2

“Demak iya, dan juga Semarang. Soal Mataram, aku hanya mendengar-dengar berita saja. Penguasa kota itu yang bergelar Ki Gede Mataram meninggal. Lalu ia digantikan Sutawijaya, anaknya, yang kemudian menggunakan gelar Senopati ing Alaga.”

“Wah, gahar sekali gelarnya—panglima di medan perang. Seperti tiap saat menantang negara lain untuk berperang.”

“Dia memang seorang panglima yang sangat hebat, dan juga pesilat tanpa tanding di wilayahnya sana. Dan ia pernah diramal suatu saat akan menjadi raja diraja yang menguasai Jawa hingga ratusan tahun ke depan.”

“O, ya? Siapa pula yang memberikan ramalan itu?”

“Sunan Giri Prapen, penguasa Giri Kedaton yang perkasa di wilayah timur. Dan itu membuat para penguasa negeri-negeri timur resah lalu ingin secepatnya melenyapkan Mataram sebelum menjadi terlalu besar dan tak bisa lagi dilawan.”

Jaladri selalu senang berbincang dengan Wisnumurti. Anak muda itu seperti gudangnya semua berita. Dia tahu apa saja, dan bisa memberi kabar tentang peristiwa-peristiwa terbaru yang menarik. Salah satunya yang ini. Belum pernah Jaladri tahu sebelumnya bahwa ada ramalan yang mengatakan bahwa penguasa Mataram adalah calon raja Jawa yang akan berkuasa sedemikian tinggi.

“Kalau penguasa seluruh Jawa berasal dari Mataram, lalu bagaimana dengan Keraton Pasir? Apakah Pasir juga suatu saat akan tunduk kepada Mataram?”

Wisnumurti hanya mengedikkan bahu. “Tak aneh, bukan? Dulunya pun Pasir adalah negara bawahan Demak. Hanya karena Sultan Demak yang baru tak begitu berminat terhadap daerah-daerah di barat laut, akhirnya Pasir bisa memerdekakan diri. Tapi itu bisa saja tak lama. Sesudah Sultan Giriwangsa yang sekarang mangkat, bisa saja Pasir kembali menjadi negara bawahan keraton lain, dalam hal ini Mataram.”

Jaladri tahu dari ayahnya, penguasa Pasir yang saat ini bertakhta, Sultan Giriwangsa, barulah raja kedua sesudah Pasir merdeka dari Demak. Penguasa sebelum ini adalah ayahnya yang bergelar Sultan Sindunagara. Tanpa keberadaan orang kuat seperti Sultan Giriwangsa, Pasir akan dengan mudah ditaklukkan bangsa lain.

“Bagaimana dengan orang-orang persilatan? Ada berita apa soal mereka?”

“Pembunuh berantai,” Wisnumurti menjawab sambil sibuk menggerogoti kepala ikan kakap yang dimasak gulai.

“Ada pembunuh?”

“Ya. Pesilat membunuh pesilat lain adalah hal biasa, tapi satu orang melakukan serangkaian pembunuhan sambil mengenalkan diri adalah berita yang sangat menarik.”

Jaladri ternganga. “Siapa dia itu?”

“Ia menyebut dirinya Pangeran Langit. Dan dua korban sudah jatuh, Ki Saradipa, ketua Wisma Bendera Merah, dan Kiai Sangkrah dari Padepokan Tunjung Biru.”

“Kiai Sangkrah? Bagaimana mungkin? Beliau bukan orang sembarangan!”

“Itulah masalahnya. Berarti ilmu si pembunuh benar-benar tidak bisa diabaikan.”

“Apakah menurutmu masih akan ada pembunuhan lainnya lagi?”

“Itu yang harus kita cegah!”

“Kau akan mengejar orang ini?”

Wisnumurti mengangguk. “Tentu saja. Kedua korban adalah teman-teman dekat Bapa Panembahan Singgih. Bisa saja dia kemudian gentayangan di sekitar Gunung Cakrabuana. Aku harus menghentikannya sebelum sepak terjangnya mencapai kawasan perguruanku!”

“Kau sudah mendatangi mereka? Maksudku, Wisma Bendera Merah dan Padepokan Tunjung Biru itu?”

“Aku sebenarnya sedang dalam perjalanan ke kediaman Kiai Sangkrah, ketika aku mendengar bahwa para pemuka perguruan silat di seluruh negeri-negeri bawahan Pasir akan berkumpul di Gunung Wijil tak lama lagi. Akan lebih baik kalau aku ikut saja ke sana, sehingga bisa bertemu semuanya. Karena itu, sebelum berangkat ke Gunung Wijil beberapa hari lagi, aku sempatkan untuk liburan sebentar ke sini.”

“Apakah mereka berkumpul sehubungan dengan pembunuhan-pembunuhan itu?”

“Sepertinya begitu. Orang yang bernama Pangeran Langit ini benar-benar bisa membuat para guru besar keder.”

“Aku ikut denganmu, kalau kau siap berangkat ke Gunung Wijil nanti.”

Wisnumurti tertawa. “Ya, tentu saja. Dan sebelum ada sepenanak nasi kau pergi dari rumahmu, kepalamu terpotong oleh anak buah Pangeran Langit yang salah mengiramu sebagai kelinci untuk dibakar dan dikasih garam!”

Jaladri mendecak sebal. “Kaupikir aku perawan kencur yang gampang dijawil-jawil pria nakal? Lagipula aku pasti akan ditemani Bajul. Aman.”

“Kalaupun Bajul menemanimu bersama 100 orang pengawal keluarga kalian, apa mungkin bapakmu bakal memperbolehkanmu keluar rumah? Kau kan anak tersayangnya. Calon pewaris kebesaran nama keluarga Somanagara. Kalau sampai kepalamu hilang, tidak akan ada gantinya itu.”

“Aku akan bicara pada bapakku. Dan kau harus bisa meyakinkannya agar memperbolehkan aku main di luaran. Aku bosan di sini. Butuh suasana baru. Petualangan yang menggetarkan. Bercanda dengan maut!”

“Mautnya yang tak bakalan mau bercanda denganmu.”

Jaladri mendecak sebal.

Sehabis makan, mereka salat dzuhur di surau tempat makan tersebut, dengan Wisnumurti bertindak sebagai imam. Matahari sudah turun jauh ke langit barat saat keduanya berjalan santai melintasi pusat kota, menuju rumah besar Ki Somanagara yang terletak tak jauh dari alun-alun. Sebentar lagi petang akan tiba. Angin pantai berhembus cukup keras dengan aroma garam yang menusuk hidung.

Keduanya melangkah sambil terus berdiam diri, ketika mendadak terdengar suara jeritan ngeri terdengar menggema keras di sekitar tempat itu. Wisnumurti dan Jaladri saling pandang dengan kaget.

“Apa itu?” tanya Wisnumurti.

“Barangkali ada pembunuhan!” sahut Jaladri sekenanya.

Orang-orang menghambur seketika ke arah asal jeritan. Kedua pemuda itu sudah tentu tak mau ketinggalan. Mereka membelok mengikuti kerumunan tersebut ke persimpangan di depan, lalu membelok lagi ke sebuang gang kecil di antara dua bangunan besar.

Kerumunan tercipta. Beberapa warga menggotong seorang perempuan ke tempat teduh. Jaladri sempat mengira perempuan itu yang menjadi sumber keributan. Ternyata bukan. Ia mengikuti Wisnumurti merangsek kerumunan sehingga bisa melihat apa yang terjadi. Dan yang mereka saksikan bukanlah jenis pemandangan yang kuat dilihat sembarang orang.

Seorang lelaki muda berdiri kaku menyandar pada sisi salah satu dinding. Sepasang matanya menatap kosong, sementara dari ujung bibirnya mengalir darah segar. Di dada kirinya menancap sebilah belati kecil yang mengakibatkan luka menganga yang sangat berat. Ia mati seketika. Tusukan itu tepat menghantam jantungnya.

Saat semua orang tengah meributkan jatidiri korban, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di atas gang. Semua mendongak kaget. Wisnumurti menjejakkan kaki. Bayangannya melenting tinggi. Di puncak lompatannya, bayangan tadi menoleh sambil mengeluarkan suara dengusan gusar. Tangannya mengibas dengan cepat, menyambitkan tiga bilah belati berwarna keperakan ke arah Wisnumurti.

Ketiga belati meluncur deras. Tapi mudah saja bagi pemuda itu untuk mengelak sekaligus menepis ketiganya menjauh. Dalam hentakan yang sama, ia meliuk mengejar. Sosok tak dikenal itu melompat mundur sambil memapaki serangan Wisnumurti. Gebrakan pertama terjadi. Wisnunurti menang tenaga. Dan dengan satu gerakan maju ia sudah mengurung lawan dalam satu lingkaran serangan yang amat kuat. Beberapa pukulan menyusul dengan cepat. Lawan terpaksa harus berjumpalitan ke belakang untuk menyelamatkan diri. Dan gerakannya ini segera saja membawanya pada kedudukan yang sulit di bibir atap.

Seperti biasa, Wisnumurti tak pernah menyia-nyiakan peluang sekecil apa pun untuk menggebuk lawan. Meski dalam benturan awal tadi ia sudah bisa mengukur bahwa kepandaian lelaki bertopeng ini masih satu kelas di bawahnya, ia tetap maju dan merangsek habis. Si manusia topeng mati kutu, tak sempat memberikan perlawanan. Terakhir, dalam gerakan yang amat rumit, pukulan Wisnumurti tepat menghantam bahu kiri orang ini. Habis sudah. Ia terjungkal jatuh dari atap.

Wisnumurti terbang menyusul turun dengan cepat. Lawan berada persis di bawahnya. Tapi sedetik sebelun ia menamatkan pertarungan, tiba-tiba sebentuk asap berwarna hijau menghambur ke arahnya. Wisnumurti berteriak keras. Hidungnya mencium bau racun yang sangat ganas. Seketika tenaga murninya memancar keluar memberi perlindungan. Ia menggunakan udara sebagai bantalan untuk membal kembali ke atap.

Wisnumurti menunggu sesaat. Ia menengok ke bawah sesudah asap racun itu terburai ditiup angin. Bayangan manusia bertopeng tadi sudah tak ada lagi di tempatnya semula. Lenyap entah ke mana.

Pemuda itu menggeram pelan. Ia melompat turun. Jaladri sudah menunggunya sambil menggenggam sebilah belati kecil.

“Apa yang disambitkannya terakhir tadi?” tanya Jaladri. “Aku jarang melihatmu mundur teratur seperti itu.”

“Bubuk racun Alas Mayit. Sekali terhirup, isi badan dalam bisa terbakar habis!”

“Pantas,” Jaladri menggumam, lalu ditunjukkannya belati di tangannya. “Ini kutangkap dari tiga yang kautangkis tadi. Mungkin kau pernah melihatnya.”

Wisnumurti berkerenyit melihat ukiran berbentuk tengkorak manusia di hulu belati tersebut.

“Racun Alas Mayit dan belati tengkorak,” desisnya pelan. “Lambang Merah...!”

Jaladri mengernyitkan alis. “Apa itu?”

Bukannya menjawab, Wisnumurti malah menuding ke arah mayat korban pembunuhan.

“Bakar mayat itu, cepat! Atau seisi kota bisa mati dalam sepenanak nasi!”

Jaladri terlompat kaget.