Brakk!
"Ternyata kucing, lega sekali," batin Delia
Ia segera berlari menuju taman terdekat. Sebuah tempat yang dijanjikannya bersama Erlan. Sang pria jahat itu. Tak lama kemudian, Erlan menjemputnya dengan menggunakan mobil.
"Delia, kamu nggak papa kan?"
"Iya, aku nggak papa."
"Ya udah, ayo kita pulang." Erlan membukakan pintu mobil untuk Delia.
Delia segera masuk ke dalam. Mobil dikemudikan oleh Erlan. Dua jam kemudian, akhirnya mereka sampai juga di rumah tantenya Delia. Delia segera turun, lalu menggedor-gedor pintu rumah tantenya. Tak lama kemudian, pamannya keluar membukakan pintu.
"Delia?"
"Paman." Delia refleks memeluk pamannya, yang tak lain adalah adik dari ibunya.
"Kamu nggak kenapa-napa kan?"
"Nggak, Delia nggak papa. Untung ada Erlan."
"Ada apa sih, ribut-ribut?" Terdengar teriakan dari dalam rumah. Rupanya tante Mia terganggu dengan pembicaraan Delia tadi.
"Tante ...." Delia menyodorkan tangannya.
"Akh, jangan sentuh-sentuh Tante! Kenapa kamu pulang? Sama Erlan lagi!" amuk tantenya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Erlan.
"Apa maksud Tante?"
"Apa? Apa? Sana cepat kembali ke rumah Deff. Kalau nggak, bisa-bisa tantemu ini dapat masalah tau!"
"Masalah? Masalah apa Mia?" tanya pamannya.
"Emmm, a-anu. Nggak." Tante Mia melirik ke arah suaminya serba salah.
"Gawat, aku keceplosan." Ia bergumam.
"Tadi, Bang Deff ngasih Ibu uang, Pak. Uangnya banyak banget. Tapi dengan syarat, Ibu nggak boleh lagi halangin hubungan Deff dengan Dafina," ucap Putri menyahut dari belakang mereka.
"Apa? Keterlaluan sekali kamu Mia. Kamu kira Delia ini barang? Dulu kamu yang bersikeras agar mereka berpisah. Sekarang, kenapa kamu berubah?" maki suaminya.
"Udahlah, Pak. Perekonomian kita lagi sulit. Apa salahnya aku nerima uang dari Deff. Toh, uangnya jauh lebih banyak daripada Erlan."
"Apa, jadi Tante mempermainkan saya? Saya nggak terima. Delia, ayo ikut aku pulang!" seru Erlan.
Sreet! Erlan menyeret Delia dengan paksa. Ia memasukkan Delia ke dalam mobil, lalu mulai menyetir. Paman dan tantenya jadi resah. Bagaimana kalau Deff mencari Delia ke sini.
"Putri, dengerin Ibu. Kalau Deff ke sini, bilang aja kita nggak tau apa-apa ya. Kamu nggak mau kan Deff ngambil uang itu lagi."
"I-iya, Bu."
"Mia, kamu benar-benar keterlaluan! Tega sekali kamu mengombang-ambing perasaan Delia!"
"Sudahlah, Pak, Bu. Putri ngantuk. Putri mau balik ke kamar lagi." Gegas putri meninggalkan kedua orangtuanya yang masih berantem.
******
"Kenapa tante tega sekali memperlakukan aku seperti itu?" gumam Delia, sembari mengusap air matanya.
"Delia Sayang. Lupakan semuanya, okeh? Besok kita akan kembali menikah, walau tanpa persetujuan tantemu. Setelah itu kita akan menjalani kehidupan rumah tangga yang lebih baik."
Delia menatapnya dengan malas. Hatinya masih begitu berduka. Bisa-bisanya Erlan membahas pernikahan dengannya.
"Delia .."
"Eh iya?" Delia menghapus air matanya lagi.
Delia dibawa ke rumah Erlan. Mereka tidur dalam satu kamar yang sama. Bahkan satu kasur, Delia merasa janggal dengan hal ini.
"Erlan, bagaimana kalau aku tidur di luar saja. Kita belum halal, Erlan."
"Nggak papa, Sayang. Toh, besok kita akan segera menikah."
"Nggak mau Erlan!"
"Eh, iya-iya. Kamu tidur aja, entar aku tidur di kamar sebelah."
Delia merasa risih karena Erlan masih berada di sini. Ia agak menyesal karena ikut Erlan ke rumahnya. Namun, mau bagaimana lagi. Ia juga tidak punya pilihan.
"Ya sudah, aku keluar Sayang."
Erlan segera keluar, lalu menutup pintunya. Delia menghela nafas lega. Ia pun segera merebahkan diri di atas kasur. Rasanya begitu nyaman karena telah jauh dari Deff.
Pada keesokan harinya, Delia baru saja selesai mandi. Ia masih memakai handuk saja. Namun, tiba-tiba Erlan sudah berdiri di depan kamar mandi.
"Erlan? Apa yang kamu lakukan di sini!?" tanya Delia terkejut.
"Hmmm, aku hanya ingin melihat calon istriku di pagi hari." Matanya jelalatan menatap tubuh indah Delia dari atas ke bawah.
"Erlan, kamu nggak boleh gitu. Kita kan belum resmi menikah. Kapan nikahnya dimulai? Jadi kan hari ini?" tanya Delia memastikan.
"Emm, soal itu aku pikirkan lagi. Aku nggak mau mantan suamimu itu datang lagi." Erlan mulai memepet tubuh Delia.
"Erlan, menjauh dariku. Kita nggak boleh seperti ini."
"Halah, Deff pasti sudah melakukan sesuatu kan kemarin? Jawab!" bentak Erlan.
"Nggak, Erlan."
"Bohong! Sekarang giliranku Delia!"
"Apa maksudmu? Kita belum sah, Erlan!" Delia semakin takut dengan tingkah laku Erlan.
"Sah atau tidak sama saja. Toh, sebentar lagi kita akan menikah juga." Erlan tersenyum licik.
Ia segera memepet Delia ke dinding, berusaha menarik handuknya. Delia begitu takut. Delia berontak, namun Erlan menahannya.
"Erlan, tahan dirimu, hiks ....."
"Delia! Seharusnya hari ini kita sudah sah! Tapi, mantan suamimu ini telah menghancurkan pernikahan kita kemarin!"
"Itu bukan salahku, Erlan ...."
"Halah!" Erlan tetap ingin melanjutkan aksinya.
Delia mulai panik. Ia segera menginjak kaki Erlan dengan keras. Saat Erlan mengaduh, ia pun berlari menjauhinya.
"Delia! Apa yang kamu lakukan?" Erlan meringis kesakitan.
Delia segera mengambil tasnya. Ia berlari dengan hanya mengenakan handuk. Ia menangis mengingat sikap Erlan barusan. Gegas anak tangga dituruninya. Untungnya Erlan tidak memiliki penjaga di rumah, kecuali di gerbang.
"Apa yang harus aku lakukan ...." Delia mulai gemetar.
"Hei, jangan Kabur!" Erlan sudah mengejarnya dari belakang.
Delia mempercepat larinya, hingga akhirnya sampai di halaman rumah Erlan. Ia makin panik, karena ada dua penjaga Erlan di depan sana.
"Hahahaha! Mau ke mana kamu Delia! Ayo kembali ke kamar!" perintah Erlan.
"Nggak, nggak mau."
"Kenapa? Kita kan nanti akan menikah juga Delia."
"Nanti, kapan? Hah?"
"Iya, nanti. Setelah urusan kita dengan Deff selesai. Ayo kembali ke kamar!" Erlan segera menarik tangan Dafina, lalu menggendongnya.
"Jangan, Erlan! Turunkan aku!"
"Turunkan Delia!" seru suara bariton yang baru memasuki gerbang mereka. Karena kebetulan pintunya terbuka dari tadi.
"Deff, tolong ...."
"Heh, Delia! Pria itu yang telah menghancurkan pesta kita. Bisa-bisanya kamu minta tolong ke dia."
"Turunkan Delia sekarang! Kalau kamu tidak ingin rumahmu ku obrak-abrik."
"Silahkan kalau berani!" sahut Erlan sombong.
Ia segera memanggil dua ajudannya untuk mengalahkan Deff. Deff hanya tersenyum sinis. Erlan begitu berani di dalam kandangnya. Serangan dimulai, mereka bertiga mengeroyok Deff seorang diri.
Bug!! Bug!! Bugh!! Tendangan diarahkan ke seluruh tubuh Deff. Ajudan Deff segera menolong, mereka jadi tiga lawan dua. Pertarungan terlihat seimbang, namun akhirnya Deff berhasil mengalahkan mereka.
"Aaaaagghhh!" Ajudannya Erlan tertelentang di atas jalan.
Dukk! Deff menginjak dadanya, memberi sensasi yang menyesakkan.
"Deff, sudah .... Sudah ...." Delia berteriak histeris melihat perbuatan Deff.
Erlan mulai menciut. Ia segera menurunkan Delia perlahan. Gegas Deff menghampiri mantan istrinya itu, lalu memeluknya. Ia berusaha menenangkan Delia yang masih terlihat ketakutan.
"Ayo kita pulang," ajak Deff."Nggak mau, aku mau pulang ke rumahku saja!""Ayo, Delia! Apa kamu nggak malu berpakaian seperti ini!?"Delia memandang tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ia menunduk dan jadi salah tingkah. Deff paham hal itu, ia segera melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke pinggang Delia, membentuk seperti rok."Jangan bawa calon istriku!" Erlan menatap mereka dengan emosi."Kheh, calon istrimu? Jangan bermimpi," sahut Deff sinis. Bodyguardnya Deff sudah menunggu di belakangnya, membuat Erlan jadi menciut lagi. Ia menatap para ajudannya yang nampak babak belur"Ayo kita kembali ke rumah." Deff menarik tangan Delia"Aku nggak mau, aku mau pulang ke rumahku," sahut Delia."Sayang, keluargamu itu jahat. Ayo kita pulang ke rumahku saja ya," bujuknya lagi.
"Delia, bangun, Sayang. Ada aku di sini," ucap Deff sambil menggenggam erat tangan mantan istrinya itu."Delia, ini aku, Sayang ...."Istrinya memejamkan matanya dengan rapat. Ia mendengar suara suaminya secara sayup, tapi malah tidak bisa membukanya."Delia, Sayang. Kamu harus bangun." Deff mendudukkannya segera."Antar ke rumah sakit sekarang!" perintahnya pada ajudannya yang masih nampak bingung."Ba-baik, Tuan."Delia memang memilik penyakit magh. Karena akhir-akhir ini ia jarang sekali makan pagi. Oleh karena itu, maghnya kembali kambuh.Deff mengecup tangan mantan istrinya dengan bertubi-tubi. Delia yang terbaring lemah, hanya bisa pasrah menerima semua sentuhan itu.Sesampainya di rumah sakit. Delia ditangani oleh seorang dokter. Dokter menjelaskan, bahwa magh yang diderita Delia tidak terlalu parah. Tapi, ini juga bukan masalah yang sepele. Jika tidak diperhatikan dengan baik, penyakit ini juga akan membahayakan bagi Delia.Setelah menebus resep yang diberikan oleh dokter, Def
Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer
Di kediaman Bu Diana, Delia sedang berkutat di dapur, ia tengah membantu bibi menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua."Nggak usah, Non. Biar Bibi aja.""Nggak papa, Bi. Lagian aku nggak ada kegiatan, sepi tau.""Walah, Non. Bibi juga nggak ada kegiatan kalau semuanya dikerjakan Non Delia, lah apa kata nyonya?""Ya nggak ada apa-apa." Delia tertawa, memecahkan keheningan di pagi itu. Bu Diana juga begitu senang, karena Delia adalah wanita yang rajin, tak sia-sia beliau membawanya ke sini. Ia juga mudah akrab dengan Bibi."Oh ya, Non. Keluarga Non tinggal di mana?" tanya Bibi."Jakarta Selatan, Bi." Delia menjawab sambil tersenyum."Non udah kabarin, kalau Non ada di sini? Siapa tau suami Non nyariin.""Ekh." Delia tersedak mendengar penuturan Bibi. Ia jadi merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini, tak ingin membuka jati dirinya terlalu jauh, kecuali bu Diana."Bi, ada yang nyariin tuh!" perintah bu Diana tiba-tiba, menghentikan pembicaraan mereka barusan."Siapa Nyonya?""Nggak t
Delia hampir menahan nafas, saat Deff berada di dekat pintu mobil itu. Bu Diana buru-buru ke sana, lalu menghadang Deff."Ada apa Tuan Deff?""Siapa di dalam?" tanya Deff dingin dan penasaran."Oh, itu keponakan saya. Oh ya, gimana jeruknya tadi?" Bu Diana berbohong karena ingin mengalihkan pembicaraan. Ia juga ingin urusannya dengan Deff cepat selesai."Lumayan, mulai besok kami akan ambil jeruk di kebun anda.""Wah, benarkah? Senang sekali bekerjasama dengan anda. Tapi gimana dengan tanah itu? Apa mau lihat-lihat dulu?""Tidak perlu, nanti biar asisten saya yang melihatnya.""Hmm, oke kalau begitu, jadi nggak enak bicara di sini. Ayo kita masuk ke butik. Kita minum-minum dulu di dalam.""Maaf, kami juga buru-buru. Masih ada urusan penting yang mesti diselesaikan. Permisi, ucap Deff usai menyalami tangan bu Diana. Setelah itu, ia gegas menuju mobilnya dan diikuti oleh asistennya.Setelah kepergian Deff, bu Diana kembali menemui Delia. Delia yang tadinya khawatir, kini sudah terlihat
Pada malam harinya, Putri pergi dari penginapan seorang diri. Tiba-tiba, ia malah bertemu dengan pria yang ingin mengganggunya malam itu."Hai cantik, kita bertemu lagi."Putri mengingat kejadian itu, namun ia tak bisa mengingat semuanya, karena waktu itu seperti ada yang memukulnya, lalu ia tersadar tak jauh dari penginapan. Putri sedikit panik, ia buru-buru pergi dari hadapan orang itu."Tunggu, mau ke mana kamu?" tanya dia lagi."Lepaskan aku, jangan coba-coba pegang! Tanganku ini halus tauuu! Kamu mau celaka in aku lagi?""Celakain kamu? Kamu lupa, waktu itu kamu juga kabur, dan tiba-tiba kamu sudah digendong oleh pria." Ia mengernyitkan keningnya."P-Pria?" Putri berusaha mengingat kejadian kemarin, tapi pikirannya begitu sulit untuk mengingatnya. "Iya? Dia siapa? Pacar kamu?" Pria itu mendekat ke arah Putri. Hingga wajah mereka kini bertemu.Dug! Jantung Putri serasa meledak, saat ia sadar kalau ternyata pria itu tampan juga. Namun Putri tidak mau terpesona oleh pria itu, ia in