Share

Menuju Matahari
Menuju Matahari
Author: Wiwien Wintarto

1

last update Last Updated: 2021-04-08 13:53:03

Angin berhembus kuat. Matahari bersinar terik di puncak langit yang berwarna biru tajam, sementara ombak memecah luar biasa membentur bebatuan di pantai Karang Bendan.

Di pasir pantai yang halus, dua orang lelaki berdiri tegap saling berhadap-hadapan dalam jarak satu setengah tombak. Lelaki pertama bertubuh jangkung, dengan kumis tipis yang bagus di atas bibirnya. Ia mengenakan baju dari bahan yang paling mahal berwarna ungu. Blangkonnya juga bagus. Sepintas pandang saja sudah tampak jika lelaki ini tentulah menpunyai persediaan uang yang jauh lebih dari cukup.

Berbeda dengan dia, laki-laki kedua memakai pakaian yang boleh dibilang sangat sederhana. Warnanya hitam mirip pakaian petani di gunung. Ikat kepalanya juga berharga murah. Badannya sendiri besar dan gempal, dan memelihara cembang yang lebat. Di ikat pinggangnya terselip sebilah golok besar. Maka lengkap sudah tampangnya memenuhi syarat sebagai seorang penjahat ganas!

“Baik, Bajul,” ujar si Jangkung. “Tawaranku tetap seperti semula. Aku akan melupakan semua hutangmu padaku, asal kau bisa mengalahkanku hanya dalam satu gebrakan. Tapi aku rasa itu mustahil...!”

“Jangan ngomong sembarangan, Jaladri!” pria yang disebut Bajul itu menggeram. “Percuma aku melatih ilmu golokku sebulan penuh kalau cuma untuk membabatmu saja tidak bisa. Lagipula, kan aku yang melatihmu sehingga kau bisa seperti sekarang ini. Ayo, kita mulai sekarang! Kamu boleh mencabut kerismu yang norak itu!”

Jaladri tersenyum. “Melawan anak ingusan sepertimu, tanganku pun sudah lebih dari cukup!”

“Terserah! Rujakpolo akan membuatmu kencing tanpa henti sampai tujuh turunan!”

Sambil berseru keras, Bajul maju menerjang dengan goloknya yang ia beri nama Rujakpolo, meniru nama gada milik Bima di cerita Mahabarata. Seperti biasa, serangannya ganas dan maut. Rujakpolo meluncur deras mengancam batok kepala Jaladri, seakan-akan hendak mernbelah tubuh Jaladri menjadi dua bagian terpisah yang sama besar. Sejengkal sebelum golok itu menemui sasarannya, Jaladri nenghindar dengan tepat. Ia memutar tubuh, dan langsung mengirimkan serangan balasan pada kesempatan pertama. Bajul terpaksa bergeser mundur karena pukulan Jaladri terbang terlalu jauh dari jangkauan goloknya.

Belum lagi ia menyusun serangan berikut, Jaladri sudah datang 1agi. Tiga kali berturut-turut. Bajul menggunakan tangan kiri dan dengkulnya untuk menangkis. Bajul mendengus jengkel. Buru-buru ia menerapkan siasat sapu bersih untuk menghalau Jaladri keluar.

Dan pemuda itu memang harus melompat mundur jauh-jauh untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman Rujakpolo. Merasa mendapat ruang yang lumayan lapang, Bajul maju lagi dengan penuh tenaga. Kini ia melakukan serbuan ganda. Begitu leher Jaladri lepas dari incarannya, goloknya turun menghantam jantung lawan. Jaladri bergeser sambil menepis Rujakpolo ke samping dengan telapak tangannya.

Detik berikutnya, tubuh Jaladri berputar bagai gasing. Cepat sekali. Bermacam-macam pukulan dan tendangan ia kirim. Bajul melayaninya satu-persatu dengan sabar. Begitu ada kesempatan terbuka, ia masuk dengan cepat. Benturan terjadi. Jaladri yang kalah tenaga terdorong surut. Bajul terus mengejar. Gebrakannya sangat kuat. Jaladri terguncang. Nyaris saja ia jatuh terjengkang ke tanah. Sebelurn ia benar-benar terjatuh, buru-buru ia mengerahkan tenaga cadangannya ketika gempuran Bajul muncul lagi.

“Ini sudah lebih dari satu gebrakan!” Jaladri berteriak.

Bajul tak peduli. Ia menyerang lagi.

Benturan kekuatan kembali terjadi. Jaladri tersuruk beberapa langkah, sedang Bajul tejengkang dan jungkir balik di daratan pasir. Rujakpolo tergeletak tak terlalu jauh darinya.

Tepat saat ia bangkit dan kembali meraih goloknya, terdengar suara tawa keras digemakan dinding-dinding tebing di sekeliling mereka.

“Beginilah kalau dua pendekar kacangan bertanding. Tak ada yang menang, karena kepandaian mereka sama-sama ceteknya. Huahaha... !”

Jaladri dan Bajul menoleh kaget. Di puncak karang yang tertinggi, seorang anak muda duduk tegap menghadap laut. Rambutnya dibiarkan  tergerai dipermainkan angin pantai yang bertiup kencang. Ia mengenakan baju dan ikat kepala serba putih, mirip-mirip santri dari pondok pesantren. Badannya kokoh dan kuat, dengan wajah yang bersih dengan hanya sedikit gangguan jerawat.

“Apa kabar, Teman-teman!?” serunya keras. “Lama kita tidak ketemu, ya!”

Pemuda itu lalu seperti sengaja menjatuhkan diri dari puncak karang. Jelas bukan upaya tolol untuk bunuh diri. Badannya melayang turun dengan apik dari puncak karang setinggi empat tombak itu. Pendaratannya mulus sekali, persis di samping Bajul.

“Bajul, makin gemuk saja kau ini,” katanya. “Makanmu nambah teurus ya?”

Bajul menyarungkan Rujakpolo. “Dari mana saja kau? Pergi tanpa pamit, datang pun tanpa kabar berita!”

Wisnumurti tersenyum. “Yah, itulah aku, Jul!”

Jaladri datang menghampiri dan menyalami Wisnumurti erat-erat.

“Apa kabar, Sobat?” ucapnya gembira. “Wah, kota sepi tanpa kehadiranmu.”

Berada bertiga, baru terlihat perbandingan usia mereka. Bajul terlihat paling tua, karena memang ia telah hampir menginjak umur kepala tiga. Sedang Jaladri dan Wisnumurti sebaya, pada usia antara 16 hingga 17 tahun.

“O, ya? Dan kenapa kalian malah bertarung sendiri? Lagi kurang kerjaan, ya?”

“Aku dan Bajul sedang merundingkan soal keuangan kami. Dan berhubung dia kalah, maka tentu saja utang-utangnya tetap harus kuperhitungkan kembali!”

Bajul mendengus. “Dan begitulah kelakuan tuan tanah pada rakyat jelata yang miskin dan tertindas...!”

“Jangan mengungkit-ungkit soal tuan tanah dan rakyat! Aturannya sudah kita sepakati. Dan kau gagal karena tak bisa merobohkanku dalam sekali gebrak!”

“Hei, hei! Jangan bertengkar di sini, Anak-anak!” seru Wisnunurti. “Aku lapar. Ayo, Jaladri! Kita rnakan-rnakan di kota.”

“Nah, itu baru ajakan yang menyenangkan,” sahut Jaladri gembira. “Ayo, berangkat! Aku yang bayar. Kau ikut, Jul?”

“Tidak, ah,” Bajul ngeloyor berlalu ke arah lain. “Aku harus memberi pengarahan pada anak-anak soal rencana perjalanan ke Bagelen besok.”

“Baiklah. Terserah kau saja.”

Begitu bayangan pria berbadan besar itu menghilang, Wisnumurti dan Jaladri bergegas meninggalkan wilayah pantai kembali ke pusat kota. Keduanya sudah cukup lama berteman. Dan meskipun berasal dari latar belakang yang jauh bertolak belakang, mereka tetap dekat sampai sekarang.

Wisnumurti adalah seorang pesilat tulen. Ia murid sulung Panembahan Singgih, ulama besar dari Gunung Cakrabuana. Tergolong berbakat luar biasa, ia menamatkan pelajaran dua tahun lebih awal dari anak-anak lain. Tak heran dalam usia belum genap 15 tahun, pemuda itu sudah sibuk bertualang ke mana-mana.

Dengan keahliannya yang jauh di atas rata-rata, ia biasa mencari uang dengan rnenjadi pengawal rombongan dagang para saudagar besar ke negeri-negeri luar. Dan namanya tak urung jadi tenar karena setiap kali bertemu gerombolan perampok di rimba belantara, ia selalu keluar sebagai pemenang. Tak aneh itu membuat harga untuk jasa pengawalannya makin tinggi.

Pekerjaannya sebagai pengawal rombongan dagang itu pula yang membuatnya bertemu dengan Jaladri. Setahun lalu Ki Somanagara—pedagang sekaligus tuan tanah terkaya di Karang Bendan—menyewa tenaganya untuk memimpin rombongan pengawal iring-iringan dagang emas permata ke Situkancana di kawasan barat pedalaman. Dalam perjalanan itu Ki Soma mengajak serta putra sulungnya, yang bernama Jaladri. Dan bertemu dengan Wisnumurti membuat anak muda kencur itu menemukan teman bicara yang cocok.

Jaladri jelas gembira sekali bertemu dengan pendekar tulen, karena selama ini ia tak pernah berlatih selain bersama para pengawal Ki Soma, terutama Bajul. Menemukan teman berlatih yang sangat bagus, ia jadi makin bersemangat mengasah kepandaiannya dalam pencak silat.

Memang agak aneh bahwa ketertarikannya adalah pada urusan bela diri dan kanuragan. Padahal ia digadang-gadang Ki Soma suatu saat dapat menjadi penerus usaha keluarga, juga menjadi penguasa tanah-tanah sebegitu luas yang membuatnya bakal menjadi tak ubahnya penguasa daerah setingkat adipati.

Namun tiap kali disinggung soal itu, Jaladri seperti masa bodoh dan terus asyik dengan dunianya sendiri. Ia bilang, baru akan mempelajari urusan-urusan orang tua sesudah menikah—yang pasti akan segera terjadi dalam satu atau dua tahun mendatang. Untuk sekarang ini, ia jauh lebih sibuk dengan kegemarannya, yaitu berkelahi secara indah.

Pelatih sekaligus lawan tandingnya tiap hari tak lain adalah Bajul, yang resminya adalah pengawal pribadi bagi dirinya. Sudah lazim bahwa para saudagar seperti Ki Soma pasti memiliki barisan pengawal, yang terdiri atas para jago bela diri berkemampuan tinggi. Bajul merupakan salah satu tukang pukul terbaik milik Ki Soma. Dulunya pria itu merampok di rimba-rimba terdalam, namun suatu saat tertangkap oleh rombongan pengawal Ki Soma.

Selamat dari serangkaian siksaan keji para pengawal, Bajul lalu berbalik arah dan menjadi salah satu centeng terkuat dalam barisan pengawal Ki Soma. Dan saat Jaladri menunjukkan minat yang tinggi pada ilmu bela diri, Bajul pun ditunjuk menjadi pengawal pribadi sekaligus pelatih anak itu.

Dan minat yang ditunjukkannya ternyata berbanding lurus dengan hasil. Jaladri menyerap semua latihan dengan cepat. Apalagi setelah ia mendapat latihan-latihan penting dari Wisnumurti, kemampuannya meningkat dengan pesat. Satu hal yang belum ia pelajari adalah ilmu kanuragan, yaitu bagian dari pencak silat yang terkait dengan penggalian kemampuan olah napas untuk membangkitkan tenaga murni dari dalam tubuh.

Sayang pertandingan latihan melawan Wisnumurti tak bisa berlangsung terus tiap saat ia mau. Wisnumurti tak betah menetap berlama-lama di satu tempat. Dia lebih keluyuran ke mana saja dan kapan saja semaunya. Entah ke mana perginya Wisnumurti empat bulan ini sejak terakhir kali ikut membantu Bajul dan kawan-kawan mengawal rombongan Ki Soma hingga Kotaraja Pasir. Begitu kembali dengan selamat ke Karang Bendan, Wisnumurti lenyap seperti ditelan Bumi dan baru siang ini mendadak muncul kembali.

Tak aneh saat kemudian keduanya makan siang di sebuah rumah makan yang cukup besar di pinggiran kota, Jaladri begitu penuh semangat menceritakan semua hal yang terjadi selama beberapa bulan ini dan terlewatkan oleh Wisnumurti. Dan belum apa-apa, ia sudah langsung mengajak Wisnumurti berlatih nanti sore.

Karang Bendan sendiri adalah sebuah negara-kota yang makmur di pesisir selatan. Masih termasuk negara bawahan Keraton Pasir, Karang Bendan maju berkat usaha perdagangan Ki Soma. Bahkan bisa dibilang negeri itu seperti milik pribadinya. Namun ia tak tertarik untuk menjadi negarawan. Kepemimpinan Karang Bendan tetap berada di tangan Adipati Jayapati, yang merupakan salah satu keponakan Sultan Pasir.

“Ke mana saja kau empat bulan terakhir ini?” tanya Jaladri kepada Wisnumurti, sambil melahap telur rebus berlumur sambal merah. “Kabarnya kau sempat pula singgah di Mataram dan Demak, ya?”

Related chapters

  • Menuju Matahari   2

    “Demak iya, dan juga Semarang. Soal Mataram, aku hanya mendengar-dengar berita saja. Penguasa kota itu yang bergelar Ki Gede Mataram meninggal. Lalu ia digantikan Sutawijaya, anaknya, yang kemudian menggunakan gelar Senopati ing Alaga.”“Wah, gahar sekali gelarnya—panglima di medan perang. Seperti tiap saat menantang negara lain untuk berperang.”“Dia memang seorang panglima yang sangat hebat, dan juga pesilat tanpa tanding di wilayahnya sana. Dan ia pernah diramal suatu saat akan menjadi raja diraja yang menguasai Jawa hingga ratusan tahun ke depan.”“O, ya? Siapa pula yang memberikan ramalan itu?”“Sunan Giri Prapen, penguasa Giri Kedaton yang perkasa di wilayah timur. Dan itu membuat para penguasa negeri-negeri timur resah lalu ingin secepatnya melenyapkan Mataram sebelum menjadi terlalu besar dan tak bisa lagi dilawan.”Jaladri selalu senang berbincang dengan Wisnumurti. Anak mud

    Last Updated : 2021-04-08
  • Menuju Matahari   3

    Seekor kuda dipacu berderap mengarah ke pendapa. Beberapa pembantu rumah yang tengah menyalakan lentera di sekeliling halaman rumah besar itu menoleh kaget. Yang datang pasti bukan jenis tamu biasa. Terlebih kemudian enak saja penunggangnya melompat turun dari kuda tanpa perlu menunggu kudanya berhenti terlebih dulu, dan ia tidak jatuh nyungsep.Matahari tepat sepenuhnya terbenam di hamparan langit biru kelabu saat pria bertubuh tegap itu melangkah bergegas menuju pendapa, sementara kudanya dikejar untuk ditangkap oleh beberapa orang pengawal rumah. Sang pria pendatang baru berhenti setelah muncul sosok besar Bajul dari arah pintu rumah utama.“Ada apa?” tanya Bajul cepat. “Soal mayat yang dibakar tadi?”“Ya. Mana Wisnumurti?”“Di dalam. Ayo!”Keduanya masuk ke rumah utama. Di ruang pringgitan, beberapa pria yang duduk di amben bambu seketika bangkit berdiri untuk menyambut laki-laki itu, yan

    Last Updated : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   4

    “Bangun.”Bisikan itu lirih sekali. Nyaris tak terdengar. Namun sesuatu di dalamnya kuasa membangunkan Jaladri seketika. Dan hal pertama yang langsung menyinggahi ingatannya adalah bahwa ia tindhihen—mata melek sadar di tengah tidur lelap namun sekujur badan tak bisa digerakkan.Beberapa kali ia mengalami ini. Yang tak lazim adalah bahwa barusan, sepertinya, ia mendengar suara seseorang berbisik.Itu suara sungguhan apa gangguan gendruwo penunggu rumah ini?Kediaman keluarganya memang angker. Sering sekali para pengawal atau pembantu melapor melihat hantu tanpa kepala, makhluk raksasa berbulu hitam, atau pocong yang mengambang di pohon mangga samping pendapa. Namun Jaladri sendiri seumur hidup belum pernah melihat sendiri penampakan semacam itu.“Tenang. Aku bukan hantu.”Jantungnya berdegupan kencang, terlebih ketika kemudian matanya yang mulai menyesuaikan dengan kegelapan kamar menangkap kehadiran sa

    Last Updated : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   5

    Dengan cepat ia kembali menaiki lereng landai tepian sungai dan bergabung dengan kedua temannya. Matahari sudah tinggi, sedikit mulai bergulir ke barat. Setelah setengah hari meninggalkan Karang Bendan, mereka menemukan tempat itu, tepat di tepi sungai kecil yang berair jernih.Ketiganya kemudian berhenti untuk makan siang dengan nasi bungkus bekal dari keluarga Ki Soma. Sekarang perut sudah terisi, siap melanjutkan perjalanan tanpa henti hingga tiba di Kenipir yang berada di barat Karang Bendan. Karena berjarak tak terlalu jauh sehingga oleh karenanya sering dilewati, ruas jalan dari Karang Bendan menuju Kenipir memang telah cukup rapi. Selalu tersedia medan yang lapang dan rata, sehingga kuda-kuda dan kereta kuda serta berbagai jenis gerobak bisa melintas dengan baik.Perjalanan pun cukup aman. Hampir tak ada gerombolan begal yang berkeliaran di antara kedua daerah ini, sehingga warga bisa bepergian dengan aman tanpa harus berkelompok dan menyewa tenaga pendekar sila

    Last Updated : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   6

    Wisnumurti menangkap tali kekang kuda Jaladri, sementara Bajul dengan sigap menurunkan orang yang terluka itu ke tanah.“Dengan luka sayatan yang sama?” tanya Wisnumurti.“Ya, sama persis” sahut Jaladri. “Bapak yang satu ini kemungkinan tak ada di tempat saat peristiwa terjadi, lalu dia sempat lari menyelamatkan diri. Luka-luka di tubuhnya disebabkan oleh hal lain. Mungkin dia bertemu macan atau ditabrak celeng.”Wisnumurti dan Bajul memeriksa pria itu, yang berumuran kira-kira sebaya dengan Ki Soma. Dia tergolek tak sadarkan diri. Darah di sekujur badannya keluar dari begitu banyak luka cabikan di sekitar dada, perut, dan bahkan leher. Sepertinya itu memang luka akibat binatang buas.Mengingat darah yang keluar terlalu banyak, pria itu tak akan bertahan. Yang jelas ia masih hidup. Dadanya naik turun, tersengal oleh napas satu-satu yang diperjuangkan sepenuh daya di tengah deraan rasa sakit yang pasti tak tertanggungkan

    Last Updated : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   7

    Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa d

    Last Updated : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   8

    Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya di

    Last Updated : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   9

    “Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter

    Last Updated : 2021-04-09

Latest chapter

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

  • Menuju Matahari   73

    Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten

  • Menuju Matahari   72

    Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta

  • Menuju Matahari   71

    Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia

DMCA.com Protection Status