[Datanglah ke rumah Kakek nanti malam. Kakek akan mengenalkanmu dengan seorang wanita cantik, Nak.]Pesan yang dikirim oleh Jamal sore tadi berhasil membuat Kaindra naik pitam. Bahkan sampai malam hari pun kekesalannya belum sirna.Jika bukan karena uang yang telah diberikan Jamal, mungkin Kaindra akan langsung menolak mentah-mentah. Namun, yang bisa dilakukannya saat ini hanya bisa pasrah, pria itu datang ke kediaman Jamal dengan membawa perasaan dongkol.Ternyata, di sana sudah ada banyak orang yang menunggunya. Kaindra semakin malas untuk masuk, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah."Akhirnya kamu datang juga, Nak," ujar Jamal sembari memeluk tubuh cucunya.Ia menggandeng Kaindra untuk masuk dan bergabung dengan keluarga lain di ruang makan. Anggota keluarga lain menyapa Kaindra dengan ramah, tetapi pria itu hanya diam saja dan hanya sesekali menampilkan senyumnya. Jamal menyuruhnya duduk di sampingnya, kemudian acara makan malam ini dimulai.Para staf yang bekerja
"Apa maksud kalian?!" Kaindra menatap bergantian Jamal dan Melati.Entah kenapa ia berpikir Melati adalah orang suruhan Jamal yang ditugaskan untuk mengambil brangkas di ruangannya. Namun, satu sisi pikirannya masih menolak.Ia tidak percaya gadis selembut Melati bisa melakukan hal sekeji itu."Jawab!" sentak Kaindra."Itu ... eum, Kakek janji memberikan kado kalau aku berhasil mandiri dan tidak bergantung kepada Ibu. Kakak 'kan tahu sendiri kalau Ibu sedang sakit, sementara Ayahku sudah meninggal. Ibu dulu menghidupiku dengan menjual sambal cumi, malam hari ibu memasak sambal cumi dan pagi sampai siang menjualnya dengan menitipkan ke rumah-rumah makan. Lalu ... karena kecapekan Ibu jatuh sakit. Awalnya sakit lambung karena telat makan, tapi ternyata setelah di rontgen ada penyakit dalam lainnya. Sampai akhirnya Ibu terbaring lemah di ranjang rumah sakit selama beberapa minggu, Kak." Melati menjeda ucapannya, melirik ke arah Jamal yang tengah mangut-mangut karena puas dengan cerita bo
"Larissa?! Bagaimana bisa?" "Titik merahnya mengikuti garis yang menunjukkan rute ke lokasi Larissa, Sen. Kita harus ke sana untuk mendapatkan jawabannya," sahut Victor."Argh ...!" Arsen memukul setir guna meluapkan rasa frustasinya.Pria itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Meskipun awalnya ia sudah menebak kalau sang Mama ada hubungannya dengan Larissa, tetapi sungguh! Sebenarnya ia tidak ingin hal itu terjadi.'Semoga kamu hanya ada urusan dengan Benny, Ma. Tidak dengan Larissa. Sehingga aku bisa mudah memaafkan mu,' batin Arsen.Mobilnya melaju lebih cepat. Perjalanan kali ini benar-benar menempuh waktu lama. Beruntung keduanya sudah siap dengan perbekalan dan semua resiko sehingga tidak menyulitkan."Perjalanan kali ini akan memakan waktu lama. Aku bisa menggantikan mu dulu, Sen.""Tidak apa-apa, Vic. Aku belum lelah. Nanti saja tidak masalah."Victor mengangguk. Ia kembali fokus pada tablet yang menunjukkan sebuah rute dan titik merah, sementara Arsen tetap fokus dengan
Kabar diusirnya Kaindra dari pesantren sudah tersebar, membuat Ilham langsung mendatangi kediaman Aaraf untuk meminta kejelasan."Saya tahu Gus sangat kecewa, bahkan mungkin ... tidak bisa memaafkan Kaindra lagi. Tapi bagaimanapun setiap manusia tidak ada yang luput dari kesalahan, Gus. Maaf, bukannya saya mau menceramahi, tapi saya hanya memberi pendapat dari sudut pandang calon mertuanya Kaindra." Ilham menarik napas panjang, sementara Aaraf masih tidak bergeming."Saya tidak masalah dengan kondisi Kaindra, saya bisa menanggung pernikahan ini. Kedatangan saya ke sini tadi memang untuk memperjelas status Kaindra. Tidak masalah, Gus. Toh, bukannya laki-laki tidak butuh wali? Kalau restu saya yakin Gus dan Ning sudah memberikannya," imbuh Ilham.Aaraf melirik ke arah Ilham yang masih menatapnya dengan senyum manis. "Aku terlalu kecewa, Ham. Bahkan aku mengingkari janjiku kepada Ayrani dan Mahesa untuk selalu menjaga Kaindra. Aku sudah menaruh kepercayaan besar, tapi dia mengkhianati beg
"Ning ...." Ryon menatap ke arah Shaynala yang masih terlihat syok."Aku masih bingung," sahut Shaynala dengan suara lirih.Ryon menatap kembali lembar berkas itu. Keduanya bingung harus merespon bagaimana, tetapi ada perasaan senang yang membuncah di hati mereka.Berkas itu berisi pembatalan jual beli Perusahaan Starlight kepada Bratayeksa Company."Kak, apa kita harus kasih tahu Abi?" tanya Shaynala.Ryon tidak langsung menjawab, ia tampak berpikir sejenak. Apakah setelah diberitahu, Aaraf bisa langsung memaafkan Kaindra? "Sebaiknya kita coba saja, Kak. Nggak papa. Siapa tahu Abi bisa memaafkan Kak Kaindra." Shaynala kembali membuka suara.Pria itu menghela napas lirih. "Iya, baiklah. Kita coba saja dulu, Ning."Gadis itu mengangguk antusias, ia langsung bangkit untuk mengambil tas dan bersiap pulang. Namun, tiba-tiba ponselnya berdenting yang menandakan sebuah notifikasi masuk.Shaynala menggeser layar, melihat notifikasi yang menunjukkan lokasi Arsen. Keningnya mengernyit bingung
Shaynala memilih mengalah, karena percuma saja terus merayu Abi nya. Ia beranjak ke kamar guna menenangkan diri sebelum kembali ke kantor.Ponselnya terus berdenting, menunjukkan notifikasi tentang titik lokasi suaminya yang saat ini sudah benar-benar berhenti di titik yang sama seperti lokasi Larissa.PYAR!Shaynala membanting ponselnya ke lantai kamarnya, nafasnya naik turun menandakan emosinya yang sudah memuncak. "Tidak pernah kapok! Dia malah terus menemui wanita itu, padahal aku sempat mengiranya sudah berubah! Baiklah, Mas. Kalau kamu masih mempertahankan Larissa, maka jangan salahkan aku kalau aku benar-benar mengajukan perceraian ke pengadilan! Seperti kata Abi, tidak ada kesempatan kedua untuk seorang penghianat!" desisnya.Shaynala mengambil satu ponsel lagi dari dalam tas, kemudian menghubungi nomor Elok — pengacara yang akan mengurus pengajuan perceraiannya."Kamu sudah yakin, Nala? Sudah memikirkan semuanya baik-baik?" tanya Elok dari seberang telepon setelah Shaynala be
Larissa berusaha menggandeng lengan Arsen dan membawanya masuk ke dalam lift. Namun, baru saja beberapa langkah wanita itu merasakan tengkuknya berat dan sejurus kemudian tubuhnya limbung.Victor dengan cepat menangkap tubuh Larissa kemudian menyeretnya ke dekat lift. Ada sofa panjang di sana dan Victor langsung menidurkan tubuh Larissa di sofa itu."Untung dia langsung pingsan," gumam Victor.Ia baru saja memukul tengkuk Larissa hingga menyebabkan wanita itu kehilangan kesadarannya, selanjutnya Victor lekas beranjak menuju Arsen yang saat ini sudah melepas semua kancing kemejanya."Sial!" pekiknya dan langsung menggelandang lengan Arsen menuju kamar. Victor mengunci pintu kamar dan setelah itu menyeret Arsen ke kamar mandi. Ia mencengkeram kuat lengan Arsen agar tubuh itu tidak terus bergerak.Tangannya menyalakan keran shower, Arsen memberontak saat air dingin mengguyur tubuhnya."Diam, sialan! Kau sedang dalam pengaruh obat perangsang. Kau akan semakin hancur kalau kembali masuk d
BRAK! Pintu kayu itu terbuka lebar saat Arsen menendangnya menggunakan satu kaki. Pria itu sudah tidak peduli pada keadaan Larissa yang tengah hamil, ia mendekat dan langsung mencekik leher jenjang itu."Berani sekali kau bermain-main denganku, Jalang Sialan!" desis Arsen. "Selama ini aku sudah sabar menuruti semua permintaanmu. Bahkan aku mengesampingkan istriku demi menuruti kemauanmu. Tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau malah mau menjebakku."Larissa menggelengkan kepala dengan air mata yang mulai menetes dari mata merahnya."Kalau kau mengancam untuk menyebar video itu, aku sudah tidak peduli! Karena saat ini aku akan membunuhmu!""Ja-Jangan, Sen. Akh ...."Jemari lentik itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Arsen dari lehernya. Namun, gagal. Tangan kekar itu mencengkeram sangat kuat."Selama ini kau suka bermain-main 'kan? Maka sekarang nikmatilah permainanku yang sesungguhnya." Pria itu menyeringai puas, menampakkan wajah tampannya yang terlihat begitu menakutkan. "Seharus