Mobil itu sampai di rumah sakit dan Arsen langsung membopong Aaraf untuk masuk, pria itu berteriak meminta tolong dan tidak seberapa lama kemudian perawat keluar dengan membawa brankar. Tubuh lemah Aaraf di bawa menuju ruang UGD, dibaringkan di ranjang pesakitan itu dan perawat langsung memasangkan infus. Arsen duduk lemas di kursi tunggu melihat Abi nya tergelatak tak berdaya, tangannya bergetar menghubungi nomor sang istri guna mengabarkan kejadian ini. "Pak Arsen—" Ryon datang tergopoh-gopoh, sementara Arsen langsung memasukkan lagi ponselnya setelah selesai berbincang dengan Shaynala."Kamu sudah tahu kejadiannya seperti apa?" tanya Arsen dengan suara lirih.Ryon mengangguk. "Iya, Pak. Pak Aaraf syok karena kedatangan orang suruhan Pak Jamal, mereka membawa surat jual-beli itu 'kan, Pak?""Bukan hanya itu saja," sahut Arsen yang sontak membuat Ryon mengernyit."A-Apa maksudnya, Pak?" Arsen tidak menjawab pertanyaan Ryon. Tangannya langsung merogoh saku jas dan mengambil ponsel
Ryon pamit keluar untuk mengejar Kaindra, beruntung Kaindra belum sempat melajukan mobilnya meninggalkan parkiran rumah sakit. Tangannya menggedor-gedor kaca, berharap agar Kaindra mau membukanya."Buka pintunya, Ndra. Ada sesuatu yang mau aku bicarakan," ucapnya setelah kaca mobil itu terbuka.Tanpa menjawab sepatah katapun, Kaindra langsung membuka kunci pintu. Ia membiarkan Ryon masuk dan duduk di sebelahnya. Kemudian ia mulai melajukan mobil keluar area rumah sakit.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Ryon mulai menjelaskan permasalahan yang terjadi tadi pagi sampai membuat Aaraf harus dilarikan ke rumah sakit. Jelas saja hal itu membuat Kaindra terkejut, ia tidak merasa membuat surat kuasa itu."Aku masih berharap ini bukan kamu yang melakukannya, Ndra. Tapi ... semua bukti mengarah padamu," ujar Ryon.Kaindra mengepalkan tangannya, rahang kokohnya tampak menegas menahan emosi yang siap untuk diledakkan."Aku bersumpah, Ryon. Bukan aku yang membuat surat kuasa itu, aku tidak ta
Mobil yang dikendarai Kaindra sampai di depan gedung Bratayeksa Company. Ia dan Ryon lantas turun, melangkah bersama memasuki gedung itu dan langsung naik lift untuk menuju ruangan Jamal.Beruntung pria senja itu belum pulang, ia sedang bersantai di ruangannya saat Kaindra dan Ryon baru saja masuk."Loh, kamu sudah pulang, Ndra? Cepat sekali? Biasanya sore baru balik kantor," ucap Jamal seraya bangkit dari duduknya.Kaindra tidak langsung menjawab, ia membawa langkah ke dekat Jamal dan berhenti tepat di depan pria tua itu."Apa maksud surat ini, Tuan?" tanyanya sembari mengangkat map berwarna hitam itu tepat di depan wajah Jamal.Hening! Jamal tidak bergeming."Kita tidak pernah membuat perjanjian seperti ini. Lalu, apa maksud Anda memanipulasi saya seperti ini?! Anda membuat saya seolah-olah menjual perusahaan, padahal itu jelas-jelas Anda yang melakukannya!""Duduk dulu, Ndra. Kakek akan menjelaskannya," sahut Jamal yang langsung disahut gelengan kepala oleh Kaindra."Saya tidak mau
Arsen sampai di ruang rawat dan langsung diajak keluar lagi oleh Shaynala. Wanita itu mengajak suaminya berbicara di luar karena Umi nya baru saja tidur, takut akan tergganggu kalau mendengar suara perdebatan mereka nantinya."Ada apa, Dek?" tanya Arsen saat mereka sudah tiba di taman rumah sakit.Shaynala mendudukkan dirinya di bangku panjang, Arsen mengikut sembari terus menatap bingung ke arah istirnya."Umi khawatir sama Kak Kaindra, Mas. Mau bagaimanapun Kak Kaindra adalah anak Umi, ikatan batin mereka berdua sudah terjalin lama."Arsen masih diam, tidak menyahut dan memilih menunggu sampai Shaynala menyelesaikan semua ucapannya."Umi tadi diam saja karena terlalu syok. Tubuhnya lemas dan nggak tahu harus berbuat apa. Setelah kamu pergi tadi, Umi baru bilang semua yang beliau rasakan. Katanya ... kasihan sama Kaindra," ujar Shaynala."Kaindra sudah berkhianat, Dek. Kita tidak perlu kasihan padanya, malah kita yang keadaannya harus dikasihani," timpal Arsen dengan nada tidak terim
[Datanglah ke rumah Kakek nanti malam. Kakek akan mengenalkanmu dengan seorang wanita cantik, Nak.]Pesan yang dikirim oleh Jamal sore tadi berhasil membuat Kaindra naik pitam. Bahkan sampai malam hari pun kekesalannya belum sirna.Jika bukan karena uang yang telah diberikan Jamal, mungkin Kaindra akan langsung menolak mentah-mentah. Namun, yang bisa dilakukannya saat ini hanya bisa pasrah, pria itu datang ke kediaman Jamal dengan membawa perasaan dongkol.Ternyata, di sana sudah ada banyak orang yang menunggunya. Kaindra semakin malas untuk masuk, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah."Akhirnya kamu datang juga, Nak," ujar Jamal sembari memeluk tubuh cucunya.Ia menggandeng Kaindra untuk masuk dan bergabung dengan keluarga lain di ruang makan. Anggota keluarga lain menyapa Kaindra dengan ramah, tetapi pria itu hanya diam saja dan hanya sesekali menampilkan senyumnya. Jamal menyuruhnya duduk di sampingnya, kemudian acara makan malam ini dimulai.Para staf yang bekerja
"Apa maksud kalian?!" Kaindra menatap bergantian Jamal dan Melati.Entah kenapa ia berpikir Melati adalah orang suruhan Jamal yang ditugaskan untuk mengambil brangkas di ruangannya. Namun, satu sisi pikirannya masih menolak.Ia tidak percaya gadis selembut Melati bisa melakukan hal sekeji itu."Jawab!" sentak Kaindra."Itu ... eum, Kakek janji memberikan kado kalau aku berhasil mandiri dan tidak bergantung kepada Ibu. Kakak 'kan tahu sendiri kalau Ibu sedang sakit, sementara Ayahku sudah meninggal. Ibu dulu menghidupiku dengan menjual sambal cumi, malam hari ibu memasak sambal cumi dan pagi sampai siang menjualnya dengan menitipkan ke rumah-rumah makan. Lalu ... karena kecapekan Ibu jatuh sakit. Awalnya sakit lambung karena telat makan, tapi ternyata setelah di rontgen ada penyakit dalam lainnya. Sampai akhirnya Ibu terbaring lemah di ranjang rumah sakit selama beberapa minggu, Kak." Melati menjeda ucapannya, melirik ke arah Jamal yang tengah mangut-mangut karena puas dengan cerita bo
"Larissa?! Bagaimana bisa?" "Titik merahnya mengikuti garis yang menunjukkan rute ke lokasi Larissa, Sen. Kita harus ke sana untuk mendapatkan jawabannya," sahut Victor."Argh ...!" Arsen memukul setir guna meluapkan rasa frustasinya.Pria itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Meskipun awalnya ia sudah menebak kalau sang Mama ada hubungannya dengan Larissa, tetapi sungguh! Sebenarnya ia tidak ingin hal itu terjadi.'Semoga kamu hanya ada urusan dengan Benny, Ma. Tidak dengan Larissa. Sehingga aku bisa mudah memaafkan mu,' batin Arsen.Mobilnya melaju lebih cepat. Perjalanan kali ini benar-benar menempuh waktu lama. Beruntung keduanya sudah siap dengan perbekalan dan semua resiko sehingga tidak menyulitkan."Perjalanan kali ini akan memakan waktu lama. Aku bisa menggantikan mu dulu, Sen.""Tidak apa-apa, Vic. Aku belum lelah. Nanti saja tidak masalah."Victor mengangguk. Ia kembali fokus pada tablet yang menunjukkan sebuah rute dan titik merah, sementara Arsen tetap fokus dengan
Kabar diusirnya Kaindra dari pesantren sudah tersebar, membuat Ilham langsung mendatangi kediaman Aaraf untuk meminta kejelasan."Saya tahu Gus sangat kecewa, bahkan mungkin ... tidak bisa memaafkan Kaindra lagi. Tapi bagaimanapun setiap manusia tidak ada yang luput dari kesalahan, Gus. Maaf, bukannya saya mau menceramahi, tapi saya hanya memberi pendapat dari sudut pandang calon mertuanya Kaindra." Ilham menarik napas panjang, sementara Aaraf masih tidak bergeming."Saya tidak masalah dengan kondisi Kaindra, saya bisa menanggung pernikahan ini. Kedatangan saya ke sini tadi memang untuk memperjelas status Kaindra. Tidak masalah, Gus. Toh, bukannya laki-laki tidak butuh wali? Kalau restu saya yakin Gus dan Ning sudah memberikannya," imbuh Ilham.Aaraf melirik ke arah Ilham yang masih menatapnya dengan senyum manis. "Aku terlalu kecewa, Ham. Bahkan aku mengingkari janjiku kepada Ayrani dan Mahesa untuk selalu menjaga Kaindra. Aku sudah menaruh kepercayaan besar, tapi dia mengkhianati beg