Delia terlihat takut dengan pria yang ada di hadapannya ini. Ia mulai menangis bergetar. Deff tidak tega melihat keadaan mantan istrinya, lalu ia mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih lembut.
"Sayang, hei ini aku. Lihat aku baik-baik." Deff mendekatinya, lalu memeluknya.
Delia terdiam di dalam pelukan Deff. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya tiba-tiba. Kesadaran Delia perlahan mulai muncul. Ia segera mendorong Deff ke arah dinding.
"Lepaskan aku! Kamu tega sekali menghancurkan hari bahagiaku, Deff. Aku salah apa sama kamu?" tanya Delia mulai menangis tersedu-sedu. Air matanya kembali membanjiri wajah cantiknya.
Deff melangkah perlahan mendekati mantan istrinya. "Maafkan Abang, Sayang. Abang ngelakuin ini semua demi kebaikanmu."
"Nggak, aku nggak percaya."
"Sayang, percaya sama Abang ya."
"Abang, Abang, kamu bukan suamiku lagi. Dan satu hal yang perlu kamu tau, kamu nggak pantas dipanggil Abang!" maki Delia yang amarahnya sudah di ubun-ubun.
"Kenapa nggak pantas Sayang?"
"Karena kamu sudah menjadi orang kaya," sahut mantan istrinya itu.
"Apa aku harus membuang seluruh hartaku agar kamu bisa kembali menjalin hubungan denganku?"
"Nggak perlu, karena aku sudah benar-benar membencimu. Aku ingin pulang, cepat antar aku!"
Deff menggeleng, lalu memeluk Delia dengan posesif. "Ayo tidur lagi."
"Nggak, nggak mau." Tangisan Delia semakin kencang. Namun Deff malah menganggap itu sebuah nyanyian.
"Cup, cup, cup." Deff menenggelamkan wajahnya di dalam dekapan. Delia mencoba meronta, namun sayangnya tidak bisa. Deff malah mengunci semua pergerakannya.
"Mau kutidurkan, atau kutiduri?" Deff menatapnya tajam.
"Lepaskan aku!" makinya emosi.
"Ssssttt, ayo tidur lagi." Deff memeluknya semakin erat.
Suara Delia semakin meredup. Hingga akhirnya ia kembali tertidur dengan nyenyak. Deff mengusap sisa air matanya sebelum akhirnya memberikan kecupan lembut. Ia termenung mengingat masa-masa indah mereka dulu.
Flashback dua tahun lalu.
"Abang, tempatnya udah siap?" tanya Delia yang sedang memasukkan beberapa gorengan ke dalam sebuah wadah.
"Sudah, Dek." Deff mendekati istrinya, lalu membantunya.
Gorengan-gorengan itu kini mulai berpindah ke dalam wadah yang terbuat dari plastik. Delia membawanya lebih dulu menuju ke arah motor yang sudah terparkir. Delia memasukan semua gorengan itu ke dalam tempat kaca yang menyatu di atas motornya Deff.
"Makasih, Dek. Ya udah, kamu mandi gih sana, abis itu sarapan ya."
"Iya, Bang. Abang hati-hati ya. Adek doain semoga rezekinya lancar." Delia mengambil tangan Deff lalu mengecupnya.
Deff juga mengecup keningnya. "Abang berangkat dulu, Dek."
*******
Flashback off.
Lamunan Deff buyar seketika, saat mendengar lenguhan dari Delia. Ia kembali memeluknya dengan erat, berusaha menidurkannya kembali.
"Ssssst ....." desis Deff.
Melihat Delia yang kembali tertidur, Deff mulai tersenyum dan berkata.
"Aku rindu dirimu yang dulu, Dek. Sikapmu yang lembut, cintamu yang tulus. Ah, semuanya seperti mimpi yang begitu indah di dalam hayalanku, Dek. Maafkan Abang, Abang penyebab luka besar di dalam hatimu. Sehingga kamu sekarang membenci Abang."
Deff mengusap rambut Delia perlahan, sebelum akhirnya pergi ke luar dari kamarnya. Tidak lupa dia mengunci pintu tersebut, agar Delia tidak bisa kabur.
"Bi, ini kunci kamar saya. Di dalam ada Delia, mantan istri saya. Nanti bawakan makanan ke dalamnya ya. Jangan biarkan dia keluar tanpa seizin saya. Paham."
"Paham, Nak Deff."
Deff memang tidak senang dipanggil Bos, makanya bibi di rumahnya hanya memanggil dengan sebutan Nak. Deff segera bergegas beliau.
"Eh, satu lagi, Bi. Tanyakan juga apa keperluannya yang lain. Nanti Bibi belikan ya."
"Iya, Nak Deff."
Deff menghela nafas lega. Ia sudah tidak khawatir lagi dengan keadaan mantan istrinya itu. Ia pun segera melangkah ke parkiran, membuka mobil lalu memasukinya.
"Kita ke mana?"
"Ke rumah tantenya Delia," sahutnya.
"Baik, Pak Deff."
Mobil melaju menuju rumah tantenya Delia. Sesampainya di sana, ternyata tantenya itu sudah menghadang Deff di depan pintu rumahnya.
Sambil berkacak pinggang ia berteriak. "Mana Delia? Kembalikan Delia sekarang juga! Dasar mantan suami nggak tau diri. Kamu itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Erlan. Tuh mobil paling-paling juga punya bosmu!" ejek tantenya Delia.
"Tante, saya nggak mau berdebat dengan seorang bangsawan seperti Tante." Deff sengaja menyindirnya.
"Jadi, lebih baik kita selesaikan masalah kita sekarang juga. Tapi jangan pernah sekali-kali mengganggu kehidupan Dafina lagi. Saya ingin merujuknya sekarang juga."
"Hah? Mantan tukang gorengan yang berubah wujud jadi supir kini mulai belagu ya, hahaaa!" serunya tertawa.
Tawanya menggelegar hampir memecahkan telinga tetangga.
"Terserah Tante mau menyebut saya apa. Yang jelas, saya tidak segan-segan akan melaporkan Tante kepada pihak yang berwajib jika Tante berani mengganggu rumah tangga saya lagi."
Supir Deff segera berlari ke arah mereka, sembari membawakan sesuatu yang begitu besar, seperti sebuah paket. Deff segera mengambil paket itu dan menyerahkan kepada tantenya Defa.
"Tante mau uang kan? Ambil semua ini!" serunya.
Tantenya Delia yang bernama Mia itu hanya menatapnya dengan tatapan mengejek.
"Memang itu isinya apa? Paling-paling juga kertas!"
Deff menatapnya tajam lalu mengeluarkan isinya. Ia mengibaskan isinya di depan tante Mia.
"Kertas? Memang! Ini memang kertas. Tapi, kertas ini bisa jadi alat penukar benda!"
DEG! Terkejut melihat isinya, tante Mia segera merebutnya dari tangan Deff. "I-ini beneran uang?"
Tiba-tiba ada anak perempuannya yang baru datang dari luar bergegas menghampiri mereka.
"Deff ingin memberi Ibu uang? Coba aku liat dulu, siapa tau itu uang palsu!"
"Iya, liat dulu Sayang!" seru tante Mia lagi.
"Ini uang asli, Bu. Di mana Deff mendapat uang sebanyak ini?" tanya anak perempuannya itu sembari melihat, meraba, serta menerawang.
"Tidak perlu kamu tau di mana, yang jelas itu uang saya. Penghasilan saya di bulan ini, paham. Satu hal lagi, itu bukan uang haram."
"Jadi, Deff beneran ingin memberi Tante uang?"
"Iya! Asalkan Tante mau menandatangani surat perjanjian yang sudah saya buat." Deff memberi kode kepada supirnya, tak lama kemudian supirnya datang membawakan sebuah map yang berisi surat perjanjian.
"Ba-baik, Tante akan melakukannya!" seru tante Mia antusias.
"Tanda tangan di sini." Deff menyerahkan surat itu kepada beliau.
Tanpa membaca isinya lagi, tante Mia segera menandatangani surat itu. Lalu segera mengambil uang yang begitu banyak itu. Ia begitu senang mendapatkannya.
"Bu, besok kita jalan-jalan ya!" seru anaknya.
"Iya, Sayang. Kita akan belanja yang banyak. Biarlah Kakakmu itu balikan sama Deff, yang penting kita bisa jalan-jalan besok."
"Lucunya, mereka hanya memikirkan nikmat sesaat saja," batin Deff mengejek.
"Nah, Putri. Cepat simpan uang ini di dalam lemari, jangan sampai ketahuan sama bapakmu."
"Iya, Bu, iya!" seru putri dengan senang.
Putri segera berlari ke dalam. Sehingga tertinggal Deff bersama tante Mia yang nampak salah tingkah. Ia jadi malu karena menghina Deff sebagai supir.
"Emmh, Nak Deff. Ayo masuk dulu. Biar tante bikinin minum."
"Tidak perlu, saya masih banyak urusan. Permisi," tukas Deff singkat.
"Eh, tunggu Nak Deff." Tante Mia meraih pergelangan tangan Deff yang sudah terlihat membesar, tidak seperti dulu, dulu ia begitu kurus.
"Apa lagi?"
""Nak, Deff. Ayo masuk dulu. Kita sudah lama tidak berbincang." Tante Mia bersikap begitu ramah terhadap Deff."Eh, iya Deff. Kami masih menganggapmu keluarga lho." Putri yang baru datang di dalam juga ikut membujuk."Mmm, ngomong-ngomong Nak Deff sekarang kerja apa?" tanya Tante Mia berbasa-basi."Tidak ada, saya hanya membantu menjalankan perusahaan keluarga saya. Ya sudah, saya permisi."Deff segera melengos dari tempat itu. Tante Mia terlihat membuang muka, karena tidak senang diperlakukan seperti itu. Padahal, dulu dia begitu angkuh terhadap Deff. Karena Deff dulu hanyalah penjual gorengan.Pada sore harinya, Deff kembali ke rumahnya, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Bibi segera mendekati, wajah beliau terlihat begitu cemas."Nak, Deff.""Ada apa, Bi?""Anu .... Non Delia .... Bibi sudah be
Brakk!"Ternyata kucing, lega sekali," batin DeliaIa segera berlari menuju taman terdekat. Sebuah tempat yang dijanjikannya bersama Erlan. Sang pria jahat itu. Tak lama kemudian, Erlan menjemputnya dengan menggunakan mobil."Delia, kamu nggak papa kan?""Iya, aku nggak papa.""Ya udah, ayo kita pulang." Erlan membukakan pintu mobil untuk Delia.Delia segera masuk ke dalam. Mobil dikemudikan oleh Erlan. Dua jam kemudian, akhirnya mereka sampai juga di rumah tantenya Delia. Delia segera turun, lalu menggedor-gedor pintu rumah tantenya. Tak lama kemudian, pamannya keluar membukakan pintu."Delia?""Paman." Delia refleks memeluk pamannya, yang tak lain adalah adik dari ibunya."Kamu nggak kenapa-napa kan?""Nggak, Delia nggak papa. Untung ada Erlan.""A
"Ayo kita pulang," ajak Deff."Nggak mau, aku mau pulang ke rumahku saja!""Ayo, Delia! Apa kamu nggak malu berpakaian seperti ini!?"Delia memandang tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ia menunduk dan jadi salah tingkah. Deff paham hal itu, ia segera melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke pinggang Delia, membentuk seperti rok."Jangan bawa calon istriku!" Erlan menatap mereka dengan emosi."Kheh, calon istrimu? Jangan bermimpi," sahut Deff sinis. Bodyguardnya Deff sudah menunggu di belakangnya, membuat Erlan jadi menciut lagi. Ia menatap para ajudannya yang nampak babak belur"Ayo kita kembali ke rumah." Deff menarik tangan Delia"Aku nggak mau, aku mau pulang ke rumahku," sahut Delia."Sayang, keluargamu itu jahat. Ayo kita pulang ke rumahku saja ya," bujuknya lagi.
"Delia, bangun, Sayang. Ada aku di sini," ucap Deff sambil menggenggam erat tangan mantan istrinya itu."Delia, ini aku, Sayang ...."Istrinya memejamkan matanya dengan rapat. Ia mendengar suara suaminya secara sayup, tapi malah tidak bisa membukanya."Delia, Sayang. Kamu harus bangun." Deff mendudukkannya segera."Antar ke rumah sakit sekarang!" perintahnya pada ajudannya yang masih nampak bingung."Ba-baik, Tuan."Delia memang memilik penyakit magh. Karena akhir-akhir ini ia jarang sekali makan pagi. Oleh karena itu, maghnya kembali kambuh.Deff mengecup tangan mantan istrinya dengan bertubi-tubi. Delia yang terbaring lemah, hanya bisa pasrah menerima semua sentuhan itu.Sesampainya di rumah sakit. Delia ditangani oleh seorang dokter. Dokter menjelaskan, bahwa magh yang diderita Delia tidak terlalu parah. Tapi, ini juga bukan masalah yang sepele. Jika tidak diperhatikan dengan baik, penyakit ini juga akan membahayakan bagi Delia.Setelah menebus resep yang diberikan oleh dokter, Def
Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer
Di kediaman Bu Diana, Delia sedang berkutat di dapur, ia tengah membantu bibi menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua."Nggak usah, Non. Biar Bibi aja.""Nggak papa, Bi. Lagian aku nggak ada kegiatan, sepi tau.""Walah, Non. Bibi juga nggak ada kegiatan kalau semuanya dikerjakan Non Delia, lah apa kata nyonya?""Ya nggak ada apa-apa." Delia tertawa, memecahkan keheningan di pagi itu. Bu Diana juga begitu senang, karena Delia adalah wanita yang rajin, tak sia-sia beliau membawanya ke sini. Ia juga mudah akrab dengan Bibi."Oh ya, Non. Keluarga Non tinggal di mana?" tanya Bibi."Jakarta Selatan, Bi." Delia menjawab sambil tersenyum."Non udah kabarin, kalau Non ada di sini? Siapa tau suami Non nyariin.""Ekh." Delia tersedak mendengar penuturan Bibi. Ia jadi merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini, tak ingin membuka jati dirinya terlalu jauh, kecuali bu Diana."Bi, ada yang nyariin tuh!" perintah bu Diana tiba-tiba, menghentikan pembicaraan mereka barusan."Siapa Nyonya?""Nggak t