"Delia, bangun, Sayang. Ada aku di sini," ucap Deff sambil menggenggam erat tangan mantan istrinya itu.
"Delia, ini aku, Sayang ...."Istrinya memejamkan matanya dengan rapat. Ia mendengar suara suaminya secara sayup, tapi malah tidak bisa membukanya."Delia, Sayang. Kamu harus bangun." Deff mendudukkannya segera."Antar ke rumah sakit sekarang!" perintahnya pada ajudannya yang masih nampak bingung."Ba-baik, Tuan."Delia memang memilik penyakit magh. Karena akhir-akhir ini ia jarang sekali makan pagi. Oleh karena itu, maghnya kembali kambuh.Deff mengecup tangan mantan istrinya dengan bertubi-tubi. Delia yang terbaring lemah, hanya bisa pasrah menerima semua sentuhan itu.Sesampainya di rumah sakit. Delia ditangani oleh seorang dokter. Dokter menjelaskan, bahwa magh yang diderita Delia tidak terlalu parah. Tapi, ini juga bukan masalah yang sepele. Jika tidak diperhatikan dengan baik, penyakit ini juga akan membahayakan bagi Delia.Setelah menebus resep yang diberikan oleh dokter, Deff pun menemui istrinya di dalam kamar pasien. Nampak wajah istrinya yang terbaring kaku di atas kasur. Dengan wajah yang juga nampak pucat."Jangan mendekat!"Delia menatap Deff dengan tajam. Hatinya benar-benar emosi saat melihat sosok itu kini berada di dalam ruangannya juga. Tapi, ia pun tak dapat menemukan keluarganya satu pun di sini. Delia menahan getir, rasa perih dan amarah kini berkecamuk di dalam dadanya. Ia menatap pria itu dengan amarah."Mana keluargaku?"Sebuah pertanyaan itu akhirnya muncul juga dari bibir manisnya. Deff tidak menjawab pertanyaan dari mantan istrinya. Ia hanya melangkah semakin dekat ke arah sana."Tidak ada keluargamu di sini. Yang ada hanya aku." Deff tersenyum lebar sambil duduk di samping Delia."Aku mau pulang."Delia berusaha bangkit dari kasur itu, karena kepalanya juga sudah tidak pusing lagi. Ia rasa, kesehatannya telah kembali. Saatnya ia harus pergi dari pria yang menyebalkan seperti Deff."Eh, mau ke mana kamu? Mau kabur lagi?" Deff menaikan alisnya, dengan maksud bercanda. Seraya tangannya dikalangkan pada sisi ranjang."Minggir!""Nggak, kamu masih sakit, Sayang.""Sayang, sayang, emangnya aku siapa kamu? Kita udah ga lebih dari orang biasa!""Hahahhaaa. Kamu abis sakit, kok jadi tambah linglung. Apa kamu lupa dengan perjanjian kita kemarin?"Deff meraba dahi Delia yang terasa memanas. Delia merasa risih, ia singkirkan tangan itu dari dahinya. Matanya menatap Deff dengan tatapan menyala-nyala."Lepas!""Owh, Sayang. Kalau kamu marah, kamu malah nampak lebih lucu ya?" Deff mengalihkan tangannya, lalu menempatkan pada pipi Delia."Minggir! Aku mau pulang!""Nggak!""Minggir!""Baiklah, tapi kamu harus bayar dulu biaya perawatan kamu."Delia tercengang mendengar penuturan dari Deff. Pria itu benar-benar menyebalkan. Ia rasa, ini hanyalah jebakan Batman dari mantannya"Gimana? Aku nggak akan menghalangi kamu lagi, asal kamu bisa bayar tagihan rumah sakit ini."Delia benar-benar kehabisan akal. Mana mungkin ia bisa membayarnya, sedangkan ia saja tidak sempat membawa dompet. Ia berusaha berpikir keras, bagaimana caranya bisa keluar dari situasi seperti ini."Aaaa! Buaya darat, buaya daratan!" Delia menunjuk ke belakang Deff dengan gemetar.Baru saja Deff mulai berbalik, kini wanita itu sudah mengambil langkah dengan cepat. Ia pergi, lalu berlari dari sana, walaupun tenaganya masih terbilang lemah."Delia! Ah, sial!" maki Deff sambil meninggalkan ruangan itu. Ia begitu kesal terhadap dirinya sendiri.Kini ia berdiri di koridor, menatap pergerakan Delia dari kejauhan. Senyum sinisnya mulai muncul, sebelum akhirnya menghubungi seseorang.Delia yang merasa selamat dari kejaran Deff, kini mulai menghentikan langkahnya perlahan. Ia melirik ke belakang, memang Deff tidak lagi mengejarnya, Delia menghembuskan nafasnya yang masih ngos-ngosan."Huh, hampir saja." Ia memegangi perutnya yang masih terasa sakit.Di rumah pamannya. Tante Mia terlihat diam mematung di sebuah sofa yang ada di ruang tamu. Bukan tanpa alasan ia jadi seperti ini. Dikarenakan suaminya masih uring-uringan terhadapnya."Mas, udahlah .. Yang lalu biarlah berlalu. Mulai hari ini, kita gak perlu lagi peduliin si Delia!""Diam kamu, Mia! Delia itu keponakanku, kamu gak berhak mengaturku seperti itu! Dia adalah tanggungjawabku!""Heh, yang seharusnya bertanggungjawab ya ayahnya, Mas! Harusnya udah syukur dia kita tampung sampai sekarang! Nyusahin aja!""Kita tampung katamu? Seharusnya kita yang bersyukur Delia itu mandiri! Dia juga sering kan bantuin kamu? Bahkan, dia semenjak kecil dia nggak pernah nyusahin kita! Padahal, orang tuanya dulu sangat banyak membantu kita, Mia! Kamu harus sadar itu!" bentak pamannya Delia."Tapi itu kan dulu, Mas. Sekarang mana mereka? Mereka udah ninggalin anaknya sama kita kan? Kita yang ngerawat dia selama ini, harusnya sekarang giliran Delia yang bahagiain kita! Cari uang buat kita! Kalau nggak sama Erlan, dia juga boleh kok balikan sama Deff. Lagu pula, Deff kan sekarang udah kaya.""Diam!"Suara suaminya menggelegar memecah keheningan."Apa Mas? Apa aku salah, heh!'"Jaga bicaramu Mia!" bentak suaminya lagi."Udahlah Mas, aku capek!"Tante Mia segera angkat kaki dari hadapan suaminya. Suaminya kembali menggeleng melihat sikap keras kepala istrinya itu. Ia kini kembali mengingat Delia, dan bagaimana nasibnya sekarang."Delia, gimana kabar kamu, Nak."Delia kembali meneruskan langkahnya. Rasa letih kini mulai menyergap tubuhnya. Ia berhenti di sebuah kursi pinggir jalan. Menatap sekeliling dengan pias."Aku rindu ibu ...." Lirih suaranya terdengar menyesakkan dada.Namun, langkah kaki beberapa orang di belakangnya membuatnya jadi berdebar. Ia mempercepat langkahnya, buru-buru ingin pergi dari sini.Dep! Langkahnya terhenti, saat melihat seorang wanita berada di depannya. Wanita yang sama sekali tidak asing baginya."Ka-kamu?""Hai, apa kabarDelia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer
Di kediaman Bu Diana, Delia sedang berkutat di dapur, ia tengah membantu bibi menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua."Nggak usah, Non. Biar Bibi aja.""Nggak papa, Bi. Lagian aku nggak ada kegiatan, sepi tau.""Walah, Non. Bibi juga nggak ada kegiatan kalau semuanya dikerjakan Non Delia, lah apa kata nyonya?""Ya nggak ada apa-apa." Delia tertawa, memecahkan keheningan di pagi itu. Bu Diana juga begitu senang, karena Delia adalah wanita yang rajin, tak sia-sia beliau membawanya ke sini. Ia juga mudah akrab dengan Bibi."Oh ya, Non. Keluarga Non tinggal di mana?" tanya Bibi."Jakarta Selatan, Bi." Delia menjawab sambil tersenyum."Non udah kabarin, kalau Non ada di sini? Siapa tau suami Non nyariin.""Ekh." Delia tersedak mendengar penuturan Bibi. Ia jadi merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini, tak ingin membuka jati dirinya terlalu jauh, kecuali bu Diana."Bi, ada yang nyariin tuh!" perintah bu Diana tiba-tiba, menghentikan pembicaraan mereka barusan."Siapa Nyonya?""Nggak t
Delia hampir menahan nafas, saat Deff berada di dekat pintu mobil itu. Bu Diana buru-buru ke sana, lalu menghadang Deff."Ada apa Tuan Deff?""Siapa di dalam?" tanya Deff dingin dan penasaran."Oh, itu keponakan saya. Oh ya, gimana jeruknya tadi?" Bu Diana berbohong karena ingin mengalihkan pembicaraan. Ia juga ingin urusannya dengan Deff cepat selesai."Lumayan, mulai besok kami akan ambil jeruk di kebun anda.""Wah, benarkah? Senang sekali bekerjasama dengan anda. Tapi gimana dengan tanah itu? Apa mau lihat-lihat dulu?""Tidak perlu, nanti biar asisten saya yang melihatnya.""Hmm, oke kalau begitu, jadi nggak enak bicara di sini. Ayo kita masuk ke butik. Kita minum-minum dulu di dalam.""Maaf, kami juga buru-buru. Masih ada urusan penting yang mesti diselesaikan. Permisi, ucap Deff usai menyalami tangan bu Diana. Setelah itu, ia gegas menuju mobilnya dan diikuti oleh asistennya.Setelah kepergian Deff, bu Diana kembali menemui Delia. Delia yang tadinya khawatir, kini sudah terlihat
Pada malam harinya, Putri pergi dari penginapan seorang diri. Tiba-tiba, ia malah bertemu dengan pria yang ingin mengganggunya malam itu."Hai cantik, kita bertemu lagi."Putri mengingat kejadian itu, namun ia tak bisa mengingat semuanya, karena waktu itu seperti ada yang memukulnya, lalu ia tersadar tak jauh dari penginapan. Putri sedikit panik, ia buru-buru pergi dari hadapan orang itu."Tunggu, mau ke mana kamu?" tanya dia lagi."Lepaskan aku, jangan coba-coba pegang! Tanganku ini halus tauuu! Kamu mau celaka in aku lagi?""Celakain kamu? Kamu lupa, waktu itu kamu juga kabur, dan tiba-tiba kamu sudah digendong oleh pria." Ia mengernyitkan keningnya."P-Pria?" Putri berusaha mengingat kejadian kemarin, tapi pikirannya begitu sulit untuk mengingatnya. "Iya? Dia siapa? Pacar kamu?" Pria itu mendekat ke arah Putri. Hingga wajah mereka kini bertemu.Dug! Jantung Putri serasa meledak, saat ia sadar kalau ternyata pria itu tampan juga. Namun Putri tidak mau terpesona oleh pria itu, ia in
Deg! Delia tersentak kaget, ia ingin berbalik, tapi merasa takut dengan orang itu. Apalagi di sini tak ada seorang pun yang ia kenal. Ia menetralkan nafasnya, sampai akhirnya berbalik."Kenapa sepatunya dilepas?" tanya seorang pemuda yang nampak sepantaran dengannya.Delia menatapnya lamat-lamat, sepertinya pria ini berbahaya. Ia menyentakkan tangan, tak ingin lama-lama dipegang oleh orang asing itu."A-anu, sepatunya kebuka. Tapi nggak papa, rumahku dekat sini kok." Ia buru-buru ingin pergi meninggalkan pria itu, namun satu tangannya kini ditahan, membuat jantungnya kembali berdegup."Mau ke mana? Biar bisa kuantar sekalian.""Nggak, aku bisa sendiri." Delia buru-buru pergi dari hadapannya.Pria itu tak tinggal diam. Dikejarnya Delia yang berjalan cepat di depan sana. Ia menghadang langkah cantik sang janda muda itu."Ayo ikut aku," ajaknya lagi sambil menggandeng tangan Delia."Kamu apa-apaan! Kita nggak saling kenal, kenapa kamu malah maksa?!"Pria itu tersenyum, lalu menggandeng D
Awan yang awalnya cerah, kini mendadak mendung. Hal ini sedikit mengganggu Rendra, karena malam ini ia akan menjemput Delia. Entah kenapa, walau baru pertama bertemu, ada daya tarik tersendiri dari diri Delia terhadap Rendra.Rendra yang sudah lama menjomblo seperti merasakan cahaya terang saat bertemu Delia. Tapi, baginya masih terlalu cepat jika ia ingin menjalin hubungan dengan Delia, apalagi dia masih belum tau asal usulnya. Tugasnya hanya berusaha menjaga Delia selama ia berada di sini.Putri sudah sampai di rumahnya, ia berlari menuju pintu sambil menggedornya dengan cepat. Kakinya terasa mau copot saat menginjak ke teras rumah.Krek."Putri?!!" Ibunya yang kebetulan membuka pintu kini terbelalak menatap wajah putri semata wayangnya."Ibuuuu!" seru Putri sambil memeluk tubuh ibunya erat. Rasanya nyaman, tak ada orang yang bisa mengalahkan pelukan ibunya. Sekian lama berpelukan, akhirnya ia melepas pelukan ibunya. Putri mengatur nafasnya, sebelum ia"Putri, kamu kenapa nggak bis