Seusai makan Arsen membawa langkah menuju ruang tamu, tidak seberapa lama kemudian Shaynala menyusul dengan membawa secangkir kopi panas dan beberapa camilan. Ia mengulas senyum saat istrinya kembali perhatian, tetapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama ketika mendapati Shaynala hendak memutar tubuh dan kembali ke dalam."Di sini dulu saja, Dek. Kamu tidak kangen sama Mas?" tanya Arsen, mencoba menahan istrinya."Ada beberapa pakaian yang harus aku lipat, Mas. Nanti setelah salat magrib aku temani ngobrol, ya.""Mas maunya sekarang, Dek. Mas kangen sama kamu setelah tiga hari ini nggak ketemu."Wanita itu mendengus pelan, sejurus kemudian ia memilih duduk di sofa berhadapan dengan suaminya. Netranya menatap datar ke arah pria tampan itu, tatapan yang menyimpan rasa sakit yang tidak bisa diutarakan.Ia hanya menjawab singkat setiap kata-kata yang dilontarkan Arsen. Bibit merah mudanya tetap tersenyum manis sambil sesekali menganggukkan kepala. Walaupun sebenarnya ingin sekali bertanya
"Mas, ayo turun. Sudah ditunggu Abi sama Umi."Arsen menoleh, mendapati istrinya berdiri di ujung tangga dengan raut datar. Pria itu semakin mengernyitkan kening, karena tidak biasanya Shaynala bermuka dingin saat berinteraksi dengannya."Iya, Dek." Arsen mengalihkan pandangannya kepada Kaindra. "Aku turun dulu, Ndra. Nanti kita ngobrol lagi," ucapnya."Iya, Kak," sahut Kaindra seraya langsung melenggang pergi tanpa menoleh ke arah Shaynala.Sementara Arsen langsung turun seraya merangkul bahu istrinya, tidak lupa ia melabuhkan kecupannya pada kening hangat gadis itu."Kenapa diam saja? Ada sesuatu?" tanya Arsen dengan lembut."Kamu lama sekali, aku 'kan sudah lapar."Pria tampan dalam balutan kaos oblong dan sarung hitam itu terkekeh. "Aku kira kamu sakit, Dek. Makanya sampai nggak bisa senyum."Shaynala tidak menyahut, ia hanya mengulas seutas senyum tipis di bibir merahnya. Sejujurnya ia sengaja memasang wajah tanpa ekspresi karena tadi ada Kaindra, entah apa alasannya, yang jelas S
Arsen mengehentikan mobilnya di parkiran khusus Perusahaan Starlight, tetapi ia mengurungkan niat untuk turun."Kalau aku bilang sekarang, Abi tidak akan percaya. Aku tidak memegang bukti, dan lagi pula ... Abi tetap membutuhkan dana itu," gumamnya.Tangannya memijat pelipis, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan ide agar bisa membuat Abi mertuanya percaya. Ia menganggap Kaindra sudah berkhianat karena menjalin kesepakatan dengan musuh di belakang Abi nya, tetapi ia tidak bisa langsung menegur.Arsen tetap turun, ia berencana membantu Abi nya mengurus perusahaan dan menangani beberapa berkas. Tidak lama kemudian Kaindra datang dan langsung mengajak Aaraf bicara empat mata, hal itu semakin membuat Arsen curiga.Di sisi lain, Kaindra dan Aaraf sudah berada di ruang meeting privat. Dua pria berbeda usia itu bicara empat mata dengan serius, sesekali Aaraf akan mengulas senyum saat Kaindra mengatakan sudah mendapatkan dananya."Terima kasih sudah menjaga kepercayaan Abi, Le. Kamu segera
"Anda datang sebagai perwakilan Pak Aaraf?" tanya pria itu lagi yang langsung diangguki oleh Arsen. "Oh, sama kalau begitu. Saya datang untuk mewakili Papa. Mari masuk bersama, Pak," imbuhnya."Iya, Pak Reagen. Anda duluan saja, saya masih menunggu seseorang," sahut Arsen sembari menatap awas ke sekitarnya."Oh, baiklah kalau begitu. Saya masuk duluan, ya, Pak." Arsen mengangguk, menatap punggung Reagen yang sudah hilang dari kerumunan manusia. Pria itu menghela napas lega, bersyukur saat Reagen tidak lagi merecoki urusannya. Kakinya melangkah masuk, menuliskan nama palsu di daftar hadir, kemudian mengikuti gerombolan orang menuju aula utama. Netra elangnya mengedar ke sekeliling, memperhatikan desain interior yang sangat bagus. Ia yakin perusahaan ini lebih kaya dibandingkan perusahaan mertuanya, sehingga ia harus berhati-hati saat menginjakkan kaki di sini.Aula luas yang disulap dengan banyak kursi dan meja yang di tata memanjang membuar Arsen berdecak kesal. Ia takut ada yang me
Mobil itu sampai di rumah sakit dan Arsen langsung membopong Aaraf untuk masuk, pria itu berteriak meminta tolong dan tidak seberapa lama kemudian perawat keluar dengan membawa brankar. Tubuh lemah Aaraf di bawa menuju ruang UGD, dibaringkan di ranjang pesakitan itu dan perawat langsung memasangkan infus. Arsen duduk lemas di kursi tunggu melihat Abi nya tergelatak tak berdaya, tangannya bergetar menghubungi nomor sang istri guna mengabarkan kejadian ini. "Pak Arsen—" Ryon datang tergopoh-gopoh, sementara Arsen langsung memasukkan lagi ponselnya setelah selesai berbincang dengan Shaynala."Kamu sudah tahu kejadiannya seperti apa?" tanya Arsen dengan suara lirih.Ryon mengangguk. "Iya, Pak. Pak Aaraf syok karena kedatangan orang suruhan Pak Jamal, mereka membawa surat jual-beli itu 'kan, Pak?""Bukan hanya itu saja," sahut Arsen yang sontak membuat Ryon mengernyit."A-Apa maksudnya, Pak?" Arsen tidak menjawab pertanyaan Ryon. Tangannya langsung merogoh saku jas dan mengambil ponsel
Ryon pamit keluar untuk mengejar Kaindra, beruntung Kaindra belum sempat melajukan mobilnya meninggalkan parkiran rumah sakit. Tangannya menggedor-gedor kaca, berharap agar Kaindra mau membukanya."Buka pintunya, Ndra. Ada sesuatu yang mau aku bicarakan," ucapnya setelah kaca mobil itu terbuka.Tanpa menjawab sepatah katapun, Kaindra langsung membuka kunci pintu. Ia membiarkan Ryon masuk dan duduk di sebelahnya. Kemudian ia mulai melajukan mobil keluar area rumah sakit.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Ryon mulai menjelaskan permasalahan yang terjadi tadi pagi sampai membuat Aaraf harus dilarikan ke rumah sakit. Jelas saja hal itu membuat Kaindra terkejut, ia tidak merasa membuat surat kuasa itu."Aku masih berharap ini bukan kamu yang melakukannya, Ndra. Tapi ... semua bukti mengarah padamu," ujar Ryon.Kaindra mengepalkan tangannya, rahang kokohnya tampak menegas menahan emosi yang siap untuk diledakkan."Aku bersumpah, Ryon. Bukan aku yang membuat surat kuasa itu, aku tidak ta
Mobil yang dikendarai Kaindra sampai di depan gedung Bratayeksa Company. Ia dan Ryon lantas turun, melangkah bersama memasuki gedung itu dan langsung naik lift untuk menuju ruangan Jamal.Beruntung pria senja itu belum pulang, ia sedang bersantai di ruangannya saat Kaindra dan Ryon baru saja masuk."Loh, kamu sudah pulang, Ndra? Cepat sekali? Biasanya sore baru balik kantor," ucap Jamal seraya bangkit dari duduknya.Kaindra tidak langsung menjawab, ia membawa langkah ke dekat Jamal dan berhenti tepat di depan pria tua itu."Apa maksud surat ini, Tuan?" tanyanya sembari mengangkat map berwarna hitam itu tepat di depan wajah Jamal.Hening! Jamal tidak bergeming."Kita tidak pernah membuat perjanjian seperti ini. Lalu, apa maksud Anda memanipulasi saya seperti ini?! Anda membuat saya seolah-olah menjual perusahaan, padahal itu jelas-jelas Anda yang melakukannya!""Duduk dulu, Ndra. Kakek akan menjelaskannya," sahut Jamal yang langsung disahut gelengan kepala oleh Kaindra."Saya tidak mau
Arsen sampai di ruang rawat dan langsung diajak keluar lagi oleh Shaynala. Wanita itu mengajak suaminya berbicara di luar karena Umi nya baru saja tidur, takut akan tergganggu kalau mendengar suara perdebatan mereka nantinya."Ada apa, Dek?" tanya Arsen saat mereka sudah tiba di taman rumah sakit.Shaynala mendudukkan dirinya di bangku panjang, Arsen mengikut sembari terus menatap bingung ke arah istirnya."Umi khawatir sama Kak Kaindra, Mas. Mau bagaimanapun Kak Kaindra adalah anak Umi, ikatan batin mereka berdua sudah terjalin lama."Arsen masih diam, tidak menyahut dan memilih menunggu sampai Shaynala menyelesaikan semua ucapannya."Umi tadi diam saja karena terlalu syok. Tubuhnya lemas dan nggak tahu harus berbuat apa. Setelah kamu pergi tadi, Umi baru bilang semua yang beliau rasakan. Katanya ... kasihan sama Kaindra," ujar Shaynala."Kaindra sudah berkhianat, Dek. Kita tidak perlu kasihan padanya, malah kita yang keadaannya harus dikasihani," timpal Arsen dengan nada tidak terim