"Ayo kita pulang," ajak Deff.
"Nggak mau, aku mau pulang ke rumahku saja!"
"Ayo, Delia! Apa kamu nggak malu berpakaian seperti ini!?"
Delia memandang tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ia menunduk dan jadi salah tingkah. Deff paham hal itu, ia segera melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke pinggang Delia, membentuk seperti rok.
"Jangan bawa calon istriku!" Erlan menatap mereka dengan emosi.
"Kheh, calon istrimu? Jangan bermimpi," sahut Deff sinis. Bodyguardnya Deff sudah menunggu di belakangnya, membuat Erlan jadi menciut lagi. Ia menatap para ajudannya yang nampak babak belur
"Ayo kita kembali ke rumah." Deff menarik tangan Delia
"Aku nggak mau, aku mau pulang ke rumahku," sahut Delia.
"Sayang, keluargamu itu jahat. Ayo kita pulang ke rumahku saja ya," bujuknya lagi.
"Nggak mau! Aku mau pulang ke rumah, ya sudah kalau begitu aku naik taksi saja!" serunya.
"Jangan coba-coba naik taksi dalam keadaan seperti ini!" maki Deff.
Deff emosi mendengar penuturan istrinya. Ia tidak terima jika nanti ada yang malah tergoda dengan tubuh istrinya. Akhirnya ia yang mengalah.
"Baiklah, gimana kalau kita bertaruh? Kalau perkataanku benar. Kamu harus ikut pulang ke rumahku, dan hari ini juga, kamu harus bersedia aku nikahi!" tegas Deff.
"Ni-nikah?"
Delia terlihat berpikir keras. Pernikahannya telah dihancurkan oleh Deff. Di saat ia ingin melanjutkan, ia malah terjebak ke dalam jebakan busuk Erlan. Mengingat semua itu, rasanya ia tidak ingin menikah lagi.
"Iya, Sayang. Kita akan rujuk, dan menikah lagi."
"Jangan coba-coba bermimpi!"
Delia segera beranjak dari hadapan mereka. Ia mencoba keluar gerbang dengan handuknya itu. Ia tidak mau jika keluar dari kandang harimau harus masuk ke kandang singa.
"Delia, mau ke mana kamu?" tanya Deff sembari mengejarnya dengan cepat.
Hap! Deff menangkap pinggang ramping Delia, lalu memeluknya dari belakang. Ia tersenyum saat mendapati tubuh istrinya yang merinding di dalam pelukannya.
"Deff, lepaskan aku! Aku mau pulang!"
"Nggak bisa. Sebelum kamu mau bertaruh denganku," bisiknya.
"Deff, kumohon."
"Nggak akan."
"Ya udah, aku mau bertaruh. Tapi, antarkan aku dulu pulang dulu. Kalau aku yang menang, kamu nggak boleh ganggu kehidupanku lagi, paham!" balas Delia.
"Siapa takut," bisik Deff.
Mereka segera pulang menuju rumahnya Delia. Delia merasa deg-degan. Ia takut jika perkataan Deff yang benar. Bagaimana jika keluarganya kembali mengusirnya sekarang.
"Deff, jangan pegang-pegang. Aku nggak suka." Delia menyingkirkan tangan Deff dari pinggangnya.
"Kenapa? Lagi pula kamu juga nggak bakal bisa lepas lagi dariku, Sayang."
"Deff!" Teriak Delia saat Deff mulai menggendongnya menuju mobil.
"Aku pegang janjimu ya," ucap Deff.
Delia hanya melengos kesal saat Deff memasukkannya ke dalam mobil. Deff mendudukkannya di atas pangkuan, menahan pinggulnya agar tidak bisa bergerak.
"Deff, lepasin aku."
"You are mine, Sayang." Deff berbisik lembut, sebelum akhirnya melayangkan sebuah kecupan yang begitu dalam.
Mobil melaju, menimbulkan raungan di dalamnya. Deff memerintahkan supirnya untuk menyalakan musik yang kencang, bertujuan untuk meredam suara Delia.
"Deff, lepasin. Kita sudah bukan suami istri lagi!" bentak Dafina.
"Ck, ck, ck. Sadarlah Delia, kau akan jadi milikku sebentar lagi. Akan ku pastikan taruhanku menang." Deff tersenyum menyeringai menatap wajah istrinya yang sudah nampak memerah.
"Lepas!" seru Delia sambil terus menggeliat.
"Jangan banyak gerak, Sayang. Kamu nggak mau kan membuatnya jadi terbangun? Apalagi saat ini kamu tidak memakai celana."
"Ma-maksudnya?" balas Delia.
"Ssst, tak perlu berpura-pura polos. Apa kamu tidak sadar sedang duduk di mana?" kekeh Deff.
Teg! Delia tersentak, tubuhnya mendadak merinding saat ia berusaha mencerna perkataan Deff. Ia jadi semakin kesal dibuatnya.
"Ya sudah, tenanglah." Deff mengetatkan pelukannya, membuat tubuh Delia jadi menghangat. Terasa sekali pelukannya, karena Delia hanya mengenakan handuk.
Delia menghembus nafas berat berada di posisi seperti ini. Berbeda dengan Deff, ia sungguh menikmatinya. Sesekali diendusnya aroma leher istrinya yang baru saja mandi.
"Hmmm, kamu wangi sekali, Sayang." Suara bariton itu kembali menyadarkan Delia dari lamunannya.
"Ihhh, jauhkan wajahmu dari leherku," gerutu Delia makin kesal.
Bukannya menjauh, Deff malah menyungsepkan wajahnya ke leher jenjang mantan istrinya itu. Ia tersenyum, jika mengingat indahnya masa lalu mereka.
"Aku janji, Sayang. Aku akan berusaha membuatmu bahagia, walau sedikit memaksa."
Sesampainya di rumah tantenya Delia. Delia segera berlari menuju terasnya. Kebetulan tantenya sedang duduk di sana bersama sepupunya.
"Heh, kenapa kamu balik lagi ke sini?" tanya tantenya yang langsung berkacak pinggang mengahadapi Dafina.
"Ta-Tante, apa maksud Tante?"
"Tante kan sudah bilang, jangan coba-coba datang ke rumah ini lagi!" makinya.
"Ada apa lagi ini ribut-ribut?" tanya pamannya yang baru saja keluar dari rumah mereka.
"Paman ..." Delia segera memeluk pamannya, seolah mencari perlindungan.
"Kamu tidak berhak mengusir Dafina! Ini rumahku.
"Heh, aku juga berhak atas rumah ini! Aku tidak mengizinkan Delia tinggal di sini!"
Usai berkata begitu, tantenya segera menarik Delia lalu mendorongnya. Buk! Delia terjatuh membentur kursi, ia berusaha bangkit, dan menatap nanar tantenya itu.
"Apa salahku, Tante? Kenapa Tante tega mengusirku?" tanya Delia dengan mata yang berkaca-kaca.
"Salah! Karena kamu itu hanya bisa nyusahin Tante saja." Tante Mia berkacak pinggang di hadapan Delia.
"Apa Tante lupa? Dulu almarhum orang tuaku menyerahkan semua hartanya untuk Tante di dalam surat wasiat. Dengan harapan, Tante bisa menjaga dan menyayangiku seperti anak sendiri. Tapi apa? Apa balasan Tante terhadapku!"
Plakkk! Satu tamparan keras melayang di wajah Delia. Deff yang melihat hal itu segera berlari ke arah Delia. Ia langsung memeluk, serta mengusap lembut wajahnya yang mulai memerah.
"Sayang? Kamu nggak papa?" tanyanya begitu khawatir.
"Heh! Uang dari orang tuamu itu sudah habis tau! Makanya, sekarang kamu itu udah nggak ada hak lagi untuk tinggal di sini! Paham!"
"Cukup, Tante! Jangan sakiti Defa lagi. Apa uang yang saya beri kemarin tidak cukup untuk membuat berhenti menyakiti Defa!?" maki Deff menahan amarah.
"Bukan begitu, Nak Deff. Tante hanya ingin memberinya pelajaran, agar dia itu nggak main kabur-kaburan lagi dari kamu."
"Tapi bukan seperti itu caranya!" bentak Deff menggelegar. Membuat semua orang di sana jadi terdiam. Kecuali Delia, ia masih menangis tersedu di dalam pelukan Deff.
"Lepasin aku, aku nggak perlu pembelaanmu!" serunya ke arah Deff.
"Tapi, Sayang ...."
"Jangan panggil aku Sayang! Nggak ada lagi orang yang peduli dan sayang sama aku! Lepasin!" serunya sambil terus berusaha melepaskan diri. Air matanya sudah membanjiri wajahnya lagi.
"Delia! Tenangkan dirimu. Ssstt, ayo kita pulang. Di sini bukan tempatmu, Sayang." Deff segera menggendong Dafina menuju mobilnya, lalu menguncinya di dalam sana.
"Paman, saya minta izin untuk membawa Delia ke rumah saya. Tapi, saya janji, saya akan berusaha membahagiakan Delia dengan cara saya sendiri." Deff menatap pamannya serius.
"Jangan berbohong kamu, Deff! Dulu saja kamu sudah jelas-jelas membuang Delia!" maki pamannya kepada Deff.
"Heh, jangan nyalahin Deff dong. Delia aja dulu yang nggak bersyukur." Tante Mia kembali berceloteh.
"Diam, Tante! Bukannya dulu Tante yang merencanakan perceraian kami. Tante tega sekali mengadu domba kami berdua, padahal Tante tau kalau kami masih sangat mencintai antara satu sama lain!" maki Deff.
Teg! Tante Mia jadi terdiam. Suaminya menatapnya dengan emosi, membuat Tante Mia jadi semakin salah tingkah.
"Apa benar yang dikatakan Deff itu, Mia? Jawab!" bentak suaminya.
"Bu-bukan begitu, dulu aku hanya ingin yang terbaik untuk Delia. Ta-"
"Tuan Deff! Delia pusing, perutnya juga terasa mual katanya!" seru supirnya mengagetkannya.
Deff yang tadinya tersulut emosi segera berlari ke arah mobil. Ia membuka pintunya dengan cepat, lalu mendapati wajah istrinya yang begitu pucat.
"Delia, bangun, Sayang. Ada aku di sini," ucap Deff sambil menggenggam erat tangan mantan istrinya itu."Delia, ini aku, Sayang ...."Istrinya memejamkan matanya dengan rapat. Ia mendengar suara suaminya secara sayup, tapi malah tidak bisa membukanya."Delia, Sayang. Kamu harus bangun." Deff mendudukkannya segera."Antar ke rumah sakit sekarang!" perintahnya pada ajudannya yang masih nampak bingung."Ba-baik, Tuan."Delia memang memilik penyakit magh. Karena akhir-akhir ini ia jarang sekali makan pagi. Oleh karena itu, maghnya kembali kambuh.Deff mengecup tangan mantan istrinya dengan bertubi-tubi. Delia yang terbaring lemah, hanya bisa pasrah menerima semua sentuhan itu.Sesampainya di rumah sakit. Delia ditangani oleh seorang dokter. Dokter menjelaskan, bahwa magh yang diderita Delia tidak terlalu parah. Tapi, ini juga bukan masalah yang sepele. Jika tidak diperhatikan dengan baik, penyakit ini juga akan membahayakan bagi Delia.Setelah menebus resep yang diberikan oleh dokter, Def
Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer
Di kediaman Bu Diana, Delia sedang berkutat di dapur, ia tengah membantu bibi menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua."Nggak usah, Non. Biar Bibi aja.""Nggak papa, Bi. Lagian aku nggak ada kegiatan, sepi tau.""Walah, Non. Bibi juga nggak ada kegiatan kalau semuanya dikerjakan Non Delia, lah apa kata nyonya?""Ya nggak ada apa-apa." Delia tertawa, memecahkan keheningan di pagi itu. Bu Diana juga begitu senang, karena Delia adalah wanita yang rajin, tak sia-sia beliau membawanya ke sini. Ia juga mudah akrab dengan Bibi."Oh ya, Non. Keluarga Non tinggal di mana?" tanya Bibi."Jakarta Selatan, Bi." Delia menjawab sambil tersenyum."Non udah kabarin, kalau Non ada di sini? Siapa tau suami Non nyariin.""Ekh." Delia tersedak mendengar penuturan Bibi. Ia jadi merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini, tak ingin membuka jati dirinya terlalu jauh, kecuali bu Diana."Bi, ada yang nyariin tuh!" perintah bu Diana tiba-tiba, menghentikan pembicaraan mereka barusan."Siapa Nyonya?""Nggak t
Delia hampir menahan nafas, saat Deff berada di dekat pintu mobil itu. Bu Diana buru-buru ke sana, lalu menghadang Deff."Ada apa Tuan Deff?""Siapa di dalam?" tanya Deff dingin dan penasaran."Oh, itu keponakan saya. Oh ya, gimana jeruknya tadi?" Bu Diana berbohong karena ingin mengalihkan pembicaraan. Ia juga ingin urusannya dengan Deff cepat selesai."Lumayan, mulai besok kami akan ambil jeruk di kebun anda.""Wah, benarkah? Senang sekali bekerjasama dengan anda. Tapi gimana dengan tanah itu? Apa mau lihat-lihat dulu?""Tidak perlu, nanti biar asisten saya yang melihatnya.""Hmm, oke kalau begitu, jadi nggak enak bicara di sini. Ayo kita masuk ke butik. Kita minum-minum dulu di dalam.""Maaf, kami juga buru-buru. Masih ada urusan penting yang mesti diselesaikan. Permisi, ucap Deff usai menyalami tangan bu Diana. Setelah itu, ia gegas menuju mobilnya dan diikuti oleh asistennya.Setelah kepergian Deff, bu Diana kembali menemui Delia. Delia yang tadinya khawatir, kini sudah terlihat
Pada malam harinya, Putri pergi dari penginapan seorang diri. Tiba-tiba, ia malah bertemu dengan pria yang ingin mengganggunya malam itu."Hai cantik, kita bertemu lagi."Putri mengingat kejadian itu, namun ia tak bisa mengingat semuanya, karena waktu itu seperti ada yang memukulnya, lalu ia tersadar tak jauh dari penginapan. Putri sedikit panik, ia buru-buru pergi dari hadapan orang itu."Tunggu, mau ke mana kamu?" tanya dia lagi."Lepaskan aku, jangan coba-coba pegang! Tanganku ini halus tauuu! Kamu mau celaka in aku lagi?""Celakain kamu? Kamu lupa, waktu itu kamu juga kabur, dan tiba-tiba kamu sudah digendong oleh pria." Ia mengernyitkan keningnya."P-Pria?" Putri berusaha mengingat kejadian kemarin, tapi pikirannya begitu sulit untuk mengingatnya. "Iya? Dia siapa? Pacar kamu?" Pria itu mendekat ke arah Putri. Hingga wajah mereka kini bertemu.Dug! Jantung Putri serasa meledak, saat ia sadar kalau ternyata pria itu tampan juga. Namun Putri tidak mau terpesona oleh pria itu, ia in
Deg! Delia tersentak kaget, ia ingin berbalik, tapi merasa takut dengan orang itu. Apalagi di sini tak ada seorang pun yang ia kenal. Ia menetralkan nafasnya, sampai akhirnya berbalik."Kenapa sepatunya dilepas?" tanya seorang pemuda yang nampak sepantaran dengannya.Delia menatapnya lamat-lamat, sepertinya pria ini berbahaya. Ia menyentakkan tangan, tak ingin lama-lama dipegang oleh orang asing itu."A-anu, sepatunya kebuka. Tapi nggak papa, rumahku dekat sini kok." Ia buru-buru ingin pergi meninggalkan pria itu, namun satu tangannya kini ditahan, membuat jantungnya kembali berdegup."Mau ke mana? Biar bisa kuantar sekalian.""Nggak, aku bisa sendiri." Delia buru-buru pergi dari hadapannya.Pria itu tak tinggal diam. Dikejarnya Delia yang berjalan cepat di depan sana. Ia menghadang langkah cantik sang janda muda itu."Ayo ikut aku," ajaknya lagi sambil menggandeng tangan Delia."Kamu apa-apaan! Kita nggak saling kenal, kenapa kamu malah maksa?!"Pria itu tersenyum, lalu menggandeng D