Pov AuthorBugh! "Mama!" pekik Dito dan Hardiono bersamaan. Sigap Dito menghampiri tubuh Mira yang tergeletak di lantai, dan mengangkatnya ke ranjang. Dito memeriksa denyut nadi Mira, memastikan mamanya masih bernafas. "Sepertinya Mamamu mendengar obrolan kita, To," lirih Hardiono dengan nafas terengah-engah. Berjalan beberapa langkah saja dia sudah kepayahan, apalagi harus turun gunung lagi, menyelesaikan masalah yang menimpa anak dan perusahaannya. "Semoga Mama hanya kaget Pa, tapi kita tetap harus membawanya ke rumah sakit," ujar Dito khawatir. "Biaya dari mana? Ini Singapore, surat keterangan miskin tak berlaku di sini." Hardiono berkata dengan senyum getir. Begitu mendengar perusahaan kolaps, Hardiono segera menghentikan proses pengobatan yang sedang berjalan untuk istri dan dirinya. Bahkan dia keluar rumah sakit dengan status pulang paksa, alasan biaya tentu saja. Dia tidak mau menjadi beban anaknya."Tapi Mama butuh penanganan, Pa."Hardiono mendesah. "Apa kamu belum tahu
Sejak tahun aku hamil, Mas Elman jadi over protective. Kadar sayangnya naik berkali-kali lipat, aku rasa itu bukan perasaanku saja, Mas Elman memang makin sayang dan perhatian padaku. Tiap jam makan siang, dia selalu menyempatkan diri untuk pulang. Memastikan aku sudah makan dan istirahat yang cukup. Kalau pun tak bisa, dia akan menelfon. Cerewet sekali suamiku itu. Apa aku jatuh cinta lagi padanya? Mungkin. Aku tipe wanita yang suka diperlakukan romantis, jadi aku mudah baper kalau Mas Elman bersikap manis begini. Salah nggak sih, kalau hatiku meleleh dengan perlakuan Mas Elman? "Papa pulang!" Suara ceria itu menyapa kami tiap dia datang. Zila yang sedang duduk di sampingku, langsung berlari menyongsong sang ayah. "Hore .... Papa pulang!" pekiknya girang, dan langsung melompat ke dalam pelukan Mas Elman. Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu, romantis. "Lihat apa yang papa bawa!" Mas Elman mengangkat plastik putih yang dia bawa."Bawa apalagi sih, Mas? Tad
Pov Elman "Nira! Dengar Nira! Aku hamil anak Elman!" teriak Dita dari balik pintu. Membuat Aku dan Nira saling pandang. "Mas?" lirih Nira. Tatapan matanya menuntut penjelasan dariku. "Itu nggak bener, Ra. Itu fitnah, kamu tahu sendiri dari dulu Dita terobsesi padaku." Aku berusaha meraih tangan Nira, tapi buru-buru ditepisnya. "Dita pernah tinggal di luar negeri, kamu tahu sendiri kehidupan di sana seperti apa. Dita penganut faham free se*, dia bisa melakukan dengan siapa saja tanpa ikatan, bahkan tanpa cinta. Bisa saja anak yang dikandungnya itu bukan anakku." Sebisanya aku mencoba berkilah, jujur aku tak mau kehilangan Nira. "Apapun itu, harusnya kamu bersikap jantan mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Mas. Bukan sibuk menghindar mencari alasan pembenaran." Bulir bening yang tadinya mengembun itu, kini deras mengalir. Membuat aku semakin didera rasa bersalah. "Ra, dengarkan penjelasanku dulu." Nira menggeleng pelan. "Penjelasan apa lagi, Mas?" Nira terisak, tangisnya semakin m
Mbak Dita hamil anak Mas Elman? Bagaimana mungkin? Ah, aku lupa. Mereka pernah menjalin hubungan, dan sudah melakukan perbuatan terlarang. Mereka sendiri bahkan sudah mengakui. Lalu aku harus bagaimana? Melepaskan Mas Elman untuk Mbak Dita? Terus anakku gimana? Dia juga butuh ayahnya. Atau mku ijinkan saja Mas Elman menikahi Mbak Dita, tanpa harus berpisah? Tapi aku nggak mau berbagi suami. Membayangkan saja aku tidak sanggup, apalagi harus benar-benar terjadi? Ya Allah ... cobaan apalagi ini? Sepertinya setahun terakhir ini hidupku jungkir balik penuh dengan cobaan. Dari sulitnya merengkuh hati Mas Elman, kini badai kembali menghantam, kala hati Mas Elman berhasil kugenggam. Untuk pertama kalinya aku menyesal menerima pinangan Mas Elman. Semalaman aku tak bisa tidur, meski mata ini terpejam, tapi otak ini terus aktif berfikir. Mencari jawaban atas segala permasalahan yang menghampiri. Apa ini karma? Tapi aku pernah melakukan dosa apa? Belum sempat terjawab pertanyaanku, tiba-tiba
Sudah seminggu ini aku di rumah orang tuaku. Membantu ibu merawat bapak yang sakit-sakitan. Kesibukan membuatku sedikit melupakan kisruh rumah tangga ku, meski masih sering kepikiran. Terbiasa dimanja Mas Elman, membuatku terkadang merindukan sosok laki-laki itu. Kangen aroma tubuhnya, kangen belaiannya. Kenapa bisa begini? Apalagi tiap hari Mas Elman sering nelfon nanyain kabar, mengingatkan makan, nelpon kapan bisa jemput aku? Semua perhatiannya membuat rinduku makin menggebu. Apa aku masih mencintai Mas Elman? Mungkin, tapi aku harus segera menepis semua rasa itu, demi bisa move on. "Wes to, Ra. Kamu itu istirahat saja! Biar ibu yang jagain bapak. Ingat, kamu gitu lagi hamil, jaga kesehatan. Ada raga yang bergantung padamu," ucap Ibu mengingatkanku. Ibu hanya tahu aku hamil, tanpa tahu sebenarnya kandungan lemah. Ibu juga nggak tahu, kalau aku pernah dirawat di rumah sakit, karena pendarahan. Semuanya aku sembunyikan, agar tak jadi beban pikiran. "Nggak pa-pa Bu, tujuan Nira k
Pov Elman"Aku masih mau di sini, Mas." Nira masih menolak aku jemput, padahal dia sudah seminggu di rumah orang tuanya. Aku jadi mikir, apa sebenarnya Nira memang tak ingin kembali bersamaku. Merawat bapak hanya alasannya saja, agar bisa pergi dari sisiku. "Ya sudah, kalau kamu masih betah di sana. Tapi jangan terlalu lama ya? Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Jangan lupa jaga kesehatan, aku titip anak kita," pungkasku mengakhiri panggilan. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin rasanya memaksa Nira pulang, tapi kalau itu kulakukan dia bisa benar-benar pergi dariku. Semua ini gara-gara Dita, kalau saja bukan perempuan, sudah kuhajar sampai babak belur dia. "Pak Elman, ini ada masalah di proyek yang dipegang PT Inti Besi." Edwin datang menyodorkan lembaran laporan di meja kerjaku. Aku menerima laporan itu, membacanya dengan seksama. Sementara Edwin masih berdiri menunggu tanggapanku.Aku hanya bisa menghela nafas, Pak Susilo tidak menepati janji. Dia mulai tidak mengindah
"Sayang, kenapa bisa begini?" Jantungku tiba-tiba berdegup kencang demi melihat siapa yang datang. Mas Elman, sudah seharusnya dia datang menjenguk istrinya yang tengah tergolek di ranjang rumah sakit. Masalahnya sekarang tengah ada dr. Bagus juga, yang sedang menjenguk ku. Beberapa waktu yang lalu Mas Elman pernah terang-terangan mengutarakan rasa tidak sukanya terhadap teman SMA ku ini, dia juga secara terbuka menunjukkan rasa cemburunya. Kalau sekarang dr. Bagus sedang di sini, dengan posisi duduk samping ranjang jelas bukan situasi yang menyenangkan. Aku khawatir terjadi baku hantam, meski keduanya bukan tipe pria bar-bar, tapi rasa cemburu bisa membuat mereka tidak bisa berfikir jernih. Mas Elman memeluk kepalaku, mencium puncaknya berkali-kali. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai jatuh? Kenapa tidak hati-hati?" cerca Mas Elman, dengan posisi masih memelukku. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi sebaiknya biarkan Nira istirahat dan merasa tenang. Jangan ditany
Reaksi ibu benar-benar di luar ekspektasiku, nggak nyangka ibu bakal mendukung perceraianku. "Bu, dengar dulu penjelasan saya," melas Mas Elman. "Penjelasan apa lagi? Kamu mau bilang kalau kamu sedang khilaf, iya? Kamu sedang tidak sadar, kamu dijebak, begitu? Saya tidak butuh alasan basi! Sekarang juga kamu ceraikan Nira, atau Nira yang akan menggugat kamu!" tegas Ibu. Membuatku tersenyum penuh kemenangan, ibu dilawan. "Saya tidak pernah menghianati Nira, Bu. Di hati saya hanya ada dia. Saya melakukan semua ini hanya untuk balas dendam, bukan karena saya membagi hati. Percaya saya Bu, saya berani sumpah demi apapun," ucap Mas Elman berusaha meyakinkan ibu. Entah berapa kali Mas Elman mengatakan bahwa cintanya hanya padaku, tapi entah mengapa aku tidak merasa bahagia. Padahal dulu aku berusaha merengkuh hatinya untuk mendapat cintanya, tapi kenapa sekarang jadi beda? "Kamu pikir saya akan percaya begitu saja dengan omongan kamu, hah! Pakai sumpah-sumpah segala, kamu lihat itu ang
Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha