"Nak, Deff. Ayo masuk dulu. Kita sudah lama tidak berbincang." Tante Mia bersikap begitu ramah terhadap Deff.
"Eh, iya Deff. Kami masih menganggapmu keluarga lho." Putri yang baru datang di dalam juga ikut membujuk.
"Mmm, ngomong-ngomong Nak Deff sekarang kerja apa?" tanya Tante Mia berbasa-basi.
"Tidak ada, saya hanya membantu menjalankan perusahaan keluarga saya. Ya sudah, saya permisi."
Deff segera melengos dari tempat itu. Tante Mia terlihat membuang muka, karena tidak senang diperlakukan seperti itu. Padahal, dulu dia begitu angkuh terhadap Deff. Karena Deff dulu hanyalah penjual gorengan.
Pada sore harinya, Deff kembali ke rumahnya, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Bibi segera mendekati, wajah beliau terlihat begitu cemas.
"Nak, Deff."
"Ada apa, Bi?"
"Anu .... Non Delia .... Bibi sudah berusaha bujuk Non Delia. Tapi, tetap aja dia ngga mau makan."
"Apa?" Deff melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul setengah empat.
"Ya sudah, biar Deff yang bujuk dia ya, Bi."
"Iya, maafin Bibi ya Nak Deff."
"Maaf? Bibi lucu sekali. Bibi nggak salah kok, cuman Dafinanya aja yang keras kepala. Hmm, ya sudah. Deff coba bujuk dia dulu ya, Bi."
Usai berkata begitu, Deff segera mempercepat langkahnya menaiki anak tangga. Ia begitu khawatir dengan keadaan istrinya saat ini.
Ceklek! Pintu terbuka. Memperlihatkan seorang wanita yang masih menangis sesenggukan. Wajahnya terlihat sangat pucat. Matanya juga begitu memerah, karena selalu mengeluarkan air.
Deff menghela nafas berat, lalu melangkah mendekati mantan istrinya itu. Delia semakin takut, ia berusaha memundurkan tubuhnya hingga ke dinding ranjang. Dia terkurung di sana, dan langsung dikungkung oleh Deff.
"Aku mau pulang, aku nggak mau berlama-lama di sini." Ia menatap ke arah Deff yang begitu dekat dengannya.
Deff kembali menghela nafas, lalu mengusap pipi Dafina perlahan. "Sayang, ini rumahmu Sayang. Ini akan menjadi kamar kita, jika aku kembali menikahimu."
"Nggak, aku nggak mau rujuk! Nggak!" Dafina menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Hei, hei. Lihat Abang." Deff menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Delia sudah tidak mencintai Abang lagi?" tanyanya.
"Sudah kubilang, jangan sentuh aku. Lagi pula kamu juga nggak pantas dipanggil Abang, karena kamu sudah bukan penjual gorengan lagi kan?" Delia menatapnya nanar.
"Kamu lucu sekali Sayang. Mau aku tukang gorengan, CEO gorengan atau apalah itu. Aku tetap Abangmu, Sayang."
"Bukan! Aku mau pulang ...." Delia menangis tertahan.
"Delia, menurutlah dengan Abang, ya."
"Nggak mau! Kamu jahat!" Delia memukul-mukul dada Deff dengan keras.
Tap! Deff menahan tangannya. "Delia! Dengarkan Abang!" bentaknya dengan keras. Ia menahan tangan Dafina ke sisi ranjang sembari menatapnya tajam.
Teg!
"Lepas!"
"Nggak, sebelum kamu makan, okeh? Atau, kalau kamu melawan, jangan salahkan aku jika aku melakukan sesuatu," bisik Deff perlahan.
"Me-melakukan sesuatu?" Delia nampak gugup.
Deff melirik ke arah leher serta dada mantan istrinya itu. Deff mendekatinya perlahan hingga wajah mereka hampir terimpit.
"Kau mau aku memakanmu?" tanya Deff mengancam.
"A-apa maksudmu? Jangan pernah bermimpi bisa melakukan itu padaku! Kita sudah resmi bercerai, Deff!"
"Aku bisa saja melakukannya Delia, terlebih saat kondisimu tidak berdaya seperti ini. Gampang sekali aku menerkammu, Sayang." Deff mulai menciumi wajah serta leher mantan istrinya itu. Delia menggeleng dengan keras, tapi sayangnya tenaganya kalah dengan tenaga Deff.
"Masih mau bertahan? Atau menyerah untuk makan?" tanya Deff sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan santapannya.
"Ekhh ...." Delia berusaha menahan geloranya, saat Deff mulai melucuti pakaiannya hingga melorot.
"Deff, stop! Stop! Kita sudah bukan suami istri lagi, Deff! Aakhh." Delia mulai tidak tahan.
"Tidak Sayang, sebelum kau menyerah, okeh?"
"I-iya, aku menyerah. Aku akan makan .... Ekkhh." Delia lekas menyahut, saat mulut Deff mulai menuruni tubuhnya.
Deff tersenyum, lalu menghentikan aksinya. "Jangan membohongiku! Aku mau mandi sebentar, setelah aku selesai, kamu juga harus selesai makan."
Delia mengangguk dengan cepat di saat Deff sudah mulai melepaskannya. Deff segera melepaskan pakaiannya, lalu melempar ke keranjang. Ia seolah sengaja menunjukkan bentuk tubuhnya yang sudah begitu kekar. Tidak seperti dulu.
Delia hanya menunduk sambil memakan makanan itu. Sesekali ia meminum air, karena sangat sulit untuknya meneguk makanan itu. Deff segera bergegas ke kamar mandi, kurang lebih lima menit kemudian ia sudah kembali dengan memakai handuk sebatas lutut.
"Belum selesai?" tanyanya sambil mendekati Delia yang susah payah menghabiskan makanannya.
"Be-belum," sahut Delia yang kini berusaha memasukkan beberapa sendok ke dalam mulutnya dengan cepat.
"Uhk! Uhk!" Ia mulai tersedak.
"Ssssttt, sudah, sudah. Jangan dipaksakan. Pelan-pelan saja," tegur Deff yang tak kuasa melihat Delia kepayahan.
Delia mengangguk.
"Delia, maaf. Maafkan Abang. Abang tadi tidak bermaksud memarahimu. Abang hanya tidak ingin Delia sakit." Deff menatapnya dengan tulus.
Delia masih menunduk menahan sesak di dalam dada. "Pakai bajumu." Ia menatap Deff sekilas.
"Kenapa, Sayang? Bukankah kamu sudah terbiasa melihatnya?" goda Deff semakin mendekat.
"Deff!"
"Iya, iya. Aku pasang." Deff tersenyum lalu melangkah menuju lemari. Ia mencari beberapa pakaian di dalam sana, lalu memakainya.
"Kenapa kamu menculikku?" tanya Delia tiba-tiba.
"Kapan Abang menculikmu? Seingat Abang, Abang hanya menjemput Delia pulang. Karena ini rumah kita, Sayang." Deff kembali mendekatinya, sehingga wajah mereka semakin dekat.
"Ngapain kamu menatapku begitu? Aku nggak suka!" seru Delia menunduk.
"Tapi aku suka, Sayang."
"Apa tujuanmu? Apa kau sengaja ingin menyakitiku, hah!"
Dering handphone Deff berbunyi. Ia segera mundur untuk mengangkatnya. Rupanya itu adalah panggilan dari mantan istrinya Erlan. Mereka memang sengaja kerja sama untuk menghancurkan pernikahan Erlan dengan Delia.
"Bagaimana?"
"Iya, dia aman bersamaku. Aku akan membantumu menuntut mantan suamimu itu."
"Okeh, baiklah."
Itu adalah percakapan mereka yang sempat terdengar samar di telinga Delia. Namun, ia juga tidak mengerti apa maksudnya. Delia menatap Deff dengan penasaran, namun tetap berpura-pura memalingkan muka. Ia takut Deff kembali mendekat. Dadanya kembali berdegup dengan kencang.
Pada malam harinya. Delia mencoba menghubungi adik sepupunya, Putri. Ia meminta, Putri menjemputnya di sini. Sayangnya, Putri memang sengaja mereject panggilan dari Deff.
Delia mencoba menghubungi Erlan, ia begitu senang saat Erlan menerima panggilannya. Namun, masih tetap hati-hati agar tidak ketahuan.
"Delia kamu di mana?" tanya Erlan di ujung telepon.
"Erlan, tolong jemput aku sekarang juga. Aku akan kirimkan alamatnya nanti. Kita bertemu di dekat taman, okeh?"
"Okeh, okeh. Tunggu aku. Aku akan segera ke sana."
Delia menghela nafas lega. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas keluar. Mengendap-endap turun dari tangga. Agar tidak menimbulkan suara yang berisik dari kakinya.
Sesampainya di halaman, para penjaga rumah itu juga sedang tertidur pulas. Gampang sekali Delia keluar, tanpa harus main kucing-kucingan.
Brakkk!
Brakk!"Ternyata kucing, lega sekali," batin DeliaIa segera berlari menuju taman terdekat. Sebuah tempat yang dijanjikannya bersama Erlan. Sang pria jahat itu. Tak lama kemudian, Erlan menjemputnya dengan menggunakan mobil."Delia, kamu nggak papa kan?""Iya, aku nggak papa.""Ya udah, ayo kita pulang." Erlan membukakan pintu mobil untuk Delia.Delia segera masuk ke dalam. Mobil dikemudikan oleh Erlan. Dua jam kemudian, akhirnya mereka sampai juga di rumah tantenya Delia. Delia segera turun, lalu menggedor-gedor pintu rumah tantenya. Tak lama kemudian, pamannya keluar membukakan pintu."Delia?""Paman." Delia refleks memeluk pamannya, yang tak lain adalah adik dari ibunya."Kamu nggak kenapa-napa kan?""Nggak, Delia nggak papa. Untung ada Erlan.""A
"Ayo kita pulang," ajak Deff."Nggak mau, aku mau pulang ke rumahku saja!""Ayo, Delia! Apa kamu nggak malu berpakaian seperti ini!?"Delia memandang tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ia menunduk dan jadi salah tingkah. Deff paham hal itu, ia segera melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke pinggang Delia, membentuk seperti rok."Jangan bawa calon istriku!" Erlan menatap mereka dengan emosi."Kheh, calon istrimu? Jangan bermimpi," sahut Deff sinis. Bodyguardnya Deff sudah menunggu di belakangnya, membuat Erlan jadi menciut lagi. Ia menatap para ajudannya yang nampak babak belur"Ayo kita kembali ke rumah." Deff menarik tangan Delia"Aku nggak mau, aku mau pulang ke rumahku," sahut Delia."Sayang, keluargamu itu jahat. Ayo kita pulang ke rumahku saja ya," bujuknya lagi.
"Delia, bangun, Sayang. Ada aku di sini," ucap Deff sambil menggenggam erat tangan mantan istrinya itu."Delia, ini aku, Sayang ...."Istrinya memejamkan matanya dengan rapat. Ia mendengar suara suaminya secara sayup, tapi malah tidak bisa membukanya."Delia, Sayang. Kamu harus bangun." Deff mendudukkannya segera."Antar ke rumah sakit sekarang!" perintahnya pada ajudannya yang masih nampak bingung."Ba-baik, Tuan."Delia memang memilik penyakit magh. Karena akhir-akhir ini ia jarang sekali makan pagi. Oleh karena itu, maghnya kembali kambuh.Deff mengecup tangan mantan istrinya dengan bertubi-tubi. Delia yang terbaring lemah, hanya bisa pasrah menerima semua sentuhan itu.Sesampainya di rumah sakit. Delia ditangani oleh seorang dokter. Dokter menjelaskan, bahwa magh yang diderita Delia tidak terlalu parah. Tapi, ini juga bukan masalah yang sepele. Jika tidak diperhatikan dengan baik, penyakit ini juga akan membahayakan bagi Delia.Setelah menebus resep yang diberikan oleh dokter, Def
Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer
Di kediaman Bu Diana, Delia sedang berkutat di dapur, ia tengah membantu bibi menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua."Nggak usah, Non. Biar Bibi aja.""Nggak papa, Bi. Lagian aku nggak ada kegiatan, sepi tau.""Walah, Non. Bibi juga nggak ada kegiatan kalau semuanya dikerjakan Non Delia, lah apa kata nyonya?""Ya nggak ada apa-apa." Delia tertawa, memecahkan keheningan di pagi itu. Bu Diana juga begitu senang, karena Delia adalah wanita yang rajin, tak sia-sia beliau membawanya ke sini. Ia juga mudah akrab dengan Bibi."Oh ya, Non. Keluarga Non tinggal di mana?" tanya Bibi."Jakarta Selatan, Bi." Delia menjawab sambil tersenyum."Non udah kabarin, kalau Non ada di sini? Siapa tau suami Non nyariin.""Ekh." Delia tersedak mendengar penuturan Bibi. Ia jadi merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini, tak ingin membuka jati dirinya terlalu jauh, kecuali bu Diana."Bi, ada yang nyariin tuh!" perintah bu Diana tiba-tiba, menghentikan pembicaraan mereka barusan."Siapa Nyonya?""Nggak t
Delia hampir menahan nafas, saat Deff berada di dekat pintu mobil itu. Bu Diana buru-buru ke sana, lalu menghadang Deff."Ada apa Tuan Deff?""Siapa di dalam?" tanya Deff dingin dan penasaran."Oh, itu keponakan saya. Oh ya, gimana jeruknya tadi?" Bu Diana berbohong karena ingin mengalihkan pembicaraan. Ia juga ingin urusannya dengan Deff cepat selesai."Lumayan, mulai besok kami akan ambil jeruk di kebun anda.""Wah, benarkah? Senang sekali bekerjasama dengan anda. Tapi gimana dengan tanah itu? Apa mau lihat-lihat dulu?""Tidak perlu, nanti biar asisten saya yang melihatnya.""Hmm, oke kalau begitu, jadi nggak enak bicara di sini. Ayo kita masuk ke butik. Kita minum-minum dulu di dalam.""Maaf, kami juga buru-buru. Masih ada urusan penting yang mesti diselesaikan. Permisi, ucap Deff usai menyalami tangan bu Diana. Setelah itu, ia gegas menuju mobilnya dan diikuti oleh asistennya.Setelah kepergian Deff, bu Diana kembali menemui Delia. Delia yang tadinya khawatir, kini sudah terlihat
Pov DeliaAku berusaha tenang, tak ingin menunjukkan ketakutanku di hadapan pria ini. Tak ingin lemah, dan kembali dijajah olehnya. Dia hanya tersenyum mengejek, seolah menyatakan bahwa ia sekarang menang."Jawab aku, siapa pria yang bersamamu tadi?!"Aku diam, namun justru kediamanku malah membuatnya tak tenang. Lagi, ia melontarkan pertanyaan yang sama. Amarah mulai nampak menghiasi wajahnya yang tegas."Ayo jawab!" Tangannya meraih wajahku, lalu mendekatkan kearahnya.Deg. Lagi-lagi jantung ini berdebar dengan kencangnya. Bibirku kelu, rasa takut, panik dan kesal menyatu di dalam sana. "Kamu masih mau diam, Sayang? Baiklah, aku akan membuat bibirmu tetap diam."Cup, bibir itu mendarat sedikit di bibirku. Aku buru-buru menjauh, dan merasa panas di wajahku."Dasar breng-""Mau lagi?" Ia kembali menyeringai.Deff membawaku ke apartemennya di kota ini. Digandengnya tubuh mantan istrinya ini. Tak bisa aku berkutik karenanya."Lepas.""Diam, kalau kau ingin selamat." Ia berkata lembut n
Awan yang awalnya cerah, kini mendadak mendung. Hal ini sedikit mengganggu Rendra, karena malam ini ia akan menjemput Delia. Entah kenapa, walau baru pertama bertemu, ada daya tarik tersendiri dari diri Delia terhadap Rendra.Rendra yang sudah lama menjomblo seperti merasakan cahaya terang saat bertemu Delia. Tapi, baginya masih terlalu cepat jika ia ingin menjalin hubungan dengan Delia, apalagi dia masih belum tau asal usulnya. Tugasnya hanya berusaha menjaga Delia selama ia berada di sini.Putri sudah sampai di rumahnya, ia berlari menuju pintu sambil menggedornya dengan cepat. Kakinya terasa mau copot saat menginjak ke teras rumah.Krek."Putri?!!" Ibunya yang kebetulan membuka pintu kini terbelalak menatap wajah putri semata wayangnya."Ibuuuu!" seru Putri sambil memeluk tubuh ibunya erat. Rasanya nyaman, tak ada orang yang bisa mengalahkan pelukan ibunya. Sekian lama berpelukan, akhirnya ia melepas pelukan ibunya. Putri mengatur nafasnya, sebelum ia"Putri, kamu kenapa nggak bis
Deg! Delia tersentak kaget, ia ingin berbalik, tapi merasa takut dengan orang itu. Apalagi di sini tak ada seorang pun yang ia kenal. Ia menetralkan nafasnya, sampai akhirnya berbalik."Kenapa sepatunya dilepas?" tanya seorang pemuda yang nampak sepantaran dengannya.Delia menatapnya lamat-lamat, sepertinya pria ini berbahaya. Ia menyentakkan tangan, tak ingin lama-lama dipegang oleh orang asing itu."A-anu, sepatunya kebuka. Tapi nggak papa, rumahku dekat sini kok." Ia buru-buru ingin pergi meninggalkan pria itu, namun satu tangannya kini ditahan, membuat jantungnya kembali berdegup."Mau ke mana? Biar bisa kuantar sekalian.""Nggak, aku bisa sendiri." Delia buru-buru pergi dari hadapannya.Pria itu tak tinggal diam. Dikejarnya Delia yang berjalan cepat di depan sana. Ia menghadang langkah cantik sang janda muda itu."Ayo ikut aku," ajaknya lagi sambil menggandeng tangan Delia."Kamu apa-apaan! Kita nggak saling kenal, kenapa kamu malah maksa?!"Pria itu tersenyum, lalu menggandeng D
Pada malam harinya, Putri pergi dari penginapan seorang diri. Tiba-tiba, ia malah bertemu dengan pria yang ingin mengganggunya malam itu."Hai cantik, kita bertemu lagi."Putri mengingat kejadian itu, namun ia tak bisa mengingat semuanya, karena waktu itu seperti ada yang memukulnya, lalu ia tersadar tak jauh dari penginapan. Putri sedikit panik, ia buru-buru pergi dari hadapan orang itu."Tunggu, mau ke mana kamu?" tanya dia lagi."Lepaskan aku, jangan coba-coba pegang! Tanganku ini halus tauuu! Kamu mau celaka in aku lagi?""Celakain kamu? Kamu lupa, waktu itu kamu juga kabur, dan tiba-tiba kamu sudah digendong oleh pria." Ia mengernyitkan keningnya."P-Pria?" Putri berusaha mengingat kejadian kemarin, tapi pikirannya begitu sulit untuk mengingatnya. "Iya? Dia siapa? Pacar kamu?" Pria itu mendekat ke arah Putri. Hingga wajah mereka kini bertemu.Dug! Jantung Putri serasa meledak, saat ia sadar kalau ternyata pria itu tampan juga. Namun Putri tidak mau terpesona oleh pria itu, ia in
Delia hampir menahan nafas, saat Deff berada di dekat pintu mobil itu. Bu Diana buru-buru ke sana, lalu menghadang Deff."Ada apa Tuan Deff?""Siapa di dalam?" tanya Deff dingin dan penasaran."Oh, itu keponakan saya. Oh ya, gimana jeruknya tadi?" Bu Diana berbohong karena ingin mengalihkan pembicaraan. Ia juga ingin urusannya dengan Deff cepat selesai."Lumayan, mulai besok kami akan ambil jeruk di kebun anda.""Wah, benarkah? Senang sekali bekerjasama dengan anda. Tapi gimana dengan tanah itu? Apa mau lihat-lihat dulu?""Tidak perlu, nanti biar asisten saya yang melihatnya.""Hmm, oke kalau begitu, jadi nggak enak bicara di sini. Ayo kita masuk ke butik. Kita minum-minum dulu di dalam.""Maaf, kami juga buru-buru. Masih ada urusan penting yang mesti diselesaikan. Permisi, ucap Deff usai menyalami tangan bu Diana. Setelah itu, ia gegas menuju mobilnya dan diikuti oleh asistennya.Setelah kepergian Deff, bu Diana kembali menemui Delia. Delia yang tadinya khawatir, kini sudah terlihat
Di kediaman Bu Diana, Delia sedang berkutat di dapur, ia tengah membantu bibi menyiapkan sarapan pagi untuk mereka semua."Nggak usah, Non. Biar Bibi aja.""Nggak papa, Bi. Lagian aku nggak ada kegiatan, sepi tau.""Walah, Non. Bibi juga nggak ada kegiatan kalau semuanya dikerjakan Non Delia, lah apa kata nyonya?""Ya nggak ada apa-apa." Delia tertawa, memecahkan keheningan di pagi itu. Bu Diana juga begitu senang, karena Delia adalah wanita yang rajin, tak sia-sia beliau membawanya ke sini. Ia juga mudah akrab dengan Bibi."Oh ya, Non. Keluarga Non tinggal di mana?" tanya Bibi."Jakarta Selatan, Bi." Delia menjawab sambil tersenyum."Non udah kabarin, kalau Non ada di sini? Siapa tau suami Non nyariin.""Ekh." Delia tersedak mendengar penuturan Bibi. Ia jadi merasa kurang nyaman dengan pertanyaan ini, tak ingin membuka jati dirinya terlalu jauh, kecuali bu Diana."Bi, ada yang nyariin tuh!" perintah bu Diana tiba-tiba, menghentikan pembicaraan mereka barusan."Siapa Nyonya?""Nggak t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er