Mbak Dita hamil anak Mas Elman? Bagaimana mungkin? Ah, aku lupa. Mereka pernah menjalin hubungan, dan sudah melakukan perbuatan terlarang. Mereka sendiri bahkan sudah mengakui. Lalu aku harus bagaimana? Melepaskan Mas Elman untuk Mbak Dita? Terus anakku gimana? Dia juga butuh ayahnya. Atau mku ijinkan saja Mas Elman menikahi Mbak Dita, tanpa harus berpisah? Tapi aku nggak mau berbagi suami. Membayangkan saja aku tidak sanggup, apalagi harus benar-benar terjadi? Ya Allah ... cobaan apalagi ini? Sepertinya setahun terakhir ini hidupku jungkir balik penuh dengan cobaan. Dari sulitnya merengkuh hati Mas Elman, kini badai kembali menghantam, kala hati Mas Elman berhasil kugenggam. Untuk pertama kalinya aku menyesal menerima pinangan Mas Elman. Semalaman aku tak bisa tidur, meski mata ini terpejam, tapi otak ini terus aktif berfikir. Mencari jawaban atas segala permasalahan yang menghampiri. Apa ini karma? Tapi aku pernah melakukan dosa apa? Belum sempat terjawab pertanyaanku, tiba-tiba
Sudah seminggu ini aku di rumah orang tuaku. Membantu ibu merawat bapak yang sakit-sakitan. Kesibukan membuatku sedikit melupakan kisruh rumah tangga ku, meski masih sering kepikiran. Terbiasa dimanja Mas Elman, membuatku terkadang merindukan sosok laki-laki itu. Kangen aroma tubuhnya, kangen belaiannya. Kenapa bisa begini? Apalagi tiap hari Mas Elman sering nelfon nanyain kabar, mengingatkan makan, nelpon kapan bisa jemput aku? Semua perhatiannya membuat rinduku makin menggebu. Apa aku masih mencintai Mas Elman? Mungkin, tapi aku harus segera menepis semua rasa itu, demi bisa move on. "Wes to, Ra. Kamu itu istirahat saja! Biar ibu yang jagain bapak. Ingat, kamu gitu lagi hamil, jaga kesehatan. Ada raga yang bergantung padamu," ucap Ibu mengingatkanku. Ibu hanya tahu aku hamil, tanpa tahu sebenarnya kandungan lemah. Ibu juga nggak tahu, kalau aku pernah dirawat di rumah sakit, karena pendarahan. Semuanya aku sembunyikan, agar tak jadi beban pikiran. "Nggak pa-pa Bu, tujuan Nira k
Pov Elman"Aku masih mau di sini, Mas." Nira masih menolak aku jemput, padahal dia sudah seminggu di rumah orang tuanya. Aku jadi mikir, apa sebenarnya Nira memang tak ingin kembali bersamaku. Merawat bapak hanya alasannya saja, agar bisa pergi dari sisiku. "Ya sudah, kalau kamu masih betah di sana. Tapi jangan terlalu lama ya? Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Jangan lupa jaga kesehatan, aku titip anak kita," pungkasku mengakhiri panggilan. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin rasanya memaksa Nira pulang, tapi kalau itu kulakukan dia bisa benar-benar pergi dariku. Semua ini gara-gara Dita, kalau saja bukan perempuan, sudah kuhajar sampai babak belur dia. "Pak Elman, ini ada masalah di proyek yang dipegang PT Inti Besi." Edwin datang menyodorkan lembaran laporan di meja kerjaku. Aku menerima laporan itu, membacanya dengan seksama. Sementara Edwin masih berdiri menunggu tanggapanku.Aku hanya bisa menghela nafas, Pak Susilo tidak menepati janji. Dia mulai tidak mengindah
"Sayang, kenapa bisa begini?" Jantungku tiba-tiba berdegup kencang demi melihat siapa yang datang. Mas Elman, sudah seharusnya dia datang menjenguk istrinya yang tengah tergolek di ranjang rumah sakit. Masalahnya sekarang tengah ada dr. Bagus juga, yang sedang menjenguk ku. Beberapa waktu yang lalu Mas Elman pernah terang-terangan mengutarakan rasa tidak sukanya terhadap teman SMA ku ini, dia juga secara terbuka menunjukkan rasa cemburunya. Kalau sekarang dr. Bagus sedang di sini, dengan posisi duduk samping ranjang jelas bukan situasi yang menyenangkan. Aku khawatir terjadi baku hantam, meski keduanya bukan tipe pria bar-bar, tapi rasa cemburu bisa membuat mereka tidak bisa berfikir jernih. Mas Elman memeluk kepalaku, mencium puncaknya berkali-kali. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa sampai jatuh? Kenapa tidak hati-hati?" cerca Mas Elman, dengan posisi masih memelukku. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi sebaiknya biarkan Nira istirahat dan merasa tenang. Jangan ditany
Reaksi ibu benar-benar di luar ekspektasiku, nggak nyangka ibu bakal mendukung perceraianku. "Bu, dengar dulu penjelasan saya," melas Mas Elman. "Penjelasan apa lagi? Kamu mau bilang kalau kamu sedang khilaf, iya? Kamu sedang tidak sadar, kamu dijebak, begitu? Saya tidak butuh alasan basi! Sekarang juga kamu ceraikan Nira, atau Nira yang akan menggugat kamu!" tegas Ibu. Membuatku tersenyum penuh kemenangan, ibu dilawan. "Saya tidak pernah menghianati Nira, Bu. Di hati saya hanya ada dia. Saya melakukan semua ini hanya untuk balas dendam, bukan karena saya membagi hati. Percaya saya Bu, saya berani sumpah demi apapun," ucap Mas Elman berusaha meyakinkan ibu. Entah berapa kali Mas Elman mengatakan bahwa cintanya hanya padaku, tapi entah mengapa aku tidak merasa bahagia. Padahal dulu aku berusaha merengkuh hatinya untuk mendapat cintanya, tapi kenapa sekarang jadi beda? "Kamu pikir saya akan percaya begitu saja dengan omongan kamu, hah! Pakai sumpah-sumpah segala, kamu lihat itu ang
Aku hanya bisa menatap punggung itu hingga menghilang di balik pintu, ada perasaan lega, akhirnya keputusanku bercerai didukung ibu. Orang yang aku khawatirkan bakal menentang keras perceraianku. Tapi entah mengapa masih ada rasa nyesek di dada? Apakah rasa cintaku terlalu besar, hingga mengalahkan rasa sakit yang dia torehkan? Sebelumnya aku sempat memaafkan dia, menerimanya kembali dan mencoba melupakan penghianatannya. Hingga Mbak Dita datang membawa pengakuan, bahwa di rahimnya ada benih Mas Elman. Aku berfikir lebih baik mundur, mengalah untuk Mbak Dita, daripada dihantui perselingkuhan mereka. Tapi kenapa sekarang hatiku terasa ada yang meremas-remas? 'Gusti, tolong beri aku kekuatan dan kesabaran untuk menjalani takdir ini' doaku dalam hati. "Nduk! Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanya ibu dengan wajah khawatir. Pelan kuusap bulir bening di sudut mata ini. Meski keputusanku untuk bercerai sudah bulat, toh rasa sakit tetap kurasakan. "Iya, Bu. Sedikit nyeri dibagian perut bawa
Pov AuthorDita menatap rumah itu dengan perasaan tak menentu, hati menuntunnya untuk melangkah masuk, tapi harga dirinya tak mengijinkan. Masih teringat jelas pengusiran Elman beberapa hari yang lalu, sakitnya masih terasa, bukan sakit fisik, tapi sakit hati karena direndahkan, dan diinjak-injak harganya dirinya. Dita menghrla nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menemui sangat pemilik rumah. 'Ingat Dita, kamu datang untuk dirimu tapi untuk anakmu, dia butuh status yang jelas' gumam Dita menyemangati diri sendiri. Setelah beberapa kali memencet belum, akhirnya pintu terbuka. "Mbak Dita? Nyari Pak Elman? Wah, Pak Elmannya nggak ada," sapa wanita paruh baya ART Elman. Lega hati Dita, setidaknya dia tidak perlu mendengar kata-kata kasar dari laki-laki itu. Tujuannya kesini memang untuk menemui Nira, meminta belas kasihan dari wanita itu, agar mau membujuk suaminya untuk bertanggung jawab. Dia percaya, sebagai sesama perempuan, Nira pasti bisa memahami posisinya saat ini. "Bu
"Jadi perempuan itu cerita padamu?" ucap Elman tanpa menatap Edwin, dia lebih memilih menatap ke arah luar jendela kantornya, memperhatikan lalu lalang kendaraan. Terlihat ruwet, karena beberapa kendaraan tidak mau mengalah dan mau serobot. Sama seperti pikirannya saat ini, ruwet, mbulet, banyak masalah yang sulit diurai. Antara dendam, cinta dan rasa kemanusiaan yang kini mengaduk-aduk hati dan fikirannya.Edwin mengangguk tanpa bersuara, meski tahu Elman tidak sedang melihatnya. Dia memilih diam menunggu reaksi Elman selanjutnya. Edwin bersabar menunggu hingga Elman buka suara, tentu saja dia harus sabar, meski mereka dekat, dia tidak bisa seenaknya bicara berdua dengan Elman untuk membicarakan masalah pribadi. Butuh timing khusus, agar pria sibuk ini mau meluangkan waktu. "Untuk apa dia mengumbar aibnya pada orang lain? Mau menarik simpati, atau mencari dukungan?" sinis Elman, masih tetap menatap ke arah luar. Edwin yang tadinya ketar-ketir takut Elman tidak terima, kini bisa sed
Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha