Brakkk! Suara perkakas nampak dilahap habis oleh beberapa orang berperawakan tegap. Mereka terlihat sedang membuat keributan di sebuah acara pesta pernikahan. Para tamu begitu kaget dengan keadaan ini. Terlebih dengan kedua calon pengantin baru itu.
"Ada apa ini? Kenapa kalian menghancurkan acara ini?" tanya para tamu yang ada di sana.
"Maaf, kami hanya menjalankan perintah dari Tuan kami," sahut salah satu pengacau itu.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya sang pengantin wanita yang kini turun ke tengah mereka.
Namanya Delia Anastasya. Dia adalah seorang janda muda yang akan melaksanakan ijab kabul bersama Erlan, seorang duda muda anak satu.
"Jawab! Kenapa kalian diam saja? Siapa yang menyuruh kalian?" tanyanya lagi.
"Aku yang telah menyuruh mereka," sahut seorang pria dari ujung sana.
Sesosok pria tampan melangkah ke tengah acara. Namanya Defano Alendra, dia adalah mantan suami dari Delia. Ia kini tersenyum menyeringai ke arah mereka.
"De-Deff?" Delia menggelengkan kepala tidak percaya.
Pria yang dipanggil Deff itu hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya. Ia melirik wajah pria yang ada di samping wanita itu. Dia adalah calon suami dari Delia, yaitu Erlan. Erlan juga merupakan musuhnya Deff sejak zaman di bangku sekolah.
"Jangan rusak acara kami!" bentak Erlan, sembari bangkit dan bersiap untuk menyerang ke arah Deff.
"Jangan menantangku Erlan!" tukasnya dengan sadis, lalu melirik ke arah Delia.
Mantan istrinya hanya menangis melihat acaranya diobrak-abrik oleh orang-orang suruhannya Deff. Sebenarnya, Deff juga tidak tega melakukan ini. Hanya saja, Deff memiliki motif tersendiri dibalik semua itu. Ia melangkah mendekati Delia.
"Delia, ayo ikut aku!" ajak Deff, sembari menatap Delia dengan tajam.
"Nggak, aku nggak mau ikut kamu!" bantah Delia sambil menggelengkan kepalanya dengan takut.
"Sayang, ayo ikut aku." Deff mulai mendekatinya dengan perlahan. Seraya menyentuh pipinya dengan lembut.
"Nggak mau!" balas Delia lagi.
"Sayang, dengarkan aku. Erlan itu-"
"Cukup! Jangan sentuh calon istriku. Dasar pengacau!" Erlan dengan cepat memotong perkataan Deff.
Setelah berkata begitu, Erlan langsung menghadiahi Deff dengan sebuah bogem mentah.
Buk!
Deff hanya tersenyum sinis menerimanya. Selang beberapa detik kemudian, Deff mulai membalasnya dengan pukulan-pukulan yang lebih sadis.
Buk! Bugh! Buk! Pukulan yang pasti membuat Erlan terkapar di atas lantai. Para tamu undangan semakin takut dengan keadaan ini. Bahkan, ada yang sengaja bersembunyi di belakang meja.
"Hentikan, hentikan. Sudah, hentikan. Deff, aku mohon, jangan pukul calon suamiku." Delia terlihat melindungi pria itu.
"Delia, minggir!" perintah Deff.
Delia memegangi wajah Erlan yang membiru. Bukannya kesakitan, Erlan malah sengaja memamerkan kemesraan mereka di hadapan Deff.
"Sial! Mereka pandai membuatku cemburu," batin Deff.
"Delia, ayo kita pulang." Deff sontak menarik tangan Delia dengan sedikit kasar.
"Deff, sudah kubilang aku nggak mau ikut kamu lagi. Aku tau kamu sekarang sudah kaya, tapi kita sudah resmi bercerai, Deff."
"Seperti apapun kamu menolak. Aku akan tetap membawamu pergi," sahut Deff.
Setelah berkata begitu, Deff segera menggendong tubuh mungil mantan istrinya ke atas tubuhnya. Deff membawanya di atas punggung, seperti membawa barang saja. Delia memukuli punggungnya dengan keras, namun sayangnya tidak berasa sakit sama sekali bagi Deff.
"Kalian, urus sisanya." Deff menatap orang-orang suruhannya.
"Deff, aku nggak mau ikut denganmu. Turunkan aku." Delia mulai menangis, butiran-butiran air mata kini kembali menghiasi wajah cantiknya.
"Deff ...."
Deff merebahkannya ke dalam mobil, lalu segera menyusulnya. Ia berusaha menenangkan Delia yang masih terus meronta dan menangis, namun apa daya, tenaga wanita itu masih kalah dengan tenaganya. Mobil melaju, meninggalkan acara pernikahannya yang gagal.
"Deff, aku mau pulang ...."
"Diam!" bentak Deff dengan emosi. Sebenarnya ia tidak benar-benar marah, hanya saja ia berusaha bersikap tegas agar mantan istrinya itu tidak melawannya lagi.
"Lepaskan, Deff. Kita sudah bukan suami istri lagi."
"Benarkah begitu? Kalau begitu, aku akan segera merujukmu. Tepatnya, memaksamu." Deff berbisik lembut di dekat telinganya, sengaja ingin membuatnya merinding.
"Aku tidak mau, kau jahat ...." Delia terus memukul-mukul tubuh Deff. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Deff.
"Aku tidak jahat, Delia. Justru aku berusaha melindungimu dari pria jahat itu," batin Deff.
"Lepaskan aku! Kalau tidak, aku akan terjun dari mobil ini!" Ia mendorong Deff dengan keras.
Deff segera merogoh sesuatu dari balik celana, lalu membubuhkan benda itu pada sebuah sapu tangan. Delia terlihat bersiap membuka pintu mobil, namun sayangnya aksinya kalah cepat dengan Deff.
"Deff ...." Delia terkulai lemah di dalam dekapannya. Deff memeluknya dari belakang dengan sayang.
"Sayang, maafkan aku. Aku melakukan ini demi kebaikanmu."
Sesampainya di rumah, Deff segera menggendongnya ala bridal. Ia membawanya masuk ke dalam kamar, lalu merebahkan tubuh lemahnya di atas sana.
Pria itu lepaskan pakaian mantan istrinya agar ia tidak gerah. Dinyalakannya AC dengan porsi sedang. Sungguh, melihat keindahan tubuh Dafina sedikit menggoda Deff. Namun, Deff bukanlah pria brengsek yang dengan mudahnya melakukan itu kepada setiap wanita.
Cup! Dia kecup kening mantan istrinya dengan dalam. Ia tersenyum menatap wajahnya yang terlelap karena pengaruh obat. Wajah yang selalu mendamaikan hatinya.
Drrrt! Drrrrt! Drrrt! Panggilan masuk dari tantenya Delia. Deff menatapnya dengan sinis, lalu mematikannya. Tapi, lagi-lagi panggilan itu terus bergetar di handphonenya Delia.
"Ada apa?" tanya Deff.
"Dasar brengsek! Di mana kamu menyembunyikan Delia?"
"Dia aman bersamaku. Sudahlah, kami ingin istirahat dulu. Bye."
Tuut! Segera dimatikannya telepon, karena ia tidak ingin berdebat dengan orang tua tersebut. Dia juga bukan wanita yang baik, dia hanya ingin memanfaatkan Delia saja.
"Kamu milikku Sayang, aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapapun!" seru Deff dengan tegas.
Deff merayap dan menetap di samping Delia yang terlelap. Matanya terlihat sembab karena dia habis menangis. Terdengar suara ringisan yang keluar dari mulut Delia.
"Ja-jangan, jangan ...."Delia menggelengkan kepalanya.
"Sssst, tidur yang nyenyak Sayang. Aku janji, akan selalu melindungimu." Deff membelai lembut anak rambut Delia, membuatnya menjadi lebih tenang.
Setelah Delia terlihat tenang, Deff mulai menjauh dari tempat tidurnya. Ia segera melepaskan pakaiannya sendiri, lalu bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia pun segera keluar.
Ia segera pergi ke dapur, mengisi perutnya yang kosong sejak pagi tadi. Setelah itu, ia kembali merebahkan diri di samping tubuh wanita yang begitu dicintainya itu. Sebenarnya sangat banyak wanita yang terang-terangan menyukai Deff. Namun, Deff masih tidak bisa menguburkan perasaannya kepada mantan istrinya itu.
Delia terlihat mengerjapkan matanya. Setelah sekian lama ia tidak sadarkan diri. Ia melirik ke sekelilingnya, sebuah kamar yang begitu asing terhadapnya. Lalu, ia berusaha mengingat apa yang telah terjadi.
"Deff ...."
"Apa, Sayang?" tanya suara bariton yang mengagetkannya dari samping.
"Aaagh!" Delia hampir terlonjak karena ia terkejut dengan keberadaan Deff. Sedangkan Deff hanya tersenyum melihat reaksi Delia.
"Pe-pergi! Aku membencimu!" teriak Delia sambil memukuli Deff dengan bantal guling.
"Delia, tenang Sayang."
"Aku membencimu! Sangat benci, hahhh!" seru Delia sambil mengamuk.
"Tapi aku mencintaimu, Sayang." Deff tersenyum menyeringai sambil menangkap kedua tangan Delia.
DEG!
Delia terlihat takut dengan pria yang ada di hadapannya ini. Ia mulai menangis bergetar. Deff tidak tega melihat keadaan mantan istrinya, lalu ia mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih lembut."Sayang, hei ini aku. Lihat aku baik-baik." Deff mendekatinya, lalu memeluknya.Delia terdiam di dalam pelukan Deff. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya tiba-tiba. Kesadaran Delia perlahan mulai muncul. Ia segera mendorong Deff ke arah dinding."Lepaskan aku! Kamu tega sekali menghancurkan hari bahagiaku, Deff. Aku salah apa sama kamu?" tanya Delia mulai menangis tersedu-sedu. Air matanya kembali membanjiri wajah cantiknya.Deff melangkah perlahan mendekati mantan istrinya. "Maafkan Abang, Sayang. Abang ngelakuin ini semua demi kebaikanmu.""Nggak, aku nggak percaya."
""Nak, Deff. Ayo masuk dulu. Kita sudah lama tidak berbincang." Tante Mia bersikap begitu ramah terhadap Deff."Eh, iya Deff. Kami masih menganggapmu keluarga lho." Putri yang baru datang di dalam juga ikut membujuk."Mmm, ngomong-ngomong Nak Deff sekarang kerja apa?" tanya Tante Mia berbasa-basi."Tidak ada, saya hanya membantu menjalankan perusahaan keluarga saya. Ya sudah, saya permisi."Deff segera melengos dari tempat itu. Tante Mia terlihat membuang muka, karena tidak senang diperlakukan seperti itu. Padahal, dulu dia begitu angkuh terhadap Deff. Karena Deff dulu hanyalah penjual gorengan.Pada sore harinya, Deff kembali ke rumahnya, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Bibi segera mendekati, wajah beliau terlihat begitu cemas."Nak, Deff.""Ada apa, Bi?""Anu .... Non Delia .... Bibi sudah be
Brakk!"Ternyata kucing, lega sekali," batin DeliaIa segera berlari menuju taman terdekat. Sebuah tempat yang dijanjikannya bersama Erlan. Sang pria jahat itu. Tak lama kemudian, Erlan menjemputnya dengan menggunakan mobil."Delia, kamu nggak papa kan?""Iya, aku nggak papa.""Ya udah, ayo kita pulang." Erlan membukakan pintu mobil untuk Delia.Delia segera masuk ke dalam. Mobil dikemudikan oleh Erlan. Dua jam kemudian, akhirnya mereka sampai juga di rumah tantenya Delia. Delia segera turun, lalu menggedor-gedor pintu rumah tantenya. Tak lama kemudian, pamannya keluar membukakan pintu."Delia?""Paman." Delia refleks memeluk pamannya, yang tak lain adalah adik dari ibunya."Kamu nggak kenapa-napa kan?""Nggak, Delia nggak papa. Untung ada Erlan.""A
"Ayo kita pulang," ajak Deff."Nggak mau, aku mau pulang ke rumahku saja!""Ayo, Delia! Apa kamu nggak malu berpakaian seperti ini!?"Delia memandang tubuhnya yang hanya memakai handuk. Ia menunduk dan jadi salah tingkah. Deff paham hal itu, ia segera melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke pinggang Delia, membentuk seperti rok."Jangan bawa calon istriku!" Erlan menatap mereka dengan emosi."Kheh, calon istrimu? Jangan bermimpi," sahut Deff sinis. Bodyguardnya Deff sudah menunggu di belakangnya, membuat Erlan jadi menciut lagi. Ia menatap para ajudannya yang nampak babak belur"Ayo kita kembali ke rumah." Deff menarik tangan Delia"Aku nggak mau, aku mau pulang ke rumahku," sahut Delia."Sayang, keluargamu itu jahat. Ayo kita pulang ke rumahku saja ya," bujuknya lagi.
"Delia, bangun, Sayang. Ada aku di sini," ucap Deff sambil menggenggam erat tangan mantan istrinya itu."Delia, ini aku, Sayang ...."Istrinya memejamkan matanya dengan rapat. Ia mendengar suara suaminya secara sayup, tapi malah tidak bisa membukanya."Delia, Sayang. Kamu harus bangun." Deff mendudukkannya segera."Antar ke rumah sakit sekarang!" perintahnya pada ajudannya yang masih nampak bingung."Ba-baik, Tuan."Delia memang memilik penyakit magh. Karena akhir-akhir ini ia jarang sekali makan pagi. Oleh karena itu, maghnya kembali kambuh.Deff mengecup tangan mantan istrinya dengan bertubi-tubi. Delia yang terbaring lemah, hanya bisa pasrah menerima semua sentuhan itu.Sesampainya di rumah sakit. Delia ditangani oleh seorang dokter. Dokter menjelaskan, bahwa magh yang diderita Delia tidak terlalu parah. Tapi, ini juga bukan masalah yang sepele. Jika tidak diperhatikan dengan baik, penyakit ini juga akan membahayakan bagi Delia.Setelah menebus resep yang diberikan oleh dokter, Def
Delia buru-buru ingin pergi dari wanita yang ada di hadapannya ini. Terlambat, wanita itu sudah terlebih dahulu merenggut tangannya."Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu!""Seharusnya kamu ucapin makasih, Delia. Karena berkatku kamu jadi selamat dari pernikahanmu dan Erlan." Ia tersenyum dingin kepada Delia."Karin! Apa kamu yang katakan? Jadi-""Iya, aku bersekongkol dengan Deff, agar kamu gagal menikah dengan suamiku!""Apa? Bukannya kalian sudah lama bercerai?" Delia menatap Karin dengan bingung.Karin melangkah satu langkah lebih dekat. Ia menarik ujung rambut Delia dan memainkannya. Delia sedikit menghindar, karena ia merasa tidak nyaman."Apa maksudmu?" Delia menanyakan pertanyaan itu lagi."Kami belum resmi cerai, karena Erlan nggak mau memberikan harta gono-gini. Kamu juga nggak mau kan disebut sebagai pelakor?" Karin menaikan alisnya sebelah, hingga membuat Delia jadi semakin ciut.Delia hampir tak percaya. Ia seperti seorang pelakor di dalam rumah tangga Karin dan Er
Seminggu telah berlalu. Hari ini Putri ingin pergi liburan ke pantai bersama teman-temannya. Sangat menyenangkan jika pergi membawa banyak uang. Ia kini sedang berada di kamar, mencari-cari pakaian yang cocok dipakai hari ini. Kebetulan, itu adalah pakaian yang baru ia beli."Putri, kamu mau ke mana?" tanya ibunya.Putri yang tengah asyik memilih, kini tersentak melihat keberadaan ibunya."Eh, ibu." Ia mengalihkan rasa kaget jadi senyuman."Ibu, ibu! Jawab atuh, kamu mau ke mana?" tanya ibunya lagi dengan sedikit tegas."Em, Putri mau jalan-jalan ma temen, Bu. Masa iya di sini terus." Ia segera menemukan pakaian yang cocok untuk dipakai."Lah, bukannya kemarin-kemarin kamu juga nggak di rumah?" Ibunya menatap heran ke arah anak manja itu."Ya elah, Bu. Maksud Putri, Putri juga ingin pergi ke luar. Yang jauhan dikit lah, Bu.""Iya, makanya ibu tanya mau ke mana?" Ibunya sudah nampak emosi."Putri mau ke pantai, udah ibu keluar dulu, putri mau ganti baju."Putri dengan cepat mendorong t
Putri memasuki mobil yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. Mereka tak memikirkan apapun lagi, selain bersenang-senang saja."Maaf ya, agak telat.""Iya, nggak papa. Lagi pula kan, kamu bos nya di sini.""Ah, biasa saja." Putri berpura-pura merendah, namun sebetulnya ia sungguh mengakui itu. Rasanya bangga jika disebut sebagai pemimpin di antara mereka.Mereka saling menatap antara satu sama lainnya. Sesekali senyuman sinis keluar dari sudut bibirnya. Entah apa yang tengah mereka rencanakan. Pastinya, mereka akan bersenang-senang dengan uang nya Putri."Oh ya, Put. Rencananya, kita di sini akan lama lho.""Hm, lalu?" tanya Putri sambil membaca isi WA dari seseorang."Kamu, udah minta izin kan?"Putri meletakkan handphonenya, lalu tersenyum kepada mereka."Udah, nggak usah khawatir. Orangtuaku papa, Kok. Santai aja." Lama perjalanan membuat Putri sedikit mengantuk, namun membayangkan indahnya pantai yang akan mereka tuju, kini membuatnya jadi semangat lagi.Pada malam hari, mer