Seekor kuda dipacu berderap mengarah ke pendapa. Beberapa pembantu rumah yang tengah menyalakan lentera di sekeliling halaman rumah besar itu menoleh kaget. Yang datang pasti bukan jenis tamu biasa. Terlebih kemudian enak saja penunggangnya melompat turun dari kuda tanpa perlu menunggu kudanya berhenti terlebih dulu, dan ia tidak jatuh nyungsep.
Matahari tepat sepenuhnya terbenam di hamparan langit biru kelabu saat pria bertubuh tegap itu melangkah bergegas menuju pendapa, sementara kudanya dikejar untuk ditangkap oleh beberapa orang pengawal rumah. Sang pria pendatang baru berhenti setelah muncul sosok besar Bajul dari arah pintu rumah utama.
“Ada apa?” tanya Bajul cepat. “Soal mayat yang dibakar tadi?”
“Ya. Mana Wisnumurti?”
“Di dalam. Ayo!”
Keduanya masuk ke rumah utama. Di ruang pringgitan, beberapa pria yang duduk di amben bambu seketika bangkit berdiri untuk menyambut laki-laki itu, yang mengenakan baju lengan panjang dan kain bawah yang dipakai sebatas lutut, dan keris berhulu bagus di pinggang kanan. Penampilannya rapi dan resmi, menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan penggede kadipaten.
“Ini Senopati Bantala, kepala pengawal Gusti Adipati Jayapati,” Bajul mengenalkan pria itu pada Wisnumurti.
Sang pria mengucap salam, yang dijawab semuanya termasuk Bajul. Ki Soma mempersilakannya naik ke amben, bergabung bersama dirinya, Wisnumurti, dan Jaladri. Bajul tetap tegap berdiri, sambil melipat tangan di dada.
“Apakah jati diri korban sudah diketahui?” tanya Wisnumurti kemudian.
“Belum,” jawab Senopati Bantala sambil menggeleng. “Langsung saya perintahkan agar dia dikubur, sebelum membuat warga ketakutan.”
Sore tadi ada kegemparan ketika tak saja terjadi peristiwa pembunuhan tepat di pusat kota, namun juga pembakaran jenazah yang diperintahkan oleh Wisnumurti. Ia sendiri bersama Jaladri kemudian membantu para prajurit keamanan kota untuk membereskan sisa-sisa peristiwa, sebelum bertandang kemari untuk membersihkan diri.
Dan kedatangan petinggi ketentaraan dari Pura Karang Bendan memang sudah ditunggu. Pihak kadipaten pasti ingin tahu lebih jauh mengenai perkara ini.
“Jadi, apakah itu sebenarnya Lambang Merah?” tanya Senopati Bantala kemudian. “Anak buah saya melapor, kau menyebut nama itu tadi pada mereka.”
“Itu semacam kelompok kebatinan. Kediaman mereka ada di Alas Mayit, sekitar 20 pal di sisi timur laut Kotaraja Pasir. Bedanya dari aliran kebatinan yang umum adalah, mereka bukannya bertujuan pada Sang Tunggal Pencipta Alam yang dalam Islam dikenal dengan nama Allah, melainkan kebalikannya.”
Ki Soma terhenyak. “Maksudmu, mereka menyembah Iblis?”
Wisnumurti mengangguk. “Ya. Kegiatan mereka adalah mengumpulkan orang-orang untuk diajak, atau dipaksa, menjadi anggota. Yang mau gabung dan kemudian berpikiran seperti mereka, merelakan untuk bunuh diri agar bisa secepat mungkin bertemu dan bersatu dengan Iblis di Neraka.”
“Nah, yang tidak mau?” sahut Jaladri.
“Dibunuh tentu saja, sebagai persembahan untuk Iblis. Dan semua dilakukan dalam sebuah upacara, terjadi dan disaksikan sebegitu banyak orang.”
“Mereka bunuh diri bersama-sama!?” celetuk Bajul.
“Dan ada pula yang dibunuh bersama-sama. Dari yang kudengar, itu biasanya terjadi pada lebih dari 10 orang dalam sekali upacara. Yang bunuh diri barengan dulu, baru kemudian yang dibantai. Ada juga yang begitu tak waras sehingga darah para korban kemudian ditampung dan diminum bersama-sama, seperti kita di sini minum minuman keras.”
“Lalu mengapa kau tadi memerintahkan agar jenazah anak itu dibakar sesegera mungkin?” tanya Senopati Bantala. “Apinya tadi begitu besar. Untung tak sampai menjilat kediaman Tumenggung Bahusasra di sebelah kirinya.”
“Senjata mereka yang paling mengerikan adalah meledakkan mayat. Mereka membunuh orang dengan satu ramuan racun khusus. Setelah beberapa lama, biasanya sepenanak nasi lamanya, ramuan racun di dalam tubuh itu akan membuat jenazah meledak. Racunnya lalu menyebar lewat udara, dan bisa membunuh orang satu desa! Jenazah yang dibunuh dengan cara itu harus segera dibakar sebelum meledak. Lambang Merah kerap melakukan itu di desa-desa pedalaman di sekitar tempat kediaman mereka. Membunuh ludes orang sedesa adalah persembahan jiwa yang sangat bernilai tinggi bagi Iblis.”
“Dan sekarang salah satunya sampai di sini...” Ki Soma mendesis pelan sambil mengelus jenggotnya yang mulai memutih. “Ini pertanda buruk...!”
“Memang mencemaskan. Saya sudah mendengar beberapa laporan mengenai peristiwa serupa dalam beberapa pekan terakhir. Dan mereka memang mulai berani melakukannya jauh di luar wilayah mereka.”
“Saya akan perketat keamanan di tengah kota untuk berjaga-jaga andai terjadi serangan yang seperti itu tadi,” kata Senopati Bantala. “Kabarnya ada rangkaian pembunuhan yang saat ini menggegerkan rimba persilatan. Itu betul?”
Wisnumurti mengangguk. “Ya. Dua korban sudah jatuh.”
Ia lalu menceritakan kedua pembunuhan itu, yang semuanya dilakukan oleh orang yang mengaku bernama Pangeran Langit.
“Itu bukan pembunuhan biasa,” katanya. “Keduanya dibunuh di hadapan murid dan pengikut masing-masing, dan sang pembunuh sengaja mengungkap namanya dengan gamblang. Pembunuh lain biasanya berusaha mati-matian agar jatidirinya tidak ketahuan. Yang ini malah sengaja pamer!”
“Mau ada apa ini? Pembunuhan di mana-mana...” gumamnya. “Nyawa seperti tak ada harganya.”
“Jangan khawatir! Belum tentu juga akan dengan seketika terjadi di sini,” sahut Jaladri.
“Dan dengan keadaan seperti ini, kau malah mau keluyuran ke dunia luar mencari petualangan?” Wisnumurti memelototi Jaladri.
Sudah pasti Ki Soma ribut.
“Apa? Jangan aneh-aneh! Zaman lagi gawat seperti ini malah mau keluyuran!”
“Apa sih kau ini? Ngakunya teman, tapi menjerumuskan!” Jaladri mendorong dengkul Wisnumurti yang bersila dengan kakinya.
Pemuda itu tertawa. Mau tak mau Senopati Bantala dan Bajul ikut menertawakan Jaladri juga.
“Loh, katanya aku harus ngomong ke Paman Soma soal rencanamu yang pintar itu,” celetuk Wisnumurti, memperbaiki kembali duduknya.
“Ya tapi kan tidak dengan cara seperti itu. Dasar bodoh...!”
“Oh, jadi dia minta padamu agar kau membujukku memperbolehkan dia keluar mengikutimu, begitu?” Ki Soma lalu menanyai Wisnumurti.
Yang ditanya mengangguk pendek. “Kurang lebih begitu.”
Untung Jaladri dengan cepat menemukan jalan keluar.
“Tapi kan tempo hari Ibu bilang mau mengirim baju-baju dan makanan ke Wa Gede di Kenipir. Kalau cuman pergi ke sana kan kecil kemungkinan ada masalah. Tugaskan saja aku dan Bajul. Wisnu sekalian bisa mampir sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya berburu Pangeran Langit. Sesudah itu dia terus ngelayap tak jelas, aku dan Bajul balik lagi ke sini. Paling hanya perlu sepekan.”
“Itu betulan apa hanya sekadar akal-akalanmu agar diizinkan pergi?” tukas Wisnumurti.
“Beneraaaan. Tanya Bapak kalau tidak percaya!”
Ki Soma terdiam.
“Memang ada rencana begitu,” katanya. “Dan aku agak enggan nyuruh orang-orangnya Bajul. Mereka suka sembarangan. Barang-barang kiriman bisa saja rusak atau tercecer di jalan. Aku sendiri belum sempat pergi untuk mengantarnya sendiri ke sana.”
“Ya sudah. Biar kami saja yang bawa,” kata Wisnumurti. “Kebetulan saya juga sudah lama tidak bertemu Ki Gede dan keluarganya. Pratiwi pasti sudah besar sekarang.”
“Sedikit lebih besar dari Pramesti, dan Kakangmbok Gede sudah bingung memilih calon menantu.”
“Semoga saja dia menurut. Anak itu kan bandel dan banyak tingkah.”
Ki Soma tertawa. “Aku juga mikir begitu. Apalagi dia sedikit banyak kan mirip kau yang berjiwa bebas. Bisa-bisa nanti calon suaminya nanti harus dia uji dulu, layak apa tidak buat dia terima sebagai pendamping.”
“Jadi bagaimana ini?” tukas Jaladri, memotong percakapan sebelum ada yang mengarahkan pembahasan soal rencana pernikahan pada dirinya. “Aku boleh apa tidak pergi bareng Wisnumurti? Kalau hanya ke Kenipir, masa tidak boleh? Jaraknya kan hanya sehari perjalanan dari sini. Pagi berangkat, magrib tiba. Dan alur jalannya bagus. Kudengar sudah bisa dilalui sepenuhnya menggunakan kuda.”
“Memangnya kau akan berangkat kapan?” Ki Soma menoleh pada Wisnumurti.
“Besok. Saya ingin ikut hadir di pertemuan besar yang diselenggarakan di Gunung Wijil beberapa hari lagi. Dari Kenipir saya langsung ke sana.”
Ki Soma berpikir keras sebelum menghembuskan napas.
“Baiklah. Jaladri boleh ikut, asal bersama Bajul. Dan jika ada gejala kemunculan orang Lambang Merah itu atau Pangeran Langit di jalan, kalian dilarang ikut campur!”
Jaladri mengangguk mantap. “Setuju.”
“Dan sesudah pulang nanti, kau akan langsung bertemu calon istrimu.”
Jaladri seketika mendelik.
“Apa? Secepat itu? Tapi aku belum siap menikah!”
Ki Somanagara mendengus. “Mana ada orang siap nikah? Kalau nunggu siap, sampai kiamat juga tidak bakalan siap karena perempuan cantik ada di mana-mana.”
Wisnumurti mengangguk. “Setuju.”
“Halah, tidak usah ikut campur!” Jaladri menukas gahar. “Memangnya kau sendiri sudah siap nikah?”
Semua tertawa berderai.
“Bangun.”Bisikan itu lirih sekali. Nyaris tak terdengar. Namun sesuatu di dalamnya kuasa membangunkan Jaladri seketika. Dan hal pertama yang langsung menyinggahi ingatannya adalah bahwa ia tindhihen—mata melek sadar di tengah tidur lelap namun sekujur badan tak bisa digerakkan.Beberapa kali ia mengalami ini. Yang tak lazim adalah bahwa barusan, sepertinya, ia mendengar suara seseorang berbisik.Itu suara sungguhan apa gangguan gendruwo penunggu rumah ini?Kediaman keluarganya memang angker. Sering sekali para pengawal atau pembantu melapor melihat hantu tanpa kepala, makhluk raksasa berbulu hitam, atau pocong yang mengambang di pohon mangga samping pendapa. Namun Jaladri sendiri seumur hidup belum pernah melihat sendiri penampakan semacam itu.“Tenang. Aku bukan hantu.”Jantungnya berdegupan kencang, terlebih ketika kemudian matanya yang mulai menyesuaikan dengan kegelapan kamar menangkap kehadiran sa
Dengan cepat ia kembali menaiki lereng landai tepian sungai dan bergabung dengan kedua temannya. Matahari sudah tinggi, sedikit mulai bergulir ke barat. Setelah setengah hari meninggalkan Karang Bendan, mereka menemukan tempat itu, tepat di tepi sungai kecil yang berair jernih.Ketiganya kemudian berhenti untuk makan siang dengan nasi bungkus bekal dari keluarga Ki Soma. Sekarang perut sudah terisi, siap melanjutkan perjalanan tanpa henti hingga tiba di Kenipir yang berada di barat Karang Bendan. Karena berjarak tak terlalu jauh sehingga oleh karenanya sering dilewati, ruas jalan dari Karang Bendan menuju Kenipir memang telah cukup rapi. Selalu tersedia medan yang lapang dan rata, sehingga kuda-kuda dan kereta kuda serta berbagai jenis gerobak bisa melintas dengan baik.Perjalanan pun cukup aman. Hampir tak ada gerombolan begal yang berkeliaran di antara kedua daerah ini, sehingga warga bisa bepergian dengan aman tanpa harus berkelompok dan menyewa tenaga pendekar sila
Wisnumurti menangkap tali kekang kuda Jaladri, sementara Bajul dengan sigap menurunkan orang yang terluka itu ke tanah.“Dengan luka sayatan yang sama?” tanya Wisnumurti.“Ya, sama persis” sahut Jaladri. “Bapak yang satu ini kemungkinan tak ada di tempat saat peristiwa terjadi, lalu dia sempat lari menyelamatkan diri. Luka-luka di tubuhnya disebabkan oleh hal lain. Mungkin dia bertemu macan atau ditabrak celeng.”Wisnumurti dan Bajul memeriksa pria itu, yang berumuran kira-kira sebaya dengan Ki Soma. Dia tergolek tak sadarkan diri. Darah di sekujur badannya keluar dari begitu banyak luka cabikan di sekitar dada, perut, dan bahkan leher. Sepertinya itu memang luka akibat binatang buas.Mengingat darah yang keluar terlalu banyak, pria itu tak akan bertahan. Yang jelas ia masih hidup. Dadanya naik turun, tersengal oleh napas satu-satu yang diperjuangkan sepenuh daya di tengah deraan rasa sakit yang pasti tak tertanggungkan
Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa d
Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya di
“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia