tengah hamil, ia mendekat dan langsung mencekik leher jenjang itu."Berani sekali kau bermain-main denganku, Jalang Sialan!" desis Arsen. "Selama ini aku sudah sabar menuruti semua permintaanmu. Bahkan aku mengesampingkan istriku demi menuruti kemauanmu. Tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau malah mau menjebakku."Larissa menggelengkan kepala dengan air mata yang mulai menetes dari mata merahnya."Kalau kau mengancam untuk menyebar video itu, aku sudah tidak peduli! Karena saat ini aku akan membunuhmu!""Ja-Jangan, Sen. Akh ...."Jemari lentik itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Arsen dari lehernya. Namun, gagal. Tangan kekar itu mencengkeram sangat kuat."Selama ini kau suka bermain-main 'kan? Maka sekarang nikmatilah permainanku yang sesungguhnya." Pria itu menyeringai puas, menampakkan wajah tampannya yang terlihat begitu menakutkan. "Seharus
Arsen memutuskan pulang setelah menimbang-nimbang, mungkin Mamanya memang tidak mau bertemu. Jadi, apa gunanya menunggu di sana? Mobil mewah itu dikemudikan oleh Victor. Malaju cepat membelah jalan raya dengan diiringi musik keras.Mereka berdua meninggalkan rumah itu setelah mengecek cctv, ternyata benar kalau Larissa sudah menggoda beberapa pengawal agar berpihak padanya. Victor yang geram langsung meminta Arsen memulangkan pengawal yang berkhianat dan mengganti dengan pengawal baru yang lebih kompeten."Kau harus rutin cek CCTV dan alat penyadap itu, Sen. Aku 'kan juga sudah menyambungkan ke ponselmu. Pokoknya jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Kemarin kau sangat ceroboh, Sen!" maki Victor. Tidak henti-hentinya pria itu meneriaki Arsen, sedangkan Arsen hanya diam saja tanpa menimpali apapun. Ia mendengar, tetapi memilih diam karena tahu semua ini salahnya."Kalau takut Shaynala curiga, kau bisa cek di kantor."Arsen menoleh ke arah sahabatnya itu, ia berhutang banyak kepada
"Ponselmu, kok, tetap nggak bisa dihubungi, sih, Rash?! Kamu sebenarnya di mana? Apa kamu baik-baik saja?" pekik Kaindra di dalam mobilnya.Hari sudah beranjak pagi, tetapi Rashita belum ditemukan. Polisi dan agen detektif untuk melacak keberadaan gadis itu juga sudah di kerahkan, tetapi bak ditelan bumi, jejaknya saja tidak diketahui.Naya sudah beberapa kali pingsan mendengar putrinya belum juga ada kabar, sementara Ilham sudah turun ke jalanan bersama adiknya untuk mencari Rashita. Aaraf juga membantu, tetapi nyatanya itu semua tidak mampu untuk melacak di mana gadis itu."Harus mencari ke mana lagi?" gumam Kaindra.Semua sudut kota sudah ia susuri, tetapi tidak memberikan hasil. Beberapa kali Aaraf menghubungi nomor Rashita, tetapi ponsel gadis itu tidak kunjung aktif."Semuanya khawatir sama kamu, Rash." Kaindra kembali melajukan mobilnya melewati gang-gang kecil.Pagi ini ada meeting bersama kolega yang harus ia hadiri, tidak mungkin busa diwakilkan karena ada hal penting yang h
"Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya bicara fakta. Dan ... pada kenyatannya Kak Kaindra memang tidak bersalah," sahut Shaynala.Arsen menggelengkan kepala. "Dia bersalah, Dek!""Tidak, Mas." Tanpa sadar gadis itu meninggikan ucapnya, membuat Arsen melayangkan tatapan memicing ke arahnya. "Kamu harus lihat faktanya, jangan bicara menurut persepsi kamu sendiri.""Kamu membelanya sampai seperti ini, Dek? Sampai meninggikan suaramu. Padahal kamu tahu sendiri kalau aku tidak suka dengan Kaindra. Dari dulu aku sudah tidak cocok dengannya."Gadis itu gelagapan, mencari-cari alasan yang tepat agar suaminya tidak lagi menaruh curiga."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya meluruskan saja, aku tidak mau kamu berprasangka buruk. Dosa, Mas," jawab Shaynala dengan suara lembut.Namun, Arsen sudah terlanjur tidak mood. Ditambah rasa lelah fisiknya setelah melakukan perjalanan panjang. Belum lagi sakit hati karena sang Mama tidak mau bertemu dengannya.Semua kekesalan itu semakin memuncak saat Shaynala
"Kay ...."Wanita paruh baya itu berbalik badan, menatap sendu ke arah suaminya. Mereka baru saja tiba di pesantren, pulang lebih dulu meninggalkan Arsen dan Shaynala."Kamu marah?"Kayshilla menggeleng. "Mana mungkin aku marah dengan suamiku, Mas," sahutnya lirih."Lalu?" Aaraf menatap intens wajah teduh itu, masih terlihat cantik dan segar di usia kepala empat."Tidak ada apa-apa, Mas. Mungkin ... aku hanya ibu yang sedang mengkhawatirkan putranya. Makanya aku berlebihan. Tapi aku sama sekali tidak menyimpan kemarahan untukmu." Wanita itu tersenyum simpul sambil membawa tangannya untuk menggenggam tangan sang suami. "Aku hanya memikirkan putraku, Mas. Itu saja ...."Hening! Aaraf tidak mampu menyahut."Aku minta maaf kalau kelewatan.""Tidak perlu minta maaf," sahut Kayshilla dengan cepat. "Semua orang punya sakit hatinya masing-masing. Dan setiap orang juga berhak meluapkan rasa sakit itu."Kayshilla membalik badan mendudukkan dirinya di ruang tamu, menatap ke depan dengan pandanga
Pria itu terduduk di depan ruang UGD, tangannya sibuk mengutak-atik ponsel untuk menghubungi Ilham. Berharap Ilham dan yang lainnnya segera datang ke sini.Dokter keluar dari ruang UGD dan ia langsung bangkit untuk menghampiri wanita paruh baya dalam balutan jas putih itu."Bagaimana keadaan, eum ... teman saya, Dok?" "Masih belum sadar, Pak. Teman Anda hipotermia dan kami menemukan lambungnya dalam keadaan kosong. Tapi Anda tenang saja, kami sudah mengganti baju pasien dan memasang infus beserta alat-alat medis lainnya. Nanti kalau pasien sadar, segera panggil kami, ya," jelas Dokter tersebut."Baik, Dok. Lalu, apa sekarang bisa ditemui?""Lebih baik tunggu pasien sampai sadar dulu, Pak. Kemungkinan tidak akan lama lagi pasien sudah membuka mata."Pria itu mengangguk patuh. "Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu di sini.""Iya, Pak. Saya dan tim medis permisi dulu."Pria itu membalas anggukan Dokter tersebut, setelahnya ia kembali duduk di kursi tunggu untuk menunggu kedatangan K
Semua orang mengucap syukur dokter menyatakan kondisi Shaynala sudah baik-baik saja, meskipun wanita itu tetap harus rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil.Arsen terus menggenggam tangan sang istri, bibirnya terus meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat Shaynala seperti ini."Tidak apa-apa, Mas. Saat itu aku juga sedang kalut, jadi tidak berpikir dulu kalau mau bertindak," ujar Shaynala dengan suara lirih."Aku akan menebus semua kesalahanku, Dek. Dengan apapun caranya, aku akan membuatmu bahagia."Shaynala mengangguk, entah sudah yang ke berapa kalinya Arsen mengatakan hal seperti itu.Ia melihat penyesalan besar di mata suaminya, bahkan kedua mata elang itu masih memerah karena terlalu banyak menangis."Sekarang kamu harus fokus untuk kesembuhanmu, Dek. Nanti kita akan memulainya dari awal, aku berjanji akan selalu jujur dan terbuka dan berusaha hal seperti ini tidak akan terulang lagi," jelas Arsen yang membuat Shaynala langsung mengangguk."Mama sudah dibunuh D
Tujuh hari berlalu dan Aaraf baru kembali ke rumah sakit untuk melihat putrinya. Selama tujuh hari sebelumnya, ia menyiapkan acara doa untuk kematian Kaindra. Namun, setiap hari pria paruh baya itu tetap berinteraksi melalui video call agar tahu kondisi putrinya.Namun, baru saja menginjakkan kakinya di depan ruang rawat Shaynala, Aaraf dikejutkan dengan tangis semua orang yang ada di sana."Ada apa ini?" Aaraf langsung memeluk tubuh Kayshilla. "Ada apa, Kay? Kenapa semuanya menangisi?""Dokter tadi mengatakan tubuh Shaynala menunjukkan reaksi yang menolak jantung barunya, Bi. Shaynala kejang-kejang, Ummi takut melihatnya. Ummi takut ..," jelas Kayshilla yang sontak membuat Aaraf melongo."Bukankah kata dokter, sejak kemarin aman?" tanya Aaraf dengan suara lirih."Iya. Tapi pagi tadi saat Ummi mau menyeka tubuhnya, Shaynala kejang-kejang." Kayshilla menangis tertuju pilu di dalam pelukan Aaraf, hal itu tak ayal juga membuat Aaraf turut menitikkan air mata.Sementara Arsen terus berdir
Kondisi Kaindra semakin memburuk, bahkan pria itu sempat kejang-kejang. Kayshilla baru saja tiba bersama keluarga Danang, wanita paruh baya itu sampai pingsan beberapa kali memikirkan kondisi Shyanala dan Kaindra."Ndra, kamu dengar Abi?" bisik Aaraf, saat ini ia berada di dalam ruangan Kaindra karena dokter menyuruhnya masuk beberapa saat lalu.Kaindra terus memanggil-manggil Abinya, matanya terbelalak ke atas dengan napas yang seperti orang tengah mengorok."Laa ilaha illallah," bisik Aaraf tepat di telinga Kaindra.Pria itu mengikuti dengan napas tersengal, bibirnya bergerak hebat dengan keringat basah yang mulai membasahi pelipis.Aaraf menggenggam punggung tangan Kaindra, sebelah tangannya lagi mengelus lembut kening yang terasa panas. Sambil bibirnya terus membisikkan kalimat tauhid."Syahadat, Ndra. Di dalam hati tidak apa-apa," bisik Aaraf yang langsung diangguki oleh Kaindra.Kaindra tampak mengambil napas dalam, terdengar serak dan seperti sangat kesakitan.Aaraf menguatkan
Aaraf tidak kuasa menahan beban tubuhnya saat mendengar penjelasan panjang tentang kejadian yang menimpa putrinya tadi, kedua matanya semakin deras mengalirkan cairan bening, dengan seluruh hatinya yang hancur berkeping-keping.Bibirnya terus memanggil-manggil nama Shaynala, membuat siapapun tidak tega melihatnya."Kenapa putriku harus mengalami seperti ini?" gumam Aaraf. "Dia tidak salah apa-apa, dia tidak tahu apa-apa. Tapi malah menjadi korban."Arsen menundukkan tubuh yang masih bersimpuh di bawah Aaraf, ia seperti tidak punya keberanian untuk mengangkat kepala.Hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya, meskipun tidak mendapat sahutan dari Aaraf."Shaynala ..," bisik Aaraf.Pria paruh baya itu memejamkan kedua kelopak mata, detik berikutnya ia membuka lagi mata yang terpejam dan menatap ke arah Arsen."Bangunlah, Nak. Ini bukan salahmu, Abi paham kamu dijebak," ucap Aaraf sambil membantu menantunya untuk berdiri.Arsen semakin tergugu saat Aaraf dengan enteng merangkul tubuhnya, p
PLAKK!Wajah Arsen terhantam ke samping saat Rafael menamparnya dengan kencang, tanpa rasa iba Rafael mengangkat kasar dagu putranya dan kembali melayangkan bogeman mentah hingga membuat darah segar mengucur deras dari hidung."Papa kecewa sama kamu!" desis Rafael.Beberapa saat lalu Rafael memang mencari Arsen karena Adele yang mengatakan bahwa Kayshilla mencari putrinya. Kata Kayshilla, Shyanala pergi tidak lama setelah Arsen meninggalkan rumah dan sampai malam belum ada kabar.Tanpa pikir panjang Rafael langsung melacak keberadaan Arsen dan menyusul ke rumah yang digunakan sebagai tempat pertemuan Arsen dengan Kinara. Beruntung Rafael masih sempat bertemu Diego di gang masuk rumah itu, sehingga pria paruh baya itu langsung menyetop mobil Diego dan menginterogasinya."Apa yang akan kamu jelaskan pada mertuamu sekarang, hah?! Bagaimana bisa kamu tidak sadar kalau istrimu sedang mengikuti? Sekarang... papa tidak bisa lagi melindungi kamu, Sen," ucap Rafael.Arsen tidak menyahut, waja
Hujan turun tanpa diduga, Shaynala tetap nekat menerobos hujan tanpa peduli bajunya basah."Dek!" Arsen tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang, membuatnya sontak berteriak."Aaargh ... lepaskan aku, Mas! Jangan sentuh!" Shaynala berusaha melepaskan tubuhnya, tetapi pelukan Arsen sangat erat.Wanita itu meneteskan air mata, bersatu dengan lebatnya air hujan yang rasa dinginnya semakin menusuk kulit. Udara malam menjadi saksi betapa panasnya hati pasangan tersebut, kedua insan itu sama-sama terluka dengan keadaan yang terus memicu masalah."Lepaskan aku, Mas, lepaskan aku ...," bisik Shaynala di sela-sela isak tangisnya. "Aku nggak bisa seperti ini terus, aku terluka saat tahu kamu akan punya anak dari perempuan lain. Mamamu juga meminta kita bercerai, Mas."Arsen tersentak dan tanpa sadar pelukannya sedikit melonggar, membuat Shaynala dengan mudah melepaskan diri.Shaynala berjalan cepat, tanpa peduli tanah basah yang mengotori sepatunya."Aku mencintaimu, Dek! Aku tidak akan mencerai
David berlari menuju ruang UGD, ia segera menemui Dokter yang ada di sana dan menanyakan bagaimanakah kondisi Kaindra."Benturan yang dialami pasien menyebabkan adanya pendarahan serius di dalam otak, Pak. Pasien juga mengalami patah tulang di beberapa bagian, dan terdapat banyak luka lecet. Kami baru saja memberikan transfusi darah karena pasien kehilangan banyak darah saat dibawa ke sini," jelas dokter.David mengangguk dengan lesu, ia duduk di sana dengan tatapan kosong yang terarah ke depan.Ia sudah menganggap Kaindra seperti seorang kakak, Kaindra sering membantunya bahkan memberikan banyak bonus di luar bonus perusahaan.Mendengar kondisi orang yang ia sayangi yang sedang kritis di dalam sana, membuat David merasa tidak berdaya. Meskipun ia terkenal tegas, tetapi ketika menyangkut keselamatan Kaindra, ia juga bisa menjadi rapuh."Mungkin nanti akan ada operasi kecil, Pak. Mohon Bapak menghubungi anggota keluarga lain untuk mengurus persetujuan operasi tersebut," kata Dokter.Se
Mobil milik Arsen baru saja berhenti di halaman luas Pesantren Al-Mubarok. Sesuai janjinya, dua minggu sekali ia akan datang ke sini untuk mengunjungi istrinya.Ia langsung duduk di sofa ruang tamu, menemani Abi mertuanya yang duduk sendirian di sana. Pria paruh baya itu terlihat tidak bersemangat, padahal Arsen tahu perusahaannya sudah berjalan stabil."Abi kemarin bertemu dengan Kaindra, Sen. Abi tidak bisa tenang," ucap Aaraf dengan suara lirih.Hening! Arsen tidak menyahut."Kaindra sibuk terus dan belum bisa ditemui, malah hari ini rencananya dia pergi ke luar kota lagi untuk pertemuan bisnis." Pria paruh baya itu menghela napas kasar. "Abi juga tidak enak mengganggu waktunya. Segan, Sen. Abi 'kan pernah mengecewakan dia," lanjutnya."Satu bulan lagi hari pernikahannya, pasti Kaindra akan mengundang Abi. Mungkin itu bisa jadi waktu yang tepat untuk Abi berbincang dengan Kaindra," sahut Arsen.Aaraf tampak berpikir. "Apakah Kaindra akan mengundang Abi? Sedangkan kemarin Abi bilang
"Kita akan menginap di sini, Tante?" tanya Larissa."Iya, rumahnya Arsen juga tidak jauh dari hotel ini. Jadi cocok sekali kalau kita menginap di sini untuk sementara waktu," sahut Kinara.Larissa mengangguk setuju. Di usia kandungannya yang sudah memasuki sembilan bulan, Larissa tidak bisa banyak protes dan hanya bisa menurut saja. Yang terpenting nanti kebutuhannya dan anaknya terjamin."Wanita itu masih di luar kota, Tante?"Kinara menoleh ke arah Larissa dengan kening mengernyit. "Maksud kamu Shaynala?""Iya, Tante. Dia," sahut Larissa yang sontak membuat Kinara tergelak."Sampai sebegitunya kamu nggak mau menyebut namanya, La." Kinara menjeda ucapannya barang sejenak. "Iya, dia masih di luar kota. Dan ini menjadi kesepakatan bagus untuk kita mengawasi Arsen."Wanita paruh baya itu memang menempatkan beberapa anak buah di sekitar kediaman Arsen untuk mengawasi Arsen dan mendapatkan banyak informasi."Tapi kalau kita langsung muncul, apa Arsen tidak akan marah? Dia 'kan membenciku,"