"Ponselmu, kok, tetap nggak bisa dihubungi, sih, Rash?! Kamu sebenarnya di mana? Apa kamu baik-baik saja?" pekik Kaindra di dalam mobilnya.Hari sudah beranjak pagi, tetapi Rashita belum ditemukan. Polisi dan agen detektif untuk melacak keberadaan gadis itu juga sudah di kerahkan, tetapi bak ditelan bumi, jejaknya saja tidak diketahui.Naya sudah beberapa kali pingsan mendengar putrinya belum juga ada kabar, sementara Ilham sudah turun ke jalanan bersama adiknya untuk mencari Rashita. Aaraf juga membantu, tetapi nyatanya itu semua tidak mampu untuk melacak di mana gadis itu."Harus mencari ke mana lagi?" gumam Kaindra.Semua sudut kota sudah ia susuri, tetapi tidak memberikan hasil. Beberapa kali Aaraf menghubungi nomor Rashita, tetapi ponsel gadis itu tidak kunjung aktif."Semuanya khawatir sama kamu, Rash." Kaindra kembali melajukan mobilnya melewati gang-gang kecil.Pagi ini ada meeting bersama kolega yang harus ia hadiri, tidak mungkin busa diwakilkan karena ada hal penting yang h
"Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya bicara fakta. Dan ... pada kenyatannya Kak Kaindra memang tidak bersalah," sahut Shaynala.Arsen menggelengkan kepala. "Dia bersalah, Dek!""Tidak, Mas." Tanpa sadar gadis itu meninggikan ucapnya, membuat Arsen melayangkan tatapan memicing ke arahnya. "Kamu harus lihat faktanya, jangan bicara menurut persepsi kamu sendiri.""Kamu membelanya sampai seperti ini, Dek? Sampai meninggikan suaramu. Padahal kamu tahu sendiri kalau aku tidak suka dengan Kaindra. Dari dulu aku sudah tidak cocok dengannya."Gadis itu gelagapan, mencari-cari alasan yang tepat agar suaminya tidak lagi menaruh curiga."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya meluruskan saja, aku tidak mau kamu berprasangka buruk. Dosa, Mas," jawab Shaynala dengan suara lembut.Namun, Arsen sudah terlanjur tidak mood. Ditambah rasa lelah fisiknya setelah melakukan perjalanan panjang. Belum lagi sakit hati karena sang Mama tidak mau bertemu dengannya.Semua kekesalan itu semakin memuncak saat Shaynala
"Kay ...."Wanita paruh baya itu berbalik badan, menatap sendu ke arah suaminya. Mereka baru saja tiba di pesantren, pulang lebih dulu meninggalkan Arsen dan Shaynala."Kamu marah?"Kayshilla menggeleng. "Mana mungkin aku marah dengan suamiku, Mas," sahutnya lirih."Lalu?" Aaraf menatap intens wajah teduh itu, masih terlihat cantik dan segar di usia kepala empat."Tidak ada apa-apa, Mas. Mungkin ... aku hanya ibu yang sedang mengkhawatirkan putranya. Makanya aku berlebihan. Tapi aku sama sekali tidak menyimpan kemarahan untukmu." Wanita itu tersenyum simpul sambil membawa tangannya untuk menggenggam tangan sang suami. "Aku hanya memikirkan putraku, Mas. Itu saja ...."Hening! Aaraf tidak mampu menyahut."Aku minta maaf kalau kelewatan.""Tidak perlu minta maaf," sahut Kayshilla dengan cepat. "Semua orang punya sakit hatinya masing-masing. Dan setiap orang juga berhak meluapkan rasa sakit itu."Kayshilla membalik badan mendudukkan dirinya di ruang tamu, menatap ke depan dengan pandanga
Pria itu terduduk di depan ruang UGD, tangannya sibuk mengutak-atik ponsel untuk menghubungi Ilham. Berharap Ilham dan yang lainnnya segera datang ke sini.Dokter keluar dari ruang UGD dan ia langsung bangkit untuk menghampiri wanita paruh baya dalam balutan jas putih itu."Bagaimana keadaan, eum ... teman saya, Dok?" "Masih belum sadar, Pak. Teman Anda hipotermia dan kami menemukan lambungnya dalam keadaan kosong. Tapi Anda tenang saja, kami sudah mengganti baju pasien dan memasang infus beserta alat-alat medis lainnya. Nanti kalau pasien sadar, segera panggil kami, ya," jelas Dokter tersebut."Baik, Dok. Lalu, apa sekarang bisa ditemui?""Lebih baik tunggu pasien sampai sadar dulu, Pak. Kemungkinan tidak akan lama lagi pasien sudah membuka mata."Pria itu mengangguk patuh. "Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu di sini.""Iya, Pak. Saya dan tim medis permisi dulu."Pria itu membalas anggukan Dokter tersebut, setelahnya ia kembali duduk di kursi tunggu untuk menunggu kedatangan K
Berbeda dengan Kaindra yang langsung merebahkan tubuh sesaat setelah sampai di rumah Ryon, Aaraf dan Arsen berangkat ke rumah sakit malam itu juga. Mereka sengaja tidak mengajak Kayshilla dan Shaynala karena dua wanita akan menemani Naya."Loh, Mas Arsen nggak bawa ponsel?" gumam Shaynala saat hendak mengambil kunci mobil dan mendapati benda pipih itu tergeletak di atas nakas."Ya sudahlah aku bawa sekalian saja. Takutnya nanti ada telepon penting dari klien." Tangannya menyambar ponsel itu, kemudian lekas turun dan segera melajukan mobil ke rumah Ilham.Mereka sampai di sana dan langsung menenangkan Naya yang masih menangis sesenggukan. Naya menangis dalam pelukan Kayshilla, sementara Shaynala mengusap-usap punggung tangan wanita paruh baya itu.DRRTT! Shyanala merasakan ponsel suaminya bergetar, ia lekas merogoh saku celana dan mendapati sebuah pesan dari nomor asing.[Larissa harus menjalani operasi karena tulang lehernya bengkok sampai menyebabkan tekanan serius pada saraf dan sum
Rumah Sakit.Berapa saat lalu Rashita sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, dokter sudah memastikan keadaannya membaik. Hal itu jelas saja membuat semua orang mengucap syukur.Farraz masuk ditemani oleh Ilham, pria itu menundukkan diri di kursi samping ranjang. Ia membuat jarak aman agar tidak terlalu dekat dengan Rashita."Terima kasih sudah menyelamatkanku, Kang," ucap gadis itu, lirih."Sama-sama, Mbak. Bagaimana keadaanmu sekarang?""Sudah lebih baik.""Aku bersyukur kamu tidak apa-apa, Mbak.""Alhamdulillah, Kang." Rashita mengulas senyum tipis di bibir pucatnya.Pria itu mengangguk, ia membuka obrolan ringan agar tidak terlalu canggung. Hingga beberapa menit kemudian ia menyudahi obrolannya dan memilih keluar. Aaraf dan Arsen Baru saja sampai, mereka langsung mengobrol dengan yang lainnya. Orang-orang itu juga bergantian tidur, hingga setelah pagi menjelang beberapa orang berpamitan pulang. Hanya menyisakan Ilham dan Ilyas, sementara Aaraf dan Arsen juga baru saja pulang kar
Pagi ini Kaindra tidak datang ke Bratayeksa Company, hal itu membuat pikiran Jamal was-was. Ia takut Kaindra menjauh seperti dugaannya tadi bersama Melati.Ponselnya berdering dan langsung menyentak lamunannya, ia mengambil benda pipih itu dan mendapati Melati meneleponnya."Ada apa, Mel?" tanya Jamal."Kakek, aku dipecat dari Perusahaan Starlight oleh Pak Aaraf!" pekik gadis itu di seberang telepon."Bagaimana bisa?! Bukannya kinerjamu bagus?" Jamal meremas dadanya yang mendadak sakit, seperti ada yang menusuk-nusuk di sana.Sesak, tetapi saat mencoba menarik napas dadanya menjadi semakin terasa nyeri.'Argh ... sialan! Gara-gara memikirkan Kaindra dadaku sampai sakit!' "Nggak tahu, Kek. Pagi ini aku dipanggil ke ruangannya Pak Aaraf, lalu beliau mengatakan ada pengurangan staf. Aku sebenarnya juga diberi uang pesangon, tapi aku merasa ada yang janggal. Pasalnya, hanya aku yang dipecat. Kalau pengurangan staf 'kan seharusnya ada temannya, dong."Kening keriput itu semakin mengernyit
'Nama itu? Jadi ... dari tadi Mas Arsen memikirkan wanita itu?!' Arsen tidak kalah gelagapan saat mendapati istrinya tengah melotot ke arahnya. Pria itu langsung menggenggam tangan Shaynala, tetapi gadis itu dengan cepat menghempaskan tangannya."Jangan sentuh aku, Mas!" teriaknya dan lekas berdiri. "Kamu ... kamu memikirkan wanita lain?!"Tubuh mungil itu bergetar tidak karuan, napasnya tersengal-sengal. Ternyata sesakit ini melihat pria yang ia cintai menyebut nama wanita lain.Yeah, Shaynala terlanjur mencintai Arsen. Dan ia benci kenapa perasaan cinta itu harus tumbuh saat masalah ini baru terbongkar. Seharusnya ... ia tidak perlu melibatkan perasaannya."Dek, aku bisa jelaskan." Arsen turut bangun, tangannya terulur berusaha menjangkau sang istri yang terus melangkah mundur. "Aku ... a-aku tidak tahu kenapa bisa menyebut namanya.""Itu berarti otakmu tengah memikirkannya, Mas! Mustahil kamu menyebut namanya dalam tidur, kalau alam bawah sadarmu tidak mengingatnya!" Shaynala mera