Sudah seminggu ini aku di rumah orang tuaku. Membantu ibu merawat bapak yang sakit-sakitan. Kesibukan membuatku sedikit melupakan kisruh rumah tangga ku, meski masih sering kepikiran. Terbiasa dimanja Mas Elman, membuatku terkadang merindukan sosok laki-laki itu. Kangen aroma tubuhnya, kangen belaiannya. Kenapa bisa begini? Apalagi tiap hari Mas Elman sering nelfon nanyain kabar, mengingatkan makan, nelpon kapan bisa jemput aku? Semua perhatiannya membuat rinduku makin menggebu. Apa aku masih mencintai Mas Elman? Mungkin, tapi aku harus segera menepis semua rasa itu, demi bisa move on. "Wes to, Ra. Kamu itu istirahat saja! Biar ibu yang jagain bapak. Ingat, kamu gitu lagi hamil, jaga kesehatan. Ada raga yang bergantung padamu," ucap Ibu mengingatkanku. Ibu hanya tahu aku hamil, tanpa tahu sebenarnya kandungan lemah. Ibu juga nggak tahu, kalau aku pernah dirawat di rumah sakit, karena pendarahan. Semuanya aku sembunyikan, agar tak jadi beban pikiran. "Nggak pa-pa Bu, tujuan Nira k
Pov Elman"Aku masih mau di sini, Mas." Nira masih menolak aku jemput, padahal dia sudah seminggu di rumah orang tuanya. Aku jadi mikir, apa sebenarnya Nira memang tak ingin kembali bersamaku. Merawat bapak hanya alasannya saja, agar bisa pergi dari sisiku. "Ya sudah, kalau kamu masih betah di sana. Tapi jangan terlalu lama ya? Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Jangan lupa jaga kesehatan, aku titip anak kita," pungkasku mengakhiri panggilan. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin rasanya memaksa Nira pulang, tapi kalau itu kulakukan dia bisa benar-benar pergi dariku. Semua ini gara-gara Dita, kalau saja bukan perempuan, sudah kuhajar sampai babak belur dia. "Pak Elman, ini ada masalah di proyek yang dipegang PT Inti Besi." Edwin datang menyodorkan lembaran laporan di meja kerjaku. Aku menerima laporan itu, membacanya dengan seksama. Sementara Edwin masih berdiri menunggu tanggapanku.Aku hanya bisa menghela nafas, Pak Susilo tidak menepati janji. Dia mulai tidak mengindah
"Sayang, kenapa bisa begini?" Jantungku tiba-tiba berdegup kencang demi melihat siapa yang datang. Mas Elman, sudah seharusnya dia datang menjenguk istrinya yang tengah tergolek di ranjang rumah sakit. Masalahnya sekarang tengah ada dr. Bagus juga, yang sedang menjenguk ku. Beberapa waktu yang lalu Mas Elman pernah terang-terangan mengutarakan rasa tidak sukanya terhadap teman SMA ku ini, dia juga secara terbuka menunjukkan rasa cemburunya. Kalau sekarang dr. Bagus sedang di sini, dengan posisi duduk samping ranjang jelas bukan situasi yang menyenangkan. Aku khawatir terjadi baku hantam, meski keduanya bukan tipe pria bar-bar, tapi rasa cemburu bisa membuat mereka tidak bisa berfikir jernih. Mas Elman memeluk kepalaku, mencium puncaknya berkali-kali. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai jatuh? Kenapa tidak hati-hati?" cerca Mas Elman, dengan posisi masih memelukku. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi sebaiknya biarkan Nira istirahat dan merasa tenang. Jangan ditany
Reaksi ibu benar-benar di luar ekspektasiku, nggak nyangka ibu bakal mendukung perceraianku. "Bu, dengar dulu penjelasan saya," melas Mas Elman. "Penjelasan apa lagi? Kamu mau bilang kalau kamu sedang khilaf, iya? Kamu sedang tidak sadar, kamu dijebak, begitu? Saya tidak butuh alasan basi! Sekarang juga kamu ceraikan Nira, atau Nira yang akan menggugat kamu!" tegas Ibu. Membuatku tersenyum penuh kemenangan, ibu dilawan. "Saya tidak pernah menghianati Nira, Bu. Di hati saya hanya ada dia. Saya melakukan semua ini hanya untuk balas dendam, bukan karena saya membagi hati. Percaya saya Bu, saya berani sumpah demi apapun," ucap Mas Elman berusaha meyakinkan ibu. Entah berapa kali Mas Elman mengatakan bahwa cintanya hanya padaku, tapi entah mengapa aku tidak merasa bahagia. Padahal dulu aku berusaha merengkuh hatinya untuk mendapat cintanya, tapi kenapa sekarang jadi beda? "Kamu pikir saya akan percaya begitu saja dengan omongan kamu, hah! Pakai sumpah-sumpah segala, kamu lihat itu ang
Aku hanya bisa menatap punggung itu hingga menghilang di balik pintu, ada perasaan lega, akhirnya keputusanku bercerai didukung ibu. Orang yang aku khawatirkan bakal menentang keras perceraianku. Tapi entah mengapa masih ada rasa nyesek di dada? Apakah rasa cintaku terlalu besar, hingga mengalahkan rasa sakit yang dia torehkan? Sebelumnya aku sempat memaafkan dia, menerimanya kembali dan mencoba melupakan penghianatannya. Hingga Mbak Dita datang membawa pengakuan, bahwa di rahimnya ada benih Mas Elman. Aku berfikir lebih baik mundur, mengalah untuk Mbak Dita, daripada dihantui perselingkuhan mereka. Tapi kenapa sekarang hatiku terasa ada yang meremas-remas? 'Gusti, tolong beri aku kekuatan dan kesabaran untuk menjalani takdir ini' doaku dalam hati. "Nduk! Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya ibu dengan wajah khawatir. Pelan kuusap bulir bening di sudut mata ini. Meski keputusanku untuk bercerai sudah bulat, toh rasa sakit tetap kurasakan. "Iya, Bu. Sedikit nyeri dibagian perut bawa
Pov AuthorDita menatap rumah itu dengan perasaan tak menentu, hati menuntunnya untuk melangkah masuk, tapi harga dirinya tak mengijinkan. Masih teringat jelas pengusiran Elman beberapa hari yang lalu, sakitnya masih terasa, bukan sakit fisik, tapi sakit hati karena direndahkan, dan diinjak-injak harganya dirinya. Dita menghrla nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menemui sangat pemilik rumah. 'Ingat Dita, kamu datang untuk dirimu tapi untuk anakmu, dia butuh status yang jelas' gumam Dita menyemangati diri sendiri. Setelah beberapa kali memencet belum, akhirnya pintu terbuka. "Mbak Dita? Nyari Pak Elman? Wah, Pak Elmannya nggak ada," sapa wanita paruh baya ART Elman. Lega hati Dita, setidaknya dia tidak perlu mendengar kata-kata kasar dari laki-laki itu. Tujuannya kesini memang untuk menemui Nira, meminta belas kasihan dari wanita itu, agar mau membujuk suaminya untuk bertanggung jawab. Dia percaya, sebagai sesama perempuan, Nira pasti bisa memahami posisinya saat ini. "Bu
"Jadi perempuan itu cerita padamu?" ucap Elman tanpa menatap Edwin, dia lebih memilih menatap ke arah luar jendela kantornya, memperhatikan lalu lalang kendaraan. Terlihat ruwet, karena beberapa kendaraan tidak mau mengalah dan mau serobot. Sama seperti pikirannya saat ini, ruwet, mbulet, banyak masalah yang sulit diurai. Antara dendam, cinta dan rasa kemanusiaan yang kini mengaduk-aduk hati dan fikirannya.Edwin mengangguk tanpa bersuara, meski tahu Elman tidak sedang melihatnya. Dia memilih diam menunggu reaksi Elman selanjutnya. Edwin bersabar menunggu hingga Elman buka suara, tentu saja dia harus sabar, meski mereka dekat, dia tidak bisa seenaknya bicara berdua dengan Elman untuk membicarakan masalah pribadi. Butuh timing khusus, agar pria sibuk ini mau meluangkan waktu. "Untuk apa dia mengumbar aibnya pada orang lain? Mau menarik simpati, atau mencari dukungan?" sinis Elman, masih tetap menatap ke arah luar. Edwin yang tadinya ketar-ketir takut Elman tidak terima, kini bisa sed
"Assalamu'alaikum .... Boleh saya masuk?" Suara bariton menginterupsi obrolan kami. Dan betapa terkejutnya aku demi melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. "Weh .... Ada dr. Bagus. Kebetulan kalau begitu, ibu mau mengurus administrasi dulu, nitip Nira ya?" ujar Ibu sambil menepuk pelan bahu Bagus. "Iya, Bu iya. Silahkan, biar Nira saya yang jaga. Dijamin aman pokoknya," sahut Bagus dengan wajah semringah. Bagus berjalan mendekat setelah ibu keluar kamar, dia mengambil kursi plastik dan duduk di tepi ranjang. "Siang ini sudah boleh pulang, kan?""Tahu darimana?" Pertanyaan bodoh, dia kan dinas di sini, pasti tahu lah kapan aku pulang, tinggal nanya sama dokter yang menangani aku, kan?"Aku dokter residen di sini, Ra.""Residen itu apa?" Bagus terkekeh mendengar pertanayaanku. Entah apanya yang lucu? Aku ini bukan orang medis, mana tahu istilah yang mereka gunakan. "Residen itu calon dokter spesialis --- ""Oh, kamu sedang mengambil spesialis?" tanyaku memotong ucapan Bagus, ya