BRAK! Pintu kayu itu terbuka lebar saat Arsen menendangnya menggunakan satu kaki. Pria itu sudah tidak peduli pada keadaan Larissa yang tengah hamil, ia mendekat dan langsung mencekik leher jenjang itu."Berani sekali kau bermain-main denganku, Jalang Sialan!" desis Arsen. "Selama ini aku sudah sabar menuruti semua permintaanmu. Bahkan aku mengesampingkan istriku demi menuruti kemauanmu. Tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau malah mau menjebakku."Larissa menggelengkan kepala dengan air mata yang mulai menetes dari mata merahnya."Kalau kau mengancam untuk menyebar video itu, aku sudah tidak peduli! Karena saat ini aku akan membunuhmu!""Ja-Jangan, Sen. Akh ...."Jemari lentik itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Arsen dari lehernya. Namun, gagal. Tangan kekar itu mencengkeram sangat kuat."Selama ini kau suka bermain-main 'kan? Maka sekarang nikmatilah permainanku yang sesungguhnya." Pria itu menyeringai puas, menampakkan wajah tampannya yang terlihat begitu menakutkan. "Seharus
Arsen memutuskan pulang setelah menimbang-nimbang, mungkin Mamanya memang tidak mau bertemu. Jadi, apa gunanya menunggu di sana? Mobil mewah itu dikemudikan oleh Victor. Malaju cepat membelah jalan raya dengan diiringi musik keras.Mereka berdua meninggalkan rumah itu setelah mengecek cctv, ternyata benar kalau Larissa sudah menggoda beberapa pengawal agar berpihak padanya. Victor yang geram langsung meminta Arsen memulangkan pengawal yang berkhianat dan mengganti dengan pengawal baru yang lebih kompeten."Kau harus rutin cek CCTV dan alat penyadap itu, Sen. Aku 'kan juga sudah menyambungkan ke ponselmu. Pokoknya jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Kemarin kau sangat ceroboh, Sen!" maki Victor. Tidak henti-hentinya pria itu meneriaki Arsen, sedangkan Arsen hanya diam saja tanpa menimpali apapun. Ia mendengar, tetapi memilih diam karena tahu semua ini salahnya."Kalau takut Shaynala curiga, kau bisa cek di kantor."Arsen menoleh ke arah sahabatnya itu, ia berhutang banyak kepada
"Ponselmu, kok, tetap nggak bisa dihubungi, sih, Rash?! Kamu sebenarnya di mana? Apa kamu baik-baik saja?" pekik Kaindra di dalam mobilnya.Hari sudah beranjak pagi, tetapi Rashita belum ditemukan. Polisi dan agen detektif untuk melacak keberadaan gadis itu juga sudah di kerahkan, tetapi bak ditelan bumi, jejaknya saja tidak diketahui.Naya sudah beberapa kali pingsan mendengar putrinya belum juga ada kabar, sementara Ilham sudah turun ke jalanan bersama adiknya untuk mencari Rashita. Aaraf juga membantu, tetapi nyatanya itu semua tidak mampu untuk melacak di mana gadis itu."Harus mencari ke mana lagi?" gumam Kaindra.Semua sudut kota sudah ia susuri, tetapi tidak memberikan hasil. Beberapa kali Aaraf menghubungi nomor Rashita, tetapi ponsel gadis itu tidak kunjung aktif."Semuanya khawatir sama kamu, Rash." Kaindra kembali melajukan mobilnya melewati gang-gang kecil.Pagi ini ada meeting bersama kolega yang harus ia hadiri, tidak mungkin busa diwakilkan karena ada hal penting yang h
"Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya bicara fakta. Dan ... pada kenyatannya Kak Kaindra memang tidak bersalah," sahut Shaynala.Arsen menggelengkan kepala. "Dia bersalah, Dek!""Tidak, Mas." Tanpa sadar gadis itu meninggikan ucapnya, membuat Arsen melayangkan tatapan memicing ke arahnya. "Kamu harus lihat faktanya, jangan bicara menurut persepsi kamu sendiri.""Kamu membelanya sampai seperti ini, Dek? Sampai meninggikan suaramu. Padahal kamu tahu sendiri kalau aku tidak suka dengan Kaindra. Dari dulu aku sudah tidak cocok dengannya."Gadis itu gelagapan, mencari-cari alasan yang tepat agar suaminya tidak lagi menaruh curiga."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya meluruskan saja, aku tidak mau kamu berprasangka buruk. Dosa, Mas," jawab Shaynala dengan suara lembut.Namun, Arsen sudah terlanjur tidak mood. Ditambah rasa lelah fisiknya setelah melakukan perjalanan panjang. Belum lagi sakit hati karena sang Mama tidak mau bertemu dengannya.Semua kekesalan itu semakin memuncak saat Shaynala
"Kay ...."Wanita paruh baya itu berbalik badan, menatap sendu ke arah suaminya. Mereka baru saja tiba di pesantren, pulang lebih dulu meninggalkan Arsen dan Shaynala."Kamu marah?"Kayshilla menggeleng. "Mana mungkin aku marah dengan suamiku, Mas," sahutnya lirih."Lalu?" Aaraf menatap intens wajah teduh itu, masih terlihat cantik dan segar di usia kepala empat."Tidak ada apa-apa, Mas. Mungkin ... aku hanya ibu yang sedang mengkhawatirkan putranya. Makanya aku berlebihan. Tapi aku sama sekali tidak menyimpan kemarahan untukmu." Wanita itu tersenyum simpul sambil membawa tangannya untuk menggenggam tangan sang suami. "Aku hanya memikirkan putraku, Mas. Itu saja ...."Hening! Aaraf tidak mampu menyahut."Aku minta maaf kalau kelewatan.""Tidak perlu minta maaf," sahut Kayshilla dengan cepat. "Semua orang punya sakit hatinya masing-masing. Dan setiap orang juga berhak meluapkan rasa sakit itu."Kayshilla membalik badan mendudukkan dirinya di ruang tamu, menatap ke depan dengan pandanga
Pria itu terduduk di depan ruang UGD, tangannya sibuk mengutak-atik ponsel untuk menghubungi Ilham. Berharap Ilham dan yang lainnnya segera datang ke sini.Dokter keluar dari ruang UGD dan ia langsung bangkit untuk menghampiri wanita paruh baya dalam balutan jas putih itu."Bagaimana keadaan, eum ... teman saya, Dok?" "Masih belum sadar, Pak. Teman Anda hipotermia dan kami menemukan lambungnya dalam keadaan kosong. Tapi Anda tenang saja, kami sudah mengganti baju pasien dan memasang infus beserta alat-alat medis lainnya. Nanti kalau pasien sadar, segera panggil kami, ya," jelas Dokter tersebut."Baik, Dok. Lalu, apa sekarang bisa ditemui?""Lebih baik tunggu pasien sampai sadar dulu, Pak. Kemungkinan tidak akan lama lagi pasien sudah membuka mata."Pria itu mengangguk patuh. "Baiklah kalau begitu, saya akan menunggu di sini.""Iya, Pak. Saya dan tim medis permisi dulu."Pria itu membalas anggukan Dokter tersebut, setelahnya ia kembali duduk di kursi tunggu untuk menunggu kedatangan K
Berbeda dengan Kaindra yang langsung merebahkan tubuh sesaat setelah sampai di rumah Ryon, Aaraf dan Arsen berangkat ke rumah sakit malam itu juga. Mereka sengaja tidak mengajak Kayshilla dan Shaynala karena dua wanita akan menemani Naya."Loh, Mas Arsen nggak bawa ponsel?" gumam Shaynala saat hendak mengambil kunci mobil dan mendapati benda pipih itu tergeletak di atas nakas."Ya sudahlah aku bawa sekalian saja. Takutnya nanti ada telepon penting dari klien." Tangannya menyambar ponsel itu, kemudian lekas turun dan segera melajukan mobil ke rumah Ilham.Mereka sampai di sana dan langsung menenangkan Naya yang masih menangis sesenggukan. Naya menangis dalam pelukan Kayshilla, sementara Shaynala mengusap-usap punggung tangan wanita paruh baya itu.DRRTT! Shyanala merasakan ponsel suaminya bergetar, ia lekas merogoh saku celana dan mendapati sebuah pesan dari nomor asing.[Larissa harus menjalani operasi karena tulang lehernya bengkok sampai menyebabkan tekanan serius pada saraf dan sum
Rumah Sakit.Berapa saat lalu Rashita sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, dokter sudah memastikan keadaannya membaik. Hal itu jelas saja membuat semua orang mengucap syukur.Farraz masuk ditemani oleh Ilham, pria itu menundukkan diri di kursi samping ranjang. Ia membuat jarak aman agar tidak terlalu dekat dengan Rashita."Terima kasih sudah menyelamatkanku, Kang," ucap gadis itu, lirih."Sama-sama, Mbak. Bagaimana keadaanmu sekarang?""Sudah lebih baik.""Aku bersyukur kamu tidak apa-apa, Mbak.""Alhamdulillah, Kang." Rashita mengulas senyum tipis di bibir pucatnya.Pria itu mengangguk, ia membuka obrolan ringan agar tidak terlalu canggung. Hingga beberapa menit kemudian ia menyudahi obrolannya dan memilih keluar. Aaraf dan Arsen Baru saja sampai, mereka langsung mengobrol dengan yang lainnya. Orang-orang itu juga bergantian tidur, hingga setelah pagi menjelang beberapa orang berpamitan pulang. Hanya menyisakan Ilham dan Ilyas, sementara Aaraf dan Arsen juga baru saja pulang kar