Lyra duduk termenung di kamarnya yang hening. Hari kemarin terasa seperti mimpi panjang. Kembali ke masa lalu, sesuatu yang tidak pernah dia sangka, kini sungguh terjadi. Senyum tipis mengembang di bibirnya, membuat wajahnya yang muda dan cantik semakin cerah. Sebuah semangat membara menyala dalam dirinya. Lyra bangkit, menatap bayangannya di cermin, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk memulai hari.Ketika dia keluar dari kamar mandi, terdengar suara ketukan pintu kamarnya. Daisy masuk dan menatapnya terkejut seolah sedang melihat hantu."Daisy, kamu kenapa?" tanya Lyra, dia menoleh ke dalam kamar mandi yang berada di belakangnya."Luar biasa!" Daisy terperangah, tangannya menutup mulutnya yang membuka lebar. "Nona Lyra bangun pagi sekali tanpa harus kubangunkan. Benar-benar menakjubkan."Suaranya kecil tapi Lyra masih bisa mendengarnya. Dia tertawa kecil sambil berjalan menuju meja rias. "Daisy, apa aku bisa minta tolong padamu?" tanya Lyra, membiarkan Daisy yang mulai mengeringka
"Sepertinya saya harus keluar sekarang." Pak Bill membuka sabuk pengaman tapi Lyra segera menahannya. "Jangan Pak Bill! Biarkan saja!" tegasnya. "Tapi, sepertinya orang itu akan berbuat nekat jika kita tidak keluar." Bill tetap keluar dan tidak mengindahkan perkataan Lyra. Dari dalam, Lyra tidak bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh Adrian pada supirnya. Kegelisahannya memuncak. Dia buru-buru keluar dan mendengar makian-makian pedas Adrian yang ditujukan pada Bill, suaranya keras dan penuh kemarahan. "Kamu hanya pesuruh, berani sekali kamu memerintahku!" Wajah Adrian memerah, matanya melotot tajam. Lyra membeku. Adrian yang sekarang ini begitu berbeda dari Adrian yang dikenalnya di kehidupan sebelumnya. Sisi gelapnya yang mengerikan ini sungguh mengejutkan. "Adrian!" teriak Lyra. Darahnya mendidih melihat orangnya diperlakukan secara tidak baik. Adrian menoleh, saat itu senyumannya yang terkembang. Dia memandang remeh Bill lalu menghampiri Lyra. "Sayang, akhirnya kamu
"Della, kamu masuk saja dulu," Lyra berkata sambil berlari mengejar pria itu, tidak menghiraukan panggilan Della. Napasnya tersengal-sengal saat dia meraih bahu pria itu, menghentikan langkahnya yang terburu-buru. Pria itu berbalik, menatap Lyra tanpa ekspresi. Lyra berusaha mengatur napasnya, berkata dengan tersengal, "Kamu... yang tadi... itu, kan ...?" Pria itu mengangguk singkat. Dia melepaskan tangan Lyra dari bahunya lalu kembali berjalan. Lyra tidak menyerah, dia terus mengikuti pria itu meskipun diabaikan. Dengan napas sedikit tersengal, dia mengeluarkan ponsel lipat, berdiri tegak di depan pria itu, menghentikan langkahnya. "Berikan nomor teleponmu," katanya, "Aku akan membalas kebaikanmu nanti." Lyra berhasil mendapatkan perhatiannya. Pria itu melirik ponselnya sekilas sambil berkata dengan dingin, "Aku menolongmu bukan untuk mendapatkan balasan." Lyra memegang lengannya. "Oke, tapi aku tetap minta nomor teleponmu," ucapnya tanpa malu. Bagi wanita di tahun 2004, memi
Angin menerpa wajah Lyra, dingin menusuk tulang. Dadanya terasa nyeri, adegan pengkhianatan yang diberikan oleh suami dan sahabatnya, terus terbayang di kepala. Mereka membuat luka tak nampak yang sulit untuk disembuhkan. Lyra sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang yang sangat dia percaya, tega menusuknya dengan pedang yang ternyata sudah diasah sebelumnya. Padahal dia memercayakan semuanya pada mereka, bahkan berpikir untuk bangkit bersama. Namun, ternyata harapan itu hancur berkeping-keping di depan matanya. Lyra merasakan dunia di sekelilingnya seolah runtuh. Setiap kenangan indah yang pernah mereka bagi—tawa, canda, dan mimpi-mimpi yang tampaknya tak terpisahkan—sekarang terasa seperti ilusi yang penuh derita.Dengan langkah gontai, Lyra berjalan tanpa arah. Menyusuri trotoar ibu kota yang masih disibukkan dengan para pejalan kaki meski malam kian larut. Dia ingin pulang, dia ingin tidur di kamarnya, di ranjangnya yang hangat dan berharap bahwa semua yang dilalui hari ini, h
Mata Lyra semakin membulat ketika melihat seorang gadis muda yang dulu selalu melayaninya. Dulu Lyra sangat tidak menyukainya karena orang tuanya selalu membandingkannya dengan dia. Gadis ini lebih muda dari Lyra tapi sudah tau tata krama ketika bicara dengan orang dewasa. Dia sangat sopan, berbeda dengan Lyra yang berjiwa bebas dan terkadang membuat onar. Kening Lyra berkerut, berusaha mengingat nama gadis ini. Namun, tak satupun nama yang bisa diingat. Mungkin karena dia tidak menyukainya. Saat itu dia bahkan enggan untuk melihat wajahnya."Nona?" Pelayan itu kembali memanggil, rambutnya yang terikat rapi sedikit berantakan, menunjukkan sedikit kekhawatiran di balik sikapnya yang selalu terkontrol. "Apa Nona baik-baik saja?"Lyra memperhatikan detail-detail kecil tersebut. Gadis ini memang sopan, bahkan terlalu sopan, dengan tutur katanya yang formal dan terukur, seakan-akan selalu menjaga jarak dan menghindari hal-hal yang bersifat personal. Sikap yang dulu Lyra anggap sebagai ses
Lyra merasakan berat di kelopak matanya, meski begitu dia tetap berusaha untuk membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah cemas orang tuanya, seketika hatinya menghangat karena ini adalah pertama kalinya dia melihat mereka menampakkan ekspresi wajah mengkhawatirkannya."Sudah bangun?" Seketika senyum lemah di wajah Lyra menghilang saat mendengar suara dingin sang ibu. "Kalau kamu sudah sehat, bangun dan bersiaplah." Victoria melihat jam yang melingkar di tangannya lalu berkata pada Charles, "Aku sudah terlambat. Sampai jumpa nanti malam."Pintu kembali tertutup, menyisakan keheningan di antara Lyra dan ayahnya. Charles masih duduk di tempatnya, tatapannya tak lepas dari Lyra. Suasana tegang terasa menyesakkan. Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, dia akhirnya bertanya, suaranya berat dan rendah, "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan tadi?"Lyra menutup bibirnya rapat-rapat. Dia sudah mendapatkan peringatan, dia tidak mau kesempatannya hilang. Perlahan bibirnya me
Lyra memandang pria itu dengan tajam. Dadanya bergemuruh seperti guntur yang siap meledak. Tatapannya menusuk, seolah ingin menembus kedalaman jiwa pria itu. Wajahnya memerah, menahan amarah. Tangannya mengepal erat, urat-urat di tangannya menegang. Lyra bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar, dipenuhi oleh energi yang siap meletus. Adegan pengkhianatan itu kembali terngiang dalam kepala. Dia ingin meluapkan emosi pada pria itu. Mempertanyakan, di mana letak kesalahan yang dia buat sampai tega menyakitinya seperti ini? Namun, tiba-tiba sebuah tepukan kecil Della menyadarkannya. Menariknya ke kenyataan bahwa dia kini berada di 20 tahun sebelum mereka menghancurkan hidupnya. "Lyra, kamu kenapa?" tanya Della, wajahnya terlihat sangat khawatir tapi itu tidak akan membuat Lyra tertipu lagi. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Lyra segera berjalan menuju meja kosong yang ada di paling belakang. Mengabaikan pandangan Adrian dan Della yang kebingungan. "Lyra," panggil Adrian. Dia men
"Della, kamu masuk saja dulu," Lyra berkata sambil berlari mengejar pria itu, tidak menghiraukan panggilan Della. Napasnya tersengal-sengal saat dia meraih bahu pria itu, menghentikan langkahnya yang terburu-buru. Pria itu berbalik, menatap Lyra tanpa ekspresi. Lyra berusaha mengatur napasnya, berkata dengan tersengal, "Kamu... yang tadi... itu, kan ...?" Pria itu mengangguk singkat. Dia melepaskan tangan Lyra dari bahunya lalu kembali berjalan. Lyra tidak menyerah, dia terus mengikuti pria itu meskipun diabaikan. Dengan napas sedikit tersengal, dia mengeluarkan ponsel lipat, berdiri tegak di depan pria itu, menghentikan langkahnya. "Berikan nomor teleponmu," katanya, "Aku akan membalas kebaikanmu nanti." Lyra berhasil mendapatkan perhatiannya. Pria itu melirik ponselnya sekilas sambil berkata dengan dingin, "Aku menolongmu bukan untuk mendapatkan balasan." Lyra memegang lengannya. "Oke, tapi aku tetap minta nomor teleponmu," ucapnya tanpa malu. Bagi wanita di tahun 2004, memi
"Sepertinya saya harus keluar sekarang." Pak Bill membuka sabuk pengaman tapi Lyra segera menahannya. "Jangan Pak Bill! Biarkan saja!" tegasnya. "Tapi, sepertinya orang itu akan berbuat nekat jika kita tidak keluar." Bill tetap keluar dan tidak mengindahkan perkataan Lyra. Dari dalam, Lyra tidak bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh Adrian pada supirnya. Kegelisahannya memuncak. Dia buru-buru keluar dan mendengar makian-makian pedas Adrian yang ditujukan pada Bill, suaranya keras dan penuh kemarahan. "Kamu hanya pesuruh, berani sekali kamu memerintahku!" Wajah Adrian memerah, matanya melotot tajam. Lyra membeku. Adrian yang sekarang ini begitu berbeda dari Adrian yang dikenalnya di kehidupan sebelumnya. Sisi gelapnya yang mengerikan ini sungguh mengejutkan. "Adrian!" teriak Lyra. Darahnya mendidih melihat orangnya diperlakukan secara tidak baik. Adrian menoleh, saat itu senyumannya yang terkembang. Dia memandang remeh Bill lalu menghampiri Lyra. "Sayang, akhirnya kamu
Lyra duduk termenung di kamarnya yang hening. Hari kemarin terasa seperti mimpi panjang. Kembali ke masa lalu, sesuatu yang tidak pernah dia sangka, kini sungguh terjadi. Senyum tipis mengembang di bibirnya, membuat wajahnya yang muda dan cantik semakin cerah. Sebuah semangat membara menyala dalam dirinya. Lyra bangkit, menatap bayangannya di cermin, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk memulai hari.Ketika dia keluar dari kamar mandi, terdengar suara ketukan pintu kamarnya. Daisy masuk dan menatapnya terkejut seolah sedang melihat hantu."Daisy, kamu kenapa?" tanya Lyra, dia menoleh ke dalam kamar mandi yang berada di belakangnya."Luar biasa!" Daisy terperangah, tangannya menutup mulutnya yang membuka lebar. "Nona Lyra bangun pagi sekali tanpa harus kubangunkan. Benar-benar menakjubkan."Suaranya kecil tapi Lyra masih bisa mendengarnya. Dia tertawa kecil sambil berjalan menuju meja rias. "Daisy, apa aku bisa minta tolong padamu?" tanya Lyra, membiarkan Daisy yang mulai mengeringka
Senyum tipis muncul di wajah Lyra. Saat dia mencoba memutus hubungan dengan Adrian, Lyra baru menyadari bahwa itu tidak akan mengubah takdirnya. Maka, dia harus mengubah strategi. Dengan membuat mereka tetap bersama, perselingkuhan itu akan terbongkar, dan dia bisa menulis ulang takdirnya. Lyra berjalan menuju pintu gerbang, melewati deretan mobil di parkiran. Pandangannya tidak sengaja bertemu dengan pria di perpustakaan tadi yang tengah masuk ke dalam mobilnya.Sesaat sebelum pintunya menutup, matanya bertemu dengan mata Lyra. Membuat jantung Lyra terhenti beberapa saat sebelum akhirnya pintu menutup sempurna. Mobil pria itu tidak pergi, hanya diam dengan mesin mobil yang menyala. Lyra tidak tahu apa yang terjadi di dalam, tapi dia merasa seolah dirinya sedang diawasi.Lyra menggelengkan kepala, mencoba menenangkan dirinya. Ini hanya perasaan saja, dia harus tetap tenang dan berpikir rasional. Namun, beberapa menit dia berdiri di sana menunggu jemputannya, mobil itu belum juga perg
Lyra memandang pria itu dengan tajam. Dadanya bergemuruh seperti guntur yang siap meledak. Tatapannya menusuk, seolah ingin menembus kedalaman jiwa pria itu. Wajahnya memerah, menahan amarah. Tangannya mengepal erat, urat-urat di tangannya menegang. Lyra bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar, dipenuhi oleh energi yang siap meletus. Adegan pengkhianatan itu kembali terngiang dalam kepala. Dia ingin meluapkan emosi pada pria itu. Mempertanyakan, di mana letak kesalahan yang dia buat sampai tega menyakitinya seperti ini? Namun, tiba-tiba sebuah tepukan kecil Della menyadarkannya. Menariknya ke kenyataan bahwa dia kini berada di 20 tahun sebelum mereka menghancurkan hidupnya. "Lyra, kamu kenapa?" tanya Della, wajahnya terlihat sangat khawatir tapi itu tidak akan membuat Lyra tertipu lagi. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Lyra segera berjalan menuju meja kosong yang ada di paling belakang. Mengabaikan pandangan Adrian dan Della yang kebingungan. "Lyra," panggil Adrian. Dia men
Lyra merasakan berat di kelopak matanya, meski begitu dia tetap berusaha untuk membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah cemas orang tuanya, seketika hatinya menghangat karena ini adalah pertama kalinya dia melihat mereka menampakkan ekspresi wajah mengkhawatirkannya."Sudah bangun?" Seketika senyum lemah di wajah Lyra menghilang saat mendengar suara dingin sang ibu. "Kalau kamu sudah sehat, bangun dan bersiaplah." Victoria melihat jam yang melingkar di tangannya lalu berkata pada Charles, "Aku sudah terlambat. Sampai jumpa nanti malam."Pintu kembali tertutup, menyisakan keheningan di antara Lyra dan ayahnya. Charles masih duduk di tempatnya, tatapannya tak lepas dari Lyra. Suasana tegang terasa menyesakkan. Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, dia akhirnya bertanya, suaranya berat dan rendah, "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan tadi?"Lyra menutup bibirnya rapat-rapat. Dia sudah mendapatkan peringatan, dia tidak mau kesempatannya hilang. Perlahan bibirnya me
Mata Lyra semakin membulat ketika melihat seorang gadis muda yang dulu selalu melayaninya. Dulu Lyra sangat tidak menyukainya karena orang tuanya selalu membandingkannya dengan dia. Gadis ini lebih muda dari Lyra tapi sudah tau tata krama ketika bicara dengan orang dewasa. Dia sangat sopan, berbeda dengan Lyra yang berjiwa bebas dan terkadang membuat onar. Kening Lyra berkerut, berusaha mengingat nama gadis ini. Namun, tak satupun nama yang bisa diingat. Mungkin karena dia tidak menyukainya. Saat itu dia bahkan enggan untuk melihat wajahnya."Nona?" Pelayan itu kembali memanggil, rambutnya yang terikat rapi sedikit berantakan, menunjukkan sedikit kekhawatiran di balik sikapnya yang selalu terkontrol. "Apa Nona baik-baik saja?"Lyra memperhatikan detail-detail kecil tersebut. Gadis ini memang sopan, bahkan terlalu sopan, dengan tutur katanya yang formal dan terukur, seakan-akan selalu menjaga jarak dan menghindari hal-hal yang bersifat personal. Sikap yang dulu Lyra anggap sebagai ses
Angin menerpa wajah Lyra, dingin menusuk tulang. Dadanya terasa nyeri, adegan pengkhianatan yang diberikan oleh suami dan sahabatnya, terus terbayang di kepala. Mereka membuat luka tak nampak yang sulit untuk disembuhkan. Lyra sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang yang sangat dia percaya, tega menusuknya dengan pedang yang ternyata sudah diasah sebelumnya. Padahal dia memercayakan semuanya pada mereka, bahkan berpikir untuk bangkit bersama. Namun, ternyata harapan itu hancur berkeping-keping di depan matanya. Lyra merasakan dunia di sekelilingnya seolah runtuh. Setiap kenangan indah yang pernah mereka bagi—tawa, canda, dan mimpi-mimpi yang tampaknya tak terpisahkan—sekarang terasa seperti ilusi yang penuh derita.Dengan langkah gontai, Lyra berjalan tanpa arah. Menyusuri trotoar ibu kota yang masih disibukkan dengan para pejalan kaki meski malam kian larut. Dia ingin pulang, dia ingin tidur di kamarnya, di ranjangnya yang hangat dan berharap bahwa semua yang dilalui hari ini, h