Aku menowel pipi temben putriku yang cantik dan begitu menggemaskan itu, membuat wajah ayunya menjadi semakin cemberut karena merasa kesal padaku yang dianggapnya terlalu lama membuka paket dari om kesayangannya."Bundaaa. Lama, deh! Cepetan, dong, Bunda. Amel sudah penasaran ini dengan isi paket kiriman Om Frans," rajuknya."Sabarlah sedikit lagi, Amel!" ucap Dahlia mencoba ikut menenangkan Amel, kalimatnya membuatku tersenyum."Iya, iya, Sayang. Sabar, jangan marah atau cemberut gitu, dong. Kalau ngambek jadi hilang cantiknya anak Bunda. Iya, 'kan," kataku seraya memalingkan wajahku bergantian ke arah semua yang ada di ruangan itu."Haaa, betul itu. Amel, Sayang jangan cemberut. Nanti kalau cemberut, Om Jupri jadi sedih, lo," timpal Jupri kepada Amel.Amel terlihat mengerutkan dahinya karena tidak mengerti arah pembicaraan Jupri yang seperti tidak nyambung dengan pembicaraan sebelumnya. "Om Jupri ngomong apa, sih? Amel bingung, tidak paham."Melihat reaksi Amel, Jupri menepuk dahiny
Aku langsung berbalik badam kala inderaku mendengar suara itu, suara yang masih sangat aku kenal. Jasen! Rupanya dia bisa mengenaliku meski dari belakang. Sungguh aku tidak menyangka bahwa perubahanku belum bisa membuat dia lupa.Kupaksakan bibir ini melengkung meski tipis. Namun. Berbeda dengan Amel. Putriku itu justru semakin erat memeluk lenganku sambil jemarinya mencengkeramnya. Kulihat sorot mata penuh ketakutan dan kebencian terpancar pada bola mata yang indah itu.Jupri yang melihat sikap Amel mencoba meredam gejolak rasa pada putriku dengan mengelus lembut ujung kepalanya. Amel tengadah menatap wajah Jupri yang mengulas senyum lebar."Om!" lirihnya"Jangan takut, Sayang!" balas Jupri.Sekarang tangan Amel kulihat berpindah memeluk lengan Jupri, sepertinya gadis kecilku mulai nyaman dengan Jupri. Aku ikut tersenyum tipis."Benar apa yang diucapkan Om Jupri, Amel jangan takut," kataku."Tetapi wanita itu jahat dan seperti rubah, Bunda," balas Amel."Rubah?" tanyaku.Namun, belum
Aku berhenti saat seseorang memanggilku dengan Mbak. Suara itu sangat aku kenal, tetapi mungkinkah? Perlahan kuputar badanku untuk memenuhi rasa penasaranku. Dan benar, gadis itu berdiri dengan anggun mengenakan pamkaian kebaya modern dengan rambut sedikit di sanggul memakai riasan yang natural tampak elegan dan cantik alami."Mbak!" panggilnya membuyarkan lamunanku."Gendhis!" tebakku yang masih tidak menyangka akan melihat wajah cantiknya.Seketika Gadis cantik itu berlari menghambur ke pelukanku. Gendis, sosok gadis dewasa kini telah menjelma menjadi seorang wanita muda yang cantik dan elegan sungguh berbeda saat aku tinggalkan dua tahun yang lalu."Apa kabar kamu, Sayang?" tanyaku sambil mengusap air mata yang mulai mengalir pada pipinya yang mulus."Aku baik, Mbak. Bagaimana dengan Mbak Ann sendiri? Tega kamu, Mbak," keluhnya yang masih enggan mengurai pelukanku."Maafkan mbak, Sayang. Ini harus berjalan, apa kamu ingin melihat mbak selalu terpuruk?" tanyaku.Kulihat Gendhis meng
Aku masih bertahan di pelaminan menanti untuk berfoto bersama dua mempelai. Setelah beberapa saat kami berfoto akhirnya aku mengajak Jupri dan Amel untuk segera turun. Namun, tiba-tiba kudengar sebuah suara yang tidak asing bagiku.Perlahan Jasen berjalan tertatih menggunakan alat bantu kruk. Lelaki itu seakan belum menyerah untuk mengejarku. Amel yang awalnya sudah turun dari gendongan mama Zakia kini merapat memeluk kaki neneknya kembali."Nek, Amel takut!" lirihnya sambil memeluk sang nenek."Tenang, Sayang. Ada nenek di sini," ucap Mama Zakia mencoba meredam ketakutan Amel.Aku hanya memandang sendu pada Amel yang sedang ketakutan. Lalu putri kecilku itu akhirnya mengajak aku untuk bertemu dengan Abangnya-- Yoga. Akupun menyetujuinya. Namun, Jupri enggan untuk ikut denganku. Dia lebih memilih tinggal bersama Mama Zakia. Sepertinya masih ada yang ingin dibahas bersama beliau.Aku melangkah seiring dengan Amel mencari keberadaan Yoga. Amel yang memahami lokasi pesta tersebut segera
Pria kecilku terus menyerang Jasen tanpa perhitungan. Tidak melihat sebesar apa perawakan yang tengah dihadapinya. Satu gerakan Jasen tentu mampu membuat tubuh Yoga terpelanting. Namun, nyatanya tidak seperti itu. Jasen tampak terkekeh menahan geram, sesekali meringis menahan sakit saat serangan lelaki kecil itu mengenai luka bekas jahitan pada tulang keringnya.Amel yang melihat kebrutalan sang abang kini beringsut berjalan perlahan ke arahku dan memelukku erat. Sangat terasa jika tubuhnya bergetar. Kupeluk putri kecilku sambil mengusap punggungnya agar reda ketakutannya."Bunda, Amel masuk saja mencari nenek dan Om Jupri." Amel berkata sambil melangkah mundur meninggalkan aku bersama perkelahian Yoga dan Jasen.Yoga masih meluapkan emosi yang terpendam lama, mungkin menurutnya ini lah saat yang tepat buat ungkap semua sakitnya penderitaanku masa silam. Putraku terlihat sangat emosi hingga sulit untuk aku cegah. Tetapi sepertinya, bukan itu yang menjadi hal paling menyakitkan di hati
Tiba-tiba Yoga menghentikan langkahnya membuat aku ikut berhenti. Kupandang wajah putraku penuh tanya, dia tersenyum. Kemudian perlahan terucap sebuah tanya yang sudah lama aku tunggu."Siapa itu Jupri, Bunda, apakah dia sangat berarti bagi Bunda?" tanya Yoga."Tidak, dia teman bunda. Berkat jasanya lah adik kamu terselamatkan dalam pelariannya kemarin," jawabku.Kulihat Yoga tersenyum penuh arti. Aku hanya mengangkat bahu. Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan mencari keberadaan Amel dan Jupri. Terakhir kali aku melihat Amel melintas deretan meja penuh hidangan, jadi langkahku menuju meja tersebut. Namun, tangan Yoga menahan laju langkahku."Jangan ke sana, Bunda. Sepertinya adik ada di sudut sebelah sana, karena aku sempat melihat wanita itu baru saja dari sana," ucap Yoga.Aku pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Yoga, dan benar apa yang diperkirakan oleh putraku. Kulihat Amel sedang duduk di sudut ruangan, dahiku mengernyit melihat keadaan yang nyata. Putri kecilku sedang me
"Berikan putriku! Jangan pernah lancang menyentuh atau sekedar berniat menyakiti putriku!" ucap Rowena lantang.Aku sedikit terkejut oleh gelegar suara itu. Namun, keterkejutan tersebut memudar begitu menyadari siapa pemilik suara yang mencecar. Ternyata kelembutannya hanya sebagai kedok saja, semua sudah aku duga tetapi sudah terlanjur."Aku? Menyakiti makhluk kecil ini? Mampukah aku sekeji itu?" batinku.Namun, selembut apa pun perlakuan kami kepada Quinsa, tidak akan pernah terlihat demikian di mata pencuri yang ketakutan. Bayi kecil itu diambil paksa dari gendonganku. Seolah takut jika aku akan berlaku buruk pada putri kesayangannya. Sebagaimana teganya ia melakukan hal serupa kepadaku juga kepada putra-putriku.Cih! Kamu salah, Rowena! Aku tidak serendah itu! Sebenci apa pun aku kepada dirimu, juga suamimu, tidak mungkin memilih lawan yang tidak seimbang. Apalagi memilih korban yang tidak berdosa. Quinsa bukanlah alat untukku merebut segalanya darimu. Maka nikmatilah Jasen ha
Tapi memang seperti itu keadaannya. Aku tidak bisa selalu memberi kebahagiaan dan kenyamanan terhadap orang lain dengan mengabaikan keadaanku sendiri. Tidak setelah semua upaya serta usaha untuk bangkit yang kulalui seorang diri.Aku masih harus berjuang untuk mendapatkan hakku di mata hukum. Namun, aku tidak mau semua terungkap saat ini. Biarlah nanti akan tahu pada saat yang tepat."Maafkan, aku, Cintya!" batinku."Sekarang kesibukannya apa, Kak?” Sorot mata Cintya meniti tampilanku secara menyeluruh. Lalu binarnya kembali membulat takjub. "Waah, penampilan Kak Anna terlihat jauh lebih baik dari beberapa tahun lalu. Bahkan saat masih bersama Kak Jasen," ungkap Cintya sambil menangkupkan tangan ke muka. Masih dengan mata membulat tak percaya."Benarkah?" Aku tidak tahu kalau Cintya sungguh memuji atau sekedar menggoda. Tapi kepalanya jelas terangguk-angguk.“Ehm!” Jupri berdehem. Lelaki itu seperti memberikan sinyal agar kami lebih bijak dalam membicarakan tema keluarga di depan Yo